Ciuman Pertama

Family Series 4281

Di dalam kamar, aku mulai terisak.

"Kenapa gue harus ngelakuin ini, sih? Nikah sama bocah SD buat ngilangin kutukan? Kenapa gue harus percaya dukun sialan itu? Kenapa gue nggak menentang keputusan kakek? Kenapa?"

Aku membenamkan wajah basahku di bantal.

"Kak Andin." Suara Kenzi terdengar memanggil namaku dari luar.

TOK! TOK! TOK!

"Kak Andin! Kakak nggak apa-apa, kan? Dedek buat salah, ya?" Kenzi masih mengetuk pintu dengan pelan.

Aku termenung mendengar kata-kata bocah itu. Buat salah? Kenzi tak pernah buat salah. Jika aku berpikir ini tak adil bagiku, lalu bagaimana dengannya? Bocah sebelas tahun itu pasti juga merasa sedih. Kenzi pasti juga merasa ini tak adil. Bukankah, karena aku dia harus menikah di usianya yang masih di bawah umur?

"Kak, dedek boleh masuk?"

Kenzi masih mencoba mengajakku bicara. Aku tertegun. Selama beberapa hari menjelang pernikahan, aku hanya memikirkan perasaanku saja. Aku tak memikirkan perasaan bocah itu. Bukankah aku yang memerlukan dirinya saat ini? Mengapa aku menjadi sangat egois?

"Arrrgghhhhh! Dasar sialan!" jeritku dengan keras.

BRAKK!

"Kakak nggak apa-apa?"

Kenzi membuka pintu dengan keras dan berdiri di depanku. Napasnya terengah-engah. Keringat membanjiri wajah polosnya.

"Gue ... baik-baik aja," jawabku gugup.

"Kakak kenapa nangis? Dedek ada buat salah sama kakak?"

"Nggak kok. Gue nggak nangis." Aku mengusap pipiku, tapi tangan bocah itu lebih cepat melakukannya.

Kenzi maju satu langkah. Tubuh bongsornya berdiri terlalu dekat denganku. Tangan kanannya menyentuh rambutku yang berantakan dan membelainya.

"Maafin dedek, ya Kak. Karena dedek, kakak jadi kayak gini."

Kenzi tersenyum tulus. Mata bulatnya berbinar lugu. Sesaat, aku merasakan perasaan aneh berdesir dalam hatiku. Perasaan apa ini?

Aku menyentuh bahu Kenzi dan mengusapnya dengan lembut. "Nggak, kok. Ini bukan salah lo. Ini salah gue yang sudah bersikap egois. Gue hanya mentingin hidup dan masa depan gue. Gue nggak mikirin gimana hidup lo setelah ini. Lo masih SD. Masih perlu belajar dengan giat. Sementara kakek gue berharap besar sama lo. Kakek ngasih tanggung jawab berat sama lo buat mendidik gue. Maafin gue, Ken. Harusnya gue nggak egois dan marah-marah sama lo."

Kenzi diam. Sepertinya dia masih mencerna kata-kataku. Tampak dari bola matanya yang mengerjap polos.

"Lo paham maksud gue?" tanyaku.

"Kakak ... ngomongnya kecepetan. Dedek agak kurang paham."

Aku menghela napas pelan. Kan, apa gue bilang?

"Ya udah. Nggak usah dipahami, nggak penting. Intinya, gue minta maaf sama lo, oke? Maafin kelakukan kasar gue beberapa hari ini. Gue janji, gue akan memperbaikinya."

Kenzi tersenyum, lalu mengangguk. "Iya. Dedek maafin, kok."

"Mulai sekarang, gue akan memperlakukan lo dengan baik. Gue nggak tau sampe kapan pernikahan kita ini berjalan. Yang jelas, selama kita masih bersama, gue akan berusaha jadi orang yang baik buat lo." Aku tersenyum. Bocah itu kembali mengangguk.

"Jadi, sekarang Kak Andin nggak akan marah-marah lagi, kan sama dedek?"

"Nggak. Tapi kalo lo nakal, gue bakal marah."

"Dedek janji nggak akan nakal."

"Bagus."

Aku hendak bangkit, tapi Kenzi berdiri terlalu dekat hingga membuatku sulit untuk berdiri.

"Lo bisa mundur dikit, nggak? Gue mau berdiri, nih."

"Oh, maaf, Kak."

Kenzi mundur. Namun, tiba-tiba Kenzi terpeleset dan tubuhnya ambruk di depanku. Sontak saja, tubuh beratnya menindih tubuhku, dan ...

CUP!

Bibir lembutnya bertemu dengan bibirku.

Aku membelalakkan mata dan mencoba menahan napas. Hei, apa-apaan ini?

Kenzi, bocah itu masih memejamkan mata dan bergeming di posisinya, membuatku benar-benar kesulitan bernapas sekarang.

"K-Ken,..."

Aku menggeser kepala Kenzi dengan pelan. Bibir kami masih saling menempel. Kemudian, kurasakan deru napas Kenzi yang teratur.

Astaga! Dia tidur?

Susah payah aku bangun dengan menggeser tubuh Kenzi ke tempat tidur. Aku memastikan bahwa Kenzi memang sedang tertidur.

Namun, bagaimana bisa?

"Ken, lo tidur, ya?" Aku menepuk pipinya pelan.

Kenzi menggeliat, lalu tanpa sadar menarik tanganku, membuatku ikut berbaring di sampingnya.

"K-Ken,..."

"Hmmmm. Dedek ngantuk," gumamnya.

Aku tersenyum geli menatap wajah polosnya yang terpejam.

"Ya udah. Tidur aja di sini, ya. Gue mau ke bawah dulu."

Kulepaskan tanganku dari Kenzi, menyelimutinya dan menutup pintu dengan perlahan. Tak lupa sebelum itu, aku membuka gorden dan membiarkan cahaya matahari yang mulai panas untuk menerobos masuk ke kamar.

"Kenzi, lo such a sweet boy," gumamku seraya melangkah turun.

Aku memutuskan untuk berkeliling di rumah baru ini. Kemarin kami sampai sudah terlalu larut dan aku sudah mengantuk. Bahkan, aku tak sempat mengganti dress hitam yang masih kupakai hingga sekarang.

Aku berjalan menuju pintu depan, mengamati ruang tamu yang besar dengan perabotan jati mahal khas pilihan kakek. Lantai granit terasa lembut di ujung kakiku. Aku yakin, kakek pasti menghabiskan banyak uang membeli rumah ini.

Saat aku tengah melihat-lihat, Tiba-tiba bel pintu berbunyi. Dari celah jendela kulihat kakek datang bersama ayah dan bundanya Kenzi.

"Cepat sekali mereka datangnya," gumamku seraya melirik jam di ponsel. Hari baru menunjukkan pukul setengah 11 siang.

"Andin! Kenzi! Kami datang," seru kakek.

Aku mengintip dari jendela. Tiba-tiba,sebersit ide nakal muncul dalam otakku. Bagaimana kalau kugoda saja orang tua itu? Sepertinya bakal menarik.

Aku segera berlari kembali ke kamar, mengacak-acak tempat tidur yang sudah dibereskan Kenzi. Tampaknya bocah itu masih tertidur lelap dan tak menyadari perbuatanku.

Aku melepaskan gaun malamku, menutup tubuhku dengan selimut dan tidur menempel di samping Kenzi. Biar saja, pikirku. Sekali-kali, kukerjai orang tua bocah ini. Aku ingin tahu apa reaksi mereka jika seandainya tadi malam aku dan Kenzi melakukan 'malam pertama'? Toh, dia kan sudah jadi suamiku. Aku ingin lihat reaksi kakek juga. Apa aku akan dapat jeweran lagi kali ini?

Sementara itu, suara panggilan kakek semakin keras. Aku tertawa cekikikan dalam hati. Bagaimanapun kakek punya kunci cadangan rumah ini. Aku ingin mereka menangkap basah kami yang ...

Hei, bukankah tadi Kenzi sudah mencium bibirku?

To Be Continued

Hei, Hei jangan lupa komen. untuk part sebelumnya, serdawa adalah bahasa baku dari sendawa. Mungkin ada dari kalian yang tak tahu. btw part ini gue terbitin lagi, ternyata ada sebagian cerita yang ilang. enjoy it! Ciao

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience