EXTRA PART 1
“Peyyyy ...”
“Pey ....”
Aku melangkah tergopoh-gopoh ke arah tangga dan segera berlari menaiki tangga menuju ruangan tempat keributan terjadi. Dan ketika sampai di sana kulihat dua bocah itu sudah belepotan dengan bedak di tangan masingmasing. Muka mereka sudah sepenuhnya berubah menjadi putih, dan kuedarkan pandanganku ke arah kasur, dan seprai yang tadinya biru itu sudah berubah menjadi lautan bedak warna putih. Kuhela napas dan kini mulai berjalan ke arah dua bocah yang kini masih saling melancarkan aksi mereka.
“Al, El, bisa jelaskan ini kepada Mommy?” Kuedarkan pandanganku sekali lagi ke seluruh penjuru kamar. Dan aku menghela napas frustasi. Kamar yang baru saja kubersihkan belum ada 15 menit yang lalu kini sudah kembali seperti kapal pecah seperti ini.
“Ini calah kak Al, Mom. Dia yang melemparkan bedak ini ke wajah El.” Suara manja El kini mulai mendominasi ruangan ini. Gadis kecil itu kini merapikan rok kodoknya yang kusut dan mulai beranjak dan berlari ke arahku.
“Al ... sudah Mommy bilang tak boleh nakal, kan Mommy cuma tinggal mengambil kue dari oven dan disuruh belajar memakai baju sendiri tapi kenapa semua jadi berantakan begini?” Al tersenyum jahil ke arahku dan menjulurkan lidah.
“Peyyyy ... ini Al itu sedang membuat cantik El biar dia bisa memakai bedak dengan benal, itu loh, Pey kayak yang dilakukan Pey kalau habis mandi.”
“El ga mau jadi cantik, nanti Lenan menciumku lagi!” Aku seketika menoleh horor ke arah El mendengar ucapannya.
“Siapa yang mencium dan dicium.” Kulihat pipi gembil El memerah dan kini mengambil bantal lalu menutupkannya di wajahnya. Kuncir duanya tampak bergoyang-goyang karena dia malu.
Kuhela napas dan mulai mengatur emosiku, dan segera kusedekapkan tanganku lalu menatap Al yang kini sudah memakai bajunya sendiri sedangkan El memang sudah siap dari tadi hanya tinggal menyisir rambutnya.
“Sudah sekarang beresi semuanya, nanti kalau ada yang malas mommy tak beri kalian cupcake kesukaan kalian.” Ucapanku terang saja membuat kedua bocah itu berlarian dan berlomba membersihkan mainan mereka. Aku pun tersenyum melihat keduanya berebut ingin menyelesaikan pekerjaan mereka.
“Hey, Mommy preggy kenapa marah-marah, hem?” suara khas yang sudah kuhapal kini menyeruak di dalam gendang telinga dan rengkuhan hangat di tubuh membuatku menoleh ke belakang.
“Tumben sudah pulang? Biasanya hari Rabu banyak pasien?” Suamiku itu tersenyum dan mengecup pipi sekilas lalu mengusap perutku.
“Aku ingin menjadi suami siaga, bukankah sudah saatnya?’ Dia melirik perutku lagi dan aku menggelengkan kepala.
“Masih seminggu lagi perkiraannya, Bee. Lagipula belum terasa apa-apa, kok. Tuh, aku juga masih menerima pesanan tante Inot.”
“Bandel, sudah aku bilang Fey tak boleh menerima pesanan lagi, takut kelelahan.” Aku hanya menjulurkan lidahku ke arahnya membuatnya menatapku gemas.
“Beeeeeee!”
“Daddyyyyy!”
Al dan El langsung berlari ke arah kami dan menerjang Vian yang sedang memelukku.
“Eh ehh, sabar, pelan-pelan, nanti mommy-mu terjatuh.” Kali ini Vian memegang pinggangku erat berusaha menjaga keseimbanganku dan menunduk lalu mengangkat El yang sudah merengek minta digendong, sedangkan Al langsung berlari ke arah tas sekolahnya dan mengambil sesuatu lalu berlari lagi ke arah Vian dan langsung menyodorkan kertas kepadanya.
“Bee, tadi Al berhasil juala lomba menggambal lagi, nih tlansfolmel, Optimus Plime ... ini Bumble Bee,” ucapnya bangga membuat Vian langsung menunduk dan mencium Al dengan sayang.
“Ini baru anak Daddy.”
“El juga tadi udah bica dlumbend loh, Dad, kelen pokoknya pengen jadi kayak tante Nadia,” ucapnya tak mau kalah dan kali ini Vian terkekeh geli melihat dua bocah itu kembali berebut menarik perhatiannya.
Kulepaskan pelukan Vian dan memberi waktu kepada ketiganya. Dan teringat akan cake pesanan tante Inot membuatku melangkah cepat keluar dari kamar dan menuruni tangga dan kini melangkah menuju dapur. Dapur yang selama ini membuatku merasa nyaman. Kuedarkan pandanganku ke arah dapur, dan semuanya terasa hangat, kenanganku dengan bunda terpatri di sini.
Aku memang memutuskan untuk kembali menempati rumahku, rumah milik keluargaku yang tadinya dirawat oleh budeku saat aku di Bandung. Tapi sejak kelahiran El, tepatnya DEVINA ELVIRA ATMAWIJAYA, Putri kedua buah cintaku dengan Vian, aku memutuskan untuk pindah ke sini lagi, meski mama dan papa memintaku tinggal di rumah mereka karena mereka kesepian. Vian sendiri sebenarnya ingin membangun rumah sendiri untuk keluarga kecil kami, tapi aku menolaknya.Aku ingin kembali di sini di rumah ini, semua kenangan sejak kecil sudah terpatri di sini. Dan kuputuskan untuk tetap menjaga peninggalan kedua orang tuaku ini. Dan ketika Vian menyetujuinya, dia merombak rumah ini mejadi lebih besar dan dibangun tingkat dua dengan alasan keluarga kami akan semakin bertambah. Tapi aku meminta kepada Vian untuk tak merombak dapur ini. Karena di sinilah kenangan bunda denganku. Air mata sudah menggenang di pelupuk mataku.
Hidupku terasa begitu sempurna, Vian sendiri sudah lulus dari pendidikan spesialisnya dan sekarang menjadi dokter spesialis ortodontik di rumah sakit keluarganya sekaligus mengambil alih tampuk kepemimpinan papanya. Dia menjadi sangat sibuk. Aku merawat Kavi dan juga Elvira seorang diri. Aku tak mau memakai jasa baby sitter lagi. Tapi ada mbok Imah, selaku pembantu di sini karena aku memang tak bisa mengatasi semuanya sendiri. Aku meneruskan warisan bunda yang menerima catering cake dan masakan. Hal itu membuatku senang. Tadinya Vian akan membuka café lagi di Yogya ini tapi aku menolaknya. Aku belum siap, karena aku tak bisa terlalu sibuk. Kedua buah hati kami masih perlu perhatian dari mommynya. Vian sendiri menyerahkan cafénya di Bandung untuk sepenuhnya dikelola Rasya, dan bocah itu memang benarbenar menyanggupinya.
“Hey, apa yang dilamunkan, Sayang?” suara Vian kembali mengagetkanku dan dia sudah memelukku dari belakang. Aroma parfumnya yang bercampur dengan keringat membuatku nyaman dan aku berbalik dan memeluknya.
“Kangen denganku, huh?” bisiknya membuatku memerah. Entahlah sudah sekian lama berumah tangga tapi berondongku ini masih selalu membuatku merasakan sensasi yang luar biasa.
Kurasakan kecupan hangat di bibirku, dan kali ini Vian mengusap pungguungku dengan hangat. Tapi kudorong tubuhnya dan kini menatap wajahnya.
“Al sama El mana?” kutengokkan wajahku ke arah samping.
“Biasa dijemput omnya tuh, dan diiming-imingi es krim ya, sudah mereka langsung nempel sama Evan.”
“Udah aku bilang sama Evan itu jangan beri es krim apa permen, liat gigi Al sudah kayak gitu, kau juga dokter gigi kok biarkan anaknya geriwing?” Kudengar kekehan dari mulut Vian .
Cup
Sebuah kecupan mendarat lagi di bibirku.
“Hey rileks, tenang di sini ada dokternya kenapa harus risau, lagipula gigi Al juga belum geriwing. Fey aja yang ketakutan, biarlah mereka sekarang sedang dibawa Evan ke rumah mama papa, katanya kangen.”
“Lah kenapa tak berpamitan dengan mommynya coba? Evan ini perlu aku marahi entar!” Vian lagi-lagi terkekeh.
“Mommy preggy kok marah-marah terus, tak merindukan suamimu yang dua hari ini tak pulang?” Aku seketika teringat Vian memang tak pulang semalam karena jadwalnya yang padat di rumah sakit. Keadaan begini memang sebenarnya sudah menjadi santapan harianku. Jadwal Vian yang tak menentu sudah hal biasa selama 2 tahun ini sejak dia mulai mengelola rumah sakit.
Kuusap perutku dan ketika kurasakan mlai terasa nyeri Vian langsung siaga memegang tubuhku dan menatapku khawatir.
“Sudah saatnyakah?” tanyanya panik dan aku tertawa mendengarnya. Kuusap wajahnya dan rahangnya yang kini tampak bulu-bulu halus menghiasinya.
“Hey sudah mau punya anak 3 juga masih belum tahu tanda-tanda mau melahirkan.”
Vian mengerucutkan bibirnya lalu merengkuhku lagi dan mendekapku dari belakang lagi.
“Fey tak ingat, dulu saat lahir Kavi kau kan tak merasakan sakit, aku yang kesakitan dan saat Lahir Elvira aku sedang berada di Bandung, tak menemanimu dan sekarang tentu saja aku bingung.”
Aku pun hanya tersenyum, dan akan menjawab ketika kudengar derap langkah kaki ke arah kami.
“Peyyyyyyyy ... Al dapat es klim,” teriakan Al membuatku melepaskan pelukan Vian dan kini kulihat dua bocahku itu belepotan es krim di tangannya.
“Mbak sampai kapan itu si Kavi manggilnya kok Peyyyy terus,” celetukan Evan yang langsung nongol di ambang pintu dapur membuatku terkekeh. Sedangkan Al dan El kini sudah sibuk duduk di lantai dapur dan menikmati es krim mereka.
Vian ikut bergabung duduk bersimpuh di dekat mereka dan mulai menggoda keduanya dengan menjilati es krim membuat dua bocah itu berteriak teriak histeris mencoba menghindar.
Evan melangkah mendekat ke arahku dan kini mengusap perutku. Yup, kalian perlu tahu kalau aku sekarang sedang mengandung buah cinta kami yang ketiga dan mungkin sebentar lagi akan terlahir ke dunia karena sudah menginjak usia 9 bulan.
“Salahkan itu kakakmu yang memanggilku begitu sehingga Kavi tak mau memanggilku mommy dan lebih nyaman memanggilku Peyyyy.”
Vian menoleh ke arahku dengan El berada di pangkuannya.
“Fey juga masih memanggilku, Bee, tak mau kalau aku suruh panggil daddy jadi Kavi juga ikut memanggilku begitu,” jawab Vian yang langsung diprotes Kavi.
“Ga mau dipanggil Kapi .... maunya Al aja lebih kelen,” ucapnya lucu, bocah 5 tahun itu langsung menjilati es krim yang belepotan di tangannya. Kulitnya yang putih bersih persis Vian membuat Kavi memang lebih seperti anak cewek, karena bulu matanya lentik dan wajahnya yang bulat mungil itu. Kalau mama dan papa langsung bilang itu Aline kecil karena memang Kavi lebih mirip denganku. Sedangkan El, yang mempunyai mata bulat, lebih condong ke Vian. Bahkan foto Vian kecil mirip sekali dengan El, bocahku 4 tahun itu.
“Dihhhh, udah 5 tahun ko masih cedal, Piiiiii... makanya bisa ucapin vii gitu, jangan Piiiii,” celetuk Evan membuatku dan Vian tergelak.
“Tuh dengar kan dia sendiri yang minta dipanggil Al dan juga saat Elvira lahir dan diberi nama, dan ketika beranjak besar, sudah bisa ngomong juga El vira maunya dipanggil El gitu,” jawabku membuat Evan meringis.
“Dasar dua ponakan om Evan yang pintar ya, sini siapa mau es krim lagi,” ucapan Evan terang saja membuat dua bocah itu langsung berlari ke arah Evan.
“Evan, sudah tak ada es krim lagi!” Tapi tiba-tiba kakiku terasa basah dan ada bunyi seperti ada yang jatuh dari kakiku. Dan perutku terasa sangat nyeri.
“Bee ... Sakit,” rintihku saat menatap ke arah bawahku
“Ini air ketuban, kan? Pecah?’ tanyaku ke arah Evan dan Vian yang membuat keduanya panik.
“Fey, kita harus ke rumah sakit segera!!!”
Vian pov
Panik, satu kata yang bisa kuucapkan saat ini. Tadi setelah Fey merintih kesakitan dan ketubannya pecah, aku dan Evan langsung membawanya ke rumah sakit. Tapi dalam perjalanan ke rumah sakit, Fey mengalami pendarahan. Membuatku makin panik, dan juga Al dan El yang juga ikut menangis melihat mommy-nya kesakitan.
Untung jarak rumah sakit tak lebih dari 20 menit, ketika sampai di sana tadi Fey langsung masuk kamar persalinan. Dokter menyarankan untuk dioperasi karena kondisi Fey yang lemah. Aku pun menenangkan Al dan El sementara Evan kusuruh menghubungi semuanya.
Dan di sinilah sekarang aku berada, duduk termenung melafalkan doa, dan menatap Fey yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.
Buah hati kami yang ketiga telah lahir 1 jam yang lalu. Bayi mungil yang tampan, segera setelah dokter Danu menyuruhku masuk, dan melihatnya. Tangis haruku langsung menyeruak, segera kukumandangkan adzan di telinganya.
Tapi dokter Danu memberi kabar buruk untukku. Fey mengalami pendarahan yang begitu banyak karena kondisinya yang kelelahan dan tak sehat. Ditambah Fey juga mengalami anemia, saat ini Fey terbaring koma. Evan yang mempunyai golongan darah sama dengan Fey langsung mendonorkan darahnya. Al dan el sudah ditenangkan mama, Nadia ikut menenangkan El yang terus rewel dari tadi. Hatiku teriris pilu, melihatnya.
“Fey, kuat ya, Fey. Berjuanglah, Fey. Aku tak bisa kehilanganmu.” Kuraih jemari Fey dan kuciumi. Semoga bisa memberi kekuatan kepada Fey yang aku yakin saat ini masih berjuang.
“Kak,” suara Rasya mengagetkanku dan aku pun menoleh ke arah Rasya. Aku terkejut melihatnya masih menyandang ransel di bahunya.
“Sya, kenapa sudah di sini?”
Rasya mendekati Fey dan menggenggam jemari Fey di sisi yang lain.
“Rasya sudah dalam perjalanan ke sini, kemarin papa minta Rasya pulang karena besok ada tahlil mengirim doa buat mama. Tak tahunya tadi saat Rasya di bandara, kak
Evan telepon dan Rasya segera di sini.” Hening menyelimuti kami.
“Kak, gimana Mami?” tanyanya sudah akan menangis. Kuhela napasku, ”Doakan Fey, ya, semoga bisa melewati masa kritisnya.”
*****
Aku masih terus membacakan surat Yasin, hari sudah beranjak malam. Aku masih bergeming di sisi Fey. Tak ada tanda-tanda dia akan terbangun. Tidurnya sepertinya damai dan lelap.
Hatiku mencelos, saat tadi dokter Danu memberitahuku, kalau sampai besok Fey masih koma, tak ada yang bisa diharapkan lagi. Seketika itu juga aku menangis histeris.
Mama langsung mendekapku erat, Evan juga merasa terpukul mendengar kondisi Fey. Dia bahkan sempat tak sadarkan diri mendengar berita ini. rasya sama saja.
Kami semua berduka, dan aku tak tahu lagi apa yang harus kulakukan. Aku merasa menjadi suami yang bodoh dan jahat. Kondisi Fey yang saat ini memang sangat rentan. Usianya yang mendekati 35 tahun memang sangat rawan. Ditambah dia kelelahan karena merawat Al dan El. Dia bersikeras tak mau ada baby sitter dan ngotot menerima pesanan meski kandungannya sudah membesar. Aku yang disibukkan dengan jadwalku di runah sakit sehingga tak bisa memantau kondisinya.
Aku terpuruk, mencoba menepis kemungkinan terburuk. Tapi aku tak bisa, tak mungkin Fey menyerah begitu saja.
“Bee besok aku pasti akan cepat menjadi tua dan kau masih menjadi pria tertampan yang masih digilai oleh cewek-cewek.”
“Aiihhh, untung dong yaaaa. Aku masih bisa ambil daun muda.”
“Diihhhhh, mangga muda kaliiiii ... awas aja, ya. Itu belalaimu aku patahin!”
“ Feyyyyyyy ... sadiiiiissss.”
Air mataku meleleh saat teringat candaan kami dua hari yang lalu. Kemarin saat mengetahui dia hamil lagi, aku malah yang merasa khawatir. Padahal dia yang antusias menyambut kelahiran buah hati kami ini. Bahkan dia terlihat lebih sehat kali ibu dibanding kehamilan Al dan El dulu.
Suara pintu terbuka membuatku mengalihkan pandangan.
“Beeeeeeee.”
Al sudah berlari ke arahku dan kulihat mama mengikutinya.
“Loh, kenapa ga pulang?” Kugendong Al dan kini dia merengek ingin tidur di sebelah Fey.
“Dia ga bisa tidur, Dek, pengen sama Pey gitu,” ucap mama membuat hatiku trenyuh.
Al ini memang kalau tidur selalu minta dikeloni Fey.
Kuusap rambutnya yang berwarna pirang itu, saat Al mulai menyelusupkan kepalanya di sisi Fey.
“Beee ... kapan Pey bangun??? Al kangen,” ucapnya polos membuat hatiku makin menangis.
“Al berdoa sama Tuhan, doakan biar Pey cepet bangun ya? Yuk, berdoa baca bismilah.”
Al mengangguk, lalu dengan patuh membacakan bismilah.
“Udah, sekarang Al bobok ya, besok pagi Pey udah bangun.” Tangan mungilnya langsung memeluk Fey. Aku tak bisa menahan tangisku.
Aku pun tergugu melihat ini semua. Aku benar-benar tak bisa melihat seperti ini. Fey bangunlah, kami butuh dirimu.
“Deeeekkk ... sabar, ya .. semoga Aline diberi kekuatan,” suara Mama yang bergetar membuatku makin terisak.
*****
“Fey cita-citanya apa yang masih belum terlaksana?”
Kulihat Fey kini tampak berpikir tapi kemudian tersenyum.
“Ingin meninggal saat melahirkan,” ucapnya tiba-tiba membuatku terkejut. Segera kurengkuh dirinya ke dalam pelukanku. Dan kuciumi wajahnya.
“Hey, kok ngomongnya ngaco.“
“Bee, meninggal saat melahirkan itu masuk surga, aku ingin seperti itu,“ jawabnya membuatku makin takut.
“Fey, udah jangan begitu, jangan terus membuatku takut.” Kurasakan dekapan hangat di tubuhku.
“Feyyyyyyyyy.” Kukerjapkan mata. Sinar mentari sudah menyelusup masuk ke dalam kisi-kisi jendela kamar.
Tapi saat kulihat ranjang, aku benar-benar terkejut
karena mendapati ranjang yang kosong.
Jantungku langsung berdegup kencang. Tak mungkin, ini tak mungkin terjadi, aku tak bisa kehilanganmu,
Dengan membabi buta aku berlari keluar kamar dan di sana kulihat Evan menangis, dengan memeluk Nadia, Rasya bahkan tampak terisak.
“Tak mungkin ini tak mungkin, kan??? Fey di mana?” Aku segera melangkah ke arah mereka membuat mereka terkejut.
“Kak?”
“Yan.”
Suara Evan dan Rasya bersahutan. Jantungku sudah berdegup kencang, semuanya terasa berputar-putar di sekitarku.
Dan saat melihat keduanya yang terdiam aku pun luruh jatuh ke lantai. Semuanya gelap.
*****
Bau harum menyeruak, membuat tubuhku bereaksi. Kubuka mataku yang berat. Dan di depanku kulihat seorang bidadari yang sangat cantik tersenyum.
Di manakah aku???? Di surga???
Dan bidadari itu langsung memelukku dan mencium pipiku menebarkan aroma semerbak yang begitu wangi.
Aku masih terdiam mencoba mencerna.
“Beeeeee.”
“Daddyyyyy.”
“Iiiiihhhhh, canaaa ... Al minggil-minggil.” Seketika juga aku menoleh dan melihat Al dan El berebut menciumi seorang bayi mungil yang sedang digendong Nadia.
Aku pun segera menoleh lagi ke arah bidadari yang memelukku. Dan mulutku ternganga tak percaya.
“Kenapa menatapku horoh, huh???”
“Feyyyyy, ini benar kau Fey??” Kuusap wajahnya dan membuatnya terkekeh geli.
“Iya suamiku Sayang, ini aku, istrimu,” jawabnya membuatku langsung merengkuhnya.
“Jangan pernah tinggalin aku, Fey, aku tak bisa,” isakku dalam dekapannya.
“Maaf, Bee, maaf aku janji tak akan meninggalkanmu lagi.”
ALINE POV
Seperti mimpi, kemarin itu bener-bener seperti mimpi. Sepertinya aku sudah pergi jauuuhhh dan lama. Ada bunda dan juga ayah, yang menantiku jauh di sana. Tapi tiba-tiba aku mendengar lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang membuat hatiku seketika teringat. Suara itu suara milik suamiku tercinta. Aku sudah melangkah mendekati bunda dan ayah yang menantiku saat itu.
Tapi langkahku tertahan dan semuanya menjadi jelas, ingatanku kembali jelas. Suara suamiku tercinta membuatku berpikir kalau aku masih harus hidup. Aku masih punya tanggung jawab di dunia. Merawat buah hatiku dan juga berkumpul dengan suamiku.
Dan akhirnya di sinilah aku berada. Pengalaman spiritual saat aku mengalami koma kemarin, membuatku yakin kalau aku masih diberi kesempatan untuk berkumpul kembali dengan orang-orang yang sangat kusayangi.
Tadi pagi saat membuka mata, aku menemukan Vian tengah terlelap di samping ranjang dengan menggenggam erat jemariku. Tapi aku dikagetkan oleh teriakan Evan dan Rasya saat itu. Mereka bergantian memelukku dan bersyukur aku sudah tersadar dari koma. Dan aku ingin segera menjenguk buah hatiku yang baru saja terlahir di dunia ini. Dengan dibantu Evan dan Rasya, akhirnya aku bisa sampai di ruangan bayi. Saat akan membangunkan Vian yang terlelap Evan mencegahku. Katanya Vian baru aja beristirahat.
Tapi alangkah terkejutnya saat aku mendengar dari Evan kalau Vian tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri.
Rasa yang tadinya khawatir, ketika Vian membuka mata aku jadi terkekeh geli. Dia mengira aku sudah meninggal. Aku jadi mengerti Vian begitu khawatir denganku.
“Bee, lepasin ga ini pelukannya malu atuh ini di ranjang rumah sakit.”
Kutatap Vian yang masih memelukku erat. Sejak tadi siang dia mengetahui kalau aku sudah siuman dari koma. Dia langsung menciumi dan memelukku erat. Sampai Al dan El juga berebut dengannya untuk memelukku. Dasar dia ini manjanya kambuh. Dan malam ini saat semua sudah pulang, Al dan El juga pulang ke rumah dengan mama dan papa. Sedangkan Rasya bertolak ke Solo dulu untuk tahlil almarhum mamanya, tapi dia berjanji besok langsung ke Yogya lagi. Evan juga sudah disibukkan dengan jadwalnya yang sudah menjadi dokter umum di Puskesmas. Nadia, dia juga sibuk dengan profesinya, sebagai ibu komandan yang berkutat dengan kasus-kasus. Mana bisa punya anak itu mereka berdua kalau terus-terusan sibuk?? Dasar dua orang itu.
“Heh, Feyyyyy. Tuh kan, melamun lagi aku dicuekin,” rajuk Vian lalu menyandarkan kepalanya di bahuku.
“Udah malem bobok, yukk, katanya aku disuruh istirahat total.” Aku memang belum boleh pulang karena kondisiku yang masih lemah.
“Masih kangen dengan Fey. Takut nanti kalau Fey bobok tak bangun kayak kemarin,” kutabok dirinya yang ngomong sembarangan.
“Bee ... ngaco mulai ngaco.” Dia menghela napasnya.
“Tahu ga, Fey, aku itu takut banget pas kemarin kamu koma, bahkan aku sempat bermimpi, kan, Fey pernah bilang ingin meninggal saat melahirkan??? Aku pikir Fey benar-benar tak mau kembali.”
Kuusap wajahnya dan kini menoleh ke arahnya yang masih menatapku lekat.
“Bee ... mati dan hidup itu kan sudah ada garisnya,
alhamdulilah aku masih diberi kesempatan untuk hidup.”
Kurasakan dekapan lagi di tubuhku. Makin erat dan hangat.
*****
“Molniiiinggg, Peyyyyyy!”
“Mommyyyyyy.”
Suara-suara itu mengagetkan dari tidur lelapku dan saat aku mengerjapkan mata dua buah hatiku itu sudah duduk di atas tubuh Vian yang juga terkejut. Lalu mengaduh.
“Woiiiiiii, dua kesayangan daddy yaaaa .. ini sopan ini ya bangunin daddy kayak gini???” Vian menatap Al dan El yang langsung menjulurkan lidahnya ke arah Vian dan langsung menghambur ke pelukanku yang masih terbaring di atas ranjang. Sedangkan Vian semalam tidur memelukku kini ikut bergeser memberi ruang kepada dua bocah ini.
“Ehmmm udah harum ya udah pada mandi??” Kuciumi pipi gembil Al dan El membuat keduanya terikik geli.
“Al mandi sendili, Peyyy, pintel kan?”
“El juga dimandiin Al,” celetuk El yang kali ini rambutnya tampak dikuncir bercabang-cabang itu membuatku mengernyit. Ini pasti kerjaan Nadia kalau kayak gini.
“Eh, kasih morning kiss dulu sama Daddy.” Vian memonyongkan bibirnya ke depan Al dan El yang membuat keduanya menjerit dan mendorong Vian.
“Beeeeee bauuuu!”
“Daddy .... mandi dulu cana ... cana ... bau jigong!”
Vian membelalak terkejut mendengar celotehan Al dan El.
“Makanya dokter gigi kok, jorok! Sana sikat gigi dulu,” celetukan Evan dari arah pintu membuat kami semua menatap Evan yang melangkah ke arah kami.
“Ini mereka yang bawa kamu?” tunjuk vian ke arah Al dan El.
Evan mengangguk, ”Iya mereka kemarin minta nginep di rumah, biasa diiming-imingi kaset Boboiboy ama Princess sofia ma Nadia ya udah, deh.“
Dan aku tersenyum mendengarnya.
”Al semalem liat Om Epan cium-cium tante Nad .. ihhhh jijikkk,” celetukan Al membuat wajah Evan memerah dan kini Vian langsung beranjak dari kasur dan menjitak Evan.
“Heh .. inget Al dan El itu kertas putih jangan kau tulisi dengan adegan-adegan mesum,” celetuk Vian yang langsung ngeloyor ke kamar mandi. Evan menggarukgaruk kepalanya.
“Diihhh, Al ... siapa yang cium-cium? Enggaklah Mbak, semalam itu Nadia belepotan pas buatin susu buat Al dan El lha, aku bersihin itu pipinya.”
“Moduuuuss deh lu, Paaannn,” ucapku ke arah Evan yang kini melotot ke arahku.
“Mbak Aline jangan panggil Epan Epan ishhhh like
son like mother sama aja emang Evan panci apa?” Dan sukses tawaku berderai mendengarnya.
*****
“Fey, ini hidungnya ihhh mirip kamu, ya ... mancung kecil, rambutnya kok bisa pirang merah gini, ya?” Kulihat Vian masih mengamati putra kami yang baru saja diantar suster untuk kususui.
Vian menggendongnya, ditimang-timang bayi mungil itu. Sedangkan aku hanya terbaring di kasur karena belum begitu kuat untuk bangun.
“Itu perpaduan wajah Al dan El ya, Bee??” Vian melangkah ke arahku dan kini menidurkan bayi yang memang belum kami beri nama itu di atas box. Entahlah selalu saja bingung untuk memberi nama. Aku dan Vian memang selalu berdebat soal nama.
Vian melangkah ke arahku dan kini mencium keningku lama.
“Sudah ya cukup 3 aja. Aku tak mau Fey seperti kemarin berjuang antara hidup dan mati. Aku tak bisa, Fey, tak bisa melihatmu seperti kemarin.”
Aku tersenyum dan mengusap wajahnya, ”2 jagoan dan 1 putri cantik sudah cukup, Bee ... Aku tak sabar menunggu mereka tumbuh besar.”
Vian merengkuhku ke dalam pelukannya.
“Semoga tetap diberi kesehatan dan umur yang panjang ya, Fey...agar mereka bisa tumbuh dengan baik.”
*****
Akhirnya setelah satu minggu lebih di rumah sakit, aku diperbolehkan pulang. Sudah sangat merindukan ketiga buah hatiku tercinta. Al, El, dan Aby. Selama aku dirawat memang, mama akhirnya yang merawat ketiganya, ditambah dengan dua baby sitter lagi. Akhirnya aku mengalah juga, karena memang mereka butuh baby sitter, Evan sendiri ngotot aku harus istirahat total. Dia jadi lebih over protective kepadaku. Alhasil Vian pun ikut terpengaruh dan semakin menjagaku dengan ketat. Ada-ada saja mereka. “Mommmyyyyyyyy.” suara cempreng El menyambutku di ambang pintu. Dia tampak berlari-lari kecil saat aku baru saja menapakkan kaki di halaman.
“El kangeeeennnn.” Kuraih tubuhnya dan mulai menggendongnya. Tapi Vian langsung mencegahnya.
“El, mommy masih sakit jadi El gendong daddy saja, ya” rajuknya ke arah El. Dan gadis cilik itu langsung mengangguk, selalu patuh dengan Vian.
“Peyyyyyyyyyy.” Al berlari ke arahku dengan diikuti kedua baby sitter-nya dan juga mama yang tampak menggendong Aby.
“Ihhhh, ini kenapa belepotan mulutnya?” Aku menunduk dan mengusap cokelat di pipi dan mulutnya.
“Abis mam cokelat dikasih om Lasya,” celetuknya dan munculah Rasya dari arah belakangku.
“Tuh Rasya, Fey, yang kasih cokelat, bukan aku, loh.” Vian melangkah masuk ke dalam rumah dengan menggendong El. Sedangkan tubuh gendut Al sudah berada di gendongan Rasya yang kali ini mengerling ke arahku. Dasar itu bocah tetap saja.
“Aby Sayaaanngg.” Mama mendekat dan kuciumi pipi Aby yang kini tampak tertidur pulas di gendongan mama.
“Aline istirahat dulu aja, ya, Aby juga biar bobok, anak-anak biar sama mbak-mbaknya.” Mama menatapku dengan penuh perhatian. Aku mengangguk dan tiba-tiba tubuhku sudah ditarik Vian ke dalam pelukannya. Loh kenapa dia sudah berada di sampingku lagi coba??
“ Ayo Fey, ga boleh bandel, bobok dulu, nanti aku dimarahin Evan,” ucapnya lalu menghelaku untuk masuk ke dalam rumah.
“Apa sih, Bee, aku udah sehat kok, suerrr!” Kuacungkan dua jariku tapi Vian menggeram. Lalu tibatiba tubuhku terangkat dan membuatku memekik terkejut.
“Bee, malu ini kenapa pakai gendong-gendong?” Vian menyeringai.
“Abisnya Fey ini selalu ngeyel dan ngeyel pokoknya istirahat dulu di kamar.”
*****
Terpaksa menyerah juga, aku dihela tidur lagi dan disuruh minum obat. Entah pengaruh obat yang membuatku mengantuk, atau karena pelukan Vian di sampingku. Dia memang menemaniku tidur sehingga aku bisa terlelap dengan nyenyak.
Kukerjapkan mata dan melihat Vian sudah tak ada di sisiku. Tapi bisa kudengar kekehan anak-anak di kamar sebelah lengkap dengan suara Vian. Aku tersenyum, kulirik jam di atas nakas menunjukkan pukul 4 sore. Mereka pasti sedang bermain dan menonton acara kartun di televisi dengan daddynya.
Aku pun beranjak dari atas kasur. Melangkah menuju pintu, dan ingin menemui anak-anak. Tapi langkahku terhenti saat melihat Rasya tengah termenung di balkon yang berada di ujung lantai 2 ini. Entah kenapa dia juga belum kembali ke Bandung. Kuliahnya memang sudah selesai tahun lalu. Tapi dia memang bertanggung jawab dengan café milikku. Sekarang ini dia nampak lebih dewasa. Meski rambutnya masih bergonta-ganti warna. Tapi usialah yang membentuknya menjadi pria lebih dewasa yang tak lagi kekanak-kanakan seperti dulu.
Kulangkahkan kaki menuju tempatnya.
“Sya, kenapa sore-sore melamun, huh?” Kulihat Rasya tersenyum dan menoleh ke arahku.
“Udah baikan, Mi?” Dia memberi ruang untuk kududuk di sebelahnya.
Aku pun mengangguk dan menghela tubuhku untuk
“Di Bandung udah nemu cewek belum, Sya?” Kucoba untuk bertanya. Karena selama kurang lebih 2 tahun ini, aku dan Rasya jarang bertemu. Kalau tak pas dia pulang ke Solo dan menyempatkan ke sini.
Dia tersenyum, tapi hanya tipis lalu matanya menerawang lagi. Dan kini menoleh ke arahku.
“Mami percaya cinta sejati?” Kutolehkan wajahku ke arahnya, dan raut wajahnya serius.
“Ehm apa, ya? Cinta sejati itu kalau jodoh kan, Sya, kayak aku sama kakakmu Vian itu, kayak Ryan dan Sisca, dan kayak Nadia sama Evan. Atau Putri dan Tian, mereka semua kan bahagia, Sya, akhirnya meski berbagai rintangan menerjang, dan cara penyatuan semuanya itu berbedabeda.”
Rasya menghela napasnya lagi.
“Tapi bagiku cinta sejatiku itu Mami. Apakah itu bisa disebut begitu? Bukankah kita tak jodoh?” ungkapnya, kemudian membuatku terkejut. Selama 5 tahun ini kupikir ini bocah hanya kagum kepadaku. Sosok anak kecil yang tak pernah mengenal kasih sayang seorang mama, dan dia menggantikan mamanya denganku. Itu kenapa dia kuperbolehkan memanggilku Mami. Tapi ucapannya baru saja membuatku terkesiap. Sedalam itukah cintanya?
“Sya, jangan bercanda, kau denganku kan hanya menganggap mama yang sebenarnya, atau lebih cocok kakak untukmu, Sya. Jangan seperti ini, jodohmu masih ada di sana, tulang rusukmu, Sya, bukan aku. Jangan samakan perasaanmu kepadaku itu sebagai cinta, Sya.” Kucoba untuk memberinya pengertian. Tapi kini dia menggelengkan kepalanya.
“Aku mencintai Mami, sejak pertama bertemu di rumah, itu cinta, Mi. Beneran cinta. Dulu Rasya sempat menyangkal karena Mami tak mungkin Rasya miliki. Tapi hari ini Rasya ingin jujur dengan Mami, kalau Rasya beneran cinta sama Mami.” Dia menunduk dan memainkan jemarinya.
Sungguh aku terkejut mengetahui fakta ini.
“Sya.” Kuusap bahunya. Tapi kemudian dia menoleh lalu tersenyum.
“Rasya lega sudah menyampaikan perasaan ini kepada Mami. Usia Rasya sudah 25 tahun sekarang, Mi. Rasya bahagia, melihat Mami, doain Rasya juga bahagia ya, Mi. Rasya akan mencoba.”
Dia menoleh ke arah tas ransel yang ada di sampingnya. Membukanya dan mengambil sesuatu.
“Ini sebenarnya sudah Rasya bawa sejak kemarin pas Mami di rumah sakit. Tapi maaf baru sekarang Rasya bisa memberikannya.” Kuterima undangan warna biru laut itu.
Aku mengernyit, tapi kemudian segera membukanya. Dan mataku membelalak terkejut melihat nama yang tertera di sana.
Rasya Baladewa Putra
Dan
Ratih Narendra Putri
Just married
Mataku tertegun menatap undangan unik di tanganku.
“Sya, kau gila? Besok akan menikah dan kau baru memberi tahunya,sekarang kepadaku?”
Rasya tersenyum tipis lalu tiba-tiba mengacak rambutku.
“Rasya masih belum rela melepas Mami cantik. Rasya masih bimbang, Mi. Padahal kemarin saat melamar Ratih, Rasya sudah mantap. Tapi seminggu di sini, hati Rasya kembali gundah, bisakah Rasya melupakan Mami?”
Ucapannya sungguh membuat hatiku trenyuh. Kuusap rambutnya dengan sayang, “Cinta, menikah itu berkesinambungan, Sya, ini kenapa Rasya bisa mantap melamar Ratih? Bukankah ini gadis yang dulu suka mengejarmu, ya? Vian pernah bercerita kepadaku.” Rasya mengangguk.
“Panjang ceritanya, Mi, Ratih memang suka sama Rasya sejak dia masih SMP. Terus dia dan keluarganya pindah ke Sumatra. Lama tak terdengar kabarnya. 1 tahun yang lalu, kami dipertemukan lagi, tapi semuanya berbeda. Ratih mengalami kecelakaan hebat membuat ingatannya hilang semua. Dan yang teringat hanya nama Rasya di pikirannya. Lingga kakak Ratih yang notabene sahabat Rasya dulu memohon kepada Rasya untuk membantunya memulihkan ingatan Ratih karena selama ini Ratih juga masih mencintai Rasya, Mi.”
Aku terkesiap, mendengar ucapannya.
“Jadi kau menikahi Ratih untuk membantunya? Bukan mencintainya?”
Raut wajah Rasya berubah muram.
“Entahlah, Mi. Rasya merasa iba dengannya, dan Rasya merasa bersalah dengan Ratih karena saat Ratih kecelakaan dia sebenarnya berniat menemui Rasya setelah sekian tahun di carinya.”
“Bodoh, kau sangat bodoh, Sya, kalau tak mencintainya, gadis itu rela berkorban selama ini dengan perasaannya. Sudah nikahi dia mantapkan hatimu!” Aku terkejut mendengar suara Vian yang kini sudah berdiri bersedekap di depanku dan Rasya.
“Kak Vian, ini Rasya juga akan menikahinya, dan maaf tak bisa mengelola café lag. Karena setelah menikah
Rasya akan membawa Ratih berobat ke Singapura.”
Aku kembali terkejut mendengarnya.
Vian menggeser tubuhku dan kini duduk di sebelahku dan memeluk pinggangku erat.
“Iya, Kakak tahu dari Radit. Biar nanti Radit dulu yang mengurus di sana. Kau tenanglah, dan ingat, Sya, sekalinya kau menikahi wanita jangan pernah berpikir untuk menceraikannya.”
Kulirik Vian yang ternyata bisa bijaksana juga. Aku pun tersenyum dan menepuk bahu Rasya.
“Aku juga berdoa semoga kalian bahagia, ya?” Rasya tampak akan menangis di dekatku. Lalu tanpa aba-aba dia, menubrukku dan memelukku erat.
Vian terkejut dan akan menyingkirkan tangan Rasya tapi aku, menggelengkan kepalaku. Karena bocah ini menangis, di pelukanku.
“Mi ... makasih sudah mengerti Rasya selama ini,” isaknya.
*****
“Bee, ngapain coba? Ini mau menyusu Aby dulu,” kuhela Aby ke atas kasur, tapi tangan Vian masih memelukku erat.
“Kangen, Fey,” rengeknya manja, tuh kan mulai lagi.
Kukibaskan tangan dan terkekeh geli, mulai menyusui Aby. Vian memberengut lucu. Tapi kemudian berpindah duduk bersimpuh di lantai dan menatap Aby yang sedang menyusu.
“Akhirnya semua menemukan pasangannya, ya, Bee.”
Vian mengangguk lalu mengusap pipiku lembut.
“Tapi pasanganku yang ini paling istimewa,” rayunya
membuatku tersenyum geli.
“Ingat umur, anak udah 3 masih aja ngegombal.”
Vian menyeringai lalu tiba-tiba maju dan mengecup keningku lama, lalu melepaskannya.
“Denganmu, Fey ... sampai tua pun aku akan tetap sama, rasa cintaku ini tiap detik meluap dan makin bertambah, you make me crazy, Fey. I love you, forever.”
Share this novel