BAB 4
Kepalaku terasa pusing saat aku membuka mata. Harum minyak aroma terapi langsung menyengat di indra penciumanku.
“Sayang, alhamdulilah sudah sadar.” Suara Bunda langsung membuatku terjaga.
Mataku menatap Bunda yang berada di depanku dan mengusap rambutku dengan sayang.
“Bun?” Aku masih mencoba mencerna apa yang membuatku akhirnya jatuh pingsan.
Dan itu, kalimat yang diucapkan Vian.
“Bun ... Aline ... Vian,” ucapku bingung mencoba mengutarakan isi hatiku.
Bunda hanya tersenyum menanggapi.
“Kenapa? Vian ke sini bersama kedua orang tuanya untuk melamar kamu sekaligus menikahimu sekarang juga kalau Line setuju, tapi Bunda berharap Aline setuju, ya?” Bunda memegang jemariku dengan lembut.
Jantungku berdegup kencang mendengar penuturan Bunda sesaat. Ternyata benar, tadi kalimat yang diutarakan Vian ke paman, memang benar kalimat lamaran.
Pintu kamar terbuka. Sosok yang membuatku jatuh pingsang berdiri dengan gagahnya di ambang pintu.
“Bun ... maaf, bisa bicara sebentar dengan mbak Mawar?” Suaranya yang lembut kini membuatku menatapnya kebingungan. Apalagi yang akan diperbuat anak kecil ini setelah sukses membuatku shock.
Bunda tersenyum dan beranjak berdiri.
“Bicaralah sama Aline, ya ... kalau bisa paksa dia, Bunda mendukungmu,” ucap bunda sambil mengerling ke arahku dan beranjak meninggalkan kamar.
“Bunda!!!” pekikku tak terima karena ditinggal hanya berdua dengan bocah ini.
Vian melangkah ke arahku sembari menatap dengan lembut. Aduh kenapa kinerja jantungku mulai keras begini, ya?
“Rosaline Prameswari ...“ Suara Vian membuatku menatapnya yang entah sejak kapan kini dia sudah bersimpuh di depanku.
“Yan, jangan gila deh, apa-apaan kau ini?” Aku mencoba membuang muka. Jengah melihatnya kini berlutut tepat di depanku.
Vian mengambil sesuatu dari saku kemejanya. Dan benar saja sebuah kotak beludru berwarna merah kini dipegangnya.
“Rosaline, will you marrie me?” ucapnya lugas dan tegas.
Aku hanya melongo di depannya. Kukerjap-
kerjapkan mataku. Pria ini, yang berjarak 5 tahun di bawahku, yang notabene adik kandung dari sosok pria yang selama ini masih sangat kucintai. Meski hanya impian semata, kini berani melamarku di depanku.
“Yan!” protesku saat menatap wajahnya.
Alis tebalnya, bibir tipisnya, hidung mancungnya, mata hazelnya, semua membingkai wajahnya dengan begitu tampan. Kalau saja, kalau saja, dia seumuran denganku, kalau saja dia bukan adik kandung dari Ryan Atmawijaya, cinta pertamaku itu yang membuatku masih mencintainya hingga kini, pasti aku sudah akan menerima lamaran ini.
“Yan, ini gila, kau gila ... kau sudah tahu alasanku, kan kenapa selama ini aku tak menerimamu, Yan?” ucapku hampir putus asa.
Lelah dengan sikap keras kepalanya Vian, bahkan nekat hari ini membawa kedua orang tuanya dan banyak orang ke rumah.
Vian memejamkan matanya, lalu menghela napasnya dan membuka matanya lagi.
“Kalau alasan umur Vian tak mau terima Mbak, sudah Vian bilang usiaku 24 tahun dan sebentar lagi sudah bekerja menjadi dokter, masalah financial mbak Mawar tak usah meragukan lagi, Vian bisa menafkahi mbak Mawar dan juga anak-anak kita kelak.”
Aku memutar bola mataku mendengar ucapannya, mulutnya mulai meracau lagi, kan? Heran kenapa bukan kakak kandungnya saja yang bersikeras melamarku seperti ini. Aihhh kenapa otak ini kembali memikirkan Ryan? Orang yang sudah terbukti selama ini hanya mempermainkanku dan membuatku sakit hati.
“Kalau soal Ryan, Mbak,“ Vian kini menatapku serius dan mulai menarik jemariku, “justru alasan ini agar mbak Mawar bisa melupakan Ryan, lupakan dia, Mbak, aku lebih baik dari kakak pecundangku itu,“ ucapnya tajam.
“Yan, bukan hanya itu alasannya,” tolakku ke arah Vian.
Kuhembuskan napasku dan mulai memberi pengertian kepada sahabat dari adik kandungku ini.
“Dengar ya, Yan, aku tak mencintaimu dan juga masih banyak wanita di luar sana yang bisa bersanding denganmu, bukan aku, Yan.”
“Tapi aku maunya mbak Mawar, aku tak peduli dengan wanita di luar sana,“ ucapnya bersikeras.
Kali ini aku kehilangan kesabaran menghadapinya. Kusedekapkan tanganku, dan kini mencoba duduk di atas kasurku ini. Vian masih berlutut di depanku, aku kasihan melihatnya. Kutepuk sisi kasur sebelahku.
“Duduklah sini, Mbak ingin bicara!” Vian mengerjap tapi kemudian mengangguk.
Dia beranjak dari lantai dan kini duduk di sebelahku. Aroma khas tubuhnya selama setahun ini membuatku hafal.
“Alasanmu apa melamarku?” ucapku halus ke arahnya.
Vian menoleh ke arahku.
“Aku mencintaimu, Mbak, tulus, Demi Allah, Mbak,“ ucapnya.
Kutatap mata beningnya itu yang menatapku dengan intens. Aku terhenyak melihat kejujuran di mata hazelnya itu. Kuhela napas. Kenapa sekarang aku yang merasa sesak sendiri mendengar pengakuannya?
.“Usiaku sudah 29 tahun, Yan, sekarang aku masih muda masih belum keriput tapi besok, 10 tahun lagi, aku pasti tak secantik ini lagi. Banyak keriput, apakah kau masih mau denganku?”
Vian tersenyum. Bahkan senyumnya kini sangat tulus. Kurasakan jemarinya menarikku untuk digenggamnya.
“Mbak saat ini ya saat ini, jalani saja dan nikmati saja. Aku tak mau berandai-andai, bukankah umur kita juga tak ada yang tahu sampai kapan, tapi lepas dari itu semua, aku akan tetap mencintai mbak Mawar sampai ajal memisahkan.”
Aku membeku mendengar ucapannya.
Vian melihat jam di tangannya.
“Tiga puluh menit lagi waktu kita, Mbak, aku mohon Mbak mau menikah denganku saat ini juga, please ..., besok aku harus terbang ke Skotlandia untuk mengambil beasiswa spesialisku di sana. Dan aku tak ingin meninggalkan mbak Mawar. Please, jangan buat kecewa bunda, dan juga mama papaku, Mbak. Aku berjanji tak akan menyakiti mbak Mawar selamanya.”
Vian bersimpuh di depanku lagi, menatapku dengan sendu.
Kenapa hatiku menghangat begini mendengar lamarannya. Apakah aku harus mencoba menerima cinta dan komitmennya?
*****
“Saaahhhhhhhh.”
Suara menggema itu menyeruak memasuki telingaku masuk ke dalam gendang telingaku dan langsung diproses dengan cepat oleh sel-sel motorik melalui sinaps-sinaps yang diterima otak.
Seperkian detik, membuat aliran darahku terasa semakin cepat mengalir. Suara ketukan di pintu dan tibatiba bunda sudah berdiri di ambang pintu dengan raut bahagia.
“Line, selamat ya, sekarang kau sudah menjadi istri sungguh-sungguh.” Bunda sudah berlinang air mata.
Tak ayal tubuhku membeku, masih mencoba mencerna semuanya. Tapi bunda tiba-tiba merengkuh ke dalam pelukannya.
“Semoga Vian bisa membimbingmu, ya, Nak. Bunda bangga akhirnya bisa memenuhi amanat almarhum ayah, menyerahkan putri kesayangannya ini kepada orang yang benar-benar tepat, dan Bunda yakin dia memang jodohmu.”
Tak ayal setelah mendengar ucapan bunda, air mata ini tiba-tiba menetes, membasahi wajahku yang sudah dipoles make up tipis tadi oleh mbak-mbak dari salon yang sudah disiapkan bunda.
Entah kenapa aku bisa langsung menerima pinangan bocah itu, masih tak percaya dengan bodohnya aku benarbenar tak bisa berkutik saat tadi Vian bersimpuh lagi di depanku dan mengiba memohonku untuk menerimanya.
“Aliiiiiiinnneeeee.” Suara Nadia menginterupsi acara berpelukanku dengan bunda.
Bunda melepaskan pelukannya, dan merapikan kebaya putih dan hijabku ini. Nadia masih memakai seragam kebesarannya langsung menubrukku.
“Kau gila?? Kenapa tak bilang kepadaku semalam?” cecarnya, membuatku tersenyum.
“Aku pikir aku memang gila, Nad, entahlah,“ jawabku asal.
”Aline, temui suamimu dulu dan salam kepada mertuamu dan para tamu.” Bunda menepuk bahuku.
Share this novel