Mata bulatnya itu merenung laut yang membiru indah dengan pandangan kosong, fikirannya menerawang bebas, kosong bagai sehelai kain putih bersih tanpa sepalit noda.
Adakalanya bibirnya terkumat-kamit namun bicaranya tidak difahami. Ia hanya menggumam perlahan namun tiada siapa yang mampu memahami butir bicaranya, usah harapkan orang lain, bahkan dirinya sendiri pun ia sudah tidak ingat.
Sudah lama bibirnya yang mungil itu tidak menguntum senyuman indah, butir bicara dari suaranya yang merdu dan gemersik itu sudah lama tidak kedengaran bahkan si pemilik mata hazel itu seakan berada di dunianya sendiri, dunia yang dia sendiri tidak ketahui di mana keberadaannya.
Karl mengeluh perlahan. Segala kesalannya tidak bermakna lagi. Seribu ucapan maaf pun tidak mungkin dapat mengembalikan senyuman dan fikiran Natalea lagi.
Natalea dalam dunianya sendiri. Barangkali dunia sepi yang tidak bertepi. Barangkali dunia mimpi yang tiada jaga.
Karl tidak tahu, Natalea dihadapannya hanya boneka sepi yang bernyawa tetapi tiada berfungsi.
Maafkan aku Natalea, itulah yang diratapkan dan diucapkan dihadapan Natalea setiap kali dia berhadapan dengan Natalea.
Karl tidak pernah jemu menemani Natalea. Saban waktu terluang dia pasti akan membawa Natalea di tebing pasir itu. Di situlah kenangannya bermula dengan Natalea.
Karl berharap dengan membawa Natalea ke tebing pasir mengadap laut luas itu akan memberikan sesuatu untuk Natalea. Karl tidak pasti, tetapi harapannya sangat tinggi menggunung.
Manalah tahu tebing pasir mengadap laut itu akan dapat mengembalikan Natalea nya yang dahulu. Yang pasti harapan itu sebenarnya semakin pudar saban waktu.
Share this novel