4 ~] Awal

Drama Series 319

.
. .
. .

I hate monday.

Sepertinya aku harus setuju dengan pernyataan itu. Senin pagi di awal bulan bukan perpaduan yang bagus untuk pekerjaanku. Apalagi jika harus terjebak dalam meeting panjang bersama dengan divisiku.

Mba Mona mengadakan meeting dadakan dan meminta semua divisi ekspor untuk berkumpul. Beruntung jam setengah sembilan aku sudah sampai di kantor. Dan sekarang aku sedang menggeliat, berusaha mengurangi sedikit rasa pegal di punggung.

Sejak jam 09.00 tadi mendengar Mbak Mona cuap-cuap membahas hal yang sama----tentang komplain dari salah satu buyer yang melapor kalau produk yang di kirim tidak sesuai dengan dokumen yang ada---sangat melelahkan.

Iya, kami kecolongan! Kalau sudah begini tidak bisa menyalahkan kami, karena dokumen yang kami olah sesuai dengan apa yang di kirimkan dari factory.

Mungkin di factory sedang ramai membahas hal ini juga. Dan akan di adakan inspeksi, juga pemeriksaan pada beberapa bagian.

Beruntung rapat sudah selesai berjam-jam lalu. Mbak Mona pun sudah pulang 15 menit lalu. Jadi aku bisa sedikit bersantai duduk di meja kerjaku.

Sekarang sudah menunjukan pukul 20.00 Wib. Aku menyandarkan punggung pada sandaran kursi. Pegal di punggung sudah berkurang.

Mataku melirik pada cangkir berisi kopi di depan meja. Isinya baru berkurang sedikit. Hampir saja terlupakan.

Kuraih cangkir itu. Perlahan kusesap kopi yang sudah tak lagi hangat.

Hufh! Kuhembuskan napas, berusaha membuang lelah. Kemudian kembali melirik jam di atas meja.

Aku bukan termasuk pegawai yang rajin dan doyan lembur. Pulang on time lebih baik jika memang pekerjaan bisa di kerjakan esok hari.

Tapi karena dokumen yang menumpuk di mejaku ini adalah shipment yang harus di submit ke forwader dengan deathline dua hari ke depan, aku harus menyelesaikannya segera.

Aku menengok ke arah kiri dan kanan. Kantor sudah sepi hanya menyisakan beberapa orang saja di sini, termasuk aku. Dina dan mas Irvan juga sudah pulang sejak pukul tujuh tadi. Lebih baik aku bergegas pulang sekarang.

Mungkin sekitar jam 20.15 wib saat aku menekan angka satu. Huruf K muncul dilayar kecil di atas tombol angka. Aku membungkukkan badan, letih. Menatap lantai keramik, menunggu pintu lift terbuka.

Tak lama terdengar pintu lift terbuka. Masih dengan posisi yang sama aku melirik ke depan. Berniat berdiri tegak setelah memastikan terlebih dahulu.

Namun, pandanganku langsung terpaku pada satu-satunya orang yang berdiri di dalam sana. Terutama pada tatapan menghina yang tampak di wajahnya.

Kedua mataku terbuka lebar sebelum mengerjap beberapa kali dan menyakinkan diri apa yang kulihat adalah nyata.

Lalu kepalaku reflek menunduk sedikit kemudian menggeleng pelan. Enggak. Aku pasti salah lihat. Hari ini sudah sangat buruk. Aku tidak butuh kesialan pelengkap.

Kepalaku kembali menegak, dan sosok orang itu masih berada di sana.

Ya Allah, apa Jakarta sesempit ini? Mengapa bisa bertemu di tempat seperti ini?

Dia tidak seharusnya berada di sini.

Dia ... si pria songong nan menyebalkan.

Siapa lagi? Cuma dia. Dia seorang sepertinya.

Aku jadi ingat kejadian dua minggu lalu, setelah kami bertemu di cafe itu. Aplikasi Line di handphone-ku langsung ku-delete karena terlalu kesal dengan orang ini.

Menghindar sementara lebih baik daripada nantinya malah mengeluarkan kata-kata yang menyakiti orang lain dan berujung dengan penyesalan diri. Aku tidak mau begitu.

Saat itu setelah Sania datang, tak lama Widya pamit, katanya ada janji dengan temannya di tempat lain. Entahlah, tapi kupikir itu hanya alasannya saja agar tak memperpanjang perdebatan kami.
Benar atau tidaknya aku tidak tahu. Karena pikiran negatif biasanya mulai meracuni pikiran jika sedang emosi.

"Ikut atau nggak?" Suara datarnya menyadarkanku.

Widya berdiri di dekat pintu dengan sebelah tangan yang menekan tombol agar pintu tetap terbuka.

Aku jadi ragu. Masuk tidak ya?

Tidak.

Masuk?

Tidak! Membayangkan satu lift sama dia sampai bawah membuatku semakin letih. Tapi kalau tidak masuk sekarang akan lama lagi menunggu lift.

Masuk?

Tidak. Tidak.

"Masuk?" Dia bertanya lagi.

"Ah, iya." Dan aku malah memilih masuk.

Pintu lift langsung tertutup setelah aku masuk. Detik berikutnya, penyesalan langsung datang karena ikut turun bersama dengannya . Suasana terasa canggung luar biasa.

"Lantai 35 ya," gumam Widya pelan, seolah berbicara sendiri.

"Hmm?" aku menoleh sebentar ke arahnya, bermaksud bertanya, tapi malah melihat arah pandangnya yang sibuk memperhatikan sudut lain dari lift ini.

"Jadi kamu kerja di gedung ini?" Widya tiba-tiba bertanya.

"Iya," jawabku singkat. Agak malas sebenarnya menjawab. Ck, Kenapa liftnya belum sampai juga ke lantai dasar, sih?

Sebentar ... Sebentar, kenapa dia bisa ada di gedung ini juga. Bukannya seharusnya dia ada di Ausie? Dia sendiri yang bilang kalau hanya seminggu di Jakarta.

Sigh! Kupikir setelah menghapus aplikasi Line, aku bisa tenang. Tapi malah bertemu di sini. membuat rasa kesal muncul kembali.

"Kamu ngapain di sini?" Sejujurnya, aku bertanya karena berharap dia bisa memberi informasi yang melegakan. Berharap perkiraan mengerikan di otakku saat ini tidak terealisasi.

"Rasanya gedung ini bukan milik kamu." Ada tawa kecil sebelum dia mengucapkan kalimat ini. Seolah pertanyaan yang kuberikan itu konyol.

"Rasanya itu juga bukan jawaban yang sesuai dengan pertanyaan saya," balasku.

"Kepo!" ujarnya.

Aku meliriknya sekilas, melihat senyum kecilnya dengan badan menghadap pintu. Apa dia sedang mengejek? Ya ampun, menyesal aku bertanya.

Lagian ngapain sih Di, tanya-tanya orang ini!

"Saya di pindahkan di sini sejak kemarin," katanya tanpa melihat ke arahku.

Widya tampak merogoh saku celananya untuk mengambil handphone yang berdering. Dilihatnya sekilas, kemudian ia masukan kembali ke saku.

"Nggak nanya, " ujarku malas.

"Loh, bukannya tadi nanya ya."

Telat Pak! Telat woy! Rasanya aku ingin melepas sepatu yang kupakai lalu kulempar ke mukanya.

Suara dering handphone-nya kembali terdengar. Tapi yang aku lihat, Widya hanya melihat sebentar layar itu. mengusap bagian layar dengan jarinya sebelum memasukan handphone ke saku kemeja.

Aku melirik angka yang bergerak di kanan lift, gusar. Biasanya, turun dengan lift dari lantai kantorku menuju lantai dasar hanya memerlukan waktu beberapa menit saja. Tapi kenapa ini terasa lama sekali.

Lagi ... Handphone-nya berdering. Suaranya memang tidak begitu kencang. Tapi karena isi dari kotak besi ini hanya dua orang saja, suaranya terdengar jelas.

"Halo," jawabnya pelan setelah menghela nafas.

Entah apa yang dikatakan lawan bicaranya, tapi percakapan mereka terdengar serius. Aku sendiri berusaha menulikan diri dengan berkonsentrasi pada angka-angka di lift. Tidak berminat mendengar urusan orang lain.

"Sebentar," ucapnya masih terdengar juga. "Yang, kalau makan malamnya diganti besok, mau?"

Dahiku berkerut. Oh, jadi dia sudah punya pacar.

Aku jadi penasaran seperti apa sosok pacarnya. Hebat sekali bisa betah bersama orang kaya dia. Tapi ... Mengapa harus mengaku-aku kalau aku ini pacarnya di depan wanita di cafe waktu itu?

"Yang ...."

Ih, norak banget sih nih cowok. Kayak abege yang baru jadian aja.

Badanku langsung refleks menengok dan melihat ke arahnya akibat kesal. Dan langsung mengernyit heran saat melihat dia yang ternyata sedang melihat ke arahku.

Handphone-nya di pegang agak jauh dari telinga. Layarnya masih menyala, sepertinya telepon itu masih tersambung.

Aku mendelik jutek. Merasa terganggu.

"Yang, jawab dong." Wajah datarnya mengarah padaku seolah bertanya dan menunggu jawaban.
Seringai kecil terlukis di sana. Memaksaku mencerna keadaan.

Ini ... Maksudnya?

Lagi?!!

"Yang, nggak usah ngambek gitu." Masih lanjut berakting.

Aku mendengus dengan mata melotot tak suka.

"Iya, deh, jadi makan malamnya."

Ih, nanya sendiri jawab sendiri coba!

"Maaf pak," Widya kembali menjawab handphone-nya. "Bisa dibicarakan nanti. Saya punya janji penting."

Entah apa jawaban orang di seberang sana. Pastinya Widya tertawa kecil sebelum mengangguk pelan. dilengkapi dengan gaya sok salah tingkah. "Iya, tunangan saya."

Anjir, Dion Wiyoko aja kalah akting sama ini orang. Pembohong besar!

Dia tersenyum. Mungkin lawan bicaranya mengatakan sesuatu yang lucu.

Aku sempat terpana. Ternyata senyumnya manis juga. Wajahnya yang biasa menyebalkan terlihat begitu tampan.

Stop! Tidak, tidak, Didi! Jangan terpesona!

"Iya, terima kasih atas pengertian bapak," lanjutnya. "Maaf atas ketidakprofesionalan saya," sambungnya lagi. "Baik, nanti saya diskusikan juga dengan tim saya. Sekali lagi terima kasih."

Tak lama handphone-nya sudah kembali ke dalam saku.

"Apa?" tanyanya merasa ku perhatikan.

"Terima kasih, suatu kehormatan berperan sebagai kekasih kamu sebanyak 2 kali." ujarku satiris, sinis. "Jangan-jangan besok naik pangkat jadi istri."

Dia tidak mengatakan apa-apa. Mengalihkan pandangannya ke pintu lift, tanda tak peduli.

Kedua bola mataku otomatis bergerak ke atas.

Sialan, sialan, sialan! Kurang ajar! Enggak tau diri! Enggak sopan!

Astagfirullah. Lagi-lagi aku dibuat kesal olehnya. Entah kenapa aku ngerasa dosa banget kalau ketemu orang ini karena terlalu banyak mengumpat walau dalam hati.

"Pede banget."

Ha?

Pintu lift terbuka. Widya berjalan keluar lebih dahulu, disusul aku.

"Heh, tunggu! Urusan kita belum selesai!" teriakku.

Tapi, baru beberapa langkah berjalan keluar dari lift, langkahku terhenti setelah mendengar nada dering yang terdengar samar-samar di saku rok hitam bercorak batik yang aku pakai hari ini.

Duh, siapa lagi.

Ncu ... Sahabatku.

"Assalamualaikum, iya, Jeng?" jawabku langsung setelah melihat nama Ncu dilayar. Tentunya setelah mengatur nada bicara senormal mungkin.

"Wa'alaikumsalam, lo di mana, Di?" Suara Sabrina Chairina alias Ncu terdengar kesal dari sana.

"Ini masih di lobby kantor, kenapa?" Mataku melihat sekeliling lobby. Mencari kemana keberadaan Widya.
Tapi tidak ada penampakan Widya di tempat ini.

Nyebelin banget sih tuh orang, main kabur aja.

"Laud, temen lo nih," suara Ncu yang terdengar kesal perlahan menjauh, sepertinya dia berbicara dengan seseorang di dekatnya. "Ni anak lupa beneran kayaknya."

"Halo, Di, assalamualaikum. Ini Laud." Sekarang malah berganti menjadi suara cowok dari sana.

"Wa'alaikumsalam, kenapa Ud?" Oh, ternyata couple ini toh.

"Ck, nama gue Cuma empat huruf, jangan di potong-potong seenaknya gitu sih, Di." Ujarnya protes.

Bola mataku berputar ke atas, selalu seperti ini, pasti cowok ini selalu protes mengenai namanya. Laud, pake D bukan pakai T, biasanya orang ini nggak akan bosan untuk mengingatkan penekanan namanya untuk orang yang baru dikenalnya.

"Udah, lo mau ngomong apaan sih?" potongku langsung.

"Ncu ngambek nih sama lo, kita udah di Kokas sejak satu jam yang lalu. Lo kenapa belum datang juga?"

Astagfirullah, aku benar-benar lupa perihal janji dengan mereka untuk ngumpul makan ramen dengan mereka berdua setelah jam kerja.

"Ya ampun, gue lupa. Gue kesana sekarang deh."

###

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience