Rate

Proper Motion: 1

Drama Series 285

~Percayalah, tak akan pernah ada yang benar-benar menghilang di dunia ini. Mungkin hanya berpindah tempat, atau menjelma menjadi sesuatu yang lain~

***

Author
Cowok itu melangkahkan kedua kakinya begitu malas, jika saja bukan dirinya yang mengajak ke tempat ini, sudah pasti ia lebih memilih di kamarnya, menghabiskan waktu dengan bermain PS, atau sekadar bermain dengan Alula. Ia memutar bola matanya malas saat baru beberapa langkah memasuki sebuah cafe tempatnya mengajak seseorang untuk bertemu. Ia kembali melangkahkan kakinya saat maniknya menangkap seorang gadis yang melambaikan tangannya. Gadis itu terlihat sumringah melihat kehadiran cowok tadi. Hembusan napas pasrah sempat terdengar sebelum cowok itu memilih duduk di hadapan gadis yang melambaikan tangannya tadi.

"Kenapa ngajak ke sini?" Gadis itu bertanya dengan antusias, sedang yang ditanya hanya menatap malas ke arah gadis tadi.

"Gue mau kita putus," balas cowok yang ada di hadapan gadis berambut hitam legam itu.

"What? Kenapa?" Yang ditanya hanya memutar bola matanya malas, memilih mengalihkan pandangannya ke arah lain. Maniknya menyapu ruangan yang cukup sepi itu.

"Gamma! Jawab, kenapa?" Gadis itu kembali bertanya pada cowok yang sekarang tersenyum kecut.

Manik hitam itu beralih menatap gadis putih di hadapannya. "Suruh sapa lo terima gue dulu?"

"Maksud lo?" Kening gadis tadi berkerut dengan alis yang hampir tertaut sempurna.

"Lo tau alasan gue nembak lo, kan? Ya sekarang gue bosen sama lo," balas pemilik manik hitam itu dan segera bangkit. Kakinya ia langkahkan mendekati pintu keluar. Di belakang sana, gadis itu segera membereskan barangnya dan memilih mengejar cowok yang meninggalkannya begitu saja.

"Gamma!" Cowok itu masih terus melangkahkan kakinya mendekati sebuah motor hitam yang berada di area parkir sebelum sebuah tangan halus mencekal pergelangan tangannya. Mau tidak mau, ia harus berbalik dan menatap gadis tadi.

"Kenapa sih?!" Gadis itu masih saja berusaha membuat Gamma menjelaskan semuanya.

"Apanya?"

"Aargh. Gamma plis, bisa gak sih lo gak bikin gue berharap?" Pemilik manik hitam itu hanya menaikkan sebelah alisnya.

"Gue udah berusaha buat lo, kenapa lo malah gak ngehargain usaha gue? Setidaknya lo juga berusaha gak bosen sama gue,"

"Denger ya Elara, dulu gue bilang resiko ditanggung sendiri,"

"Tapi Gamma, kita udah jalanin ini lama banget. Masa lo masih gak nyaman sama gue?" Cowok itu menggeleng.

"Sedikit pun?" Cowok itu tetap menggeleng. Gadis bernama Elara itu mendengus. Air matanya sudah berada di pelupuk matanya, tapi ia berusaha kuat untuk tetap menahan bulir itu agar tak jatuh.

"Waktu tidak bisa menjadi jaminan perasaan bisa tumbuh seperti yang lo mau," cowok itu masih menatap Elara datar. Gadis itu menggigit bibir bawahnya keras sambil memejamkan matanya.

"Plis, jangan bosen dulu, jangan pergi dulu sebelum gue berhasil bikin lo nyaman sama gue," suaranya lirih, tapi cowok di hadapannya hanya tersenyum kecut mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut gadis berambut hitam itu.

"Gak bisa,"

Plaak

Sebuah tamparan mengenai pipi kiri pemilik manik hitam itu. Namun, yang ditampar hanya tersenyum sambil menatap gadis yang sekarang sudah berlari menjauhinya.

"Lebih baik," gumam cowok itu dan memilih melangkahkan kakinya mendekati motornya.

***

Cowok itu turun dari motornya setelah berhasil memarkirkannya di garasi rumah mewah itu. Kakinya ia langkahkan mendekati pintu putih yang menjadi pintu masuk rumah megah itu. Indra pendengarannya menangkap suara tawa dari dalam, membuatnya menghembuskan napas berat.

Maniknya menangkap dua insan yang sedang duduk di sofa sambil menonton acara di televisi, pemilik manik hitam itu menyunggingkan senyum nakalnya dan segera melangkahkan kakinya mendekati kedua insan tadi.

"Abang ih!! Sempit ni!" gerutu gadis berambut kecoklatan yang sekarang berada di samping cowok tadi, karena pemilik manik hitam itu baru saja meletakkan bokongnya di antara dua insan tadi, membuat keduanya harus bergeser.

"Gue mau nonton juga kali," jawabnya santai sambil memakan snack berbentuk bintang yang baru saja ia ambil dari meja.

"Bang Gamma mah gitu, sukanya ngerecokin. Ih," cowok yang tadi menonton televisi bersama gadis berambut kecoklatan itu malah ikut menyalahkan Gamma.

"Ape lo ikut-ikut aja! Main ke sini jangan cuman bawain adek gue makanan, abangnya juga!" balas Gamma seraya mengamit sebuah latte yang ada di genggaman adiknya.

"Abang ih, main nyambar aja! Kalo mau nonton tuh nonton aja, banyak cincong!" Gadis dengan netra abu-abu itu menatap tajam Gamma. Namun, yang ditatap tidak merasa gentar sedikit pun.

"Udah, Ro. Abang lo tuh lagi butuh belaian," ucap Fikar dengan nada mencibir. Pemilik manik hitam itu beralih menatap cowok yang berada di sampingnya.

"Apa lo bilang? Butuh belaian? Emang lo? Minta dibelai adek gue terus! Pulang sono! Udah tau kelas 12, masih aja ngapel," balas Gamma, sarkas. Sedang yang diajak bicara malah tertawa keras membuat Gamma menatapnya tajam.

"Buat apa dia belajar, Bang kalo udah lulusan S-2 UAM juga. Dia tuh sombong, Bang. Udah gelar master, masih aja sok sekolah SMA," kini gadis manik abu-abu itu malah membela Kakaknya.

"Iya nih, mentang-mentang master, jadi bosnya perusahaan Fabian. Seenaknya aja grepe-grepe adek gue!"

Pltuk

"Sembarang! Gue bukan cewe murahan!" Ero memukul kepala Gamma dengan tutup toples yang ada di meja. Kemudian, ia memilih bangkit dan melangkahkan kakinya.

"Cielah, ngambek mbaknya,"

"Diem lo, gue mau bikin mi! Daripada gue makan lo ntar lagi," gadis itu masih saja menjawab ledekan Gamma seraya terus melangkahkan kakinya menuju dapur.

"Gue buatin juga dong, Ro." teriak Fikar.

"Eh, emang adek gue pembantu lo apa?"

"Apaan sih Bang, mau gue buatin juga kagak lo?" tanya Ero setengah berteriak agar suaranya terdengar ke ruang keluarga.

"Gak, males. Takut gendut," balasnya dan memilih bangkit untuk menuju ke kamarnya.

"Mau ke mana, Bang?" tanya Fikar.

"Atas," balas Gamma sambil menunjuk kamarnya menggunakan dagu.

"Bang, tuh pipi kenapa merah?" Pemilik manik coklat itu kembali bertanya saat menyadari pipi kiri Kakak dari pacarnya itu terlihat lebih merah daripada bagian yang lain.

"Biasa," jawabnya dan memilih melanjutkan langkahnya.

Pemilik manik hitam itu mendekati sebuah meja berwarna coklat yang di atasnya ada sebuah laptop berwarna abu-abu. Tangannya bergerak menyalakan benda tipis itu. Hembusan napasnya kembali terdengar ketika jemarinya mulai bergerak mengetikkan deret aksara. Maniknya memejam untuk beberapa saat, menikmati angan yang kembali membawanya bernostalgia dalam hangatnya aksara yang sedang ia rangkai. Jemarinya kembali bergerak bersamaan dengan kelopak matanya yang membuka. Sudut bibirnya terangkat ketika kembali memainkan jemarinya, menekan-nekan keyboard pada laptopnya. Entahlah, ia tak tau semenjak kapan dirinya mulai menuliskan deret aksara yang bisa dibilang penuh sirat ini. Yang ia tahu, kumpulan aksara itu sudah cukup menggerogoti memori laptopnya. Ia terlalu sering menuliskan deret puisi itu. Mungkin saat hatinya melebur, ia memulai semua ini. Hanya saja, semenjak kapan hatinya melebur?

Cowok itu tersenyum kecut sesaat membaca ulang deret huruf yang ada di layar laptopnya, ia kembali menghembuskan napas, rasanya sesak sekali. Seakan ada sesuatu yang membuatnya sulit bernapas saat ini. Wajahnya berpaling dan memilih menatap pintu balkon kamarnya, menatap sinar matahari yang menyelusup melalui kaca pintu dan gorden yang terpasang di sana. Ia menghirup udara lama, dan kembali beralih pada laptopnya. Kini, ia membuka sebuah folder di mana berkas itu berisi semua deret aksara yang pernah ia tuliskan. Jika saja ia mengikuti lomba puisi, mungkin saja ia memenangkan tiap lombanya. Apalagi deret itu selalu saja bisa mengiris hati setiap pembacanya, membuat pembacanya seakan tak ingin berada di posisi penulis. Cowok itu membasahi bibirnya yang kering, ia kembali membuka file-file lama, saat ia pertama kali menuliskan deret aksara yang tersusun rapi itu.

"Parah nih tulisan," gumamnya dengan senyum kecut diakhir kalimatnya.

"Dah macem Sapardi Djoko gue. Gile," cowok itu kembali memandang laptopnya.

"Ah, jangan ah. Tidak untuk dipublikasikan, nanti yang baca pada sakit hati dong. Rumah sakit bakal penuh, kesian dokter yang urusin kewalahan gara-gara gue. Hahaha," ucapnya seraya menutup beberapa file yang tadi sempat ia buka.

"Untung kaga ada yang tau. Coba ada, dah suruh ikut lomba puisi nih gue. Bakal terkenal gue, viral sampe ngalahin aktor cakep yang lagi booming. Haha," Gamma tertawa sendiri di kamarnya, seakan ia mengejek dirinya sendiri karena terlalu kalut dalam masalahnya hingga melampiaskan semuanya melalui tulisan. Ia menutup benda pipih berwarna silver itu setelah layarnya gelap. Kini ia melangkah menuju ranjang berukuran besar itu. Tangannya sempat meraih ponsel yang ada di nakas sebelum tubuhnya ia baringkan di kasur empuk yang dibalut dengan sprai berwarna biru itu.

Manik hitam milik cowok itu menangkap beberapa pesan yang ia terima. Ia membuka pesan dari gadis yang sempat ia temui tadi

Elara
Gamma!

Cowok bajingan lo!

Gak punya perasaan!

Kenapa lo jalanin semua ini lama, kalo lo cuman bakal bilang bosen juga? Ha?

Bego lo! Cowok lemah!

Gamma tersenyum kecut membaca pesan yang ia terima, ia tak berniat membalasnya. Memang, ia cowok lemah, ia sadar akan hal itu. Lemah, ia tak bisa menyelesaikan pertikaian dalam hatinya sendiri. Tak bisa membuatnya bangkit dalam hal itu. Mungkin Elara bukan lah satu-satunya gadis yang mengatakan bahwa dirinya lemah. Tenang saja, Gamma tak akan menyangkal akan hal itu.

Suara tangis anak kecil dari kamar sebelah membuatnya meletakkan ponselnya dan memilih bergegas menuju kamar kedua orang tuanya. Ia segera membuka pintu putih yang menghalanginya. Senyumnya mengembang ketika melihat gadis kecil yang belum berumur satu tahun itu sudah duduk di kasur kecilnya di sudut ruangan.

"Ulululu Alula sudah bangun?" Tanyanya seraya mendekati gadis kecil yang sekarang tersenyum ke arah Gamma.

"Alula mau minum?" Tanyanya saat sudah berada di samping gadis mungil itu.

"Inum," balas gadis kecil itu membuat cowok pemilik manik hitam itu tersenyum. Ia mengisi gelas kecil berwarna pink di nakas dan segera memberikan pada gadis bernama Alula itu.

"Dah, Bang." Ucap Alula seraya mengembalikan gelas tadi pada Gamma. Gamma kembali tersenyum, gadis itu begitu pintar, bahkan ia sudah bisa berbicara dan mengerti perkataan orang lain di umurnya yang masih belum genap satu tahun ini. Bahkan gadis mungil itu sudah bisa berjalan walau tidak lancar.

"Alula mau tulun," Gamma segera menggendong gadis mungil itu dan membawanya keluar dari kamar kedua orang tuanya itu.

"Main di belakang ya?" Gadis mungil itu mengangguk cepat.

Gamma segera menurunkan gadis mungil itu setelah sampai di halaman belakang, gadis itu segera berjalan mendekati kelinci yang sedang diam di salah satu sisi halaman.

"Abang, ucu. Sini main," panggil Alula, membuat Gamma berjalan mendekatinya.

Sekarang cowok itu lebih banyak tertawa dan tersenyum saat bermain dengan adik barunya itu. Tangannya sering kali nakal dan menggelitiki gadis mungil itu, membuat Alula hampir saja menangis karena saking banyaknya tertawa bahkan hingga gadis itu bergulur-guluran di rumput halaman belakang rumah, membuat rumput menempel pada baju merah yang sedang ia kenakan.

"Den Gamma," panggilan itu membuat Gamma menoleh dan menghentikan aksi jahilnya.

"Iya, Bi?" Balasnya seraya menaikkan sebelah alisnya.

"Ini, Den ada paket."

"Akhirnya sampe juga. O iya, Bi. Tolong taruh di kamar Gamma aja ya," ucapnya dan kembali beralih pada Alula yang sudah berlari mengejar kelinci berwarna coklat.

"Oke, Den"
. .
. .
. Dah cukup. Wkwk. Gamma ya. Wkwkwkwk

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience