Awal Bertemu

Drama Series 3289

"Apa benar, yang berada di hadapanku ini Ibu Widuri? Kalau ia , tentunya Ibu akan melihat ke belakang."

Pesanku lewat ponsel seluler dengan harap-harap cemas karena takut salah.

Suara pesan itu terdengar di ponsel Widuri, ia membukanya. Tetapi tidak membalas, melainkan langsung membalikan badannya ke belakang. Sontak jantungku berdegup kencang.

'Wow, luar biasa!' Gumamku.

Ternyata Widuri yang sudah berumur itu nyatanya mampu membuatku terkesima. Terlebih lagi karena kami memakai baju dengan warna yang sama tanpa janjian.

Widuri memakai baju jumpsuit warna maroon, blazer serta kerudung hitam. Wajahnya cantik, putih bersih dan terawat. Badannya tinggi semampai mampu menghipnotisku. Dia terlihat lebih cantik dari fotonya.

"Dengan ... Ibu Widuri?"

Aku menyapanya ragu, lalu mendekat sambil mengulurkan tangan, dia pun menerimanya dan mengangguk dengan di iringi senyum kecil.

"Iya, dengan Mas, Adek atau Kak Destra?" balasnya. Kamipun saling berjabat tangan.

"Tidak usah di borong begitu, panggil saja Destra. Sudah lama menunggu?" Jawabku dengan sedikit candaan.

"Ngggak kok, baru sepuluh menit."

"Silakan duduk. Maaf, mau pesan apa?"

"Apa saja."

Widuri memilih duduk di pinggir bale-bale yang berbuat dari bambu tempat kami berada.

"Bagaimana kalau kita pesan ikan gurame goreng, daging empal, ayam bakar, capcay, sate, sayur asam, air jeruk dan jus alpukat, suka?"

Aku menawarkan menu masakan khas Sunda yang ada di restoran itu dengan canggung, tetapi seperti sudah akrab.

"Iya, boleh, asal jangan ikan mas. Tapi apa itu tidak kebanyakan? Takutnya nanti mubazir lho." Jawabnya halus.

Aku sejenak tertegun 'kebanyakan' apa ia makanan yang kupesan itu terlalu banyak? Biasanya kalau aku mengajak teman-teman wanita makannya juga banyak, pastilah hampir semua yang mereka suka di pesannya.

"Tidak apa-apa, kita hanya ingin tahu rasanya masakan di sini." Jawabku memberi alasan.

Akupun menulis menu yang kupesan, lalu di simpan di atas nampan untuk di ambil pelayanan restoran.

"Tunggu ya, Pak. Makanan akan segera kami antar." Ucap pelayanan restoran dengan ramah. Aku mengangguk kecil.

Untuk sementara Widuri dan aku terdiam. Tidak tahu harus memulai dari mana? Perasaanku bercampur aduk. Sedangkan kami harus menunggu makanan yang di pesan untuk beberapa menit, karena restoran yang aku datangi bukan hidangan siap saji.

"Maaf, apa aku harus panggil Ibu atau Mbak?" tanyaku sungkan hanya sekadar untuk memulai pembicaraan. Padahal aku sudah memanggilnya Ibu Widuri.

"Terserah, mau panggil apa? Mungkin lebih baik panggil Ibu saja." Jawabnya sambil tersenyum.

"Kenapa harus panggil Ibu?" Tanyaku heran.

" Aku ini sudah tua. Aku punya anak dua dan satu orang cucu. Anak pertamaku perempuan dan satu laki-laki usianya tujuh belas tahun" Terangnya dengan di iringi senyuman kecil.

Widuri menerangkan yang belum aku tanyakan, bahkan tidak pernah aku pikirkan sebelumnya, tetapi dia malah berkata jujur tanpa malu untuk mengatakannya.

"Tapi Ibu masih sangat terlihat cantik dan muda, bahkan aku tidak percaya kalau Ibu sudah punya cucu." Pujiku.

Bibirku spontan memuji kecantikan Widuri sambil menatapnya dan tersenyum. Pipinya mendadak merah saat tidak sengaja kami beradu pandang.

Entah kenapa baru pertama kali melihatnya, rasa kagum dengan sosok Widuri mulai menggodaku, apa lagi saat dia tersenyum dengan lesung pipinya membuat detak jantungku berpacu lebih kencang.

"Maaf, sampai di mana pembicara kita tadi?" tanyaku mengalihkan keadaan.

"Pokus ke intinya saja. Sebenarnya Papamu sakit apa, Destra?"

"Papa sudah lama mengalami sakit gula dan asam urat, sudah hampir tujuh tahun. Sekarang Papa koma, sudah dua minggu di rawat di rumah sakit. Kami saling bergantian menjaganya. Pernah ada beberapa orang yang merawat Papa. Tetapi tidak ada seorang pun yang sanggup bertahan."

Aku menarik napas berat, mencoba memberitahu sedikit tentang sakit Papa.

"Apa Papamu tidak punya istri, memangnya ke mana Mamamu? Terus, bagaimana dengan anak-anaknya?" tanyanya menyelidik.

Aku bingung untuk menjawabnya. Karena tidak mau mengusik luka keluarga. Aku menarik napas dalam, berat untuk menjawabnya.

" Mama sudah lima tahun meninggal, beliau terkena serangan jantung dan darah tinggi. Sebenarnya Papa punya dua istri, tapi pergi saat Papa koma dulu, ini yang kedua kalinya Papa tidak sadarkan diri. Papa sering masuk rumah sakit." tuturku dengan perasaan sedih.

"Oh, maafkan aku Destra, aku tidak tahu kalau keadaanya seperti itu." Balasnya seperti merasa tidak enak hati.

"Tidak apa-apa, Bu. Sebenarnya Papa ini sudah beberapa kali menikah. Hanya almarhumah Mama yang sanggup bertahan, bahkan istri ketiga Papa pergi meninggalkannya." Balasku.

Entah kenapa, begitu mudahnya aku bercerita tentang keadaan Papa kepada Widuri yang baru aku kenal?

"Kalau Ibu sendiri, apa statusnya sekarang?" tanyaku dengan hati -hati.

"Seperti yang kamu tahu, aku sudah punya anak juga cucu, suamiku sudah meninggal saat anak pertamaku berusia dua tahun, dulu aku sempat mau menikah lagi. Tapi sayang, kami tidak berjodoh. Jadi statusku single parent." Ucapnya tanpa ragu.

Aku mendengarkannya dan sekali-kali mencuri pandang. Mungkin ini suatu kebetulan kalau Widuri dan Papa sama-sama sendiri. Siapa tahu ketika Papa sembuh mereka berjodoh?

"Apa Ibu tidak berniat untuk mencari pasangan? Maksudku pendamping hidup." Pancingku, Widuri menggeleng.

"Aku hanya pokus untuk membahagiakan anak -anak saja." Balasnya.

Jawaban yang mampu membuatku merasa kecewa.

Kami kembali terdiam. Kemudian seorang pelayan restoran datang dengan makanan yang siap untuk di santap.

"Ini pesanannya, Pak, Bu. Selamat menikmati," Tawarnya.

"Terima kasih, " jawabku sambil menerima sodoran makanan dari pelayanan restoran itu.

"Wah, sepertinya enak nich. Mari, Bu. Silakan di nikmati makanannya." Tawarku.

Aku menyodorkan makanan yang menggugah selera. Kali ini kuambil piring, menyendok sedikit nasi dan kuberikan kepada Widuri, terlihat dia merasa canggung. 'Biarlah aku yang melayaninya ' pikirku.

"Silakan." Tawarku sekali lagi.

"Terima kasih." Jawabnya dengan di iringi pergerakan tangan mengambil ikan gurame bakar.

Kamipun mulai menyantap hidangan dengan malu-malu, pandanganku tidak bisa terlepas dari sosok wanita yang ada di hadapanku. Selalu ada desiran setiap kumencuri pandang.

Namun wanita itu tetap tenang dengan suapannya, tidak menghiraukanku yang terus memandanginya. Bawaanya santai, lembut dan keibuan. Sesekali kutelan saliva pelan, jakun yang tumbuh di tenggorokanku terasa turun naik melihat paras cantiknya.

Perlahan tanganku mencoba mengambil ikan gurame bakar yang di bumbui kecap dengan sendok garpu. Lalu pelan bergerak ke arah bibirnya, ia mengernyit dan mantapku canggung.

Wajahnya sedikit merah, aku tersenyum dengan di iringi anggukkan kecil, berharap dia mau menerima suapanku. Mungkin ini terkesan tidak sopan dan kurang ajar, karena kami baru pertama kali bertemu.

Tampa Widuri menerima suapanku dengan malu-malu. Selanjutnya kamipun mencoba hidangan lain yang tersaji tanpa banyak bicara.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience