BAB 3
“Kau jelaskan padaku!” teriakku kesal ke arah Vian.
Saat ini kami sudah berada di loby hotel, keluar dari suasana pesta yang hingar-bingar itu. Vian hanya menggaruk kepalanya.
“Mbak, aku memang adiknya Ryan, Mbak ...” Ucapannya sukses membuatku membelalak terkejut.
Tubuhku membeku, mendengar ucapan Vian. Aku pamit pulang terlebih dahulu setelah tadi meminta Vian penjelasan yang sebenarnya. Di dalam mobil Nadia ini, aku kembali merenung, mencoba mencerna setiap kata-kata yang terucap dari bibir Vian.
“Linee?” Nadia mulai melirik ke arahku.
Tadi memang aku langsung menariknya begitu saja, saat dia masih asyik menikmati makanannya.
“Hmmm.” Aku malas menanggapi Nadia yang sejak dari hotel tadi hanya mengernyitkan keningnya dengan sikapku.
“Seharusnya kita tak ke acara ini, kalau membuat sahabatku yang cantik ini jadi bermuram durja.”
Aku menoleh ke arah Nadia dan kembali mencoba tersenyum.
“Kau tahu? Beruntung kita ke sini Nad, aku jadi tahu
kalau Vian itu ternyata adik kandung Ryan.” Nadia menoleh ke arahku.
“Vian yang sahabatnya Evan itu kan? Yang sejak dulu kala mengekorimu terus itu, ya?”
Aku hanya bisa mengangguk. Nadia memang tadi tak melihat Vian ada di sana, karena dia sibuk dengan makanan- makanan yang terhidang.
“Jadi?“ Dahi Nadia berkerut lagi.
Aku berdecak dan menunjuk jalanan.
“Fokus Nad, kamu ini, aku masih belum menikah ya. Jangan buat mobil ini mencium apapun,” gerutuku saat melihatnya tak fokus ke jalan. Kudengar tawanya berderai.
“Kau meragukan keahlian menyetir, Ibu Komandan, huh?” timpalnya dengan sombong.
Aku hanya menggelengkan kepalaku, mengingat kebiasaan dia yang memang selalu merasa bisa mengendarai mobil dengan mata tertutup.
“Ibu komandan juga manusia kali, Nad, bisa mati juga,” ucapku membuat Nadia berdecak kesal kali ini ke arahku.
“Cihhh dasar bawel. Iya tahu, Line, kamu sedang patah hati tapi jangan bawa-bawa aku dong. Kalau ingin meninggalkan dunia fana ini, amit-amit deh ya masih ingin merasakan orgasme ini, Line,” ucapnya sambil mengerucutkan bibirnya.
Aku tergelak mendengar candaannya.
“Dasar ibu komandan mesum,” ejekku.
Nadia hanya menjulurkan lidahnya. Dan aku kembali menghembuskan napas yang entah kenapa sedari tadi terasa sesak. Kualihkan pandanganku ke arah jalanan. Senja sudah menjelang di ufuk sana. Semilir angin di musim hujan ini benar-benar membuatku damai.
*****
Semalam setelah Nadia mengantarkanku pulang, aku langsung mengurung diri di dalam kamar. Berendam air hangat dan setelah itu menenggelamkan pikiran di antara novel-novel Harlequeen koleksiku. Suasana hati sudah lebih membaik pagi ini, saat aku mengambil air wudhu untuk sholat subuh. Kucoba mengikuti alur kehidupanku lagi. Semalam, aku sudah membuat keputusan. Menghindari Vian, yang notabene masih berhubungan dengan Ryan. Aku berjanji akan melupakan Ryan mulai malam tadi, tapi kalau
Vian masih saja berputar di sekelilingku, itu membuatku gagal move on. Sama saja dengan keluar dari kandang singa, masuk ke mulut buaya.
Kurapikan seragam kerjaku dan menenteng tas selempangku.
“Line ... pagi sekali?” Sambut bunda ketika melihatku melangkah ke dapur. Bunda sedang sibuk menuangkan adonan ke dalam loyang.
“Hmm, Aline mau berangkat pagi, agar tak telat lagi, Bun.” Kuteguk jus jeruk yang biasa disediakan Bunda di meja makan.
“Nanti pulang sore kan, ya?” Bunda menatapku meminta jawaban.
“Iya, Bun, Aline cuma satu shift pagi ini, kok.” Kulihat bunda mengulas senyumnya.
“Baguslah, jadi nanti kamu langsung pulang, ya?” ucap bunda lagi.
Alisku bertaut mendengarnya. Tak biasanya bunda menanyakan kepulanganku.
“Memang Bunda ada pesanan kue banyak ya,? Terus minta aline bantu?”Kulihat Bunda menggeleng.
“Ada tamu sore ini, kamu jangan terlambat pulang, ya!” ucapnya lagi penuh penekanan.
“Iya iya, Bunda sayang, aku kan bukan Evan yang selalu pulang telat karena ngapel dulu ke rumah si Putri,” ucapku.
Dan tiba-tiba kurasakan rambutku diacak dari belakang.
“Beeeehh mbak Aline ini selalu menjadikan Evan black sheep ...,” ucapnya lucu sambil mencomot roti tawar.
“Bunda, Evan nih ga sopan.“
Kulihat Bunda hanya memperingati Evan dengan menyentil hidungnya. Kurapikan rambutku lagi, kebiasaan Evan yang selalu membuatku kesal. Evan menjulurkan lidahnya ke arahku.
“Heran ya, Van, kamu ini sudah mau jadi calon dokter, kelakuanmu masih kayak anak ABG aja. Mana itu rambut pakai diwarnai ungu kayak gitu, janda, ya?” Ucapanku terang saja membuat Evan tersedak roti tawarnya dan buru-buru meneguk air di depannya.
“Yee mbak Aline ini, mahal ini, Mbak, malah dikatain
janda, oleh-oleh dari Amerika, kakaknya Vian yang ngasih.” Deg deg ...
Nama itu lagi sukses membuat kinerja jantungku terganggu.
“Kakak? Vian?” ulangku membeo.
Evan mengangguk.
“Vian semalam cerita, kalau mbak Aline akhirnya tahu kalau dia adiknya mas Ryan, ya?” Bunda langsung menghentikan kegiatannya yang sedang mengaduk adonan kue.
Bunda memang sudah tahu ceritaku tentang Ryan, aku memang layaknya berbagi cerita dengan Bunda tak ada yang aku tutupi selama ini.
“Kamu sudah tahu, Line?” Bunda kini menatapku. Aku mengangguk.
“Jadi Bunda dan Evan selama ini tahu kalau Vian itu adiknya Ryan?” tanyaku agak kesal.
Karena selama ini aku yang tak tahu sendiri siapa itu Vian. Kulihat Bunda dan Evan mengangguk. Belum sempat aku megutarakan isi hatiku lagi, tiba-tiba suara klakson mobil mengagetkanku. Nadia, yang pagi ini menjemputku pasti sudah bertengger di depan rumah. Aku bergegas bangun dari tempat duduk, kucium bunda dan kujitak kepala Evan sebelum akhirnya aku pamit.
“Jangan lupa, Sayang, langsung pulang, ya,” teriakan bunda terdengar jelas saat aku mulai masuk ke dalam mobil Nadia.
“Morning, Ibu Komandan,” sapaku saat Nadia membukakan pintu mobil.
Nadia mencibir. “Eh, aku baik hati nih ya, jemput karyawanku yang lagi galau,” ucapnya sambil mengulas senyum.
Nadia memang jarang menjemputku. Kebetulan sajapagi ini ada urusan di hotel.
“Baik hati dan tidak sombong deh, ya, Ibu Komandan,“ ucapku sambil mencolek pipinya.
“Eh Line, daripada galau-galauan karena ditinggal nikah nih mending kamu aku kenalin sama temenku aja ya, Line” ucapnya antusias.
Nah loh, mulai lagi deh kumat, jadi biro jodoh, tak
bisa dimungkiri Nadia ini yang selalu saja getol menjodohjodohkanku dengan teman-temannya sesama polisi. Bahkan dulu adik tingkatnya ada juga yang dikenalin ke aku. Tapi entah kenapa itu semuanya tak bisa menggoyahkan hatiku yang memang selama ini digenggam erat oleh Ryan. Tuh kan kenapa jadi balik lagi ke Ryan.
Move on, Line, move on ...
“Ya Line, ya, nanti sore deh aku jemput lagi temani ke Twenty One kita nonton, kamu sama temanku dan aku biasa sama Rio gimana?”
Aku menghela napas.
“Situ enak ya sama pacar, lha sini mau dikacangin sama temen situ? Enggak deh ya, Nad, cukup kencan butanya, lagipula nanti bunda suruh aku pulang awal katanya ada tamu gitu di rumah.”
“Ah ... Aline mah ga asyik,” gerutu Nadia.
Aku hanya menimpalinya dengan senyum.
*****
“Rosaline.” Suara berwibawa milik pak Christian manajerku langsung membuatku mendongakkan kepala dari laporan yang baru saja kumasukkan ke komputer.
“Kenapa belum pulang, Aline, ini kan sudah bukan shiftmu?” tanyanya sambil bersandar di meja resepsionis.
Pria berperawakan tinggi bertampang bule itu kini tersenyum ke arahku.
“Sebentar lagi, Pak. Mila baru ke toilet, nanti saya segera pulang,“ ucapku sopan.
“Itu Mila sudah datang, kutunggu di pintu depan, ya!” Dia menenteng tas kerjanya dan berlalu begitu saja.
Manajer satu itu, dari pertama saat Nadia membawaku ke hadapannya juga ini sudah menempel terus denganku. Usia kami memang seumuran karena Christian ini sepupu Nadia yang diberi tanggung jawab oleh papanya Nadia untuk mengelola hotel milik Nadia ini. Sikapnya yang ramah dan charming ini memang menjadi idola di kalangan karyawan. Bahkan bu Nindi yang notabene Supervisor area di sini dibuat tergila-gila dengan sosok Christian ini. Tapi entahlah, Christian tak mudah dekat dengan seseorang. Menurut Nadia, dia ditinggal pergi cinta masa kecilnya dulu di London ketika Christian menuntut ilmu di sana. Entah itu wanita meninggal atau pergi begitu saja dari kehidupan Christian, Nadia juga tak tahu, yang pasti Christian jadi menutup diri dari wanita. Tapi denganku dia selalu menjadi teman yang baik, bahkan bisa dibilang sahabat meski dia atasanku di sini.
Kurapikan tasku dan mulai pamitan dengan Mila .
“Cieee, yang mau diantar pulang si bos lagi,“ goda Mila yang langsung kucubit pipinya yang chubby itu. Kulihat Mila mengusap-usap pipinya.
“Alineeeeeee,” gerutunya yang langsung kusambut dengan juluran di lidah .
“Dah ya Mil, aku pulang.”
“Yeee, Aline ... jangan lupa fotoin pak Chris, ya, buat koleksiku,” celetuknya.
Aku terkekeh, sudah berapa kali dia memaksaku untuk mengambil fotonya Christian.
*****
“Ai,“ sapa Tian yang sudah mencegatku dengan mobil sportnya, ketika kutapakkan kaki di pelataran parkir hotel.
“Hust, masih di area hotel, panggilnya jangan Ai, Ai, nanti aku disangka benar-benar resepsionis yang merayu bapak manajer.“ Tawa Christian berderai.
“Iya-iya, yuk masuk aku mau mengajakmu makan malam. Sudah lama kan, ya, kita tak makan gudegnya mbok Yum?” ucapnya.
Aku memang sering pergi berdua dengan Tian hanya untuk makan atau sekadar menghabiskan waktu bersama. Bagiku Tian itu memang teman yang baik.
“Ehmm maaf ya, aku disuruh pulang awal sama Bunda,” ucapku menyesal.
Tian memberengut lucu. Persis kayak Nadia kalau sedang merajuk.
Tiin!! Tiin!!
Tiba-tiba suara klakson mobil mengagetkanku dan juga Tian. Seseorang yang sangat kukenal keluar dari mobil.
“Mbak Mawar,” teriak Vian yang sore ini tampak sangat tampan dengan kemeja batiknya.
Aku mengerutkan keningku. Tian menyenggol lenganku.
“Mau apa itu berondong ke sini lagi? belum menyerah juga dia?” Tiba-tiba kurasakan lengan Tian merengkuhku lebih mendekat ke arahnya.
Kulihat Vian menatap kami tajam dan melangkah ke arahku.
“Mbak disuruh pulang segera sama Bunda,” ucapnya dingin sambil menatap Tian dengan tatapan tajam. Aku melepas rengkuhan tangan Tian.
“Iya, ini juga mau pulang, tapi diantar Tian,” ucapku ke arah Christian mencoba memberinya isyarat kalau aku tak mau pulang dengan Vian.
Aku sudah bertekad akan menjauhi Vian. Christian yang mengerti isyaratku langsung membukakan pintu mobil. Tapi tiba-tiba Vian menarik tanganku.
“Mbak, Bunda menelepon,” ucapnya sambil memberikan ponselnya kepadaku.
Aku menerimanya dan menempelkan di telinga.
“Line, cepat pulang, ya, kami menunggumu, dan pulang bersama Vian ya, Sayang,” ucap bunda di ujung sana. “Iya Bunda,” jawabku akhirnya. Dan memberikan ponsel Vian kepadanya lagi.
“Maaf ya, aku disuruh pulang dengan Vian.”
Christian menghela napasnya. Tapi kemudian membisikkan sesuatu. “Jangan terpesona dengan berondong itu loh, Line, lebih baik aku yang tampan ini.” Guraunya lalu mengacak rambutku dan segera masuk ke dalam mobil tapi dia menatap Vian dengan mengejek.
“Jaga gadisku, ya, Adik Kecil,” ucapnya yang langsung kutatap dengan senyuman.
Dia ini memang selalu begitu, kalau bertemu Vian. Kulihat Vian nampak menggeretakkan gerahamnya. Tapi tanpa membalas, dia langsung menarikku menuju mobilnya. Membukakan pintu mobil, dan berputar menuju kemudi.
Tak seperti biasa, Vian yang selalu cerewet ini kali ini diam di sebelahku. Aku pun juga masih kesal dengannya karena kebohongannya. Malam itu saat resepsi, aku memang langsung pergi meninggalkan Vian setelah dia mengatakan yang sebenarnya—bahwa dia adik kandung Ryan. Tapi kecanggungan ini membuatku tak nyaman.
“Yan.”
“Mbak.” Tiba-tiba kami bersuara bersamaan. Vian tersenyum.
“Mbak duluan,” ucapnya.
Sempat terbersit kekaguman saat menyadari ia terlihat dewasa dalam balutan kemeja batik warna biru laut itu.
“Ehm kamu mau kondangan?” tanyaku membuatnya terkekeh.
“Memangnya aku seperti orang mau kondangan?” ucapnya membeo.
“Itu, kemejamu, tumben pakai batik?”
Vian terdiam dan fokus lagi ke jalanan. Tapi kemudian berdehem dan menoleh ke arahku. Kenapa jantungku berdegup begini ya, saat Vian menatapku tajam.
“Maafin Vian, ya, Mbak.” Aku mengernyit.
“Maaf untuk apa? Kau pura-pura tak kenal dengan Ryan?” ucapku dingin.
Helaan napasnya terdengar.
“Andai mbak Aline itu bukan teman mas Ryan, dan juga andai kita bertemu terlebih dahulu sebelum mas Ryan, apa mbak Aline akan memberikan hatinya kepada Vian?”
Deg deg deg. Aku mencoba menarik napas dan menghembuskannya perlahan.
“Yan ..., aku lelah kamu bahas ini terus, sudah aku bilang bukan saja karena Ryan aku menolakmu, tapi lebih ke ....”
“Umur? Usia?” Vian memotong ucapanku.
“Itu kamu sudah tahu, Yan”
“Akan kubuktikan kalau usia itu tak menjadi alasan kita bersatu.“ Lalu dia terdiam.
Aku hanya kembali mendesah tak tahu harus mengatakan apa lagi.
Beberapa saat kemudian mobil vian sudah berhenti di halaman rumahku. Aku mengernyit melihat suasana ramai di rumah. Tamu siapakah ini? Vian membukakan pintu untukku, dan aku segera melangkah keluar. Bunda sudah menyambutku di depan pintu. Ada paman dan tanteku dari pihak almarhum ayah ada di ruang tamu dan juga banyak orang berkumpul di dalam ruma yang membuatku semakin bertanya-tanya.
“Line ...” Bunda memelukku.
Vian mencium tangan bunda, kebiasaan sopannya selalu jika bertemu bunda. Aku masih setengah sadar saat bunda menarikku untuk masuk dan duduk di salah satu sofa di sebelah Evan yang kulihat dia tersenyum-senyum kecil melihatku.
“Van, ada apa sih ini?” ucapku bingung ke arah Evan.
Evan hanya mengangkat bahunya. Tapi kemudian ketika kuedarkan pandanganku ke sekeliling, ada wajahwajah yang kukenal. Bukankah itu, kedua orang tua Vian?
Aku masih mengingatnya dengan jelas. Dan kulihat Vian di sebelah mereka. dengan mengerling genit ke arahku. Hatiku mulai tak enak, apalagi saat kudengar pamanku membuka suara.
“Saudara Vian Atmawijaya, Anda siap, kan?” tanyanya ke arah Vian yang langsung dijawab dengan anggukan kepalanya. Beberapa saat kemudian, Vian maju dan duduk di hadapanku. Paman memegang tangan Vian.
Jantungku mulai berdegup kencang, Jangan bilang ini ...
Share this novel