BAB 54
Keringat dingin, panas membasahi tubuhku. Haus kurasakan menyengat tenggorokanku. Kubuka mata dan kudapati suasana kamar gelap gulita. Tapi bisa kurasakan sebuah rengkuhan hangat melingkar di tubuhku.
Ingin kucoba meraih lampu di atas nakas, tapi dering ponsellah yang tiba-tiba mengagetkanku.
Siapa yang menelepon dini hari begini???
Belum sempat tanganku meraih ponsel yang juga terletak di atas nakas, Vian sudah terbangun dan dengan cepat mengambil ponselku.
“Assalammualaikum,” jawabnya membuatku akhirnya ikut fokus ke arah ponsel yang kini menempel di telinga Vian.
“Evan?” pekik Vian terbata lalu menatapku. Aku pun terkejut kenapa Evan menelepon larut malam begini.
“Ya Alloh!” Suara Vian yang bergetar langsung membuat degup jantungku tak keruan. Pasti ada sesuatu hal buruk yang terjadi.
Vian berbisik di telepon dan dengan cepat segera mematikannya. Lalu menatapku sedih.
“Apa Bee, ada apa?” Aku menggoyang-goyangkan tangannya mencoba mencari tahu ada apa sebenarnya.
Beberapa detik Vian hanya diam membeku, tapi kemudian dia langsung menarikku ke dalam pelukannya, dan mendekapku erat.
“Vian, ada apa?” tanyaku mulai khawatir.
Perlahan Vian melepas pelukannya dan mengusap perutku.
“Fey, bunda ...” Ucapannya terhenti dan menatapku lekat.
“Kenapa dengan bunda, Bee?” Kali ini jantungku makin berdegup dengan kencang. Semoga tak ada kejadian buruk dengan bunda, karena aku tak akan memaafkan diriku sendiri telah membiarkan bunda tinggal sendiri hanya dengan Evan.
“Bunda terjatuh di kamar mandi, Fey, dan sekarang masih tak sadarkan diri, dan berada di rumah sakit,” ucap Vian sangat lirih, membuat detak jantungku bertambah tak keruan dan dalam hitungan detik semuanya gelap.
*****
Harum minyak kayu putih menyeruak di indera penciumanku. Kepalaku terasa pening, ketika membuka mata, tatapan khawatir dari Vianlah yang pertama kali kulihat.
“Alhamdulilah, Fey.” Vian langsung menciumi wajahku.
Semuanya sudah berkumpul. Ada Rasya yang menatapku juga dengan khawatir. Radit bahkan ada beberapa karyawan café yang ikut berada di kamarku.
“Bunda, Bee ...” Seketika aku teringat bunda. Ingin rasanya sekarang juga berlari dan menemui bunda. Bunda perlu aku di sisinya.
“Iya, iya nanti kalau Fey sudah kuat kita pulang,“
ucap Vian tapi kugelengkan kepala.
“Aku ingin pulang sekarang juga.”
“Tapi, Fey masih belum boleh bepergian jauh, dokter berpesan Fey ini tak boleh berkendara dalam jarak jauh.”
“Antar aku sekarang juga, Bee. Kalau tak mau aku pulang sendiri!” Aku sudah tak bisa mencerna, sekarang hanya bunda yang ada di kepalaku.
“Fey, kau jangan egois! Dekbay juga tak bisa dipaksa, Fey.” Vian berujar penuh kemarahan. Bagaimana bisa dia mengatakan itu di saat bunda terbaring koma di rumah sakit.
“Kau antar aku atau aku nekat pulang sendiri!” teriakku ke arahnya. Semua orang yang berada di dalam kamar menyingkir. Mereka tahu kami butuh privacy. Cuma tinggal Rasya yang kini berjalan mendekat.
Vian menenggelamkan wajahnya di antara kedua tangannya. Tampak kalut. Entahlah, aku sendiri juga tak mungkin mengulur waktu. Aku ingin pulang sekarang.
“Mi, tenanglah, turuti kak Vian, Mi.”
Mataku bergantian menatap Rasya yang ikut bersekongkol dengan Vian.
“Antar aku sekarang juga!” Aku tak peduli Vian akan mengizinkanku atau tidak, Bunda membutuhkanku sekarang.
“Fey, ok aku antar. Ok.” Vian akhirnya menjawabnya
dengan nada datar tak selembut biasanya.
*****
Kalau seperti ini aku seperti seorang tawanan, dikawal oleh dua pria yang berada di sampingku. Vian bahkan tak melepaskan tangannya dari perutku, sedangkan Rasya terus menjagaku seakan kalau ada orang yang menubrukku itu akan membuatku hancur.
“Bisa lepaskan tanganmu? Aku gerah, Bee,” bisikku pada Vian kami duduk di dalam pesawat.
Vian menggelengkan kepalanya. Sejak menurutiku dia memang tak banyak bicara. Mungkin kesal denganku yang keras kepala. Tapi apa boleh buat. Bunda membutuhkanku berada di sisinya.
Rasya sendiri juga terus menempel di sebelahku. Tak boleh ada seseorang yang menyenggolku. Dua pria ini terlalu berlebihan kupikir.
Lamanya perjalanan dari Bandung ke Yogya tak terasa, karena aku tertidur. Tubuhku terasa sangat lemas. Ketika Vian membangunkanku, kami sudah mendarat di Yogya.
“Fey, makan dulu dari tadi kau belum makan.” Vian menyodorkan roti ke arahku saat kami sudah duduk di dalam taksi yang membawa kami ke rumah sakit.
Aku menggelengkan kepala, tak nafsu makan dan terasa mual.
“Fey, demi dekbay jangan keras kepala!!” Kali ini Vian membentakku, membuat Rasya yang duduk di kursi depan langsung menoleh.
“Kak, sabar,” ucapnya. Aku pun hanya menatap Vian sebal dan tak memakan roti yang diberikannya.
Vian meletakkan roti itu dengan asal ke dalam tas yang dibawanya. Aku tak peduli. Hatiku belum bisa tenang kalau belum melihat bunda.
Langkahku cepat saat mulai menapakkan kaki di rumah sakit tempat bunda dirawat. Dan saat kami tiba di depan ICU, kulihat Evan terduduk di kursi ruang tunggu dengan putri di sebelahnya.
“Mbak Aline,” pekik Evan tak percaya saat aku sudah melangkah ke arahnya.
Vian menahanku agar aku tak berlari, tapi kakiku terasa ingin cepat melihat keadaan bunda yang terbaring lemah di dalam sana.
“Bunda bagaimana?” Evan memelukku erat.
“Maafkan Evan, maafkan Evan. Tak bisa menjaga bunda, sekarang bunda jadi seperti ini.” Evan menenggelamkan wajahnya di rambutku dan aku tahu dia menangis. Tangis yang langsung menular kepadaku.
*****
Kutatap Bunda yang terbaring lemah di atas ranjang, kugunakan baju khusus untuk masuk ke dalam ICU. Kondisi bunda masih kritis, ada gumpalan darah di kepalanya akibat terjatuh dan membentur lantai kamar mandi. Aku juga tak menyangka kalau bunda selama ini mempunyai penyakit darah rendah. Menurut penjelasan dokter, kemungkinan bunda selamat tipis. Kuusap jemari bunda, hanya itu karena aku pun sudah tak bisa mengucapkan apa-apa. Suaraku habis dari tadi menangis. Aku merasa sangat bersalah tak bisa menjaga bunda di usia senjanya. Membiarkannya tetap bekerja untuk membiayai Evan. Harusnya itu sudah menjadi tanggung jawabku, tapi apa yang kulakukan? Aku mengejar kebahagiaanku sendiri tanpa mempedulikan keadaan bunda. Tubuhku terasa lelah dan lemas, kududukkan diriku di samping ranjang.
”Bunda, Aline pulang, Bunda bangun, ya ...” Kuusap lagi wajahnya yang nampak tenang dalam tidurnya itu. Aku tak akan meninggalkan bunda lagi.
Sebuah tepukan di kepala membangunkanku dari tidur.
”Fey, pulang dulu istirahat, yuk. Fey juga perlu istirahat, biar Evan dan Rasya yang di sini. Mama dan papa juga ada di luar,” bisik Vian membujukku.
Kutatap bunda yang masih tak sadarkan diri itu. ”Aku tak akan meninggalkan bunda, Yan, tak akan lagi.“
Vian menarikku dalam pelukannya. Membenamkan wajahku ke perutnya dan mengusap-usap rambutku.
“Iya, tapi Fey juga tak perlu egois, dekbaynya juga perlu nutrisi. Fey pulang dan istirahat dulu, nanti kita ke sini lagi, ya?”
“Tapi bunda, aku takut bunda ...” Ucapanku terputus saat Vian mengusap wajahku, dan menghelaku untuk berdiri.
“Aku janji kita segera kembali ke sini setelah Fey istirahat dan makan, ya.”
Akhirnya aku mengangguk. Aku membungkuk di ranjang, mencium kening bunda.
”Bun, Aline pamit dulu, ya, tapi nanti Aline kembali lagi ke sini. Bunda cepat bangun, ya, Bun,” bisikku lembut di telinga wanita yang melahirkanku itu.
Kulangkahkan kaki keluar dari kamar dengan Vian mendekapku. Sampai di depan pintu mama sudah berlari ke arahku dan memeluk lalu menciumi wajahku.
“Yang sabar ya, Line,” ucap mama yang hanya kuangguki, lalu papa juga ikut menepuk-nepuk kepalaku dengan lembut. Kulihat Ryan juga datang tapi hanya mengangguk ke arahku karena Vian sudah menarikku lagi dalam rengkuhannya.
“Aline perlu istirahat, kami pamit dulu, ya? Nanti
kami kembali.” Vian mengucapkannya ke arah semuanya.
“Van, jaga bunda,” ucapku saat melewati Evan yang masih tampak sangat terpukul itu. Aku tahu dia merasa bersalah.
*****
“Aline, jaga adik Aline, ya”
“Memangnya bunda dan ayah mau ke mana?”
Bunda tersenyum dan di sampingnya ayah sudah menarik tangannya.
“Bunda akan pergi jauh, tapi Bunda yakin Aline kan sudah dewasa bisa menjaga adik dan juga keluarga Aline, ya. Jaga mereka baik-baik, Bunda dan Ayah akan selalu menjaga Aline juga, baik-baik, ya.”
Belum sempat menjawab kulihat bunda dan ayah menjauh pergi.
“Bundaaaaaaaa!”
Napasku terengah-engah, kegelapan menyelimutiku.Sebuah tepukan hangat menenangkanku.
“Fey, minum dulu ...” Lampu menyala dan kulihat Vian sudah memberikanku gelas berisi air.
Kuusap peluh di dahi. Sepertinya aku bermimpi, tapi mengapa begitu nyata terasa.
“Mimpi buruk?” Vian mengusap keningku yang bersimbah keringat saat kuteguk air putih yang diberikan Vian.
“Bunda, aku ingin melihat bunda, hatiku tak enak.” Vian menatap jam di atas nakas.
“Masih jam 2 dini hari, Fey. Kamu harus tidur lagi. Besok pagi habis subuh kita ke rumah sakit.”
“Tapi aku ingin melihat bunda sekarang, Bee ... sekarang!”
Vian menghela napasnya dan akhirnya mengangguk.
“Kita sholat tahajud dulu, baru ke rumah sakit,” ucapnya yang langsung kusetujui.
“Fey, ambil air wudhu dulu ya, nanti gantian,” ucapnya lalu menarikku untuk bangun dari atas kasur.
Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi, mungkin setelah sholat hatiku akan terasa sedikit tenang. Setelah mengambil air wudhu aku langsung menuju kamar kembali, tapi Vian kali ini langsung menghambur dan memelukku.
“Yan, ada apa?” tanyaku panik sebab melihatnya menangis terisak.
“Bunda ... Fey ... yang sabar,” ucapnya terisak.
Hatiku terasa semakin gelisah, ”Apa yang terjadi? Bunda kenapa? Jawab Yan!!” teriakku mulai panik. Bayangbayang ketakutan yang kurasakan sejak tadi kembali menyeruak.
“Ikhlaskan bunda ya, Fey.” Ucapan Vian yang terakhir membuatku seketika kehilangan kesadaran.
Share this novel