Bab 66

Romance Completed 25593

BAB 66

VIAN POV

Rezeki yang datang itu seharusnya membuat kita semua bahagia, kan? Tapi kini kulirik istriku tercinta yang memberengut dan memalingkan wajahnya dariku.

Tadi saat aku, Mbak Sisca dan juga Evan memberikan analisis kalau Fey itu hamil, aku segera mengajak Fey untuk periksa ke dokter Ratna. Dan saat melihat wajah dokter Ratna yang langsung tersenyum tapi Fey langsung menatapku tajam, aku tahu aku akan menjadi seorang ayah lagi.

“Fey....” Kutolehkan wajahku ke arahnya. Kami sekarang sedang berada di dalam mobil menuju rumah setelah meninggalkan rumah sakit.

“Aku tak mau ngomong sama kamu, tanggung jawab pokoknya, kau ini tega menghamiliku padahal kau tahu kan repotnya merawat Kavi,” ucapnya membuatku tersenyum tipis. Geli dengan kosakatanya yang mengatakan menghamili itu.

“Lah, namanya juga rezeki, Fey. Kan lebih enak sekarang, Fey juga masih kuat untuk melahirkan, sebelum usia 30 tahun.“ Alhasil tabokan langsung mendarat di tangan membuatku meringis kesakitan.

“Jadi kau mengatakan aku sebentar lagi sudah tua gitu?” Ehhh ya salah deh nih ucapanku. Fey mengalihkan pandangannya ke arah jendela.

Tiba-tiba dering ponsel berbunyi membuatku mencari-cari di saku celanaku.

“Fey, tolong dong angkatin, ya ... Aku ga bisa, nih,” rajukku.

Fey masih menatapku kesal tapi dia dengan cepat mengambil ponsel dari dalam saku celanaku dan menatap ponsel.

“Nih!” tunjuknya ke arahku dan kulihat nama Vani yang tertera di sana. Aduuhh, ngapain lagi itu cewek pakai nelpon-nelpon segala. Setelah tadi meneleponku mengatakan aku harus kembali ke Surabaya.

“Matiin aja deh, Fey,” ucapku malas membuat Fey memencet sesuatu di tombol ponsel.

“Vian, aku sudah ada di rumahmu sekarang.”

Aku menoleh horor ke arah Fey yang ternyata menjawab dan membesarkan volumenya. Istriku itu langsung membanting ponsel ke atas dashboard. Aduuhhh, akan terjadi perang dunia ini kalau begini keadaannya.

******

“Fey!” Dengan cepat kulepaskan seat belt-ku. Mobil sudah berhenti di pekarangan depan rumah dan Fey langsung meloncat turun tanpa mengatakan apapun. Aku berlari mengejar Fey yang melangkahkan kakinya tergesa ke dalam rumah.

Ketika kami telah sampai di dalam rumah, benar saja di sana ada Vani masih lengkap dengan koper besarnya itu duduk di sofa di ruang tamu dengan tatapan mengintimidasi dari Evan, Rasya dan juga masku.

“Vian!” panggilnya saat aku berhenti di depan mereka semua sedangkan istriku kini tampak memberengut melihat Vani.

“Maaf, ya, Van bisa pergi dari sini, rumah ini sedang tak menerima tamu siapa pun,” ucap Fey keras dan membuat Vani pucat pasi.

Aku, Rasya, Evan dan masku menatap takjub ke arah Fey. Ketiganya menanyakan dengan isyarat ada apa dengan Fey hari ini. Tapi aku tersenyum, rupanya Fey memang sedang emosi dan akan melibas siapa pun itu.

“Udah sono, hust hust pergi, udah diusir, tuh.“ Rasya mendorong tubuh Vani untuk pergi. Tapi Vani mengibaskan tangan Rasya.

“Eh, aku tak ada urusan dengan kalian-kalian, Vian kau jangan egois dong. Kelompok kita kalau ada satu yang tak ikut nanti semuanya akan mengulang lagi, ayolah balik lagi ke Surabaya,” ucap Vani membuatku mengernyit.

Fey memeluk pinggangku erat.

“Van, aku sudah bilang sama profesor Hadi, kalau namaku akan tetap diikutkan, dan kalau memang harus mengulang aku rela megulangnya, jadi bukan urusanmu lagi,” ucapku ke arah Vani membuatnya kini menghentakkan kakinya kesal.

“Ehmm, ini semua gara-gara Teteh, nih. Kalau Teteh tak egois, pasti semuanya tak akan begini. Teteh tak tahu malu!” ucapnya membuat Fey langsung berubah raut wajahnya, lalu dia segera menoleh ke arahku tapi kemudian dia melangkah cepat menaiki tangga.

“Eh, jaga mulut lu, ya.” Kini Evan sudah maju dan akan menampar pipi Vani tapi dihalangi oleh masku.

Kulangkahkan kaki ke arah Vani, ”Van, kumohon kau pergi dari rumah ini sekarang juga. Kau sudah lancang mencampuri kehidupanku. Aku selama ini menganggapmu teman karena kau yang sudah berbaik hati mencarikan aku beasiswa, tapi maaf perhatianku jangan disalahartikan dan aku mohon sekarang juga kau pergi.”

Vani menggelengkan kepalanya kemudian dia duduk lagi di sofa.

“Aku akan tetap di sini sebelum kau ikut denganku lagi ke Surabaya,” ucapnya keras kepala membuatku mengepalkan tanganku. Tapi kemudian tepukan di bahu membuatku menoleh.

“Dek, biarkan saja yang terpenting sekarang Aline. Aku tahu dia menangis, udah sana.” Masku mendorongku untuk melangkah menuju lantai 2.

Aku pun mengangguk dan segera meninggalkan ruang tamu. Masih kudengar perdebatan Evan, Rasya dan Vani. Biarlah aku tak peduli.

*****

Saat kulangkahkan kaki menuju kamar. Fey terduduk di tepi ranjang, dengan memakan apel di tangannya. Aku mendekat dan bersimpuh di depannya. Tapi wajahnya kini sembab oleh air mata.

“Fey ...” Kuusap air matanya yang masih terus mengalir itu, tak tega melihatnya kudekap tubuhnya erat. Dia tak menolak dan menangis terisak.

“Hust ... Maafkan aku, maafkan,” bisikku ke arahnya membuat tangisnya makin keras.

Setelah lebih tenang kini Fey melepaskan pelukanku dan mulai memakan apelnya lagi. Aku pun tersenyum geli melihat tingkahnya itu.

“Hey ... pelan-pelan.” Kuulurkan air putih yang berada di atas nakas saat tiba-tiba dia tersedak.

“Aku benci sama kamu ..., tapi aku tak boleh jahat, aku harus makan, aku harus kuat demi bayi kita dan Kavi, aku ingin tetap menyusui Kavi,” ucapnya masih terbata karena isakan tangisnya juga belum reda.

Kuusap rambutnya dengan sayang, “Maaf ya, telah membuatmu merasakan situasi ini, tapi aku bahagia, Fey. Bahagia sangat bahagia, karena akan ada adik Kavi di dalam sini.” Kuusap perutnya yang masih rata itu.

“Kau sengaja membuatku hamil? Dan kau sengaja dekat dengan Vani, nanti kalau aku sudah gemuk dan jelek, kau akan beralih ke Vani.” Eh, ucapannya itu makin membuatku tergelak, aku pikir Fey akan marah dengan hebatnya tapi saat ini dia malah merajuk lucu.

“Hey, siapa bilang aku akan membuat Fey gemuk dan jelek? Akan kubuat kau semok, seksi montok, jadi makin menggairahkan.” Kusentil hidungnya itu membuatnya kini melotot.

“Dasar mesuuuuummmm.” Taboknya ke arahku membuatku makin tergelak dan kurengkuh lagi tubuhnya itu.

“Andai Fey bisa merasakan buncahan kebahagiaan di dadaku, Fey, aku bahagia saat ini, Fey.”

Fey menghela napasnya, ”Tapi aku menyusahkanmu, aku egois, ya, aku membuatmu tak bisa berkutik, ya.”

“Eh, kata siapa?” Kuusap sisa air mata di wajahnya.

“Vani tadi pagi meneleponku dan memaki-makiku, katanya aku egois, tak tahu diuntung.”

“Hust, memangnya siapa Vani? Tak usah dipedulikan, Fey, yang menjalani kan kita berdua, aku merasa aku yang beruntung mendapatkan Fey di sini, i love you,” bisikku ke arahnya membuat dia mengusap air matanya.

“Ehmm, tapi Vani akan terus membayangi kita kalau kau masih terus berteman dengannya,” ucapnya membuatku mengangguk.

“Aku berjanji akan menjauhinya, Fey, janji.” Kuangkat telapak tanganku. Tapi Fey masih memberengut.

“Dia sudah pergi belum?” Dan kugelengkan kepalaku. Tiba-tiba Fey membisikkan sesuatu kepadaku membuatku menatapnya terkejut.

*****

“Line, Kavi biar bobok di kamarku, ya, kamu kan masih butuh istirahat, dan pulihkan kondisimu dulu, ya.” Mbak Sisca masuk ke dalam kamar sejenak setelah aku dan Fey menunaikan ibadah sholat isya. Hari sudah malam dan aku masih terus berkutat di dalam kamar karena merawat Fey yang masih butuh istirahat.

“Ehmm, sini Kavi aku gendong sebentar.” Fey mengulurkan tangannya ke arah mbak Sisca yang tengah menggendong Kavi.

Diciuminya Kavi dengan penuh kasih sayang.

“Dek, itu temenmu tak tahu malu, dia bilang mau menginap di sini,” ucap mbak Sisca membuatku dan Fey saling menatap.

“Ehm, Bee kayaknya kita memang harus melakukan itu,“ ucap Fey tiba-tiba membuatku mengangguk setuju.

******

“Ahhhh, hati-hati.” Fey menyurukkan wajahnya di lekukan leherku. Dan seketika juga saat kami melintas di ruang tengah membuat Rasya, dan Evan melongo melihat kami. Karena saat ini Fey sedang berada di punggungku, tepatnya aku menggendongnya.

Dan bisa kulihat tatapan tak suka Vani, cewek tak tahu malu itu masih duduk di sana tapi dia sudah berganti pakaian. Kata mbak Sisca Vani bersikeras menginap di sini.

Kulayangkan pandangan ke arah Evan dan Rasya memberi isyarat untuk menyingkir, membuat mereka berdua mengangguk mengerti. Lalu kurebahkan Fey di sofa di depan Vani duduk.

Evan dan Rasya sudah melangkah pergi meninggalkan ruang tengah.

“Sayaaannng.“ Kini kudengar Fey memanggilku dengan desahannya, aku pun mengulum senyumku, dan seketika merengkuh Fey yang terbaring di sofa.

Lalu dengan sengaja kulumat bibir Fey yang mengundang itu, bisa kurasakan Fey mengalungkan kedua tangannya di leherku. Kami saling melumat dan menyesap. Ciuman kami semakin intens.

Kulirik Vani yang pucat pasi menatap kami, tapi dia masih bertahan di tempatnya. Ehm, tak tahu malu juga dia. Segera ku masukkan jemariku ke dalam rok yang dipakai Fey membuat Fey mendesah.

“Awwhhhh ... Bee ...,” erangnya tertahan, dan kali ini bisa kutangkap dari ekor mataku Vani mulai bergerak gelisah.

Dan saat kubenamkan wajahku di lekukan leher Fey, mulai mengecupinya dan perlahan menyesapnya sedangkan tanganku sudah menyingkap rok milik Fey.

“Stoooopppppp!! Kalian tak tahu malu! Aku tak kuat di sini!” teriak Vani lalu dengan cepat dia melangkah ke arah kamar tamu, sesaat kemudian dia sudah menenteng koper besarnya.

“Kalian pasangan mesum,” ucapnya lalu tanpa berkata lagi langsung menghambur menuju pintu keluar.

Bammmmmm!!

Suara hentakan keras dari pintu membuatku dan Fey saling menatap dan setelahnya aku dan Fey tergelak.

Prok prok prok.

“Hebaaaaaaattt, jadi itu cara kalian mengusir penjahat?” Kali ini masku sudah muncul dibarengi Rasya dan Evan.

“Ini ide Fey, nih!” Kutunjuk Fey yang kini sudah duduk tegak dan merapikan bajunya.

“Tutup mata, tutup mata ... Rasya belum cukup umur,” ucap rasya membuat Evan menjitaknya.

“Alah, tadi siapa yang melotot melihat adegan ciuman hayo?” celetukan Evan membuatku dan Fey terkejut.

“Ja-jadi kalian melihatnya?” ucap Fey dengan gugup, dan ketika melihat mereka menganggukkan kepalanya. Sebuah cubitan mendarat di perutku.

“Kau, sih ... maluuuuu tahu, kan,” ucapnya yang dibarengi gelak tawa dari masku, Evan dan Rasya.

Duh duhh, bukannya ini ide istriku tadi, ya???

*****

Setelah kejadian si Vani itu, akhirnya Fey kini makin sensi. Entah karena kehamilannya, atau karena dia masih marah denganku karena kehamilannya itu. Dari hari ke hari dia makin galak dan jutek. Ehm, bukan sama aku saja sih sebenarnya, tapi sama semua pria di rumah ini. Bahkan Evan pun terkena galaknya. Duuuhhh, istriku tercinta benar-benar mengerikan kalau begini. Dan juga makin cerewet, tapi seperti itu aku menanggapinya dengan santai, habisnya kalau dia sudah marah-marah, itu pipinya yang gembil dan makin gembil itu makin menggemaskan.

“Beeeeee! Iihhh lamaaa deh, mau sampai kapan coba? Ini kaki udah pegel,” teriak nyonya besar membuatku tersadar dari lamunan.

“Iya, Sayang, bentar lagi ini lagi cuci muka,” teriakku dari dalam kamar mandi. Sore ini memang jadwalku untuk mengantarnya memeriksakan kandungannya. Kehamilan kali ini Fey lebih kuat, karena mual muntahnya hanya beberapa hari saja. Selanjutnya setelah itu dia malah makin lahap menyantap apapun. Alasannya karena dia masih harus menyusui Kavi, memberi nutrisi untuk dekbay dan juga memberi nutrisi untuk dirinya sendiri. Lucu tapi melihat nafsu makannya yang berlipat-lipat itu.

Kulangkahkan kakiku keluar dari kamar mandi, masih mengenakan kemeja selepas dari kampus tadi. Langsung ditodong Fey dengan wajah cemberutnya. Iya aku memang telat pulang dan kini membuat dia makin memberengut.

“Diiihhh, lamaaaa!” Fey mendekatiku lalu langsung menyambar handuk yang masih kupegang, kemudian dengan cepat membuka kancing kemejaku, dan langsung membukanya.

Dengan cepat pula dia mengganti dengan kaos polo warna biru naviku.

Seperti anak usia 5 tahun, aku digantiin baju. Setelah itu Fey megambil sisir dan menata rambutku yang masih basah. Aku hanya menikmatinya, hampir tiap pagi dia memang selalu memperlakukanku begini. Alasannya dia tak suka melihatku terlalu bertele-tele berpakaian.

“Sudah ganteng, udah cepetan kasian Kavi sudah menunggu di depan,” ucapnya setelah menepuk bahuku, dan kembali ke sikap semulanya, galak.

“Iya, iya istriku Sayang,” rajukku dan menjorokkan wajahku ingin menciumnya tapi dia menepisnya.

“Jangan merayu, deh!”

Tuh kan, mulai lagi deh nih mommy preggy.

*****

“Jadi? Sudah gol, toh?” Kutoleh ke arah jok belakang di mana mbak Sisca dan masku duduk. Mereka sore ini memaksa ikut ke dokter Ratna. Katanya mereka juga ingin segera mempunyai momongan. Lah, aku pikir mereka masih belum sampai ke tahap itu.

“Bee, kau ini memangnya bola digol-golin,” celetuk Fey, di sampingku sambil menyusui Kavi.

Kudengar gelak tawa dari masku.

“Dek aku memang harus belajar banyak nih, dari kemesumanmu, lah udah gol tapi belum berhasil juga, nih, pie to carane?” ucapnya membuat mbak Sisca sepertinya mencubitnya karena kemudian dia mengaduh.

“Lah wani piro, Mas?” Dan kini aku yang terkena cubitan dari Fey. Dia melotot ke arahku sambil membenarkan bajunya dan kulihat Kavi sudah memainkan jemarinya dan selesai menyusu.

“Fey, sakiiittt,” pekikku membuat Kavi malah menatapku dan mulutnya membentuk huruf o.

“Lah, mau dapat gimana orang masmu ini, lho, Dek, tak suruh nyentuh aku aja harus baca doa panjang banget lha yang ada aku juga keburu ngantuk,” celetukan mbak Sisca membuatku dan Fey berderai tawanya.

“Eh Cinta, jangan buka rahasia dong. Aku kan, ehmmm mau meresapi dulu gitu,” jawab masku.

“Jadi tiap malamnya berapa ronde, toh?” Kini Fey yang menoleh ke belakang. Hehehehhe istriku ini sekarang udah jail juga, ya.

“Eh eh eh. Adik iparku yang cantik ini kok, sekarang ikutan suaminya, ya, me to the sum mesuuumm!” tawa masku berderai.

Fey berdecak lalu menatapku yang masih fokus di balik kemudi. “Lha, tiap malam dimesumin terus kok sama adikmu ini,” ucapnya tanpa malu.

“Heh ... di sini masih ada bayi yang belum mengenal dosa, jangan diracuni dengan kosakata aneh itu, lah” jawabku membuat Fey seketika langsung menutup telinga Kavi. Lucu istriku ini.

*****

“Itu kenapa jadi mampir ke sini toh, Dek?” Mas Ryan menyenggol lenganku saat menatap dua perempuan di depanku masih asyik menikmati satu cup ice cream choco top.

Setelah dari klinik, Fey merengek-rengek minta mampir ke kedai Ice Cream ini. Padahal hari sudah beranjak senja. Akhirnya kami duduk berempat di kedai ini.

Masku tak menyukai ice cream dari dulu makanya, dia hanya melihat mbak Sisca dan Fey yang masih menjilati ice cream-nya.

“Fey, jangan banyak-banyak loh nanti tambah endut. Tadi kata dokter Ratna, Fey sudah gemuk itu,” ucapku membuat dia berdecak sebal. Kavi sudah tidur di gendonganku karena kecapekan, kebetulan tadi jadwal Kavi imunisasi juga.

“Baru juga dua ini, Bee, aku ma Sisca masih memesan dua cup lagi buat dibawa pulang,” ucapnya yang langsung diangguki oleh mbak Sisca.

Masku menyenggol lenganku lagi.

“Alamat kita pulangnya masih lama ini, Dek, padahal aku udah mau nonton grandprix,“ bisik masku.

“Ryan, bisik-bisik apa kau? Jangan pengaruhi suamiku loh, awas!” ucap Fey sambil mengepalkan tangannya membuat masku melongo.

“Heh, Dek, Aline ngidam preman apa? Kok jadi galak banget gitu, ya, duuuuuhhh,” bisik mas Ryan lagi tapi kemudian dia mengaduh kesakitan dan membungkuk lalu melihat ke bawah kakinya.

“Aline Sayang, kenapa aku ditendang coba?” ucapnya membuatku dan mbak Sisca mengulum senyum geli. Tuh kan masku sekarang yang terkena keganasan istriku ini.

*****

Akhirnya setelah menghabiskan 4 cup ice cream choco top Fey mau diajak pulang, meski mampir lagi minta cimol ama martabak manis. Belum juga tadi membeli nasi goreng dan sate. Tuh kan, itu katanya mau dimakan semua malam ini.

“Bawaain ke dalam, ya, aku mau bobokin Kavi dulu,” ucap Fey saat kami turun dari mobil. Aku hanya mengangguk dan menuruti perintahnya.

“Sayang, aku dipijitin, ya.“

Kutolehkan wajahku ke arah mbak Sisca dan masku. Aduh itu couple buat iri mulai deh mesranya.

“Ciiihhh manja.” celetukku saat berjalan di samping masku yang kini telah mendekap erat mbak Sisca.

“Hahahah ada yang dijutekin sama nyonya besar,” ucap masku yang langsung menarik mbak Sisca dan tertawa lalu berlari masuk ke dalam rumah. Dasar, belum ngerasain yang namanya punya bini hamil tuh.

Kuseret kaki masuk ke dalam rumah, dan kudengar suara istriku yang kini mengomeli Evan dan Rasya.

“Beresin ga ini? Kan kemarin juga udah Mbak ajarin cara ngelipatnya tu gini. Evan sampai kapan baju-baju kok kucel-kucel gini. Rasya juga nih, kenapa jemurannya belum dilipatin juga?” omel istriku ke arah Rasya dan Evan. Kulihat keduanya hanya menyeringai lucu.

“Fey, udah makan dulu, yuk, katanya tadi lapar?”

Aku mencoba mengalihkan perhatian Fey dan mencoba menolong dua berondong yang terkena omelannya itu.

“Nanti, sekarang mau ngajarin dua cowok yang ga bisa ngerapiin bajunya, nih,” ucapnya galak membuat Evan dan Rasya seketika menatapku meminta pertolongan. Tapi aku bisa apa kalau Fey sudah begitu. Kuangkat kedua tanganku.

“Selamat menikmati aja” ucapku tanpa bersuara ke arah Evan dan Rasya yang langsung membuat mereka melotot ke arahku.

*****

Saat selesai sholat, kulihat Fey sudah melangkah masuk ke dalam kamar, dia langsung merebahkan dirinya di atas kasur.

“Fey, sudah ... makan dulu, yuk!” Kulipat sajadah dan sarung yang kupakai.

“Aku lelah, mau bobok aja,” ucapnya sambil menarik selimut.

“Loh, lha itu makanannya gimana?” Kulangkahkan kaki ke arah ranjang dan duduk di tepi ranjang.

“Aku capek nih, tuh dua berondong ga bisa lipat baju-baju mereka bikin kesel aja,” ucapnya membuatku tak tahan untuk mencubit pipinya itu .

“Awwwhhh, kenapa pakai cubit- cubit,” ucapnya galak.

“Habisnya Fey lucu.”

“Dihhh, ngerayu.”

“Biarin, rayu istri sendiri, kok.”

Fey mengibaskan tangannya, “Tak mempan, tak mempan tuan Atmawijaya yang terhormat.” Fey sudah menarik selimutnya tapi kutarik lagi membuatnya kini menatapku kesal.

“Fey, kenapa marah-marah terus, sih? Fey masih marah karena hamil?” Kini kucoba untuk serius dengannya.

Tapi seketika juga dia memukul lenganku.

“Jangan sembarangan deh, mana ada marah.”

“Lah, itu sensi terus?”

Fey kini menghela napasnya.

“Entahlah mungkin karena hormon hamil, Bee kan tahu sendiri gimana capeknya ngurusin semuanya, Kavi, masak, buat cake, nyuci, beres beres rumah, jadi kadang suka gitu marah-marah,” ucapnya membuatku menatapnya lama.

Baru kusadari kehamilan Fey makin membuat Fey kelelahan. Tubuhnya pasti tak sekuat sebelum hamil.

“Fey, maafin aku, ya,” kurengkuh tubuhnya ke dalam pelukanku. Tapi kurasakan Fey menggelengkan kepalanya.

“Aku menikmatinya, kok, bukankah ini anugerah?” Ucapannya membuatku kini mendekapnya makin erat.

Apapun itu kau memang istri sempurna untukku Fey.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience