Keesokan paginya, aku bangun sangat terlambat.
"Kakak sudah bangun?" Suara Kenzi sayup-sayup masuk ke telingaku.
"Jam berapa sekarang?"
Kenzi melirik jam di ponselnya. "Jam sembilan, Kak."
"Apa?" Aku memekik heboh. Dengan cepat aku beranjak turun dari kasur dan melesat ke kamar mandi.
"Kak Andin," panggil bocah itu.
"APA?"
"Ini hari minggu, loh. Sekolah libur."
BRAKK!!
Kubuka pintu dengan kasar. "Kenapa baru ngomong, dodol?"
Kenzi menunduk, takut melihat mataku yang sudah melotot dari tadi. Bocah itu sudah berpakaian lengkap, tampaknya dia sudah mandi juga.
"Mau kemana lo? Dah rapi aja."
"Nanti bunda dan ayah mau ke sini, nganterin baju dedek."
"Stop ngomong pake dedek. Lo polos amat, sih? Gerah gue tau, nggak?"
Kenzi lagi-lagi menunduk. "Tapi, dedek udah kebiasaan ...."
"Dedek lagi, dedek lagi!" makiku.
Kenzi beringsut dengan kepala masih menunduk. Tangannya bergetar karena ketakutan.
"Sini lo!"
Bocah itu bergeming. Bahunya mulai ikut bergetar.
"Ke sini, nggak? Jangan nangis!" teriakku.
Kenzi mengangkat kepalanya dan perlahan mendekatiku.
"Ada yang mau gue omongin sama lo. Duduk di sini!"
Aku menggeser posisiku dan menarik tangan Kenzi untuk duduk di sebelahku.
"Kenzi, denger ya! Mulai sekarang, lo adalah suami gue. Meski kita berdua masih di bawah umur."
Aku menarik napas pelan, lalu melanjutkan, "lo tau apa aja kewajiban suami?"
Kenzi menggeleng.
"Lo harus bisa buat gue jadi lebih baik lagi. Niat gue nikah sama elo biar kelakuan bar- bar gue ini hilang. Jadi, lo harus bisa ngayomi gue selayaknya suami di luar sana. Sampe sini paham?"
"Paham, Kak."
"Karena lo masih kecil, tentu lo belom bisa kerja buat nafkahin gue. Lo juga belom bisa nyentuh gue karena lo masih bocah."
"Nyentuh kek gini, nggak boleh?" Kenzi memegang tangan kananku.
Aku menghela napas. Gini nih, malesnya kalo ngomong serius sama bocah.
"Bukan kek gini. Duh susahlah dijelasinnya. Intinya, hubungan kita ini kek kakak adik biasa. Nggak ada skinship yang berlebihan. Kita memang tidur satu ranjang, tapi tetap lo nggak boleh terlalu dekat sama gue."
Kenzi mengangguk pelan. "Oke, dedek paham."
"Bisa nggak sih, ngomongnya nggak pake dedek-dedek segala?"
"Nggak bisa. Udah kebiasaan."
"Ya udah. Serah deh." Aku mengalah.
Saat tengah berpikir akan jadi apa hidupku selanjutnya, Tiba-tiba suara aneh keluar dari perut Kenzi.
"Dedek laper, Kak," ucapnya masih sambil menunduk.
"Ya udah. Kita cari makan di bawah. Tuh, beresin tempat tidurnya."
Aku melenggang keluar, meninggalkan Kenzi yang sibuk membereskan kamar.
Menyusuri anak tangga, aku baru menyadari bahwa rumah yang kami tempati sekarang lumayan besar. Interior dan perabotannya pun sangat mewah dan lengkap. Aku bisa melihat kolam renang di samping rumah melalui kaca-kaca tinggi. Ada sebuah taman kecil penuh dengan bunga di sisi lainnya. Luar biasa! Aku bertanya-tanya, berapa uang yang dihabiskan kakek untuk membeli rumah ini?
Aku berjalan ke arah dapur. Membuka kulkas keluaran terbaru dan mengecek isinya. Ada ayam, daging, ikan, ternyata semuanya lengkap. Sayur-sayuran juga ada. Dasar kakek!
"Cih, siapa juga yang mau makan sayur?" gumamku seraya mengambil satu kotak telur dan meletakkannya di atas meja.
"Dedek mau makan sayur." Kenzi datang lalu duduk di kursi. Bocah itu tersenyum manis ke arahku.
"Ya udah. Lo aja yang makan semua sayur. Gue makan dagingnya aja."
Kenzi merengut. "Tapi dedek juga mau makan daging, Kak Andin."
Aku melotot. "Bawel, ih. Mau dimasakin apa nggak, sih?"
"Iya. Maaf." Kenzi diam.
Aku segera menghidupkan kompor, lalu memecahkan satu persatu telur ke dalam wajan yang telah aku beri sedikit minyak. Meski di rumah kakek aku tak pernah memasak, tapi sebenarnya aku sudah biasa memasak sejak seusia Kenzi. Tepatnya, setelah mama dan papaku meninggal karena kecelakaan.
"Kakak mau masak apa?" tanya Kenzi membuyarkan lamunanku.
"Eh? Oh, ini. Kita makan roti pake telur setengah mateng aja, ya. Itu di meja ada selai juga, kan?"
Kenzi melirik ke tengah meja. "Iya, Kak. Ada strawberry dan coklat. Dedek suka yang coklat."
"Oke, lo bisa olesin selainya ke roti, nggak? Gue mau yang strawberry," ujarku sambil memindahkan telur ke atas piring.
"Bisa, Kak." Kenzi berdiri, menjangkau roti dan botol selai di tengah meja. Dengan cekatan, bocah itu mengoleskan satu persatu lembaran roti dengan selai lalu meletakkannya di piring.
Aku berjalan menuju kulkas, meraih dua botol susu dan meletakkannya di samping roti yang sudah siap disantap.
"Kak, berdoa dulu sebelum makan." Kenzi menautkan tangannya di depan dada lalu berdoa.
"Cih! Alim banget lo. Cocoklah buat ngilangin kutukan gue. Itupun kalo kutukannya beneran ada." Aku ikut berdoa, memejamkan mata seraya menggumamkan nama Tuhan.
Setelah itu, kami mulai sarapan. Kenzi makan dengan lahap. Sesekali, suara serdawa keluar dari mulutnya. Dih, dasar bocah nggak sopan!
"Yang sopan dong, kalo makan sama orang," omelku.
Kenzi menutup mulutnya. "Maaf, Kak. Kelepasan."
"Maaf aja teros. Cepet habisin sarapannya. Habis ini gue mau nonton TV."
Kenzi mengangguk, lalu tiba-tiba dia berlari menjauh. Tak lama kemudian, dia kembali lagi ke meja makan.
"Ngapain?"
"Serdawa, Kak. Kata kakak nggak boleh serdawa di depan orang."
Ya elah. Aku kesal sendiri mendengarnya. Nih anak bener-bener, dah. Wajar aja, sih serdawa terus, lah badan dia aja bongsor kek badan anak SMA gitu.
"Ya udah, nggak apa-apa kalo kelepasan. Pake lari-lari segala, ntar lo jatuh."
Lagi, Kenzi hanya mengangguk sambil melanjutkan sarapannya.
Aku menatap Kenzi lekat. Memikirkan bagaimana kehidupan kami berdua mulai sekarang. Pernikahan yang kuinginkan selama ini, nyatanya buyar dan tak akan pernah terjadi. Tak akan ada gaun pernikahan mewah. Tak akan ada gedung resepsi megah. Tak akan ada sanak saudara dan teman-teman yang akan hadir merayakannya.
Justru pernikahanku yang sudah terjadi tadi malam hanyalah prosesi sakral sederhana di depan Tuhan saja. Aku hanya memakai pakaian yang kukenakan sekarang, dan bocah itu mengenakan seragam sekolahnya. Tak ada seorangpun kerabat yang hadir. Hanya ada kakek, paman Anton, bunda dan ayah Kenzi. Menyedihkan!
"Kakak, dedek sudah selesai sarapannya." Kenzi meletakkan piring kotornya di wastafel, menghidupkan keran air dan mulai mencuci.
"Ehm, piring kakak mau dicuci sekalian, nggak?" tawarnya.
Aku tersentak dari lamunanku. "Biar gue cuci sendiri."
Kenzi memandangku bingung, kemudian kembali bermain sabun di wastafel.
Aku berdiri. Memikirkan kembali pernikahanku tadi malam, sudut mataku terasa panas. Akh, bukan begini keinginanku. Sama sekali tidak begini. Tuhan, bagaimana hidupku selanjutnya?
Aku berlari masuk ke kamar, lalu menghempas pintu dengan keras.
To Be Continued.
FAST update. enjoy it. Ciao.
Share this novel