BAB 31
Jatuh cinta kata orang itu semuanya terasa menyenangkan. Makan hanya memakai garam saja pun akan terasa seperti dengan lauk yang enak asalkan bisa berdua dengan kekasih hati. Virus jatuh cinta itu yang kini kurasakan.
29 tahun baru merasakan jatuh cinta? Tentu tidak, bukankah dulu saat pertama kali melihat Ryan pun aku juga merasakan jatuh cinta, tapi kenapa rasanya berbeda. Dulu yang kurasakan cinta semu, hanya sebatas impian semata, tapi saat ini, rasa itu membuncah karena seseorang yang kita cintai berada di hadapan kita, bisa disentuh, bisa dipeluk dengan sesuka hati.
“Sayang, dih hayo kenapa senyum- senyum sendiri,” suara Vian membuatku tersadar dari lamunan dan kini menatap Vian yang telah membawa es krim vanilla kepadaku.
Yup, kalian tahu malam-malam begini tiba-tiba aku ingin memakan es krim rasa vanilla. Katakanlah ini tak masuk akal, karena sekarang sudah pukul 2 dini hari, tapi ketika aku merengek kepada Vian dia langsung bergegas menuruti, untung di café ada mobil milik om Dewa yang ditinggal, dan Café pun juga memang buka 24 jam, nonstop. Jam segini café makin ramai karena banyak pemuda yang nongkrong sambil bermain dengan laptop ataupun gadget milik mereka karena di café ada fasilitas wifi-nya.
Untunglah tak jauh dari alun-alun akhirnya mendapatkan restoran cepat saji yang menyediakan menu es krim, dan di sinilah aku berada duduk di dalam restoran dengan menatap suami berondongku itu yang tampak sangat tampan sepertinya. Padahal hanya memakai kaos polo warna putih dan celana jins selutut, topi menutupi rambutnya yang pirang itu.
Haishhh, hormon kehamilan rupanya telah membuatku tak bisa berpaling darinya. Aku terjebak dalam pesona berondongku itu.
“Sayang dimakan dong, tadi siapa yang merengek, nanti keburu meleleh tak enak,” celetuk Vian yang kini tengah memakan kentang gorengnya.
Aku hanya mengangguk dan menyendokkan es krim vanilla di depanku ke dalam mulut.
“Enak?” tanyanya saat aku mulai menyuapkan es krim yang kesekian kali. Aku hanya mengangguk dan memakan lagi.
Tiba-tiba di seberang tempat dudukku, terdengar kasak-kusuk beberapa remaja yang juga masih menikmati suasana dini hari ini di restoran yang buka 24jam ini.
Rupanya ketiga remaja cewek itu tampak tersenyum senyum dan melihat ke arah Vian. Haduh pesona berondongku ini memang berkilau, ya, selalu saja ada yang bisa tertarik dengan pesonanya itu. Seperti kutub magnet yang saling tarik menarik.
Vian mengikuti arah pandangku ke arah gadis-gadis itu, saat mereka tiba-tiba melambaikan tangannya ke arah Vian. Vian mengangguk dan tersenyum ramah.
Ish, mulai genit kan ya suamiku ini? Kutendang kakinya di bawah meja membuat dia menoleh ke arahku dan menyeringai.
“Mas nganter maminya, ya?” celetuk salah seorang gadis tadi.
Apa? Mami? Haiisshh ini sih pelecehan namanya! Memangnya aku setua itu?
Vian kembali tersenyum ke arah para gadis itu yang cekikikan melihat senyum Vian itu. Aku kembali menyuapkan sesendok penuh es krim ke dalam mulutku, tapi karena terburu-buru membuat kepalaku terasa pening karena rasa dingin yang mendera. Aku meringis menahannya dan membuat Vian menatapku khawatir.
‘Sayang, ada apa?” tanyanya khawatir.
Aku hanya menggelengkan kepala dan meneruskan memakan es krimku.
“Tante boleh ya anaknya buat kita?” celetuk salah satu gadis lagi.
Aku hanya menoleh ke arah mereka sesaat dan kini menoleh ke arah Vian yang menatapku dengan penuh sayang. Dia tahu aku kesal dengan ketiga gadis itu. Kurasakan genggaman di jemariku dan Vian mengusapusap punggung tanganku.
“Kak, boleh dong ya minta nomor hpnya?” celetuk gadis-gadis itu mulai berani menggoda Vian.
Moodku yang sedang kesal atau entah itu karena hormon kehamilanku membuatku seketika beranjak dari kursiku.
“Maaf ya, adik adik manis, maaf saya bukan tante kalian dan maaf juga dia ini bukan anak saya,” ucapku ke arah ketiga gadis-gadis itu.
“Loh kalau bukan anak tante siapa dong, masa ya suaminya, tak mungkin lah, ya,” celetuk salah seorang gadis yang hanya mengenakan tank top dan celana hot pants itu.
Anak ini memang tak kedinginan apa pakai baju
seperti itu malam-malam begini.
“Saya memang suami mbaknya ini.” Tiba-tiba Vian merengkuhku ke dalam pelukannya dan mendaratkan ciumannya di pipiku membuatku melongo apalagi ketika gadis itu yang sukses membelalak terkejut.
“Ih, masnya gigolo, ya? Ko mau sama tante-tante begini.” Kali ini gadis yang bertanktop ria tadi menunjuk ke arahku.
Ini anak memang perlu dicabein deh mulutnya, enak saja mengataiku tante girang. Memangnya dia apa dengan dandan seperti itu, ABG girang kali, ya.
Vian makin merapatkan pelukannya, dan kini tersenyum ke arah ketiga gadis itu.
“Lah kalian sedang apa malam-malam begini? Bukankah ini sudah melewati jam malam buat anak seusia kalian? Kasian loh mama kalian di rumah,” ucap Vian membuat ketiga gadis itu sukses menatapku dan Vian penuh kebencian.
“Eh masnya daripada sama tante-tante seperti ini mending sama kita-kita yang masih enak, kita juga memuaskan loh servicenya,” ucap gadis bertank top itu lagi sementara kedua gadis lainnya tampak mengiyakan dan kini mengerling ke arah Vian.
Amit-amit jabang bayi, kuusap usap perutku.
“Saya tak bernafsu selain dengan istri saya,” ucap Vian lalu menarikku pergi dari hadapan ketiga gadis jablay itu.
Vian terus mendekapku sampai kami kembali ke dalam mobil. Vian memakaikan seat belt dan kemudian mengecup keningku.
“Maaf ya jadi buat Sayang emosi tadi,” bisiknya lembut.
Tuh kan aku jadi meleleh lagi, rasa kesal terhadap gadis-gadis tadi menguap begitu saja saat Vian sudah memperlakukanku begini.
“Makanya jangan terlalu ramah dengan wanita.” Kutoleh Vian saat dia mulai menjalankan mobilnya.
Vian tersenyum geli.
“Aku tak ramah, tapi memang dari sananya aku ini
kan baik dengan semua wanita,” jawabnya enteng.
“Tapi mereka jadi salah mengartikan begitu, Yan, sudah banyak contohnya kan, Sonia, Sisilia, nanti ada kwkw dari mereka lagi kalau kau terus begitu, dingin sedikitlah dengan mereka.”
Vian menatapku sebentar lalu meraih jemariku dengan tangannya yang bebas. Lalu mengecupi satu per satu ruas jariku ini, tuh lagi-lagi hanya diperlakukan seperti itu membuatku tak bisa berkutik, duh dasar kenapa aku jadi ikut-ikutan terbius oleh pesonanya.
“Kalau Cinta tak suka, ya, aku akan mengubah sikapku, kalau Cinta tak nyaman, aku akan mengubah semuanya,” ucapnya dengan manis.
Kenapa dia sangat manis, ingin rasanya memeluknya dan menciumnya di sini, tapi ini kan di jalan, ya? Apalagi malam-malam begini, nanti terkena razia dikira beneran berbuat mesum di mobil. Kupukul kepala yang tiba-tiba berotak mesum ini.
“Eh, kenapa? Pusing?” Vian menatapku khawatir
lalu menepuk bahunya.
“Tidur sini sayang kalau mengantuk.”
Aku hanya mengangguk, tak salah kan ya aku memang ingin mencium aroma tubuhnya itu yang membuatku kecanduan akhir-akhir ini.
*****
Sebuah ketukan terdengar menyeruak di indera pendengaranku. Kukerjapkan mata dan aku terkejut ketika melihat Vian sudah berada di luar mobil. Eh ini masih di dalam mobil kan, ya?
Semburat merah terlihat di langit, ini sepertinya sudah pagi.
Vian membuka pintunya dan menarikku untuk keluar.
“Mbak, sini kita lihat matahari terbit,” ucapnya membuatku menatap bingung.
“Kita di mana?”
Vian menarikku untuk menunjukkan tulisan yang terpampang besar di depanku.
SELAMAT DATANG DI KAWASAN KETEP PASS
Hah???? Ini di Ketep, di Magelang, tempat wisata yang terletak tak jauh dari puncak gunung merapi. Tempat yang sangat indah untuk melihat pemandangan dari ketinggian.
“Yan, kau semalam menyetir sampai sejauh ini?” tanyaku bingung ke arahnya tapi Vian tak menjawabnya dan kini merengkuhku dari belakang lalu menunjuk matahari yang mulai muncul dari balik peraduannya, indah.
“Ini mimpiku, Cinta, mengajak orang yang kucintai menatap matahari terbit, dan akhirnya terlaksana,” bisik Vian membuatku merasakan sesak di dada.
Rasa sesak karena benar-benar terharu atas perlakuan lembutnya dan keromantisannya. Semoga rasa ini terus ada.
*****
Damai, indah, sejuk, semua kata menjadi satu. Udara di pagi hari di bawah kaki gunung memang yang sangat menyejukkan. Paru-paru kita terasa begitu penuh menerima udara pagi ini. Dengan duduk di atas kap mobil, aku dan Vian menikmati jagung bakar yang baru saja kami beli dari penjual tampak berjejer rapi di tepi jalan ini.
Jam masih menunjukkan pukul 7 pagi, setelah menikmati matahari terbit dan mengambil fotonya, Vian mengajakku menikmati jagung bakar, sambil menunggu matahari agak tinggi dan Vian berjanji akan mengajakku ke kebun strawberry di sekitar kawasan ini.
Vian merapatkan jaket yang kukenakan lalu mendekapku erat, berusaha mengenyahkan hawa dingin yang menyelusup masuk di antara baju dan jaket tebal yang kupakai.
“Jagungnya enak?” tanyanya menoleh ke arahku yang masih sibuk menggigit jagung bersaos mentega ini. Aku tak suka pedas, jadi cuma dilumuri mentega kemudian dibakar. Sedangkan Vian sendiri sedang menyesap susu jahenya.
“Ini mobil om Dewa, ya?” Aku menunjuk mobil yang sedang kududuki ini, mobil sport mewah ini tampaknya memang sangat mahal.
Vian mengangguk, lalu mengusap rambutku.
“Maaf ya kita harus pinjam mobil dulu, aku tak mau membawa salah satu mobil milikku, ehm bukan, bukan itu mobil milik papa bukan milikku meski sudah diserahkan kepadaku, tapi aku pikir setelah aku menikah, aku ingin beli mobil dengan uang sendiri, Cinta tak apa-apa kan, ya, kalau kita ke mana-mana naik mobil pinjaman?”
Kuhela napas lalu menatapnya, “Yan, aku tak peduli kau mau punya mobil atau tidak, aku tak peduli kita naik mobil pinjaman, ataupun naik angkot, bahkan kalau harus berjalan kaki pun aku tak peduli, Yan. Aku tak pernah mementingkan sesuatu yang tak penting seperti itu.”
Vian menatapku dengan penuh sayang, lalu merengkuhku ke dalam pelukannya.
“Itu kenapa aku sangat mencintaimu, Cinta, hatimu yang bersih, membuatku tak bisa berpaling darimu, kalau bukan Cinta aku tak mungkin bisa mencintai wanita lain, terima kasih sudah mau menjadi istriku, ya,” bisiknya lembut.
Kata-katanya membuatku benar-benar meneteskan air mata. Pria ini sungguh sangat mencintaiku.
*****
“Wuah, banyak ya?” pekikku senang karena Vian berhasil memetik banyak buah strawberry.
Buah berwarna merah ini sangat segar dan terlihat menggemaskan untuk dimakan.
Vian tersenyum geli menatapku, saat melirikku dari balik kemudinya.
“Jangan dimakan dulu loh, Sayang, kasihan perutnya, belum terisi apapun, ingat penyakit maagnya.” Ceramahnya kali ini membuatku memberengut.
Mataku terasa mengantuk saat terkena semilir angin yang menembus melalu kaca mobil yang kubuka. Pagi ini akhirnya kami pulang melalui jalur alternatif yang langsung dekat ke arah Solo. Tapi jalannya berkelok-kelok membuatku merasa ngeri dan mual.
Kututup berulang-ulang mulutku dan juga mataku
untuk meredakan rasa mual yang tiba-tiba mendera.
“Ada apa?” Vian menoleh ke arahku.
“Aku mau muntah, Yan.”
Vian menepikan mobilnya, dan menghentikannya,
lalu memberikanku minyak kayu putih.
Rasa mual itu makin terasa dan aku segera membuka pintu mobil dan akhirnya memuntahkan semuanya. Pahit terasa saat semua isi perut keluar. Vian menepuk-nepuk tengkukku dan memberikan sebotol air mineral. Aku membersihkan semuanya dan menyandarkan kepalaku di sandaran mobil.
Kurasakan perutku terasa hangat, dan ketika membuka mata, Vian sudah melumuri perutku dengan minyak kayu putih.
“Masih mual? Atau pusing?” tanyanya panik.
Kupejamkan mata dan kembali menggelengkan kepalaku.
“Aku perlu tidur,” jawabku.
Pijatan di pelipisku dan juga bahu membuatku merasa rileks.
*****
Tepukan halus di pipi mengagetkanku, ketika membuka mata Vian tampak menatapku khawatir.
“Mbak, kita sudah sampai, bisa jalan tidak?” tanyanya.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling, dan memang benar mobil yang kutumpangi sudah berhenti di depan café.
“Bisa,” jawabku lalu segera turun dengan dibantu Vian.
“Masih mual?” bisiknya saat kami mulai melangkah ke dalam café.
Nampaknya ini sudah siang hari karena suasana café, sudah sedikit ramai. Kepalaku benar-benar terasa berat, Vian tampaknya mengerti dan menarik kepalaku untuk bersandar di bahunya.
“Aline kenapa?” Om Dewa muncul di depan kami menatapku khawatir.
“Pusing dan mual, Om, mungkin karena kedinginan,” jawab Vian .
Om Dewa menganggukkan kepalanya, ”Kata Fani,
kalian semalam pergi jam 2 malam.”
Vian mendudukkanku di sofa warna biru yang ada di dekat pantry.
“Aline ingin es krim, Om, jadi Vian bawa ke alun-alun, terus habis itu Vian teruskan ke Ketep.” Vian mengolesi minyak kayu putih lagi ke pelipis dan keningku.
Aku tak kuasa menolaknya karena kepalaku masih terasa sangat berat dan rasa mual yang kembali mendera.
“Vian, istrimu itu sedang hamil, kenapa kau bawa ke Ketep? Udara di sana kan sangat dingin, kasian Alinenya.” Kali ini om Dewa menatap tajam ke arah Vian.
Suamiku hanya menyeringai dan menggaruk rambutnya. Kalau seperti ini dia kembali seperti anak-anak yang sedang dimarahi orang tuanya.
“Maaf, Om,” ucapnya kemudian.
“Ya sudah, Om suruh Fani membuatkan jahe hangat buat Aline, atau Aline mau makan apa?” tanya om Dewa ke arahku.
“Masih mual, Om, jahe saja,” jawabku lirih karena rasa mual yang mendera lagi.
“Siap, Nyonya Bos,” kelakar om Dewa lalu beranjak pergi menuju pantry.
Aku tersenyum melihat tingkahnya.
Vian masih memijat pelipisku, saat tiba-tiba orang yang membuatku makin mual kini hadir.
“Iaaaaannnnn, morniing,” ucap Sisil manja, dan mulai duduk di dekat Vian.
Kulihat Vian berjenggit karena terkejut. Aku yang sudah melihatnya dari arah pintu mencoba tak mempedulikannya.
“Mbakmu kenapa? Sakit ya, Mbak?” tanya Sisil ke arahku, aku hanya mengangguk malas menjawabnya.
“Mbak, ke atas saja, yuk.” Vian menarikku untuk beranjak dari sofa tapi tiba-tiba perutku terasa mual dan aku segera berlari ke arah toilet karena sudah tak kuasa Vian berlari mengikutiku ke arah toilet, dan membantu memijat tengkukku. Tapi yang ada karena semua makanan sudah keluar semua tadi hanya rasa pahit yang kurasa saat ini.
“Sayang, kita periksa saja, ya?” ucapnya khawatir saat aku membasuh mulutku dengan air.
“Ini hari Minggu, Yan, mana ada dokter buka,” ucapku lalu segera direngkuhnya tubuhku ini dan dipapahnya menuju sofa tadi.
“Mbakmu sakit, ya?” Sisil masih duduk di tempatnya.
Vian hanya mengangguk dan kini membantuku mengikat rambut. Dengan telaten dia mengikat rambutku ini.
Om Dewa muncul dengan membawa secangkir jahe hangat.
“Line, diminum dulu, ya,” ucapnya.
Vian mengambil cangkir di depannya lalu meniupinya dan meminumkannya kepadaku. Sisil menatapku dan Vian curiga.
“Sudah enak, Sayang?” tanya Vian sembari mengusap- usap rambutku.
“Ini Mbakmu yang mana ya, Yan? Setahuku kau kan cuma punya mas saja, ya?” celetuk Sisil, membuat rasa mual kembali menderaku mendengar suara desahannya itu.
“Mbakku, belahan jiwaku,” jawab Vian asal sambil masih sibuk meniupi jahe panas untukku.
“Maksudnya?” Sisil kini mulai mengerutkan keningnya.
“Dia ini istriku,” jawab Vian mulai jengkel, tapi kudengar gelak tawa dari Sisil membuatku kali ini yang mengernyit.
“Tak lucu ah, masa kau mau sama mbak-mbak, ah Vian, kau ini selalu lucu, ingat kan janjimu dulu katanya mau meminangku, aku masih simpan loh tulisanmu itu,” ucapnya yang seketika membuatku melongo dan Vian menatap Sisil dengan terkejut.
Share this novel