Hatiku gersang, saat melihat ia datang. Terlalu tandus, bahkan untuk sebuah karang pun gagal untuk hidup. Matanya yang bundar, laksana telaga bening coklat, mengkilap, tak berani menatap. Aku tahu tujuannya datang, bersilaturahm. Tapi selain itu, aku tahu ia pasti datang. Untuk melepas janji, melepas hutang. Dan ia kemari membawa segudang penuh pertanyaan. Ia datang untuk merebut harapan, yang hilang.
Dia duduk saling berhadap-hadapan denganku, di atas kursi berwarna pandan layu. Wajahnya persis sama, dengan tahun-tahun biasanya. Kecuali, kumis yang dibiarkan serabai di atas bibir. Tidak terlalutebal, seakan ia ingin menunjukkan dan bersua, Hei. Aku hari ini telah lebih dewasa.
Sedewasa apa pun dirinya, seberani apa pun dirinya, untuk satu hal ia tak mampu. Menatap mataku.
Share this novel