Rate

BAB 1

Drama Completed 304

Hari ini sama seperti hari-hari sebelumnya, aku begitu kacau. Bangun sangat terlambat, salah memakai seragam dan tidak mengerjakan PR. Cukup untuk menjadi alasan Bu Vita mengirimku ke ruangan Pak Bukhari , guru BP kami. Aku kena ceramah pagi ini, dan mungkin nanti ketika sampai di rumah kerana surat peringatan yang akan ku beri pada Ibu atas keteledoranku yang sudah kesekian kalinya ini. Entah Ibu akan peduli atau tidak, tapi aku benar-benar menunggu saat seperti ini terjadi, percaya atau tidak percaya, hal itu benar.

Itu mereka, sudah menungguku di meja kantin dengan cengiran seperti biasa. Deta dan Kiki, sahabat karibku, juga Farid, PDKTan-ku.
“Seperti biasa, Mel?” tanya Kiki. Aku hanya mengangguk lemas dan duduk pada kursi kosong di sebelah Farid. Farid mengacak rambutku yang sebenarnya sudah acak-acakan sebelumnya.
“Aku bawa seragam hari ini kok, buat kamu. Nanti habis makan kita ke toilet ya.” Deta selalu siap siaga dengan kecerobohanku. Aku nyengir kuda padanya, hal ini sudah sangat biasa.
“Dan ini, nasi goreng pedas gila-nya.” Kali ini Farid yang sudah sangat hapal menu favoritku itu yang berbicara. Aku makan dengan sangat lahap. Kalau bangun terlambat, siapa yang akan sempat sarapan?

“Kenapa kamu tidak buat PR, Mel?” tanya Ibu menahan kesabaran.
“Lupa, Bu.”
“Seperti biasa?”
“Seperti biasa.”
“Baik.” Ibu menghela napas lelah, pundaknya jadi sedikit turun.
“Apa kamu ada tugas untuk besok?” ia bertanya, tanpa mimik marah.
“Mungkin. Elor nggak ingat, Bu.” Jawabku jujur.
“Sekarang kamu ke kamar, periksa jadwal dan tugas-tugas kamu.” Ibu melipat surat yang aku berikan padanya itu, memasukkannya kembali ke dalam amplop, dan meninggalkannya di atas meja makan. “Akan Ibu usahakan datang.” Katanya sambil berlalu.

Aku kembali ke kamar sambil mengumpat-umpat dalam hati. Apa susahnya untuk datang besok ke sekolah? Sekali saja aku minta Ibu peduli pada hidupku. Selalu saja urusan pekerjaan dan tiada hentinya bahkan ketika di rumah sekalipun. Tidak ada lagi kami yang mengobrol obrolan basi di depan TV, atau menggosipkan tetangga-tetangga, atau bahkan menanyakan bagaimana hari masing-masing. Apa begini juga nantinya setelah aku dewasa, memiliki pekerjaan, kemudian memiliki anak yang menyebalkan, ditinggal suami pergi, dan kemudian semuanya berubah begitu saja seolah tidak ada kehidupan bahagia sebelumnya.

Beberapa saat kemudian Deta meneleponku, mengajakku pergi nonton bersama Kiki dan juga Farid. Hal yang mustahil aku tolak. Ibu sepertinya masih terlalu sibuk dengan pekerjaannya di dalam kamar. Aku berteriak begitu saja dari luar kamarnya.
“Bu, Elor pergi nonton sama teman-teman.” Kemudian berlari ke luar kerana taksi mereka sudah menunggu.

“Kita nonton apa?” tanyaku girang.
“Ada film Bruce Willis baru, loh.” Ujar Farid yang duduk di sampingku.
“Jangan film action.” Teriak kami serempak.
“Begini deh resiko pergi dengan cewek.” Farid mengalah dan akhirnya kami memutuskan untuk menonton film Drama Romance yang diperankan Rachel McAdams.

Aku, Kiki dan Deta ke luar dengan mata sembab akibat menangis, sedangkan Farid ke luar dengan mata mengantuk. Sepanjang film dia tertidur pulas, bukan hal yang baru sebenarnya. Kami memutuskan untuk nongkrong di cafe di depan bioskop sebentar. Sebenarnya aku agak was-was ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 10 malam. Belum terlalu larut memang, tapi besok hari sekolah dan aku sama sekali belum menyentuh PR-ku.

Pukul 11 tepat kami meninggalkan cafe. Setelah mengantar Kiki dan Deta, kini hanya ada aku, Farid dan supir taksi tentunya. Rumahku lumayan jauh jaraknya dari rumah mereka bertiga, namun Farid bersedia mengantarkanku lebih dulu.
“PR kamu udah dibuat?” tanyanya. Aku menggeleng. “Kita bukan anak SD lagi loh, yang harus diingatkan tentang hal yang sama setiap harinya.” Nah, dia akan berceramah sepanjang jalan sepertinya.
“Kalian ngajak nonton.” Jawabku jutek.
“Kita ngajak, nggak maksa, loh.” Farid menyebalkan. Apa sekarang waktu yang tepat untuk bertengkar.
“Kamu mau pergi nonton dengan mereka berdua tanpa aku?” tanyaku tidak percaya. Dia nyengir dan menggeleng.
“Tadi aku tanya Kiki dulu kamu boleh apa nggak.” Mau tidak mau aku tersenyum. Kerana dugaanku tidak salah, dia mau ikut kerana ada aku.

“Aku nggak bermaksud mendikte hidup kamu, cuma kerana aku peduli, aku mau kamu jadi lebih baik.” Dia mulai lagi membuatku kesal. Aku tidak suka orang mengomentari perbuatanku, hidupku. Kerana bahkan Ibu tidak pernah melakukannya. Ibu. Astaga, apa yang akan aku katakan nanti.
“Aku akan anggap kamu nggak pernah ngomong apapun yang barusan kamu bilang.” Raut muka Farid seketika berubah. Meski dalam remang cahaya aku masih boleh melihatnya.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience