BAB 14
“Aku, dia ... bisa melepaskanku kalau ....” Aku
menggigit bibir bawahku, ragu untuk mengucapkannya.
Vian menaikkan alisnya satu, penasaran.
“Kalau apa?” tanyanya lagi.
Akhirnya kutarik napas, mencoba mengumpulkan udara dan bersiap untuk menjawab, “Kalau aku hamil denganmu.”
*****
“Nooooooo, Viaaaaaaannnnn.”
Napasku terengah-engah setelah kurang lebih 20 menit aku berlari-lari di dalam flat ini. Diralat bukan aku, tapi kami. Setelah mendengar alasan Ryan akan melepaskanku kalau aku harus hamil dulu, Vian terus menguberku dan menyeringai mesum. Dasar bocah mesum.
Aku membungkuk menahan kakiku yang terasa pegal, dada memanas dan juga napas yang setengahsetengah ini. Peluh sudah berceceran membasahi keningku. Vian juga sama di depanku tampak mengatur napasnya. Bagaimana bisa ruangan ini bisa menjadi ajang olahraga bagi kami?
“Sudah cukup, kita sholat maghrib dulu terus makan, kau kan belum berbuka,“ ucapku mencoba menghentikan invasinya itu.
Vian terkekeh geli.
“Sayang, kan masku sendiri yang bilang harus hamilin kamu agar buat dia gigit jari biar kau tak diganggunya lagi, dan juga ini penawaran yang sungguh menyenangkan buatku,” goda Vian sambil mendekat ke arahku.
Reflek aku mundur tapi naasnya aku menabrak kaki sofa, dan seketika tubuhku oleng lalu jatuh di atas sofa dengan posisi terlentang. Duh Doraemon, bawa aku dengan baling-baling bambumu.
Hal itu tentu saja langsung digunakan Vian untuk memerangkap tubuhku. Dengan sigap dia memenjarakanku. Dia mengurung tubuhku, tangannya menyangga di sandaran sofa. Jarak kami benar-benar dekat saat ini. Mata elangnya membuat aliran darahku seketika berhenti. Duh efeknya kenapa seperti ini coba? Napasnya masih terengahengah.
“Yan,” ucapku gugup untuk mencairkan suasana yang tiba-tiba menjadi canggungi. Ingat Line, dia ini hanya seperti adikmu, Evan. Aku juga sering dekat dengan Evan begini, tapi kenapa detak jantungku semakin tak keruan sekarang.
CUP!
Tiba-tiba Vian mengecup pipiku yang langsung membuatku kaku. Demi apa coba? Ini ciuman pertamaku walau hanya pipi, tapi kan selama ini aku belum pernah sedikit pun pacaran dan melakukan kontak fisik dengan siapa pun. Digarisbawahi aku ini masih perawan ting-ting semuanya.
Kutatap matanya yang kini menatapku dengan manik matanya yang indah itu, bulu matanya bahkan terlihat lentik dari jarak sedekat ini. Dan lagi dia tersenyum manis sekali. Aduh dasar bocah ini, makin membuatku tak bisa berkutik. Lama kami saling menatap.
“Bebs!” Tiba-tiba suara seorang wanita membuatku dan Vian langsung mengarahkan pandangan ke arah pintu. Dan benar saja di ambang pintu sudah berdiri dengan anggunnya, Sonia yang saat ini menatap kami dengan horor. Mulutnya menganga lebar, matanya melotot. Vian hanya mengangkat alisnya satu, tapi tetap berada di posisi semula.
Langkah kaki Sonia dapat kudengar memburu dan dalam seperkian detik dia sudah berada di depan kami.
PLAKKKK!
Hah dia menamparku! Menampar pipiku! Gadis gila ini menampar pipiku yang baru saja dikecup Vian.
“SONIA!!!” teriak Vian dan langsung beranjak dari posisinya, tapi langsung merengkuhku ke dalam pelukannya.
“Kakak tak tahu diri, ya? Sudah tua masih merayu Vian, bukankah kakak istrinya Kak Ryan, ya? Dasar wanita jalang,” umpatnya membuatku ingin membungkam mulutnya itu.
“Dia istriku, bukan istri mas Ryan!” Tiba-tiba Vian berteriak di depan Sonia membuatnya langsung terhenyak. Aku pun beranjak dari sofa dan melepaskan rengkuhan Vian.
“Aku sholat dulu, Yan,” ucapku mencoba untuk meredakan emosiku karena tindakan brutal wanita di depanku ini.
Kulihat Vian hanya mengangguk. Aku langkahkan kakiku untuk mengambil air wudhu. Biarlah Vian yang menjelaskan kepada Sonia, yang dibilangnya sahabat itu, aku tak mau ikut pusing menjelaskan kepada Sonia.
Sempat kudengar suara Sonia yang meminta penjelasan dengan Vian, aihhhh siapa dia memangnya dia pacar Vian???
*****
Sampai saat aku selesai sholat dan kembali keluar dari kamar, Vian dan Sonia masih berada di sana. Sonia tampak menangis di depan Vian. Saat melihatku keluar Vian langsung beranjak mendekatiku.
“Maaf, ya, pipimu masih sakit?” ucapnya mengusap pipiku yang tadi terkena tamparan.
Aku hanya menggelengkan kepala.
“Ya udah aku sholat dulu, ya? Ehm jadi masakan aku omlet kan, Sayang?” ucap Vian membuatku dengan patuh mengangguk.
Aku jadi seperti robot di depannya. Kurasakan Vian mengacak rambutku dan melangkah menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Kulirik Sonia yang masih menangis di sofa, ah biarlah aku juga sudah menduga dari awal kalau itu cewek memang ada rasa dengan suamiku itu. Ops, aku baru saja bilang suami, ya? Tampaknya otakku sudah mulai bergeser nih.
Kusiapkan semua bahan yang sejak tadi sudah kusediakan. Tapi tiba-tiba sebuah tangan merebutnya. Eh siapa ini? Sonia sudah berdiri di sampingku dengan wajah sembabnya itu, masih tetap cantik sih.
“Aku yang biasa membuatkan Vian omlet, biar aku saja,“ ucapnya ketus.
Dasar anak muda. Aku rasa tipe-tipe seperti Sonia ini banyak didapatkan stocknya. Tipe cewek agresif seperti dia.
Aku hanya mundur dan mengangkat bahu.
”Okay, silakan,” ucapku.
Bukankah dia tak membuatku lelah.
“Kak? Kau jebak Vian, ya? Atau kau mantrai dia sampai kakak bisa menikah dengannya?”
Eh dia bilang apa? Mantrai? Jebak? Naudzubilah ini anak. Haduh aku sudah sabar menghadapinya tapi apa kini dia menuduhku memantrai Vian? Memangnya aku dukun.
“Memangnya kau siapanya, Vian?” ucapku membuatnya seketika reflek menoleh ke arahku dan menatap kesal.
“Aku ini calon kekasih, Vian,” ucapnya lugas.
Owh ini nih yang tak kusuka, cewek macam seperti ini. Kupijat pelipisku, malas menanggapinya.
“Kekasih? Owh bukan bukan, calon kekasih, ya? Bagaimana bisa?”
Sonia mengibaskan rambutnya yang panjang tergerai indah itu.
Memang kuakui dia benar-benar cantik, dengan tubuh semampai dan body bak gitar Spanyol. Wajahnya yang cantik dan kulitnya yang putih bersih itu. Aku bukan apa-apa kalau dibanding dengannya memang.
“Asal Kakak tahu, aku akan merebutnya dari Kakak, akan aku hilangkan semua guna-guna yang Kakak pakai,” ucapnya.
Kata-katanya membuatku ingin mengolesi mulutnya itu dengan sambal balado. Haish, aku tak mau menanggapi ocehannya yang kekanak-kanakan itu. Kubalikkan badan dan meninggalkannya. Lama di dekatnya bisa membuatku makin terpancing emosi. Kuseret langkah masuk ke dalam kamar. Vian baru saja melipat sajadahnya.
“Eh, sudah matang?” ucapnya saat aku duduk di tepi kasur. Aku hanya menggeleng malas.
“Kekasihmu itu yang mau memasakkan omlet buatmu.Katanya dia yang tiap hari membuatkannya,” jawabku.
Vian menghela napasnya dan duduk di sebelahku, mengusap rambutku lembut.
“Aku memang salah tak menjelaskan kepadanya dari awal kalau aku sudah menikah, dia itu sahabatku saat kuliah di UGM. Evan juga tahu kok, Sayang. Bukan dia sebenarnya tapi almarhum kekasihnya yang menjadi sahabatku, Fadli, tapi sayang dia baru saja meninggal karena sakit yang dideritanya, dan Sonia memintaku untuk menjaganya di sini karena Fadli pernah berpesan kepadaku untuk menjaganya dan juga kedua orang tuanya juga sudah mempercayakannya kepadaku makanya aku terima saja dia di sini.”
“Dia menuduhku memantraimu,” ucapku ketus membuat Vian mengernyit. Tapi kemudian tawanya berderai dan kembali mengacak rambutku. Tuh kan Evan, Tian, Vian tampaknya suka sekali mengacak rambutku.
“Lucu?” ucapku kesal karena dia terus tertawa. Tapi kini dia menggelengkan kepalanya.
“Memang mbak Mawar memantraiku, kan?
Membuatku tergila-gila selama satu tahun ini, bahkan membuat masku juga tergila-gila selama 10 tahun, kan? Pesona Mbak yang tak pernah kau sadari telah menjerat hatiku,” ucapnya kali ini menatapku lembut.
Duh .... kenapa tiba-tiba pipiku kembali memanas mendengarkan ucapannya.
“Rayuan gombal,” sungutku saat dia masih mencoba merayu dengan mengerlingkan matanya ke arahku.
Suara ketukan di pintu menginterupsi pembicaraanku dengan Vian. Pasti si cewek kecentilan itu lagi, duh aku tampaknya mulai mempunyai saingan.
“Bebs, makan yuk,” ucapnya dengan suara manjanya di balik pintu.
Vian menatapku dan meminta persetujuanku.
“Bebs, bebs, apa itu, bebek?” ucapku ke arah Vian. Vian kembali tertawa lalu menarikku untuk berdiri.
“Biarkan saja, Sayang, apa Sayang mau memanggiku begitu?” ucapnya yang kuhadiahi dengan cubitan di perut.
*****
Aku hanya terdiam di kursi di depan meja makan ini saat melihat Sonia meladeni suamiku ini seperti layaknya istri, mengambilkan nasi, menuangkan air putih bahkan mengusap mulut suamiku ini. Aduh bisa gila aku lamalama di sini.
Vian mengangkat alisnya saat melihatku yang sejak tadi terdiam dan cuma mengaduk-aduk nasi di depanku.
“Sayang mau aku suapi?” ucap Vian lembut dan menyuapkan sendok yang berisi nasi miliknya itu.
Sonia menatapku kesal. Tapi tiba-tiba muncul ide jahil di benakku. Kubuka mulutku dan menerima suapan Vian membuat Sonia seketika membelalakkan matanya tak suka. Vian tersenyum dan kini beralih menghadap ke arahku, menarik piringku dan mulai menyuapiku sampai piring itu bersih oleh nasi dan berpindah ke perutku.
“Pintar, makan yang banyak, dan siap untuk dihamili,” celetuk Vian sambil mengusap perutku membuatku mencubit kembali perutnya membuat dia meringis. “Mesum,” sungutku dan Vian tergelak.
Sonia berdehem mendengar candaan kami dan kini menepuk bahu Vian.
“Bebs,” panggilnya mencoba mengalihkan perhatian Vian dariku.
Vian menoleh ke arah Sonia,
”Nia, tolong sekarang ada istriku di sini, bisakah kau besok mulai mencari flat lain atau pindah ke asrama kampus? Di sana kau bisa banyak teman wanita juga,” ucap Vian yang membuat Sonia langsung menangis.
Menangis di depanku dan Vian, drama queen sekali dia.
“Aku tak mau! Bukankah kau sudah berjanji dengan Fadli untuk menjagaku?” ucapnya di sela isak tangisnya.
Dan aku memilih untuk beranjak dari kursi, malas dan malas melihat drama ini. Tapi tangan Vian menarikku dan menghentikan langkahku.
“Aku hanya berjanji menjagamu Nia, bukan berjanji menikahimu seperti yang kau pikirkan selama ini, aku mencintai istriku dan kau juga harus mencari pengganti Fadli tapi itu bukan aku,” ucap Vian lalu segera menarikku untuk melangkah pergi meninggalkan Sonia yang masih menangis itu.
*****
“Sini, Sayang.” Vian menarikku untuk duduk di kasur sembari menyalakan televisi flat yang tertempel di dinding di depan kasur.
“Ada KBR World di sini, jadi Sayang bisa menonton drama kesukaanmu,” ucapnya lalu memindahkan chanel dengan remote.
“Yan,” panggilku untuk menginterupsi Vian.
Dia menoleh ke arahku dan mengerutkan keningnya.
“Aku ingin pulang,“ ucapku membuat Vian langsung memutar tubuhnya ke arahku,
“Memangnya Mbak Mawar kenapa? Tak mau di sini sama Vian, ya?” ucapnya.
Kuhela napasku dan mencoba mencari kata yang tepat.
”Bunda, kau tahu kan bunda hanya punya aku dan Evan. Aku takut bunda tak ada yang menjaga dan membantunya membuat kue. Aku takut bunda kelelahan kalau tak ada aku,” ucapku membuat Vian kini menarik tubuhku untuk didekapnya.
Menyandarkan kepalaku di bahunya, dan mengusap-usap punggungku memberikan efek nyaman.
“Aku tahu, Sayang, tapi aku juga butuh kau di sini, bagaimana kalau aku dijahati oleh Sonia?” ucapnya yang sukses membuatku terkekeh.
“Yang ada aku yang dijahati Sonia di sini,” jawabku.
Vian menepuk pipiku lembut. Haduh ini bocah mulai berani menyentuh tubuhku yang membuat hatiku berdesir atas sentuhannya.
“Sayang, jangan pulang, ya, soal bunda nanti kita pantau dari sini kalau bisa kita sewa pembantu saja untuk meringankan bunda,” rajuknya.
*****
Entah semalam aku tertidur di pelukan Vian atau bagaimana, tapi yang pasti kini saat mataku membuka kudengar suara gaduh di balik kamar. Kutoleh Vian tak ada di sisiku. Jam di atas nakas masih memperlihatkan dini hari. Sepertinya belum waktu subuh juga.
Tapi suara gaduh di depan membuatku penasaran dan kini aku beranjak bangun, meregangkan ototku sebentar dan melangkah keluar.
Apa yang kulihat kini membuat mataku terbelalak.
Vian dan Sonia, Owh aku tak bermimpi kan?
Di depanku kini kulihat Vian tengah berciuman dengan Sonia, seketika membuat tubuhku lemas.
Share this novel