BAB 69
Tuh kan Vian itu bandel, dia tadi pagi merengek minta keluar dari rumah sakit. Katanya badannya sudah sehat, padahal sekarang ini lihat saja dia memijat pelipisnya terus menerus dari tadi.
Akhirnya memang dokter mengizinkan Vian untuk pulang, tapi harus masih beristirahat total di atas kasur. Dan menjaga asupan makanan yang masuk, Rasya juga merengek pulang, tapi kondisinya masih belum memungkinkan karena dia lebih parah dari Vian.
“Bee, udah deh istirahat dulu.” Kutatap Vian yang kini sedang menatap kelima karyawan barunya. Ryan dan Radit memang kemarin sempat menginterogasi mereka, tapi vian kini juga ingin mengulanginya lagi. Café masih tutup, dan terpaksa kami meliburkan 25 karyawan. Rani juga ikut duduk di kursi yang tertata rapi di dalam ruangan kantor milik Vian ini.
Radit, Evan, Ryan juga duduk berjejer di sebelah kananku.
“Aku tak apa-apa.” Dia mengusap jemariku yang berada di bahunya. Vian kini menatap Soni yang duduk persis di depannya.
“Soni, kata Rasya kau sering keluar masuk ke pantry? Apa tujuanmu?”
Soni menatap Vian lalu tersenyum. ”Kak, masih ingatkah denganku?” Dia tiba-tiba mengucapkan kata itu membuat Vian mengernyit. Aku pun saling bertatapan dengan Evan, Ryan dan juga Radit yang bingung dengan pertanyaan Soni.
“Ingat? Maksudmu?” Vian kini mulai memajukan wajahnya dan menatap Soni lekat yang kini nampak begitu Selanjutnya, Vian berdiri dan melangkah maju ke arah Soni, lalu tiba-tiba dia menarik kerah baju Soni membuat kami semua terkesiap. Bahkan Ryan sudah maju ingin menarik Vian.
“Kau ... kau! Jadi ini semua ulahmu, huh?” Vian seketika memukul wajah Soni dan membuat pria itu jatuh tersungkur kelantai.
“Yan!”
“Dek!”
Evan dan Ryan seketika berteriak, sedangkan aku hanya bisa membeku di tempat.
“Kau sudah membuat kakakku masuk rumah sakit jiwa, itu semua karena kau!!!“ Soni masih bisa bersuara seperti itu sebelum akhirnya dia langsung ditahan oleh Radit dan Evan. Sedangkan Vian tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri ke lantai membuatku berteriak histeris.
*****
Tubuhku masih bergetar hebat. Benar-benar aku tak menyangka semuanya akan menjadi seperti ini. Vian sempat tak sadarkan diri karena tubuhnya yang masih lemah, kini dia sedang tertidur di kamar dan kusuruh istirahat. Sedangkan Soni tadi sempat diinterogasi oleh Ryan dan setelah itu dibawa ke kantor polisi. Semuanya berjalan begitu cepat.
Soni mengaku kalau dia yang menginjeksi telur-telur itu dengan bakteri. Dia tak menyesal melakukan itu karena dia puas sudah menghancurkan nama baik café. Aku benar-benar tak menyangka kalau Soni itu adalah adik kandung Sonia.
Yup, Sonia, sahabat Vian yang satu flat dengan Vian di Glasgow dulu.
Soni bahkan menceritakannya dengan bercucuran air mata. Aku tak menyangka Sonia akhirnya menjadi gila karena depresi. Entahlah cuma dari pengakuan Soni dia bilang Sonia depresi karena cintanya ditolak oleh Vian. Padahal wanita itu baru saja kehilangan kekasihnya juga, dan dia menjadi terpuruk karena Vian juga menolak dan mengusirnya.
Maka dari itu Soni merencanakan aksi balas dendam. Vian memang tak mengenalinya karena hanya bertemu sekali dengan Soni.
“Mbak udah, semuanya udah beres, kok.” Evan kini duduk di depanku. Kuanggukan kepalaku ke arah Evan. Mama yang menggendong Kavi pun juga ikut duduk di depanku.
“Aline harus jaga kesehatan juga, loh, apa sementara
Aline ke Yogya dulu yuk biar tenang gitu.”
“Ga boleh, Fey tetep harus di sini!” Tiba-tiba Vian sudah berdiri di ambang pintu dan melangkah ke arahku. Masih dengan mukanya yang kusut itu.
“Lah, Adek juga itu pulang ke Yogya dulu, di sini biar di urusi masmu yang pengacara itu, soal kasus café.”
Mama kini menepuk-nepuk Kavi yang sudah tertidur itu.
“Ma, ini masalah café Vian, masalah juga karena Vian, jadi Vian ga boleh lari dari tanggung jawab.”
“Yan, ko kamu ga pernah bilang kalau Sonia itu gila dan masuk rumah sakit jiwa, toh?” Kini Evan ikut menatap Vian sama sepertiku kali ini yang penasaran dengan Sonia itu.
Vian menatapku dan menghela napasnya,
“Aku juga tak tahu, cuma dulu waktu aku mengusirnya dari flat, dia mengancamku untuk bunuh diri kalau aku meninggalkannya, Fey ingat, kan? Satu hari sebelum mas Ryan kecelakaan? Itu aku pulangnya terlambat ...”
Kukernyitkan dahiku. ”Ehmm iya waktu itu kau pulang malam,” jawabku mencoba mengingatnya.
“Sonia mengamuk saat kuantarkan ke asrama, lalu dia akan bunuh diri kalau aku melangkah keluar meninggalkannya, tapi saat itu aku tak memikirkan yang lain, yang ada hanya kau dan kau,” ucap Vian yang kini menatapku sendu.
Mama sudah beralih masuk ke dalam kamar, sedangkan Evan masih duduk di sampingku masih mendengarkan Vian dengan serius.
“Dan setelahnya aku tak peduli dengan Sonia. Saat itu kita dibingungkan oleh kecelakaan mas Ryan. Padahal saat itu juga aku mendapat kabar kalau Sonia juga masuk rumah sakit karena menyayat pergelangan tangannya sendiri.”
Aku terkejut mendengar fakta itu, senekat itukah Sonia melakukannya?
“Aku sempat menjenguknya, tapi hanya sebentar. Kadang aku juga merasa bersalah dengannya karena telah membuatnya begitu tapi aku tak menyangka kalau dia akhirnya dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa.”
Kuhela napas mendengar semua penuturannya. Aku tak menyangka Vian bisa menyimpan ini rapat-rapat dariku.
“Jadi Soni ini mau balas dendam gitu?” Evan kini membuat analisisnya.
“Lah, tadi Soni kan mengaku sendiri, Van. Aku juga kasihan sebenarnya, entahlah biar masku saja yang mengurusnya,” ucap Vian, lalu Evan beranjak dari duduknya.
“Coba kutanya teman-teman kita yang kenal Sonia, ya, apa benar dia gila karenamu? Kalau benar kau memang hebat, Yan,” ucap Evan sambil menjitak kepala Vian.
“Dasar semprul,” gerutu Vian membuat Evan tergelak dan berlari ke arah kamarnya.
“Bee, kok ga cerita ma aku?”
Kugeser dudukku dan mengusap rambutnya yang berantakan itu.
“Apa penting, Fey? Aku ga mau buat kamu sedih,” jawabnya dan menarikku ke dalam pelukannya. “Tapi ini kan jadi kasihan sama Sonia, ya.” Vian menghela napasnya.
“Itu artinya Sonia tak beriman, sudahlah, Fey ... aku lelah dan pusing, istirahat aja, yuk. Besok kita bicarakan lagi.”
Kutatap wajahnya yang memang masih pucat itu.
Entahlah ini baru permulaan atau pun sudah akhir, perasaanku mengatakan kasus ini masih berlanjut.
Share this novel