BAB 68
VIAN POV
Kepalaku masih terasa pening, tapi tubuhku sudah tak selemas kemarin. Hari ini Fey belum menjengukku juga, karena kemarin setelah Evan meminta Fey untuk pulang karena ada polisi yang ingin meminta keterangan pemilik café, akhirnya Fey pamit pulang. Sebenarnya tak tega membuat Fey menangani semua ini sendiri. Ah, kenapa aku harus sakit???
“Adeeekkk!” Suara mama menginterupsi dari lamunanku.
Di ambang pintu, mama dan papa dan juga om dewa dan Tante Rani sudah di sana.
Kulihat om Dewa dan Tante Rani langsung mendekat ke ranjang Rasya. Rasya masih tertidur pulas, kasian dia sepertinya sakitnya lebih parah dariku.
“Duh kenapa bisa begini? Mama ditelpon masmu kemarin.” Mama langsung menghambur ke arahku dan memelukku.
“Dek, kenapa bisa ada yang menyabotase café?” Suara berat papa kini membuatku mengalihkan pandanganku dari mama.
“Tak tahu, Pa, Vian juga tak tahu.”
“Kata masmu juga Aline hamil, ya? Duh, kasihan dia pasti ikut tertekan memikirkan masalah ini,” ujar mama sembari meletakkan semua makanan yang dibawanya di atas nakas.
“Huum Ma, makanya Vian pengen cepet sembuh tak tega membiarkan Fey sendirian menghadapi ini semua.”
Sebuah tepukan mendarat di bahuku. “Yang kuat, Dek, ini ujian buat kalian, Papa sama Mama di sini cuma bantu menguatkan kalian,” ucap papa yang bijak selalu membuat hatiku adem.
“Yan, dari dulu kan Om selalu bilang, jangan sembarangan menerima orang untuk café.” Om Dewa melangkah ke arahku.
Aku pun mengangguk mengiyakan.
”Sebenarnya kemarin itu menerima Rani juga atas rekomendasi Radit, Om. Aku kan percaya sama Radit, tapi entahlah ini si Rani juga sumpah-sumpah tak meracuni Tiramissunya.”
Om Dewa bersedekap di depanku, ”Semua karyawan kamu yang mencurigakan sudah diperiksa?”
Kukernyitkan keningku dan mengangkat bahu.
“Lah kan semua karyawan juga dari café Solo, Om, semua juga udah dapat dipercaya.”
“Tapi kata Radit ada penambahan karyawan beberapa hari kemarin,” celetuk om Dewa lagi membuatku menepuk keningku. Benar saja, beberapa bulan silam aku memang menambah orang karena café semakin ramai. Duh, kenapa aku bisa lupa atas fakta ini?
*****
Kecupan hangat di pipi membuatku terkejut. Tadi setelah diperiksa dokter, dan meminum obat, aku pun terlelap. Papa dan om Dewa pulang ke rumah untuk membantu menyelidiki kasus ini. Om Dewa akan menginterogasi 5 karyawan yang baru, sedangkan papa akan membantu membersihkan nama café, karena otomatis caféku untuk sementara tutup.
Mama dan Tante Rani yang menjaga kami. Rasya tadi masih sempat muntah lagi tapi sudah berkurang daripada kemarin. Sedangkan tubuhku masih terasa lemas, untuk digerakkan.
“Sayang.” Saat kubuka mataku kulihat Fey sudah tersenyum di sampingku.
Wajahnya terlihat pucat dan lelah. Aku benar-benar tak tega melihatnya.
“Masih pusing, Bee? Apa mual?” tanya Fey sambil menata baju ke dalam lemari kecil yang ada di sebelah ranjang.
Kugelengkan kepala. ”Cuma masih lemas,” jawabku sambil tersenyum melihatnya yang merapikan selimutku lalu mengambil sesuatu dari atas nakas.
“Nih, kubuatkan bubur sumsum kesukaanmu, ini kan halus banget jadi baik untuk pencernaanmu, tuh Rasya aja doyan.” Fey menunjuk Rasya yang disuapin oleh Tante Rani.
Lalu dia menyendok bubur itu dan menyuapkan ke mulutku. Kuterima dan kucoba kutelan tapi semuanya masih terasa pahit untuk lidahku.
“Fey udah, masih pahit.”
Fey menghela napasnya dan meletakkan bubur di atas nakas kembali.
“Ya udah, mimik jusnya, nih, jus apel biar Bee kuat, cepet sembuh.” Dia mengulurkan gelasnya ke arahku. Tapi hanya kusesap sedikit dan mendorongnya.
“Masih pahit, Fey.”
Kulihat Fey mengerucutkan bibirnya pertanda kalau dia kesal. Tapi kemudian kutarik tangannya dan kududukkan tubuhnya di sampingku.
“Udah aku udah sehat kok, cuma tinggal ngilangin rasa lemasnya aja, Fey ini yang harus jaga kesehatan, kemarin gimana?” Kuusap rambut yang berjatuhan di pelipisnya. Istriku ini makin cantik dengan rambut yang tak beraturan begini.
“Ehm entahlah, sepertinya memang bukan Rani, Bee. Dia bahkan kemarin sempet nangis-nangis dan mengatakan dia tak mungkin berbuat begitu dengan makanan. Memang sepertinya bukan dia, tapi aku juga tak tahu siapa yang berani memberikan bakteri itu. Semuanya sudah diperiksa ke laboratorium, dan yang terinfeksi itu memang dari telurnya dan susunya. Tapi kata Radit dan Rani itu mereka menggunakan telur dan susu yang biasa kugunakan, semuanya sudah diperiksa dan memang hanya telur dan susu yang terdekteksi ada bakteri E. Collinya ... Polisi masih mengusut kasus ini, dan sementara kita gunakan tabungan Kavi dan juga si kecil untuk mengganti rugi semuanya dulu, ya? Tak apa-apa kan, Bee?”
Kuhela napas dan kini mengusap pipinya dengan sayang.
“Biarlah, uang masih bisa dicari, asalkan semuanya bisa kembali normal, café bisa beroperasi lagi, dan juga aku bisa kembali sehat.”
Fey tiba-tiba menyandarkan kepalanya di dadaku. Kuusap-usap punggungnya. Beberapa saat kemudian kurasakan napasnya mulai teratur dan ketika kutundukkan wajahku, Fey sudah tertidur pulas.
Kuhela tubuhnya untuk berbaring di sampingku, dia kelelahan kurasa.
“Mami kecapekan, Kak, kasian,” celetukan Rasya dari seberang membuatku mengangguk mengiyakan.
“Jaga lho, Yan, itu Aline lagi hamil muda jangan kebanyakan pikiran.“ Kali ini Tante Rani ikut menasehatiku.
“Iya Tan, kalau bisa pun Fey mau kuungsikan dulu ke Yogya, selama kasus ini belum selesai, kasian dia.”
“Kak, kalau bukan Rani, terus siapa ya, Kak?” Rasya kali ini menatapku dengan serius.
“Sya, kamu amati ga ada yang mencurigakan sama 5 karyawan baru?”
“Ehmm siapa, ya, Aldo, Bagus, Hari, Tito, sama Soni, semuanya ga ada yang mencurigakan deh, Kak. Cuma beberapa hari ini sebelum kasus ini, sih, Rasya sering liat Soni itu keluar masuk pantry, kupikir dia disuruh kak Radit mengambil bahan makanan gitu atau apa,” celetukan Rasya membuatku seketika mengernyitkan keningku.
“Maksudmu itu Soni keluar masuk pantry dengan bebas?”
Rasya mengangguk sambil mengunyah apel yang dikupaskan Tante Rani.
Ini sepertinya ada yang tak wajar, pantry itu area tertutup untuk karyawan. Hanya aku, Radit dan juga Fey yang bisa bebas masuk ke sana.
Segera kuambil ponselku yang terletak di atas nakas, dan kudial nomor masku.
Beberapa saat kemudian suara masku terdengar di ujung sana.
“Halo, Dek, ada apa?”
“Mas bisa kumpulkan kelima karyawan baru, minta Radit membantu dan interogasi mereka. Sepertinya ada indikasi karyawan yang bernama Soni itu keluar masuk pantry sebelum kasus ini terjadi, Rasya saksinya.”
“Owh, ok ok ... aku kumpulkan segera, nanti aku kabari lagi,” jawab mas Ryan lalu segera kumatikan ponselku.
“Deekkk, alooooww Daddy.” Tiba-tiba Mama sudah masuk ke dalam kamar dengan menggendong Kavi membuatku tersenyum.
“Ehh sini, Ma, Daddy kangen sama Kavi.” Tapi mama menggelengkan kepalanya.
“Tak boleh cukup dilihat aja, kasian Kavi masih kecil, itu Aline biarin bobok, ya, kasian dia kecapean. Bilang sama Aline Kavi Mama ajak pulang, ya. Dia udah ngantuk, nih.” Mama membenarkan gendongannya dan maju ke arahku.
Segera kuciumi pipi Kavi yang gembil itu. Dia menghentak-hentakkan kakinya melihatku. Ah lucunya, maaf, ya, Kavi jadi kurang kasih sayang dariku dan Fey.
Saat akan kubangunkan Fey, mama mencegahku.
”Udah ga usah kasian, kata masmu kemarin Aline sampai larut malam baru tidur. Biar butuh istirahat dia. Mama pulang, ya, papa udah jemput di depan. Jangan lupa diminum itu obatnya, dan Aline suruh minum vitaminnya juga, ya.” Mama melangkah menuju pintu lalu berpamitan kepada Tante Rani dan Rasya.
Kuhela napas dan kuusap rambut Fey yang masih tertidur pulas itu.
“Be strong, ya, Fey ...”
Share this novel