V

Romance Series 49415

Tiba di rumahnya, Harvest langsung melesat ke kamarnya dengan tergesa-gesa untuk mencari sesuatu di dalam laci nakasnya. Ia mengacak-acak seisi nakas. Karena tak ketemu, ia berlanjut ke laci berikutnya dan begitu terus sampai akhirnya ia berhasil menemukan apa yang ia cari, yakni sekotak dus kecil.

Ia pun mengambilnya keluar, lalu segera membuka dus kecil tersebut. Ia mengeluarkan isi dalamnya dengan asal sampai ia menemukan foto yang ia cari. Ya sebuah foto dirinya sewaktu berusia 15 Tahun dengan seorang anak perempuan. Harvest melihatnya baik-baik. Apakah anak perempuan ini adalah Love? batinnya.

Harvest duduk di atas ranjangnya sambil mengamati selembar foto belasan tahun yang lalu. Ia ingat betul pertemuannya dengan si anak perempuan ini. Ia menyelamatkannya saat si anak perempuan itu hampir tenggelam ketika mencoba latihan berenang di danau. Setelah kejadian itu, ia dan si anak perempuan itu akhirnya berteman. Namun lima hari kemudian, ia mendapati kabar bahwa si anak perempuan tersebut akan pindah ke San Francisco. Dan foto ini adalah foto terakhir ia bersamanya. 

Sejak si anak perempuan yang Harvest tak tahu namanya itu pindah, ia pun tidak pernah mencari tahu lagi keberadaannya. Dan malam tadi, salah, tepatnya tadi siang akhirnya ia dipertemukan kembali dengannya. Meskipun Harvest belum merasa yakin bahwa Love adalah si anak perempuan tersebut, tapi Harvest memutuskan akan mencari tahu hal itu esok hari. Ya begitu saja. Dan sekarang lebih baik ia melihat putri mungilnya dulu sebelum ia pergi tidur. 

*****

Esok harinya, Harvest terbangun karena suara seruan dari pengurus rumahnya serta suara ketukan pintu kamarnya. 

"Tuan Harv, Nyonya menyuruh saya membangunkan Anda." Seruan yang terdengar dari arah luar kamar Harvest.

Tok! Tok! Tok!

"Tuan Harvest!"

Mau tak mau Harvest bangun dan beranjak dari ranjangnya untuk membukakan pintu kamarnya. "Ya, Auntie, aku sudah bangun," ujarnya dengan lemas.

"Tuan Harv, bagaimana semalam?" tanya Gaby menyelidik. "Apa Tuan berhasil menemui wanita yang bernama Love?"

"Iya. Sebenarnya kami sudah bertemu sebelumnya, namun aku juga baru tahu namanya tadi malam. Untung saja Auntie menyuruhku untuk menyusulnya. Kalau tidak, dia sudah dibawa oleh dua segerombolan serigala."

"Apa? Serigala?" Gaby sangat terkejut. "Apa serigala peliharaan John di atas bukit lepas ya?" pikirnya. 

"Ish! Bukan serigala hewan, tapi orang jahat," koreksi Harvest cepat.

"Oh. Ya ampun, berarti firasat saya benar lagi, Tuan? Untung saja Love tidak apa-apa. Terima kasih lho, Tuan," ujar Gaby.

"Hem." Tiba-tiba Harvest teringat akan permohonan Gaby tadi malam. 

"Saya mohon, Tuan Harv. Entah kenapa firasat saya mengatakan bahwa Love akan mendapatkan bahaya."

Harvest pun tak menyangka kalau firasat Gaby kali ini benar lagi. Sebelumnya mengenai adiknya. Semalam sebelum kecelakaan menimpa adiknya, Gaby sudah berpesan pada mamanya agar tidak memperbolehkan tuan mudanya pergi keluar karena ia mendapatkan firasat buruk. Dan ternyata firasat Gaby benar, adiknya ditabrak oleh mobil saat menyebrang. 

 "Auntie, sejak kapan mengenal Love?" Harvest mengalihkan pikiran tentang kematian adiknya itu dengan pertanyaan lain mengenai Love pada Gaby. 

"Lusa kemarin pagi. Saat saya pulang berbelanja, saya melewati rumahnya karena ingin melihat parade festival buah dan bunga."

"Oh, ternyata baru kenal juga."

"Iya, soalnya Love sendiri juga baru datang kemarinnya."

"Apa dia bilang akan stay lama di sini?" tanya Harvest lagi.

"Tidak tahu, Tuan. Dia hanya bilang belum tahu sampai kapan dia stay. Begitu yang dikatakannya pada saya."

"Baiklah kalau begitu. Ya sudah, Auntie, aku mau mandi dulu. Bilang saja pada Mama, habis mandi Harv akan langsung menemuinya."

"Baik, Tuan Harv." Gaby pun melaksanakan perintah Harvest. Ia beranjak pergi untuk menyampaikan pesan tuan mudanya itu pada nyonyanya.

****

Melihat Gaby turun dari lantas atas, buru-buru sang majikan langsung menerjangnya dengan pertanyaan. "Bagaimana, Gab?" 

"Berhasil, Nyonya," jawab Gaby. 

Sang majikan pun ikutan senang dan tersenyum puas. "Baguslah. Semoga putraku cepat mendapatkan kekasih." 

"Benar, Nyonya. Firasat saya mengatakan bahwa dalam waktu dekat Love akan jadi sama Tuan Harvest.

"Semoga saja firasatmu kali ini benar lagi, Gab." 

"Semoga, Nyonya. Hem, kalau begitu saya permisi ke dapur dulu untuk menyiapkan sarapan," pamit Gaby.

"Oh oke-oke. Thanks, Gab."

Dan alhasil Gaby malah lupa menyampaikan pesan tuan mudanya.

Setengah jam kemudian, Harvest turun dan menemui mama papanya di ruang makan. "Pagi, Ma, Pa!" sapanya pada kedua orang tuanya. 

"Pagi, Harv," sapa balik sang Mama. "Bagaimana tidurmu?" tanyanya.

"Nyenyak," jawab Harvest sambil menarik kursi dan duduk. "Oh ya, Ma, mana Every? Harv tidak melihat dia di kamar," tanyanya.

"Mama menidurkan Eve di ruang tengah."

"Oh."

"Jadi, apa rencanamu ke depannya, Son?" Kali ini pertanyaan datang dari sang Papa. "Kau tidak bisa mengadopsinya begitu saja. Saran Papa, lebih baik kau cari pasangan dulu. Menikah, lalu baru kau adopsi Every menjadi anakmu."

"Kenapa begitu, Pa?" sahut Harvest. "Apa ada peraturan yang menyuruh harus menikah dulu baru bisa mengadopsi anak?"

"Bukan begitu. Dua tahun lagi usiamu tiga puluh. Apa kau sama sekali tidak memiliki rencana untuk menikah?" sahut balik Papa.

Mendengar Papa mulai mengungkit pasangan dan pernikahan, Harvest pun hanya bisa menghela nafas kasar. Sudah sering kali orang tuanya mendesaknya untuk menikah, namun memang Harvest belum berencana mau menikah. Kekasih saja belum ia miliki. Ditambah lagi sekarang ia memiliki anak tiba-tiba. Apa masih ada wanita yang mau menerima dirinya ini dan Every? Pikiran Harvest jadi melayang ke mana-mana.

Sebenarnya dua tahun yang lalu, Harvest memiliki perasaan pada Amy dan ada rencana mau mengajaknya menikah. Namun semua rencananya gagal, karena Amy malah menjalin hubungan dengan Bruce, sahabatnya. Akhirnya Harvest harus membuang perasaannya jauh-jauh sebelum bertambah dalam. Sejak saat itu Harvest belum lagi bisa mencintai seorang wanita. 

"Kau dengar tidak sih, Harv?" hardik Papa. Papa menutup koran yang sudah selesai dibacanya dan menaruhnya di atas meja, kemudian ia menoleh ke Harvest. "Tinggalkan pekerjaanmu di Washington, dan bantu urus bisnis Papa di sini. Atau---," Papa memberikan pilihan pada Harvest. "Papa akan menjodohkanmu dengan anak teman kenalan Papa. Gimana?" sambungnya. 

"Akan Harv pikirkan penawaran Papa ini," jawab Harvest. Ia tahu papanya hanya ingin yang terbaik untuk hidupnya. Ia mencoba mengerti dengan tidak berdebat seperti yang sudah-sudah.

"Bagus. Kasih Papa jawaban secepatnya."

"Iya."

Acara makan pagi pun berlangsung dengan damai tanpa ada perdebatan. Selesai makan, Harv hendak mengunjungi Love lagi. Ia akan mulai mencari tahu tentangnya hari ini.  

****

Karena takut terjadi lagi seperti semalam, Love memutuskan untuk berbelanja membeli bahan makanan untuk dirinya selama menetap di rumahnya itu. Tapi tak disangka-sangka di dalam perjalanan pulang, Love malah berpapasan dengan Stanley. 

"Hai, Love!" sapa Stanley.

"Hai!" Love menyapa balik dengan terpaksa. Percakapan Harvest semalam mengenai duo serigala pun tiba-tiba kembali terputar di benaknya. "Ia jadi ragu dengan Stanley. Masalahnya sekarang Stanley tiba-tiba menemuinya, walaupun memang tidak sengaja bertemu.

"Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Apa kau habis belanja?" tanya Stanley yang melihat kantong belanjaan Love.

"Iya," jawab singkat Love. Ia tak mau banyak bertanya agar tidak mengundang percakapan yang menjurus 'ayo kita lanjutkan berbincang di kafe'. Oh God, semoga saja itu tidak terjadi. Karena kalau sampai terjadi, sudah pasti ia akan susah menolaknya.

"Belanja apa?" tanya Stanley lagi.

God, help me! batin Love yang sudah merasa takut. "Bahan makanan," jawabnya.

"Kau pintar memasak ya?" 

"Tidak juga."

"Kalau begitu, kapan-kapan bisa dong kau memasakkan makanan untukku?" 

Tuh kan? Love mulai bersungut kesal. Bagaimana aku menjawabnya coba? "Hem.." Akhirnya Love hanya memberikan jawaban dengan berdehem. 

"Senangnya. Bagaimana kalau sekarang?" 

Love langsung terhenyak dan menoleh kaget ke Stanley. Kedua matanya mengerjap pelan sambil memikirkan jawaban apa yang harus ia berikan. Lebih tepatnya sih cara menolaknya serta mengusirnya dari hadapannya sekarang juga. "I-itu--, eh, hari ini ya? Emm---" C'mon, otakku, berpikirlah. "Oya, aku sudah ada janji." Yeesss, akhirnya aku bisa menjawabnya. 

"Janji dengan siapa? Apa dia seorang pria? Aku jadi cemburu," ucap Stanley dengan merajuk.

Apa-apaan sih nih orang?! Love mulai kesal mendengarnya. "Bukan urus--,"

"Janji denganku!" celetuk Harvest yang tiba-tiba muncul dari arah samping Love. Ia langsung menatap Stanley dengan sorot tajam sesaat, setelah itu ia beralih ke Love. "Sudah kubilang berapa kali, Sayang, kalau mau pergi belanja bilang kepadaku. Jadi, aku bisa menemanimu dan kau tidak mungkin diganggu oleh laki-laki hidung belang!"

Hidung belang? Love menahan tawanya dalam hati. Ia tahu sindiran pedas itu ditujukan untuk Stanley.

Harvest mengambil barang belanjaan Love. "Biar aku yang bawakan, Sayang."

Love memberikan dua kantong belanjaannya ke tangan Harvest sembari bernafas lega karena lagi-lagi Harvest datang menolongnya. "Ya, maafkan aku. Ayo, kita pulang!" Kali ini Love duluan yang mengajak Harvest pulang. Love beralih ke Stanley. "Maaf, Stan, kekasihku ini sangat posesif dan cemburu. Lebih baik kau jangan pernah dekati aku lagi." Love sengaja menekankan kata 'kekasihku' pada Stanley bermaksud menolaknya secara tidak langsung. "Kami permisi dulu ya!" pamitnya. Love juga sengaja merangkul lengan Harvest dengan manja untuk menambah kesan sandiwaranya ini sungguhan. 

Stanley pun tidak berkutik. Ia hanya bisa menatap mereka berdua dengan sorot amarah yang masih ditahannya. Damn it! Ia pun memilih untuk pergi.

Kini Harvest dan Love berjalan bersamaan menuju ke rumah Love. Dan sekarang posisinya sudah seperti biasa lagi. Love juga sudah melepaskan rangkulan tangannya pada lengan Harvest. 

"Tadi maaf karena aku tiba-tiba merangkul lenganmu, Harv," ujar Love.

"It's okay, Love. Jika kau mau, kau bisa merangkulnya lagi," goda Harvest.

"Ish! Jika tidak terpaksa, aku tidak akan mau merangkul lelaki yang bukan kekasihku sendiri," sahut Love.

"Aku hanya bercanda." Harvest tertawa sumbang.

Sampai di rumahnya, Love mengundang Harvest untuk masuk ke dalam rumahnya. "Kau mau kopi atau minuman lain?" tawarnya.

"Tidak perlu, Love. Thanks," jawab Harvest sembari meletakkan dua kantong belanjaan yang dipegangnya  ke atas meja dapur. 

"Duduklah dulu, Harv. Aku mau rapikan barang belanjaanku dulu." 

"Oke." Harvest pun duduk di ruangan yang tidak jauh dari area dapur. Matanya menjelajah dan memperhatikan seisi ruangan. "Sepertinya kau harus mengecat ulang dinding rumahmu. Karena warna catnya sudah pada rapuh," tukasnya.

Sambil memasukkan sayuran dan beberapa buah ke dalam lemari pendingin, Love menyahuti perkataan Harvest. "Entahlah. Aku tidak tahu apakah itu perlu atau tidak. Karena aku tidak akan stay lama di sini. Dan mungkin akan lama lagi aku kembali ke sininya."

Harvest bangkit berdiri dan mulai berjalan lagi ke ruang dapur untuk menghampiri Love yang masih merapikan barang belanjaannya. Sampai di hadapan Love, ia membantunya sambil melanjutkan obrolannya. "Memang sekarang kau tinggal di mana? Lalu, ini rumah siapa?" selidiknya.

"Ini rumah orangtuaku. Aku sendiri tinggal di San Francisco. Di sana pun aku bekerja sebagai pengasuh anak." 

Jawaban Love membuat Harvest terkejut. Pertanyaan yang mau dipastikan itu, satu sudah terjawab, yakni San Francisco. Dan itu sesuai dengan kemiripan teman masa kecilnya yang dulu juga pindah ke sana. "Oh." Harvest mencoba bersikap biasa saja. "Tadi kau bilang, kau bekerja sebagai pengasuh anak?"

"Iya. Apa kau mau bilang kalau aku tak cocok dengan pekerjaanku? Ah, atau kau mau bilang begini--," Love mencoba mengucapkannya dengan dilebih-lebihkan. "Gadis secantik dirimu kenapa mau menjadi pengasuh anak? Apa kau sedang bergurau?" Love menatap Harvest sesaat. "Ayo, jawab jujur!" Setelah mengatakannya, Love kembali melanjutkan memasukkan beberapa kaleng makanan yang dipegangnya ke lemari pendingin.

Harvest tertawa geli melihat Love yang bertingkah lucu. "Berarti kau sangat menyukai anak-anak ya?" lanjutnya bertanya.

"Iya. Aku sangat menyukai mereka." Love berjalan mendekat ke Harvest, lalu menatap mata abu miliknya. "Ada lagi yang mau kau tanyakan, Harv? Kenapa semakin mengenalmu, kau jadi semakin bawel?" sindirnya.

Harvest pun terkekeh pelan. "Jadi, aku tidak boleh bertanya nih? Baiklah jika itu maumu, aku akan diam saja." Kini Harvest menatap balik mata hijau milik Love.

Karena tak kuat ditatap lama oleh Harvest, Love pun langsung membuang pandangannya ke arah lain. "Aku hanya bercanda, Harv. Kau sensi saja deh!" Ia pun berjalan ke ruang tengah untuk menyembunyikan kegugupannya. Entah kenapa detak jantungnya sekarang menjadi berdebar-debar. Ini aneh!

Harvest menyusul berjalan mengikuti Love ke ruang tamu. "Aku tahu kau hanya bercanda padaku. Tapi jikalaupun tidak, aku tetap tidak akan berhenti bertanya. Karena kalau aku tidak bertanya, tidak ada obrolan yang terjalin di antara kita. Apa kau mau kita diam-diaman saat bertemu?" 

"Ya, ya, maaf." Love pun duduk di sofa ruang tengah. 

Harvest menyusul duduk di sebrangnya. "Apa kau senggang hari ini?" tanyanya lagi. 

Sebelum menjawab, Love tertawa geli. Memang benar kalau Harvest adalah lelaki bawel. "Kenapa? Kau mau membawaku ke mana?"

"Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang. Apa kau bersedia?" 

Kedua alis Love saling bertautan tanda tidak mengerti. "Kau akan mengenalkanku pada siapa, Harv?" tanyanya. "Orang tuamu?" tebaknya penasaran.

"Itu salah satunya. Tapi bukan mereka utamanya. Ada lagi dan ini berhubungan dengan apa yang kau suka."

"What?" Love makin bingung. Karena sangat penasaran, ia pun menyetujuinya. "Baiklah. Semoga saja kau tidak membawaku ke gereja dan mengenalkanku pada pendeta, lalu menikahiku di sana," duganya.

"Ha-ha-ha-ha" Harvest tertawa terbahak-bahak. "Kau sangat lucu, Love." Harvest pun bangkit berdiri dari duduknya. "Ayo!"

"Sekarang?" Love mengerutkan keningnya.

"Iyalah, masa besok!" jawab Harvest.

"Ck!" Love berdecak sebal. "Kalau begitu aku ganti baju dulu sebentar ya, karena tadi keringatan." 

"Oke. Aku akan menunggumu di depan pintu." Harvest pun mulai berjalan ke arah pintu keluar.

Selesai bertukar pakaian, Love pun mengikuti Harvest yang ternyata membawanya ke rumahnya. Dan tiba di sana, Love langsung dikenalkan Harvest pada orang tuanya. Setelah itu, Harvest mengenalkannya pada Every. 

"Kenalkan, Love, dia Every. Dia putriku," ujar Harvest.

Sontak Love terkesiap, "Putrimu? Kau sudah menikah?" 

"Tidak-tidak. Dia memang putriku, tapi hanya adopsi. Ceritanya panjang. Nanti akan kuceritakan lebih detailnya. Alasanku mengenalkan Every padamu adalah karena tadi kau bilang kau sangat menyukai anak-anak."

Love mengambil Every dari gendongan tangan Harvest, lalu membopohnya dengan sangat hati-hati. "Dia lucu sekali, Harv. Lihat matanya yang berwarna biru ini. Cantik sekali," puji Love yang terpukau dengan paras Every.

Every tersenyum tipis melihat orang yang menggendongnya.

Melihat Love yang menyukai Every, membuat Harvest senang. Senyuman Love yang merekah lebar saat menggoda Every pun juga membuatnya terkesima. Memang sesuai perkiraannya kalau Love akan menyukai Every. Tidak hanya Love, dirinya, Gaby dan orang tuanya pun sangat menyukai Every sejak pertama melihatnya. Seakan-akan Every dapat menghipnotis siapa saja yang melihatnya. 

"Aku senang kau menyukainya. Hem, aku ada permintaan, Love."

Love menoleh ke Harvest. "Apa?" 

"Bisakah kau mengajariku cara merawatnya? Aku ingin belajar mengurusnya." 

"Tentu saja." Love mengiyakan begitu saja. "Dengan senang hati, Harv, aku akan mengajarimu. Kira-kira kau mau kapan?"

"Bagaimana kalau besok kita memulainya?" usul Harvest.

"Baiklah," jawab Love, lalu ia beralih lagi ke Every dan kembali mengajaknya bercanda. 

***

To be continued

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience