Aku mendengkus kasar saat Kenzi mulai menangis lagi.
"Stop! Bisa nggak lo nggak nangis kayak gini? Gue pusing dengernya!"
Kenzi terisak di tempat tidur. Tubuh polosnya hanya dibalut selimut tebal.
"Kakak ... dedek takut."
"Dasar berandalan kecil," makiku.
Aku naik ke tempat tidur lalu menarik paksa tangannya. Bocah sebelas tahun itu mengaduh, kemudian tubuh bongsornya berguling ke sisi kiri tempat tidur.
"Duduk di sini dan hapus air mata lo!"
Kenzi menurut. Dia berhenti menangis dan menghapus air matanya.
"Sorry. Gue salah karena ninggalin lo pas tidur. Sekarang bisa, kan nggak berisik lagi. Gue ngantuk."
"Maafin dedek, ya, Kak." Dia menyentuh tanganku lalu mengusapnya pelan.
"Hm."
"Kak, dedek ngantuk. Ayo kita tidur." Mata bulat Kenzi menatapku dengan lugu.
"Oke. Tapi gue gak bisa tidur kalo lampunya nyala."
"Ya udah. Matiin aja lampunya. Tapi kakak tidurnya deket dedek, ya!"
Aku mengangguk kemudian mematikan lampu.
Dalam remang kamar, kuperhatikan wajah Kenzi yang tertimpa cahaya bulan dari jendela. Wajah polos itu, siapa sangka akan menjadi suamiku dan ini malam pertama kami. Seumur hidup, aku tak pernah berharap menikah dengan bocah, apalagi dengan bocah penakut dan cengeng seperti dia. Belum lagi usiaku yang masih muda, 17 tahun. Gila! Tidak ada satupun anak gadis zaman sekarang yang menikah muda.
Aku mengelus pipi bocah itu, menghapus sisa air matanya. Kenzi sebenarnya anak yang manis. Sebelum kami menikah, aku lebih kurang sudah mengenalnya. Dia anak periang, tapi mood-nya bisa berubah sewaktu-waktu. Dia bisa tertawa, kemudian setelahnya menangis keras. Dia bisa tenang, lalu tantrum dan menjambak rambutnya.
Kenzi anak yang normal. Tubuhnya bongsor. Orang-orang pasti menganggapnya anak SMA kalau saja mereka tak melihat tingkahnya. Matanya yang bulat benar-benar polos layaknya bocah kelas lima SD pada umumnya. Wajahnya juga ganteng dengan lesung pipi yang manis. Kulitnya putih dan, sentuhannya lembut.
Dia masih anak SD kelas lima.
Lalu, mengapa aku menikahinya?
Ini semua karena kutukan sialan itu. Kakekku percaya jika sifat dan sikapku yang jelek karena aku dikutuk oleh seorang dewa dalam kepercayaan keluarga kami. Dewa itu mengutukku berperilaku jelek, pembuat onar, pencari masalah, dan suka melakukan kekerasan di sekolah.
Hello! Dasar dewa sialan!
Dan semua orang dalam keluargaku percaya!
"Tuan, secepatnya nona Andin harus menikah dengan bocah laki-laki berhati tulus dan masih polos. Ini agar kutukan dan kesialan yang ada padanya segera menghilang," ucap seorang dukun yang didatangkan kakekku ke rumah.
"Cih! Yang benar saja," cemoohku.
"Sst. Andin! Dengarkan apa yang tuan Tong bilang. Kamu harus menikah sama bocah biar kelakuanmu berubah. Kakek malu dipanggil terus dengan gurumu."
"Tapi, Kek ...."
"Sudah." Kakek menutup mulutku. "Besok kakek akan carikan seseorang yang mau menikah denganmu."
"Terus gimana dengan sekolahku?"
"Nona tetap bisa sekolah, dan suami nona juga bisa. Kalian hanya perlu menikah dan tinggal bersama. Itu saja."
Sialan! Aku memaki dalam hati.
Dan akhirnya, aku berakhir di sini.
Aku, Andin Saviera Tamrin, gadis 17 tahun kelas XII SMA terpaksa harus menikah dengan Kenzi Aidan Nayaka, bocah lelaki 11 tahun yang masih kelas V SD.
Dasar sialan!
Halo. Cerita ini mungkin agak out of the box, tapi nggak ada salahnya kan gue nulis begini? Toh dalam kehidupan nyata ada aja orang yang masih percaya dukun dan kutukan yang bakal ilang kalo kita ngelakuin hal-hal aneh. Tenang. Ini cuma fiksi. So, diriku jangan dibully, ya! Ciao.
Share this novel