BAB 58
Waktu terus berjalan dengan cepat. Sudah 2 bulan sejak kelahiran Kavi. Mama dan papa sudah kembali ke Yogya, Tante Rani dan om Dewa juga telah kembali ke Solo. Vian makin disibukkan dengan berbagai kesibukannya, kuliah, mengajar, dan juga mengurusi café. Rasya sendiri mulai serius dengan kuliahnya.
Evan kembali ke Yogya, dan meminta doa karena tahun ini dia akan segera diwisuda. Sedih mengingat Evan di sana sendiri meski ada mama dan papa yang sangat menyayanginya. Evan bekerja sambilan di rumah sakit milik keluarga Atmawijaya sebagai tenaga administrasi, padahal papa sudah melarangnya, tapi Evan tetap ngotot ingin bekerja. Alasannya dia ingin mempunyai uang hasil kerja kerasnya sendiri, walaupun semua kebutuhannya sudah dipenuhi mama dan papa.
Aku tak menyangka Evan jadi dewasa, padahal dulu dia sangat manja denganku. Uang saku pun masih meminta kepadaku. Tapi sekarang adikku itu benar-benar mandiri. Hanya saja sejak kepergian bunda, hubungan Evan dan Putri mulai renggang. Bahkan kemarin saat mau pulang Yogya, Evan bilang kalau dia sudah putus dengan Putri. Adikku menjadi pendiam sekarang.
Aku sendiri kerepotan mengurus Kavi karena masih harus membuat kue untuk menu café. Tiap pagi, setelah memandikan Kavi, Vian kadang menyempatkan menjaga Kavi sementara aku berkutat di pantry, atau kalau tak sempat Rasya yang berganti menjaga Kavi. Vian memintaku untuk menyewa baby sitter saja, tapi buat apa? Toh aku ingin merawat Kavi sepenuhnya.
Satu hari, dua hari aku dan Vian bisa melewatinya. Tapi saat café mulai ramai, dan permintaan cake mulai bertambah, aku yang kerepotan sendiri. Seperti hari ini, tadi siang pun Radit memintaku membuat red velvet lagi sebanyak 20 loyang, padahal Kavi belum ada yang menjaga. Alhasil setelah menidurkan Kavi dan membawanya ke pantry di atas kereta dorongnya, aku mulai cepat membuat cake. Untung Radit mulai mengerti apa yang aku inginkan.
Badan terasa sangat lelah, setelah selesai di café, kubawa Kavi kembali ke rumah. Dan cucian popok milik Kavi sudah menumpuk, baju kotor juga sudah banyak. Semuanya aku selesaikan sendiri, dari mencuci, menjemur dan menyetrika. Petang hari aku baru menyelesaikan semuanya. Untung Rasya pulang awal dan bisa menjaga Kavi ketika aku menyelesaikan semuanya. Tapi aku jadi tak sempat memasakkan makan malam. Biasanya saat Vian pulang, dia langsung makan. Dan itu pun harus aku yang memasakannya.
“Miiiiii, Kavi pup, Miiii,” teriakan Rasya dari kamar membuatku tergopoh-gopoh berlari ke kamar. Dan ketika sampai di kamar, Rasya sudah menutup hidungnya.
“Ya sudah, sana kalau jijik menyingkir sana.” Aku mendekati Kavi dan membersihkan pupnya dan segera ke kamar mandi untuk mengambil air hangat. Ketika kembali Rasya memang masih di sebelah Kavi dan menggoda Kavi dengan lucu.
“Katanya bau, kok ga menyingkir?” Aku bersihkan tubuh Kavi dengan air hangat. Kavi mulai tersenyum ke arah Rasya yang masih menggodanya.
“Masih ingin bermain dengan Kavi, Miii ... lucu gemes nih pipinya kayak bakpao ya, Miiiii,” celetuk Rasya sambil menciumi pipi Kavi yang memang makin gembil itu.
“Makin mirip Mami deh, wajahnya nih imut,” celetuk Rasya lagi, membuatku terkekeh. Kavi pun ikut menepuknepuk pipi Rasya.
“Assalammualaikum.” Suara dari ruang tamu membuatku langsung menggendong Kavi. Vian sudah pulang, dan Rasya pun ikut beranjak dari kasur tapi tetap mengekoriku dan menggoda Kavi.
“Waalaikumsalam, Bee.” Kucium tangannya saat sudah berada di depannya. Dia hanya tersenyum tipis, wajahnya nampak lelah.
“Aku lapar, Fey” ucapnya tanpa basa basi dan tak menyapa Kavi juga.
Aku dan Rasya saling bertatapan saat Vian melangkah
menuju meja makan.
“Diihh, kambuh kali, Miii, aahh Rasya ke kamar aja, ya!” Rasya secepat kilat melesat ke kamarnya meninggalkanku yang menatap punggung Vian yang menatap dari meja makan.
“Kok belum masak, Fey” tanyanya langsung ke pokok masalah. Aku melangkah mendekatinya.
“Belum sempat, Bee, seharian ini repot. Café ada pesanan red velvet, cucian juga menumpuk, jadi aku baru aja selesai, untung Rasya pulang awal dan bisa menjaga Kavi.”
Vian melepas kancing kemejanya dan melangkah ke arah kamar. Tak ada respon darinya. Aku pun mengernyit merasakan perbedaan sikapnya hari ini.
“Mandi dulu aja, ya, Kavi sudah bobok lagi, habis ini aku masakin ya, mau makan apa?” Kutolehkan tubuhku sesaat setelah membaringkan Kavi di box bayi.
Vian menyambar handuk, ”Tak usah, keburu lapar kalau menunggumu masak, Fey. Aku itu seharian belum makan, sibuk dan tadi menolak ajakan teman-teman untuk mampir ke restoran karena pasti kamu sudah masak buatku. Tapi sampai rumah malah belum ada apa-apa, cacing di perut sudah tak kuat. Nanti aku beli di depan café aja, nasi goreng,” jawabnya tanpa menoleh ke arahku dan langsung masuk ke dalam kamar mandi.
Hatiku mencelos mendengar ucapannya itu, aku salah, ya? Kenapa sikapnya begitu dingin denganku.
Biasanya juga dia maklum kalau aku tak sempat memasak karena kesibukan di rumah.
*****
Rasa kantuk menderaku, menguap berkali-kali saat melipat mukena sehabis sholat isya. Vian sendiri tadi selepas sholat maghrib dia sudah menghilang menuju café, satu lagi kesibukannya. Di café sampai jam 12 malam baru kembali ke kamar.
Aku mencoba mengerti sikapnya yang dingin tadi, bahkan dia hanya diam saat keluar dari kamar mandi, Kavi pun tak disentuhnya, dia langsung melesat keluar. Mungkin dia memang sedang capek. Kulangkahkan kaki menuju ranjang dan membaringkan diri di atas kasur. Lelah yang menderaku selama seharian ini akhirnya membuatku terlelap dengan cepat.
*****
“Goooooooooollll.”
“Gooooooollllll.”
Suara teriakan membuat kesadaranku berkumpul dan membawaku kembali dari alam mimpi. Kukerjapkan mata dan menatap jam yang telah menunjukkan pukul 3 dini hari. Tapi samping kasurku masih kosong dan rapi, pertanda Vian belum tidur.
Suara tangis Kavi-lah yang membuatku langsung meloncat dan menuju box bayi.
Kavi menangis dengan keras, dia memang sensitif apabila mendengar suara-suara ketika dia tertidur. Kugendong tubuh Kavi dan mencoba menenangkannya.
“Gooooooolllll!” teriakan itu lagi membuat tangis Kavi makin kencang. Kulangkahkan kaki keluar dari kamar dan mendapati Vian dan Rasya asyik menonton pertandingan bola.
“Hust ... cup cup cup ... anak mommy ... tidur lagi, ya.” Kutenangkan Kavi yang masih menangis itu.
“Yaaa, lagiiiii aku yang menaaaang!“ teriak Vian ke arah Rasya tak menyadari aku dan Kavi sudah berdiri di samping sofa tempatnya duduk.
Rasya yang menyadari pertama kali dan mencoba menepuk Vian untuk menoleh ke arahku.
“Apa, Fey?” tanyanya bingung tapi masih tak fokus antara menatapku dan juga televisi.
Tangis Kavi sudah agak reda, kutepuk- tepuk punggung Kavi untuk menidurkan lagi. Kekesalanku sudah mencapai puncaknya, segera kuambil remote dan mematikan televisi.
“Feyyy!!!” Tiba-tiba Vian berteriak ke arahku membuat Kavi terkejut dan menangis lagi. Rasya juga terkejut mendengar teriakan Vian.
“Kak, jangan membentak seperti itu.” Rasya mulai bangkit dan melangkah ke arah kamar, dia tak ingin mencampuri urusanku.
Kavi masih menangis dan kulangkahkan kaki ke arah kamar, tapi hatiku terasa sakit mendengar bentakannya. Kuusap air mata yang telah lolos begitu saja. Dari dulu aku tak bisa dibentak, apapun itu alasannya.
Lama aku mencoba menidurkan Kavi lagi, Vian juga entah apa yang dilakukannya, dia tak menyusulku ke kamar, atau pun menyalakan televisi lagi.
Biarlah, aku tak peduli, hari ini dia sudah membuatku kesal. Sifat kekanak-kanakannya mulai muncul lagi. Benar, kan ... ini yang kukhawatirkan menikah dengan orang yang jauh rentang usianya. Saat ini pasti datang juga.
Kavi sudah tertidur lagi, setelah membaringkannya di box, aku kembali melangkah ke arah kamar mandi, sholat malam akan menenangkan hatiku ini.
*****
Pening mendera kepalaku, tubuhku terasa sangat lemas. Tangis Kavi membuatku ingin segera bangun dari atas peraduan ini. Suara sayup adzan subuh mengembalikan ingatan kalau aku tadi terakhir tidur di atas sajadah setelah sholat malam. Tapi sekarang kudapati diriku berada di atas kasur. Aku segera berlari ke arah box bayi tapi tak kudapati Kavi di sana.
Suara tangisnya masih terus kudengar. Aku segera berlari ke luar dari kamar dan kudapati Vian tengah menenangkan Kavi yang masih menangis.
“Sini ...” Kuambil Kavi dari gendongan Vian dan menenangkannya. Kavi langsung menyurukkan kepalanya di antara payudaraku. Dia pasti ingin menyusu. Kududukkan tubuhku di sofa di ruang tengah. Vian hanya diam melihatku menyusui Kavi.
Masih diam saat aku pun beranjak dan Kavi sudah tampak tenang di gendonganku. Pening kembali mendera, rupanya tidurku yang tak nyenyak membuat kepalaku pusing.
“Fey,” panggil Vian tiba-tiba saat aku akan melangkah menuju kamar kembali.
Kubalikkan tubuh dan menatap Vian yang tampak kuyu itu. Tak tidurkah dia semalam?
“Apa? Masih marah denganku karena aku tak memasak? Atau masih marah karena mengganggu acara nonton bolamu?”
Vian mengacak rambutnya dan menatapku.
“Maaf, semalam aku hanya terlalu lelah,” jawabnya. Kurasakan Kavi menepuk-nepuk pipiku. Posisi kami masih berada di depan kamar.
“Aku juga lelah, sama, Yan, tapi kau bertindak kekanakan semalam.”
Vian menggeretakkan rahangnya.
“Maaf,” ucapnya datar. Aku pun mendengus kesal dan berbalik, tapi Vian segera menarik tanganku.
“Please, mengertilah kondisiku, Fey,” ucapnya membuatku terhenyak. Mengerti bagaimana maksudnya?
Kutepis tangannya dan segera melangkah ke arah kamar, membaringkan kavi di atas kasur, dan bermainmain dengannya.
Vian ikut membaringkan diri di sebelah Kavi dan menciumi pipinya. Aku tak ingin berdebat pagi ini. Rasa pening kembali mendera kepalaku.
“Fey, ada apa?” Tatapnya khawatir saat kupijat pelipisku.
“Pusing,” jawabku singkat, tapi kulihat Vian langsung menghela napasnya. Tak ada sikap halusnya yang selama ini diperlihatkan saat aku sakit.
“Sudah aku bilang kan, Fey, pakai baby sitter atau sewa pembantu, aku masih bisa membayarnya, jangan seperti ini memaksakan semuanya kau urus sendiri, jangan salahkan aku jika Fey jadi sakit begini.”
Ucapannya benar-benar menohok ulu hatiku. Kenapa dia jadi kasar begini. Kuusap mataku yang mulai digenangi air mata. Mencoba mengalihkan pandanganku ke arah kavi yang kini tampak sudah mengantuk lagi.
“Aku tak ingin membebanimu dengan membayar lebih pembantu atau pun baby sitter,” jawabku sekenanya. Dan kini Vian bangkit dari kasur. Melangkah dengan cepat ke arah lemari pakaian, dan mengambil sesuatu. Lalu dengan cepat kembali ke arahku. Meletakkan sebuah buku di depanku.
“Ini tabungan untuk menghidupi kita, menghidupi kau dan Kavi, semuanya sudah aku siapkan, Fey, jangan berpikir kau ini hidup dengan susah.”
Kutatap matanya yang kini berkilat menahan emosi. Aku masih terdiam saat dia kembali duduk dan mengusap rambut Kavi yang telah tertidur.
“Jadi luluhkan egomu, Fey, jangan keras kepala, kalau begini siapa yang repot? Setiap aku pulang ke rumah kau sudah tampak kelelahan, meminta hakku pun aku tak tega, Fey,” ucapnya tajam.
Air mata kini makin tak terbendung mengalir dari mataku. ”Kau bosan denganku? Aku memang seperti ini, wanita tua yang sudah beranak dan sibuk mengurusi rumah tangga, tak cantik dan seksi lagi, kau jenuh denganku, kan?”
Entah apa yang mengalir dari mulutku ini, aku pun tanpa sadar mengucapkannya. Vian mengusap wajahnya yang lelah itu. Memainkan jemarinya dan mulai menatapku lagi.
“Asal Fey tahu, di usiaku yang masih muda begini, aku pun ingin merasakan kehidupan sebagai anak muda. Kuliah, berkumpul dengan teman-teman. Hang out, atau apalah, tampak menyenangkan, bukan?” ucapnya.
Hatiku makin terasa sakit mendengar penuturannya. Kugigit bibirku agar aku tak terisak makin keras.
“Tapi Fey tahu, kan? Buat apa itu semua? Tak berguna, karena aku hanya bisa bahagia jika bersamamu, Fey,” ucapnya lirih tapi seketika membuat saraf otakku bekerja, hatiku menghangat.
“Tapi memang aku sedikit kecewa saat Fey jadi tak mengurusi dirimu sendiri, sejak Kavi lahir. Aku merasa tak diperhatikan lagi oleh Fey. Di kampus pikiranku tiap hari ingin cepat pulang. Menemuimu dan Kavi, semua kepenatan seakan menguap jika sudah melihat wajahmu. Tapi manusiawi kalau aku pulang dan kecewa karena Fey seperti tak peduli dengan kehadiranku. Fey terlalu lelah sehingga membuatku tak tega menyentuh Fey.”
Aku makin terisak mendengar ucapannya, benar di sini aku yang salah. Aku terlalu keras kepala, hanya untuk menolak keinginannya mempekerjakan pembantu atau baby sitter. Bukankah ini semua untuk kebahagiaanku dan juga kebahagiaan keluarga ini?
Vian menggendong Kavi dan membaringkannya di atas box bayi lagi. Menyelimuti Kavi dan mencium pipinya, lalu melangkah ke arahku. Menarik tubuhku yang meringkuk di atas kasur. Mendekapku erat dari belakang.
Lama kami hanya berdiam di posisi yang sama. Tubuhku masih bergetar, aku masih terisak, dan Vian masih mendekapku erat meski tanpa kata. Hanya detak jantung kami berdua yang terdengar.
“Maaf.” Tiba-tiba Vian membalikkan tubuhku dan mengecup keningku lama. Tiba-tiba wajahku terasa basah. Aku terkejut saat melihatnya menangis. Kupeluk tubuhnya yang bergetar itu, kami sama-sama menangis.
“Aku juga bersalah, Fey, maaf, tapi Fey juga terlalu keras, jangan seperti ini, Fey. Semuanya harus kita bicarakan baik-baik. Aku tahu aku kadang masih terlalu kekanakkanakkan tapi Fey juga harus menganggapku bukan anak kecil lagi. Aku bukan adikmu, Fey. Aku kepala keluarga di sini. Cobalah percaya kepadaku, kalau aku bisa memimpin biduk rumah tangga ini, please.”
Kuangguki ucapannya, memang benar semua kata yang terlontar dari bibirnya. Aku harus percaya dengannya sebagai kepala keluarga, bukan?
“Maaf,” ucapku lirih membuat Vian langsung menarik wajahku dan menciumi dengan lembut. “Maaf telah membuat Fey menangis.”
Aku menghela napas dan memeluknya erat. Menyatukan dua hati itu memang butuh proses tak semudah membalikkan telapak tangan.
*****
Dan akhirnya, lebih indah bukan kalau menuruti apa kata suami. Luluh juga hatiku untuk mencari baby sitter atau pun pembantu atas paksaan Vian yang memang aku membutuhkannya. Karena setelah pertengkaran kami kemarin, tubuhku benar-benar drop. Vertigoku kambuh, harus istirahat total di atas kasur. Vian secepatnya membuat pengumuman di café, kalau dia sedang mencari baby sitter untuk Kavi. Tapi kalau hanya baby sitter katanya belum cukup, jadi dia juga membuka lowongan untuk pembantu yang bisa membantuku membersihkan rumah, mencuci dan lain-lain, selain memasak. Karena Vian tak bisa makan kalau bukan hasil masakanku. Aneh -aneh saja suamiku itu.
“Bos, semuanya sudah berkumpul itu, diiihhh café jadi kayak studio ajang pencari bakat. Bejibun orang, mana cantik-cantik lagi.” Radit muncul di ambang pintu kamar.
Saat ini Vian sedang menyuapiku bubur ayam, tuh kan dia terlalu memanjakanku. Padahal vertigoku diminumin obat terus buat tidur juga langsung sembuh, tapi dia ngotot aku tak boleh bergerak, takut aku jatuh karena tahu vertigoku itu memang menjadikan semuanya bergoyang kalau kita melangkah. Kavi pun tampaknya mengerti kalau mommy-nya sedang sakit, sedikit pun dia tak rewel, bahkan sekarang sedang diajak Rasya berjemur di taman. Karena ini hari Minggu jadi Vian dan Rasya di rumah.
“Ya udah suruh Rasya yang audisi, deh, Fey kasian nih kalau aku tinggal,” celetuk Vian sambil menyuapkan bubur lagi ke mulutku.
“Rasya sama Kavi langsung aja ya, Bos,” ucap Radit lalu segera berlalu.
“Bee, kenapa pakai audisi segala? Setahuku ada yang melamar terus kita terima gitu,” ucapku ke arah Vian yang kini sibuk mengambilkan obat untukku.
“Aaaaaa, buka mulutnya,” perintahnya, lalu memasukkan obat bulat besar itu ke mulutku lalu memberikan minuman kepadaku. Aku pun menelannya susah payah karena tak bisa minun obat kalau tak pakai pisang.
“Aduuuhhhh pahit, Bee. Kan aku udah bilang tak bisa minum tanpa pisang.” Kuminum satu gelas air putih yang diberikan Vian sampai tandas.
“Pisangnya belum matang, Fey, cari di pasar juga kau keburu sakit, atau mau pisang yang lain?” ucapnya ke arahku tapi kemudian mengedipkan matanya genit.
“Diiiiiiiihhhh geniiiiitt!” kucubit perutnya membuatnya mengaduh kesakitan.
“Udah bobok lagi, ya, aku coba bantu Rasya. Kau kan tahu kemarin baru aja pasang tu iklan di café, tahunya yang ngelamar bejibun. Pesonanya Rasya kali ya yang buat kayak gitu,” ucap Vian sambil membenarkan selimutku.
Aku pun terkekeh mengingat Rasya memang secara tak langsung menjadi maskot café kami. Wajahnya yang bule, rambutnya yang biru, atau kadang suaranya yang dapat membius pengunjung café saat dia live music di Café membuatnya seketika mendapatkan fans-fans yang tergila-gila dengannya. Tapi sebenarnya bukan Rasya saja, setiap pengunjung yang tahu siapa pemilik café ini—saat Vian memperkenalkan diri, semuanya langsung terkesima. Terkejut karena pemiliknya masih sangat muda, bahkan tampan, dan juga calon dokter. Yah, pesona keduanya, dua berondong itu benar-benar membius.
“Fansmu juga banyak kali, Bee, jadi aku ikut ke café, ya,” rajukku.
“Eh, Fey kan masih sakit, tak boleh,” jawabnya galak. Tuh kan keluar lagi galaknya kalau lagi melarangku.
“Aku tak mau ya nanti mbak-mbak yang melamar colek-colek kamu!” Kugelendotkan tubuhku ke arah Vian yang seketika terkekeh mendengar ucapanku.
“Diiihhhh, emang aku-nya cokelat dicolek-colek? Ya udah ikut tapi pakai kursi roda,” tunjuknya ke arah kursi roda yang entah sejak kapan disiapkan Vian saat aku kemarin limbung karena vertigo ini.
“Kayak ga bisa berjalan aja, Bee, aku ga mau!”
“Fey kan masih limbung kalau berjalan.”
“Diiihhh, emoooohhhhhhh,” rajukku lagi tapi tiba-tiba tubuhku sudah diangkat dan berada dalam gendongannya.
“Ehhhh malu kali, kok pakai gendong-gendong.”
Vian menyeringai lucu, ”Kalau mau sampai café, ya harus mau kugendong.“ Dia melangkah mantap ke arah pintu dan segera keluar dari kamar dengan menggendongku.
Tuh kan, makin meleleh, ya, akunya. Manis banget ini suamiku.
*****
“Kak, Rasya kewalahan ini.” Rasya langsung menghampiriku dan Vian saat kami baru saja membuka pintu café. Dapat kulihat ratusan pelamar. Hah? Tak salah lihat kan, ya aku, itu penampilan mereka kayak benarbenar mau audisi, deh.Ada yang pakai hot pant, rok mini, longdress, rambut diwarna-warnai. Makin membuatku bingung.
Kavi tampak tertidur di kereta dorongnya dengan Radit yang menjaganya. Café memang sementara tutup untuk menerima para pelamar ini.
“Lha memangnya kenapa, Sya?” Vian mendudukkanku di sofa merah yang ada di dekat jendela.
“Itu Rasya ngeri aja tuh masak belum apa-apa udah pada noel-noel pipi Rasya. Kagak mau dah ini pipi ternoda lagi ntar cukup dulu tante Anita aja itu pun Rasya harus cuci pakai pasir ama tanah mpe 7 kali, udah ga mau. Mending kak Vian ama Mami aja deh sana.” Rasya memberengut dan berjalan ke arah Radit lalu mengambil alih kereta dorong milik Kavi.
Vian menatapku, ”Ya udah, sama Fey aja, ya,” pintanya. Aku pun menatap gerombolan pelamar yang kini duduk berdesak-desakan di bagian tengah café. Ya sudahlah, kuangguki dan meminta Vian untuk membawaku masuk ke dalam ruangan kantor milik Vian yang ada di sebelah dalam café.
*****
“Annyeong haseyo ... Dijah imnida.”
Aku dan Vian saling melongo mendengar ucapan pelamar yang baru saja duduk di kursi di depanku dan Vian.
Vian menyenggol lenganku dan memberi tanda kepadaku.
“Ehm, Mbak atau Neng ... pakai bahasa Indonesia saja, ya. Namanya jadi ini Dijah Sukarsih, ya?” Kuamati CV yang berada di atas meja.
“Loh, bukannya orang Korea, toh, iki mbake sama mase, duuuhh, tiwas semalaman uprek mbah google mpe beli kamus Korea juga ini,“ ucapnya makin membuatku dan Vian melongo.
“Lha, mbaknya kok bisa ngira kami orang Korea?” Vian kini mengambil alih pertanyaan yang akan kutanya.
Wanita itu tersenyum dengan manis ke arah Vian, mengedipkan matanya genit, dan memamerkan lipstiknya yang berwarna merah darah itu. Sambil menyibakkan rambutnya yang berwarna sedikit pirang tapi udah luntur itu. “Lha, mase itu kan kayak artis drakor itu loh ... apalagi dedeknya yang di depan sana yang berambut biru itu tuh ... kayak personil EXO ... Pokoknya Korealah, Kpop gitu ...” Aku pun terkekeh mendengar ucapan mbak Dijah ini. Vian hanya menggeleng-gelengkan kepalanya bingung.
“Ya sudah, mbaknya ini bisa apa? Kami butuh baby sitter atau pun pembantu,” ucapku langsung ke arahnya.
Dia beralih menatapku, ”Ehm ... lha, saya itu bisa momong anak bisa tapi ndak bisa lo harus mandiin apa cebokin gitu, jadi cuma bisa nyuapin ama gendong. Kalau cuci baju, bersih-bersih juga bisa, tapi cuci bajunya pakai mesin, to? Takut tangan saya jadi kasar kalau pakai tangan.“
Daaaaaannn aku makin melongo mendengar ocehannya yang absurd.
Gagal!
Pelamar pertama gagal.
Vian mengisyaratkan untuk pelamar berikutnya masuk ke dalam. Dan aku pun terkejut melihat yang masuk seorang wanita dengan tanktop berwarna merah dan rok mini yang tak bisa menutup pahanya itu. Sepatu high heelsnya yang berwarna merah itu juga tampak sangat tinggi sekali. Ealah ini mau lamar jadi pembantu apa model sih.
“Mbak, tak salah ya ngelamar di sini?” ucapku ke arahnya saat dia mulai duduk.
“Jangan panggil mbak keles, ini masih umur 18 tahun ini,” ucapnya membuatku mengernyit, Vian hanya mengalihkan pandangannya ke arah lain karena ini cewek duduknya menyilangkan kakinya sehingga itu roknya yang mini itu tersingkap dan memperlihatkan sedikit celana dalamnya. Duuuhh, pusing ini kepala.
“Ya sudah, dek Arni ya namanya, ini mau melamar jadi baby sitter apa pembantu?” tanyaku ke arahnya.
Dia langsung membelalak terkejut mendengar ucapanku.
”Loh ini bukan audisi cari penyanyi di café ini, toh?
Kenapa jadi pembantu?”
Aku pun dan Vian sontak menggelengkan kepala.
Gagal lagi pelamar kedua. Dan selanjutnya pelamar-pelamar berikutnya pun tampak tak memenuhi syarat. Kebanyakan dari mereka tak bisa apa-apa.
“Bee, udah deh menyerah, itu dari puluhan pelamar ga ada yang bisa jadi baby sitter malah ada yang bilang maunya jadi baby sitter-nya kamu apa Rasya.” Aku menyandar di kursi karena lelah.
“Sabar Fey, masih ada 35 lagi nih yang belum kita wawancarai,” ucapnya menunjuk tumpukan CV di depanku.
“Cari di biro aja, Bee, lebih terpercaya gitu, nah ini ga jelas dari tadi, aku pusing nih.” Kupijat pelipisku. Vian melangkah ke arahku dan kini memijat bahuku dengan lembut.
“Fey, istirahat sana, minta Radit suruh buatin bubur dan susu hangat, Kavi juga belum menyusu, kan?”
*****
“Nyuciin bajunya kamu aja aku mau.”
Kutolehkan wajahku ke arah Rasya dan Vian yang masih mengaudisi para pelamar. Aku duduk di sofa panjang berwarna putih yang ada di dalam ruangan kantor ini. Dengan Kavi berada dalam gendonganku, bocah ini sehabis menyusu tampak nyaman berada dalam gendonganku. Sesekali mengoceh dan menepuk nepuk pipiku lucu.
“Saya bisa mencuci baju sendiri, Mbak. Tugasnya Mbak itu jadi baby sitter adik saya itu!” Rasya menunjuk kavi yang ada di dalam gendonganku.
“Jadi baby sitter-nya situ juga mau.”
Ucapan pelamar itu membuatku terkekeh lagi dan membuat Rasya memberengut kesal. Vian langsung memberi tanda untuk pelamar itu keluar dari ruangan.
“Mamiiiiiiiiii, udah deh, Rasya capek ini.” Rasya meletakkan kepalanya di meja dan membuatku tersenyum geli.
Vian pun tampak kelelahan lalu melangkah ke arahku, duduk di sebelahku dan menciumi pipi Kavi. Kavi menyambutnya dengan menepuk-nepuk pipi Vian.
“Nyerah deh, Fey, nyerah ... Fey ajalah yang jadi baby sitter Kavi. Semuanya tak ada yang bisa,” ucapnya lalu mencium pipiku.
“Udah? Jadi audisi ditutup?“
Vian mengangguk, tapi kemudian menggelengkan kepalanya.
“Ehm tapi pembantu tetap cari. Aku telpon mama aja deh, siapa tahu di Yogya temannya mbok Marni ada yang mau,” ucapnya lalu segera mengambil ponsel.
Rasya sudah beralih duduk di sebelahku juga dan mulai bermain dengan Kavi.
“Iya Ma, huum Alinenya yang bandel, Ma, makanya cariin pembantu ya, Ma,” celetuk Vian lalu menoleh ke arahku dengan ponsel menempel di telinga.
“Yah Mama, ya ga boleh,“ ucap Vian lalu menyerahkan ponselnya ke arahku.
“Mama mau bicara” bisiknya.
“Assaammualaikum, Ma.”
“Waalaikumsalam, Line, duh, Aline tak boleh kecapean, ya. Ingat vertigonya kan ga boleh kelelahan. Evan juga cerita kalau Aline kan punya trauma di kepala, ya kan. Mending Kavi dirawat Mama aja, ya, di sini,” ucap mama di ujung sana membuatku menatap Vian.
Vian memberi isyarat untuk me-loudspeaker telepon mama.
“Mama, ya Kavi kasian ... masa dijauhin dari mommy daddynya,” Vian yang menjawabnya.
“Kan kalian bisa buat lagi dedeknya Kavi, ya ya ... mumpung masih muda, Dek, digenjot itu. Biar mama punya cucu banyak, waahhh rameee pasti.”
Nah loh, ini mama malah buat aku makin pusing, deh.
Share this novel