10. The Last Signs

Horror & Thriller Completed 8081

Sudah seminggu lamanya aku selalu terjaga tiap malam saat aku mencoba untuk tidur. Aku selalu mendengar suara teriakan dari dalam rumah namun saat aku mencoba untuk mencari asal suara itu, aku tidak menemukannya. Tidak jarang juga, aku selalu mendengar suara bisikan di telingaku seakan seseorang yang berbisik padaku ingin aku membunuh Brayden anakku sendiri. Aku selalu berusaha keras untuk menghiraukan bisikan-bisikan itu, namun aku tidak bisa menolaknya.

Sampai suatu saat, aku pernah mendapatkan sebuah bisikan yang menyuruhku untuk mendorong Brayden yang sedang bermain di perosotan yang cukup tinggi, dimana aku hampir melukainya untung saja ada lelaki separuh baya  yang sudah curiga dengan cepat berhasil menangkap Brayden. Semenjak kejadian itu, aku sempat mengirim Brayden kerumah ibu selama seminggu karena takut aku akan melakukan hal yang dibawah akal sadarku yang dapat melukai Brayden.

"Kau siap untuk sekolah hari ini?" tanyaku berlutut menghadapnya."Bisakah untuk kali ini kita pergi jalan-jalan saja, tanpa ada kata sekolah dan bekerja?" ucap Brayden memohon.

"Hey jagoan, ada apa?. Apa ada yang menggangmu disekolah?" tanyaku penasaran."Aku merasa mereka yang berada dikelas bukanlah diri mereka" jelas Brayden.

Aku mengerutkan dahi."Apa maksudmu?. Kenapa kau berkata seperti itu" tanyaku penasaran."Setiap kali aku menulis, mereka semua seakan sedang menatapku dengan tatapan kosong padaku" jawab Brayden.

"Itu hanya halusinasi mu saja" ucapku mencoba menenangkan."Sabtu nanti ayah janji akan membawamu pergi ke taman" ucapku lagi berjanji.

Brayden hanya menganggukkan kepalanya, aku merangkul dan menggiringnya kedalam mobil. Dalam perjalanan menuju sekolah, aku melihat wajah Brayden sangat terlihat lelah dimana bagian bawah kelopak matanya berwarna hitam begitu jelas seperti seseorang yang tidak bisa tidur tiap malamnya padahal setiap kali aku masuk ke kamarnya tiap malam, dia selalu tertidur pulas.

"Brayden, boleh ayah bertanya sesuatu padamu?".

"Tentu yah".

"Dimana kau mendapatkan kelopak mata seperti itu?" tanyaku penasaran."Aku selalu terjaga tiap malam yah".

"Huh?. Tiap kali ayah memeriksa mu di kamar, kau selalu terlihat sudah tertidur pulas" jelasku."Aku juga melihat diriku sedang tertidur yah tiap malamnya".

Mendengar perkataannya itu, aku langsung meminggirkan mobil dan berhenti di samping trotoar. Aku seakan tidak percaya akan apa yang dia katakan tadi, dan dia tidak terlihat seperti sedang mempermainkan ku.

"Aku tidak mengerti, kenapa kau berkata seperti itu?" tanyaku lagi."Aku mencoba untuk tidur tiap malam yah. Tapi ketika aku membuka mataku lagi, tidak tahu kenapa dan bagaimana, aku sudah berada tepat di samping dimana aku sedang tertidur diatas ranjang" jawab Brayden.

"Lihat ayah Brayden, apakah kau serius dengan ucapan mu itu?" tanyaku lagi meyakinkannya."Apa yang aku ucapkan ini semua benar yah, tidak ada satupun kata yang kuucapkan itu bohong" jelas Brayden.

Aku langsung menginjak pedal gas mobil, tujuan utama ku bukanlah mengantarkan Brayden ke sekolahnya lagi. Mendengar perkataan Brayden tadi membuat ku semakin khawatir dan takut, dimana semua hal ini sudah mengaitkan ke anakku Brayden. Keberadaan sosok itu didalam rumahku betul-betul membuat kami berdua terjaga tiap malam, aku sangat takut jika hal itu sampai mengganggu mental Brayden secara langsung.

"Selamat pagi Steven, sudah lama saya tidak melihat kamu datang ke gereja ini lagi semenjak kematian istrimu" ucap pendeta yang kami temui.

"Selamat pagi pendeta, maaf sebelumnya dimana ada hal yang lebih penting lagi yang harus saya katakan" ucapku."Hal apa yang anda ingin katakan Steve?" tanya pendeta.

"Bisakah kau membantuku untuk menyembuhkan anak saya" tanyaku."Huh?, bukannya anakmu Luis sudah meninggal" tanya pendeta kembali.

"Aku mengadopsinya, dan aku membutuhkan bantuanmu pendeta untuk menyembuhkan anak saya" pintaku."Dimana dia sekarang?, bawakan padaku" ucap pendeta.

"Brayden, kemari" panggilku.

Saat Brayden masih ingin melangkah keluar dari dalam mobil, pendeta itu terlihat begitu terkejut dan ketakutan. Langkahnya tertatih kebelakang, dia langsung mengucapkan doa terlihat jelas dari mulutnya. Aku merasa kebingungan pada saat itu juga, kenapa pendeta itu terlihat sangat ketakutan ketika melihat Brayden.

"Ada apa pendeta?, kenapa kau begitu terkejut melihat anak saya" ucapku."Ada sosok yang selalu ikut bersama dengan anakmu kemanapun dia melangkah" ucap pendeta terbata-bata sambil merogoh kantong jubahnya dan menghadapkan salib itu kearah Brayden.

"Aaaaaaaaahhhhh, ayah tolong aku" teriak Brayden kesakitan."Hentikan pendeta, kau menyakiti anakku" ucapku memaksa.

"Dia iblis Steve, yang mengikuti anakmu sekarang" tegas pendeta tetap mengarahkan salib kearah Brayden."Tetapi kau juga menyakiti anakku" teriakku.

"Aaaaaaaaahhhhh, ayah jauhkan salib itu, itu sangat menyakiti ku" teriak Brayden kesakitan sambil menjambak rambutnya."Kumohon, jauhkan salib itu pendeta. Hentikan sudah!" bentakku.

Aku mencoba meraih salib itu dari tangannya pendeta, aku tidak bisa melihat Brayden merintih kesakitan seperti itu. Namun, pendeta itu tetap bersikeras mengarahkan salib itu kearah Brayden.

"Aku tidak akan membiarkan kuasa gelap itu masuk" ucap pendeta."Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti anakku" teriakku sambil meraih salib itu.

Aku berhasil meraih salib itu dengan kedua tanganku, dan aku memeganginya erat pada tangan kananku. Pendeta itu menatapku tajam, dan meminta salib itu agar kuarahkan ke arah Brayden. Namun, aku menolaknya dengan keras. Jika kuarahkan, itu sama saja aku mencoba untuk menyakiti anakku.

Brayden tiba-tiba terdengar tertawa pelan sendiri sampai pada akhirnya suara tertawanya terdengar begitu keras dan suara tertawanya itu tidak terdengar seperti suara Brayden biasanya. Dia tertawa menatap kearah kami berdua, setelah berhenti tertawa, dia melihat pendeta dengan tatapan tajam.

Brayden tiba-tiba berlari kearah pendeta seakan ingin menyerangnya. Melihat Brayden tiba-tiba berlari kearah pendeta, aku langsung berdiri membelakangi pendeta dan mengarahkan salib itu kembali kearah brayden. Brayden terlempar kebelakang dan menghantam keras badan samping mobil hingga pingsan.

"Oh tidak Brayden, apa yang telah aku lakukan" ucapku menyesal."Dia akan baik-baik saja Steve, hanya saja anakmu sedang dikendalikan jiwanya oleh iblis" jelas pendeta.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?, aku tidak ingin ini semua terjadi pada keluargaku" tanyaku memohon."Bawa anakmu masuk kedalam gereja, aku akan memberitahumu" ucap pendeta itu.

Aku mengangkat Brayden, dan membaringkannya didalam gereja. Wajahnya terlihat sangat pucat dan tubuhnya terasa dingin. Aku memeluknya erat mencoba menghangatkan tubuhnya selagi pendeta mengambil sesuatu di belakang. Hanya ini salah satu cara terbaik yang bisa kulakukan yaitu menemui pendeta, barangkali bisa membantuku mengusir kuasa gelap dari dalam rumah.

"Bagaimana kondisinya?".

"Sudah lebih baik".

"Baguslah, dia hanya pingsan untuk beberapa jam. Setelah itu dia akan sadar kembali" ucap pendeta itu."Syukurlah, aku sangat khawatir".

Pendeta tersenyum padaku."Apa yang harus kulakukan pendeta?. Aku ingin iblis itu keluar dari rumahku" pintaku."Ada satu hal yang perlu kau tahu" jelas pendeta.

"Apa itu?" jawabku."Ada seseorang yang sengaja membawa iblis itu masuk kedalam rumahmu" jelas pendeta.

Aku terkejut dengan ucapan pendeta itu, aku tidak bisa menebak siapa yang tega melakukan hal itu. Aku mencoba memikirkannya tapi itu hal yang mustahil. Aku terdiam seketika dimana pendeta itu tahu bahwa aku sedang mencoba menyalahkan seseorang akan hal ini.

"Aku akan mencoba membantumu, aku akan datang kerumahmu. Dimana aku akan bersama istri saya dan kami akan mencoba yang terbaik untuk mengusir iblis itu" ucap pendeta."Terimakasih sudah mau membantu saya pendeta".

"Itu sudah kewajiban saya untuk membantu saudara-saudara saya yang diganggu oleh kuasa gelap" ucap pendeta itu."Baik pendeta, aku akan membawa Brayden pulang saja" kataku.

"Iya, silahkan saja".

"Terimakasih banyak pendeta".

"Iya sama-sama".

Sesampainya di rumah, aku membaringkan Brayden di sofa ruang keluarga. Dimana aku juga duduk disampingnya untuk menemaninya, dan aku harap untuk kali ini Brayden betul-betul tertidur bukan sedang berdiri di sekitarku sekarang. Saat sedang menemani Brayden sampai dia tersadar, ponselku tiba-tiba berbunyi dimana di layar ponsel tercetak jelas bahwa yang sedang memanggilku sekarang adalah paman.

"Halo paman, bagaimana dengan Emma?" tanyaku."Dia sudah sadar, dan sudah bisa berbicara. Namun, kita belum diberi izin oleh dokter untuk langsung menanyakan kejadian yang sebenarnya" jawab paman.

"Aku akan  kesana menjenguk Emma setelah Brayden siuman" jelasku."Ada apa dengan Brayden?, kenapa kau berkata seperti itu?" tanya paman balik.

"Tidak paman, sekarang bukan waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya" bisikku."Kenapa kau berbicara seperti berbisik?".

"Aku tidak ingin dia mendengar percakapan kita paman" kataku sambil mengawasi."Dia siapa yang kau maksudkan?".

Tidak berpikir panjang, aku langsung mematikan telepon dari paman. Aku terpaksa melakukan ini, karena aku bisa merasakan keberadaan iblis itu disekitar kami. Dia tetap mengikuti tubuh Brayden, selama jiwa Brayden masih hidup. Aku tidak akan menyerahkan Brayden ditangan iblis itu, aku harus melakukan segala cara untuk mengalahkan iblis ini.

Aku terbangun dari tidurku ketika aku mendengar suara televisi. Aku tidak sadar bahwa saat aku menjaga Brayden tadi, aku tertidur. Aku mendekati suara tersebut, dimana suara itu berasal dari kamarnya Brayden. Aku tidak bisa menjelaskan akan apa yang kulihat pada saat itu, ada seseorang sedang duduk di ranjang tepat disampingnya Brayden. Brayden memegangi tangannya yang sudah tidak terbalut oleh kulit lagi, dimana dari tangannya juga banyak sekali belatung yang sedang menggeliat sampai berjatuhan ke lantai.

"Brayden?" panggilku.

"Iya yah" sahut Brayden menatapku tersenyum.

"Siapa yang sedang kau pegang itu?" tanyaku ketakutan."Ayah bisa melihatnya?" tanyanya lagi.

"Kemari Brayden, kita akan keluar dari rumah ini sekarang juga" ucapku memaksa.

"Plaaaaaakkk" bunyi pintu kamar tertutup sendirinya.

"Brayden buka pintunya, ayah mohon padamu. Kau harus menjauhi iblis itu" teriakku sambil mengetuk pintu berulang kali.

Aku mencoba untuk mendobrak paksa pintu kamar, aku berulang kali melakukannya dengan sikutku. Aku begitu ketakutan sebenarnya namun aku harus menyelamatkan nyawa Brayden.

"Brayden!. Buka pintunya" teriakku keras sambil mendobrak pintu.

"Praaaaakk" bunyi pintu jatuh.

Setelah dobrakan ke lima, akhirnya pintu dapat ku buka paksa. Alangkah terkejutnya aku, ketika aku tidak menemukan siapa-siapa didalam kamar. Selang beberapa menit setelah aku berhasil mendobrak paksa pintu kamar Brayden, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka pelan dimana suara itu terdengar berasal dari lorong basemen.

Aku langsung berlari mencari asal suara itu, dan aku melihat pintu basemen terbuka. Aku terhenti untuk beberapa saat, aku tidak tahu akan apa yang akan terjadi jika aku turun kebawah sana. Jantungku berdebar kencang, aku mencoba untuk menarik nafas ku dalam-dalam. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk memberanikan diri untuk masuk ke dalam basemen.

Aku melangkahkan kakiku untuk menginjak anak tangga pertama basemen. Suara decitan papan tua terdengar begitu jelas saat aku menginjakkan kakiku. Aku melangkah perlahan demi perlahan ke bawah, jantungku semakin cepat berdebar rasanya. Sesampainya di bawah, aku mencoba menggapai tali untuk menghidupkan lampu basemen dimana dibawah sini begitu gelap hingga mengaharuskanku untuk meraba-raba.

Aku berhasil menggapai tali itu, dan ku menariknya ke arah bawah. Hingga akhirnya seluruh basemen terlihat sangat jelas. Aku terkejut ketika melihat Brayden tergeletak di lantai bawah basemen, dengan cekatan aku langsung mengangkat tubuhnya dan membawanya ke atas.

"Ehhmm ayah?" ucap Brayden dengan kondisinya masih setengah sadar."Brayden anakku, ayah akan membawa kita keluar dari rumah ini" ucapku sambil menggendong Brayden ke pintu keluar.

"Plaaaaaakkk" bunyi pintu tertutup dimana pada awalnya pintu masuk terbuka.

"Dia tidak akan mengijinkan mu untuk membawaku keluar dari rumah ini yah" ucap Brayden."Apa maksudmu?, rumah ini tidak aman lagi".

"Turunkan aku yah, aku bisa berdiri" pintanya. Setelah aku menurunkannya, aku memegang erat tangan Brayden.

Tiba-tiba rumah berguncang hebat seakan dilanda gempa berkekuatan besar. Aku menarik Brayden untuk berlindung dibawah meja. Semua barang-barang rumah berjatuhan ke lantai hingga pecah dan terbelah. Aku tidak bisa berfikir jernih untuk sekarang, aku tidak tahu harus melakukan apa lagi. Aku menatap wajah Brayden yang penuh ketakutan, aku tetap bersikeras untuk tidak akan kalah dari iblis itu demi menyelamatkan nyawanya Brayden.

Aku mencoba berfikir tenang dimana seisi rumah masih bergetar hebat. Aku bisa melihat jendela dapur terbuka lebar, aku langsung menarik tangan Brayden dan berlari menuju jendela tersebut. Namun, sesampainya di dapur aku berteriak histeris dimana tangan yang kupegang tadi bukanlah tangan Brayden. Aku sedang memegang tangan yang sudah terpotong tanpa diikuti tubuh saat berlari tadi. Aku langsung melepaskan tangan tersebut,  dan pada saat itu juga getaran hebat yang mengguncang seisi rumah berhenti.

"Brayden, dimana kau sayang?" teriakku keras mencoba mencari."Kumohon jangan ambil nyawa anakku" teriakku dengan nada terisak-isak sambil berlutut.

Terdengar dari luar suara mobil seperti mobil paman Sam. Paman langsung membuka pintu, dan pintu itu bisa terbuka saat paman Sam membukanya. Paman Sam langsung memelukku dan membantuku berdiri, aku begitu lelah rasanya bahkan untuk berdiri saja kakiku terasa lemas. Aku bisa melihat Emma dengan cekatan langsung berlari menuju basemen, mencoba membuka paksa pintu itu dan masuk kedalamnya. Aku, paman, dan ibu hanya bisa melihat dari kejauhan dan menunggu Emma keluar dari basemen, setelah dua menit lamanya Emma keluar dari dalam basemen sambil menggendong Brayden yang terlihat sangat lelah dan pucat.

"Apa yang sudah terjadi disini Steven?" tanya ibu dimana Emma sedang membaringkan Brayden di sofa."Aku capek bu, aku tidak tahan untuk berdiri sendiri melawan iblis itu" ucapku.

"Dia tidak akan pernah menyerah mengikuti Brayden" potong Emma."Bagaimana bisa kau disini?. Bukannya kau sedang terbaring di rumah sakit" tanyaku kebingungan.

"Kami juga tidak tahu Steven. Paman juga terkejut ketika paman dan ibumu kembali ke kamar Emma dirawat, Emma sudah berdiri dan merapikan barang-barang nya" jawab paman.

"Dan dia langsung memaksa untuk pulang, kami menolaknya. Namun, ketika dia bilang kalau kau dan Brayden sedang dalam bahaya di rumah, kami langsung menuju kerumah" jelas ibu lagi.

"Aku senang kau kembali pulang kerumah Em, aku sangat membutuhkanmu". Emma hanya tersenyum dan mengangguk.

Setelah kejadian tadi mengingatkan ku kembali akan perkataan pendeta. Aku memandang wajah mereka bertiga, yang membuat aku semakin yakin bahwa ucapan pendeta itu tidak benar. Mereka bertiga begitu sayang kepada Brayden, jikalau benar apa tujuan mereka melakukan itu pikirku. Aku membaringkan tubuhku di sofa lainnya, aku mencoba untuk mengistirahatkan pikiran dan tubuhku sejenak. Selama ada Emma dirumah, aku rasa semua akan baik-baik saja. Aku percaya dia akan membantuku mengusir iblis itu dan membantuku menyelamatkan nyawa Brayden.

~~

Hallo...  Halloo Hai pembaca Dad Who Is He??? ??. Wahhhhh, sudah publish cerita terbaru. Dua hari lagi akan publish part XI berikutnya yaa. Mimin akan publish part terbarunya setiap dua kali sehari, yeaaaay????

Maafin mimin yee hehe, mimin selama ini sedang membuat cerita terbaru yang akan segera publish.. bisa ditunggu ya.. stay tune terus yee.

Note : Thank you so much buat kalian yang senang membaca novel "Dad Who Is He ??" ini dan sudah menambahkan cerita ini ke reading list kalian di .

#salamhangat

support Mimin selalu?? tumpahkan di kolom komentar ya. *Comment Down Bellow*??.  So, jika banyak yang suka ceritanya, mimin janji akan teruskan kelanjutan ceritanya??.

Dukungan kalian sangat berarti buat Mimin^^/

Stay tune guyss
Love y All

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience