Bab 7

Romance Completed 25593

BAB 7

Entah berapa lama aku menangis, mulutku terasa kering dan mataku terasa berat karena lama menangis. Setelah ungkapan perasaannya Ryan pamit pulang, aku pun langsung masuk ke dalam kamar meski dengan tatapan heran Evan dan juga Bunda.

Sudah 2 jam lebih aku meringkuk di atas kasur. Meratapi nasib, huh? Kenapa pengakuan Ryan sangat dan sangat terlambat. Tak bisakah kuminta Doraemon untuk memundurkan waktu kesepuluh tahun silam. Aku kembali mendesah.

Tiba-tiba suara Justine Timberleke Miror menyeruak di telingaku. Kulirik ponsel di atas nakas dan segera kuangkat. Nomor asing?

Kukernyitkan kening saat melihat nomor yang kini meneleponku itu. Dengan ragu aku memencet tombol hijau di ponsel.

‘Assalammualaikum,” sapaku lirih.

“Waalaikumsalam, Sayang, akhirnya ... belum tidur jam segini? Pasti di situ sudah pukul 12 malam, ya?“ Aku terhenyak mendengar suara itu.

“Vian?” Antara kaget dan juga senang mendengar suara yang selama 5 hari ini kutunggu.

“Yang, kenapa suaranya serak seperti habis menangis?” Lalu sesaat kemudian kudengar suara bersin di ujung sana.

“Aku, ehmm tak apa-apa, hanya melihat sinetron nih jadi ikut menangis,“ bohongku.

Kudengar suara bersin lagi di ujung sana, dan kali ini disertai suara batuk-batuk.

“Kamu sakit?” Kudengar helaan napasnya sebelum akhirnya menjawab.

“Cuaca di sini sangat tak menentu, kadang sehari panas terik tapi kemudian hujan badai dan suhunya sangat dingin, aku masih belum bisa menyesuaikan diri. Maaf ya, Sayang, suamimu ini tak memberimu kabar, aku benarbenar dibuat sibuk 5 hari ini. Pindah ke flat yang kubeli di dekat kampus, dan juga sibuk ujian tes bahasa inggris sebagai syarat mahasiswa di sini, dan jadwal kuliah yang sangat padat. Sampai di flat pasti aku sudah langsung tertidur, padahal ingin sekali menyapa istriku ini, Sayang, aku kangen,” ucapnya manja membuatku tersenyum.

Kangen memang dengan rengekan manjanya selama ini jika sedang merajuk denganku. Bukan apa-apa tapi Vian sudah setahun lebih mendekatiku dengan semua tingkahnya yang konyol dan juga nekat itu.

‘Manja!” Kudengar kekehannya di ujung sana tapi kemudian dia terbatuk dan bersin lagi.

Aku jadi merasa iba mendengarnya pasti dia sangat tersiksa di negeri orang sendiri dan sedang sakit.

“Yan, kau sudah periksa ke dokter?” tanyaku tak menyembunyikan kekhawatiranku lagi.

Tawanya berderai, meski diiringi bersin dan juga batuknya.

“Aiihhhhh Sayang, khawatir ya denganku? Ahhh senangnya ...,” ucapnya riang membuatku memutar bola mataku.

“Heh, sakit masih bisa tertawa,” ucapku.

Hening sejenak. Hanya suara gemerisik di ujung sana. Kutatap layar ponselku, tapi masih terhubung. “Yan.”

Hening.

“Vian ....”

Masih hening.

“Vian Atmawijaya,” panggilku lagi mulai khawatir.

“Sorry, Yang, aku habis ... hueeeexxxxx,” Kudengar seperti suara muntah di ujung sana. Hatiku mulai tak tenang. ‘Yan, kau kenapa?” Aku panik, dan kembali hening .

Entah berapa lama aku masih menunggu jawaban darinya, hatiku mulai tak tenang, benar-benar khawatir dengan keadaannya.

“Hallo?” Tiba-tiba terdengar suara wanita di ujung sana.

Aku mengernyit, heran. ”Yes ..Vian? “ ucapku

bingung dan panik.

“Ini keluarganya Vian, ya? Maaf Vian baru saja dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya yang sangat lemah,” ucap wanita di ujung sana dengan bahasa indonesia yang fasih.

“Ini ... siapa?” tanyaku penasaran.

Jantungku berdegup kencang sekarang.

“Perkenalkan Sonia, teman satu flatnya Vian, ini pasti momy-nya Vian, ya? Salam kenal, Tante,” ucapnya yang membuatku langsung menjatuhkan ponsel karena terkejut.

Semalam entah aku langsung tertidur karena lelah atau karena tak sadar. Antara khawatir dan juga kesal. Khawatir dengan keadaan Vian yang masuk rumah sakit, tapi kesal dengan Vian yang dengan seenaknya sendiri berteman satu flat dengan wanita yang memanggilku tante itu.

Aku bangun dari kasur dan bertekad harus melakukan sesuatu.

Kudial nomor telepon orang yang bisa menolongku.

“Tian ...,” sapaku saat suara di ujung sana menjawabnya.

“Ai,” pekik Tian kaget mendengar aku meneleponnya.

“Christian, please temani aku ke Skotlandia hari ini juga, kalau bisa pesankan tiket juga dan ehmmm pinjami aku uang untuk ke sana please,“ cecarku tak sabar.

“Hei Hei ... rileks Ai, pelan-pelan,” potong Tian di ujung sana.

Kuhela napas, dan coba menghirup udara di sekitarku,

“Vian sakit dan aku ingin ke sana.”

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience