Bab 43

Romance Completed 25593

BAB 43

Tuhhhh khaaaaannnn, maluuu ini maluuu. Vian isshh dasar. Ini gimana ceritanya coba kalau seperti ini.

“Viaaaaaaaannnnn!!!” Kubuka pintu kamar mandi dan melangkah ke arah Vian yang kini masih memakai kaos putihnya sebelum memakai kemeja.

Semalam akhirnya aku menyerah lagi dalam dekapannya dan yah kalian tahu apa yang terjadi perang dunia di pulau kapuk.

“Apa Sayang? Mau lagi?” Seringainya padaku yang masih memakai kimono handuk dengan rambut basah sehabis keramas.

Tapi teringat aku belum sholat subuh kuurungkan niatku untuk mendekat. Mukena seperti biasa sudah disiapkan Vian.

“Ini bagaimana? Sudah aku bilang kalau tak boleh membuatnya di sini, kayak gini kan aku malu,” ucapku pada Vian dengan menunjuk leher dan dadaku yang penuh, yah hasil karya Vian semalam.

Kulihat Vian tergelak dan mendekat tapi aku langsung memakai mukenaku.

“Aku mau sholat dulu,“ ucapku. Vian mengangkat bahunya.

“Okay Fey, aku tunggu di dapur, ya.”

*****

Saat kulangkahkan kaki menuju dapur, Vian sedang menyesap cokelat hangatnya ditemani Rasya. Duh kenapa berondong kecil itu sudah bangun jam segini, di hari Minggu lagi.

Kurapatkan kaos yang kupakai untuk menutupi leher yang penuh hasil karya suami berondong mesum-ku itu.

“Fey, sini. Masaknya nanti saja, nih diminum susunya biar ga mual lagi.“ Vian menepuk kursi di sebelahnya dan menyodorkan satu gelas susu strawberry untukku.

“Mamiiiiiii ... morning!” Suara berondong cilik yang satunya alias Rasya. Kududukkan diri di atas kursi tepat di sebelah Vian.

“Kau, tanggung jawab,” bisikku ke arah Vian membuat Vian menoleh ke arahku.

“Tanggung jawab apa?” tanyanya, berlagak bodoh membuat kakiku akhirnya menginjak kakinya di bawah meja.

Vian meringis kesakitan. Kutunjuk leher dan membuat Vian mengulum senyumnya. Dia mencondongkan badannya, ke arahku.

“Enak ya, Fey? Mau lagi?” ucapnya yang langsung saja mendapat hadiah jitakan dariku.

“Hayoo Mami, ngapain sama Papi?” celetuk Rasya yang membuat Vian tersedak susunya lalu melotot ke arah Rasya.

“Gue bukan Papi lo,” ucap Vian membuat aku mengulum senyum. Lucu dia kalau marah sama Rasya pasti jadi mengucapkan kata-kata aneh.

Rasya menjulurkan lidahnya dan masih asyik menyesap susu cokelatnya. Dasar ini cowok semua kok hobi minum susu cokelat ya, tak Vian, tak Evan bahkan sekarang Rasya.

“Iyee Papi, iyee kan memang bukan Papi Rasya tapi saingan Rasya kan, ya? Buat ngerebutin mami cantik tersayang,“ ucap Rasya sambil beranjak dari kursinya.

“Udah ah Rasya mau maen sepeda sama temen-temen mumpung Minggu pagi ..., dadaaahhh,” pamitnya pada kami.

“Cari cewek sono biar ga ngerepotin gue terus, Sya,” teriak Vian yang langsung dapat juluran lidah lagi dari Rasya.

“Sampai kapan pun cewek Rasya cuma mami tercantik,” jawabnya lalu segera berlari keluar.

“Dasar berondong sarap,” celetuk Vian membuatku terkekeh.

“Udah deh, Bee, cuma sama ABG labil kayak Rasya, kok dipikirin, dia itu cuma bercanda kali.”

Vian menggelengkan kepalanya, “Itu bocah memang cinta mati deh sama Fey,” ucapnya membuatku mencibir.

“Udah sekarang gimana nih lehernya, masa mau pakai jaket terus, gerah, Bee, aku mau masak di pantry.”

Vian mengacungkan dua jempolnya, nah loh mulai tak nyambung kan, ya dia.

“Bagus kok, Fey, biarin keliatan kayak gitu, biar semua tahu Fey ini milikku.”

“Bagus dari Hong Kong, nanti jadinya pada ngira aku perempuan hamil mesum.” Ucapanku membuat Vian terkekeh bahkan sampai memegang perutnya.

“Semalam yang mendesah begini ... awhhhh ... v-i- aaannn ... moreee,” ucapnya dengan desahan yang menjijikkan membuatku mencubit perutnya membuat Vian meringis kesakitan.

“Berondong mesuuuummm,” amukku tapi makin membuat Vian tergelak.

*****

Tak nyaman satu kata itu yang menyelimutiku kali ini. Radit berkali-kali melirik tapi tak berani berkomentar. Aku yakin dia melihat beberapa tanda merah yang ada di leherku.

Saat ini aku sudah berada di pantry. Di hari Minggu begini meski masih pagi suasana café sudah mulai ramai. Vian sudah ke depan membantu kasir dan kadang menyapa kepada customer.

“Apa? Dari tadi melirikku terus?” celetukku akhirnya ke arah Radit yang sekarang sedang membantuku memasukkan adonan ke dalam loyang.

“Heheheh enggak kok, Mbak,” jawabnya kikuk.

“Malu-maluin, ya?” tanyaku ke arahnya membuat dia kini mengangkat alisnya.

“Kau, pasti melihat leherku, kan? Ini gara-gara bos berondong kamu.” Celetukanku malah membuat tawa Radit membahana memenuhi pantry.

“Jadi, dia benar-benar ganas, ya?” bisik Radit membuatku merah padam menahan malu.

Vian Atmawijaya, awas kau!!!!!!

“Radit, udah ahh... malas bahas itu.“ Kuacungkan spatula ke depan wajahnya, seketika dia mengangkat tangannya.

“Iya, Mbak, iya, enggak enggak,” jawabnya akhirnya sambil tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Saat itulah Rasya tiba-tiba masuk dan mencolek adonan cake yang kubuat.

“Mamiiii ... ke depan, yuk, Rasya mau nyanyi nih.“

Aku memandang wajahnya sesaat, lalu menggelengkan kepala. “Ini lihat masih banyak kerjaan, Sya, lagi pula malas ke depan.”

Rasya bersedekap di depanku, menatapku lekat, kemudian mengerutkan keningnya.

“Mi ... ini kenapa? Kena campak, ya?” ucapnya sembari menunjuk leherku. Pertanyaannya sukses membuatku membeku karena malu.

Tawa berderai pecah dari mulut Radit yang langsung kuhadiahi tatapan tajam ke arahnya.

Kulepas afronku kali ini, karena sudah malu, sangat malu karena ulah Vian yang membuat pagiku ini penuh tawa karena ejekan.

“Eh Mami, ke mana? Miiii!” Rasya mengekoriku dari belakang. Aku menuju meja kasir, di mana Vian tampak sedang mengobrol dengan seorang gadis yang lagi-lagi sangat cantik.

Tuh kan, siapa lagi itu gadis, Vian terlalu ramah kepada mereka semua. Nanti pasti jawabannya mahasiswilah, temannyalah.

Kuhentikan langkah sebelum mencapai kasir, dan bersedekap menatap mereka. Vian belum menyadari kalau kuamati dari jarak dekat begini. Sampai akhirnya gadis itu tiba-tiba memajukan badannya dan ... Cup.

Ahhh, demi apa coba suamiku dicium? Seketika aku melangkah maju ke arah mereka tapi suara Rasya menginterupsiku.

“Tes tes... Selamat pagi menjelang siang pengunjung Café De Rosse... yuk, sambil menikmati wafel, pancake ataupun yang hanya sekadar ngopi-ngopi dengan pacar atau orang yang kalian sayangi ... saya di sini akan menyanyikan lagu untuk wanita yang sedang berdiri di sana di dekat kasir, wanita yang paling cantik yang saya temui saat ini, Mamiiiiii, its amazing from jemz ... untuk mami tercinta,” ucapnya lalu mengerling ke arahku membuat pengunjung yang hadir menatapku dan tersenyum senyum.

Doraemon, pinjam pintu ke mana saja kalau begini, aku ingin menghilang dari tempat ini. Rasya membuatku sangat malu, sedangkan Vian tampak melongo melihat ulah Rasya, kini menatapku dengan tatapan tampak bersalah. Gadis yang menciumnya tadi tampak masih berada di depan Vian.

Segera kuhampiri Vian yang masih menatapku lekat. Saat aku sampai di depannya segera kupegang pipinya dan menciumnya. Vian terkejut. Sedangkan gadis di depannya itu tampak membelalak terkejut dan menatapku sinis.

“Kau akan mendapatkan hukuman dariku karena ciuman ini,” bisikku ke arahnya lalu segera berlalu.

Kuambil duduk di depan mini panggung tempat Rasya menyanyi. Kulihat dia melambai ke arahku, memintaku untuk naik ke atas panggung tapi kugelengkan kepala.

Kursi sebelahku tiba-tiba terisi dan Vian menatapku, meraih jemariku untuk digenggamnya tapi kukibaskan begitu saja. Aku muak dengan semua tingkahnya pagi ini.

“Fey, aku bisa, menjelaskan,” bisiknya, lalu menarikku untuk berdiri dan membawaku keluar dari café.

Sampai di gazebo yang ada di taman, Vian menghentikan langkahnya, lalu membawaku duduk.

“Fey, maaf tadi aku juga tak tahu Vani akan menciumku,“ ucapnya dengan nada yang benar-benar menyesal.

“Semua tak terjadi jika kau tak memberinya harapan, Yan, kau terlalu ramah kepada setiap wanita,” ucapku ketus.

Vian tampak menyesal, diacak-acaknya rambut di kepalanya.

“Aku tak memberinya harapan, Fey, dia hanya teman yang senasib denganku. Ingin mengambil spesialis juga di sini.Awalnya dia menawarkan diri untuk membantuku, cuma itu, Fey, tapi aku tak menyangka tadi dia nekat melakukan itu.”

Kupijat pelipis karena penat makin terasa. Aku terlalu malas sebenarnya bertengkar hanya masalah seperti ini, tapi mungkin karena aku sekarang sedang mengandung membuat tingkat sensitifku semakin bertambah.

“Kalau bertemu seorang wanita itu, bilang kalau kau sudah menikah, jadi tak buat semuanya salah paham denganmu.”

Vian menganggukkan kepalanya lalu meraih jemariku,

“Vi, maaf mengganggu.“ Tiba-tiba suara wanita memecah suasana kami. Kualihkan pandangan ke arah suara dan menemukan wanita tadi berdiri di depanku dan Vian.

“Vani,“ ucap Vian terkejut. Jemari Vian semakin erat menggenggamku.

“Mbak, istrinya Vian, ya? Maaf, Mbak, tadi saya lancang melakukan itu, maaf saya tak tahu kalau Vian sudah mempunyai istri,“ ucapnya lalu melangkah ke arahku dan mengulurkan tangannya.

Kujabat tangannya dengan malas, malas menanggapi fans Vian yang semakin hari semakin bertambah. Tak di Glasgow, di Solo, sekarang di sini.

Lalu dia melirik ke arah Vian setelah melepas jabatan tanganku. “Vi, kita jadi, kan, ke rumah professor Hadi sekarang, mengurus berkas-berkas yang harus kita kumpulkan untuk diajukan sebagai beasiswa?” ucapnya membuat Vian menoleh ke arahku meminta persetujuan.

“Fey ikut, ya,” ucapnya memohon, tapi kukibaskan

tangannya yang akan menggenggam jemariku.

“Pergilah, aku lelah, aku akan tidur,” ucapku asal dan segera beranjak dari sampingnya, melangkah meninggalkan mereka.

“Fey,” Vian menarikku dan memelukku.

“Maaf, ya, aku cuma sebentar, kok, sebelum ashar aku sudah kembali, maaf, ya,” ucapnya.

Aku hanya mengangguk dan melangkah pergi. Aku tak bisa membatasi kegiatannya kan. Biarlah, meski hatiku terasa sakit, dia tak memaksaku untuk ikut pergi dengannya. Dia bahkan hanya mengucapkan itu lalu beranjak pergi dengan Vani, gadis yang katanya, senasib dengannya itu.

*****

Kuhitung rintik hujan yang menetes melalui kaca jendela Café. Sore ini suasana café lengang karena hujan yang tiba-tiba mengguyur, mengirimkan hawa dingin dan juga bau tanah yang khas akibat guyuran air hujan setelah hari begitu panas.

“Mamiiiiii.” Suara Rasya mengagetkanku dari lamunan.

Di depanku segelas es krim strawberry tersaji.

“Cicipi, Mi, ini Rasya yang buat, tadi dibantu Kak Radit,” sodornya mendekat ke arahku.

Aku hanya menatapnya malas. Nafsu makanku entah ke mana sejak Vian menghilang dengan gadis itu.

“Mi, ayolah, bisa membuat suasana hati kembali bahagia loh, Mi,” cerocosnya lagi. Ia menyendokkan dan mulai menyuapiku.

“Aaaaaaa ....” Perintahnya, dan karena tak mau membuatnya kecewa akhirnya aku membuka mulut dan menerima suapannya.

“Ehm begitu? Jadi Fey tak mau kuajak karena mau suap-suapan dengan Rasya?” Tiba-tiba sosok Vian sudah berdiri tegak di hadapanku dan Rasya.

Kutatap dirinya dengan malas. Datang-datang sudah menuduhku yang bukan-bukan. Dia yang pergi sampai hampir maghrib begini , tak merasa bersalah sedikit pun.

“Kak? Lebih baik jangan buat Mami bersedih terus, Rasya tak tega melihat Mami dari kemarin menangis terus, kalau kak Vian tak bisa membuat Mami bahagia, Rasya masih bisa, kok!” Rasya tiba-tiba mengucapkan kata-kata itu ke arah Vian. Duh bocah ini menambah keruh suasana saja.

Tangan Vian mengepal menahan emosi, tubuhnya baru kusadari kalau basah kuyup bahkan kini dia tampak menggigil kedinginan.

“Sya, please,“ ucapku pada Rasya seolah memberi kode untuk memintanya pergi. Rasya tampak keberatan tapi ketika kuberi isyarat lewat mata dia segera beranjak dari depanku dan Vian.

“Ganti bajumu dan keringkan tubuhmu,” ucapku ke arahnya dan aku segera beranjak dari kursi lalu berjalan keluar dari café menuju rumah utama.

Vian mengikutiku meski dalam diam. Sampai di dalam kamar segera kuulurkan handuk untuknya. Dia menerimanya dan segera masuk ke dalam kamar mandi.

Kuhela tubuh yang terasa penat ke atas kasur. Aku sebenarnya sudah lelah dengan semuanya. Kupejamkan mata sejenak saat mendengar gemericik air dari dalam kamar mandi.

Bisakah semua ini berhenti, bisakah hidupku tenang tanpa harus ada gangguan lagi? Masalah di Yogya sudah aku lupakan. Aku hanya ingin hidup tenang di sini, tapi kalau tiap hari hanya begini yang kutemui, aku tak yakin bisa bertahan. Beginikah konsekuensinya mempunyai suami yang jauh lebih muda?

Suara pintu kamar mandi terbuka, dan Vian keluar dengan rambut basah dan tubuh yang hanya terbalut handuk setengah badan. Dia hanya melirikku sekilas dan menuju lemari pakaian lalu dia mengambil asal kaos dan celana piyamanya.

“Fey,” ucapnya lirih sambil duduk di sebelahku.

“Kau mau minum teh hangat untuk menghangatkan badanmu?” Kucoba untuk mengalihkan pembicaraan dan merasa kasihan melihatnya kedinginan begitu.

Dia menggelengkan kepalanya, lalu bersedekap dan menatapku.

“Fey, marah dengan Vani? Atau marah denganku? Katakan Fey!” ucapnya membuatku menggelengkan kepala.

“Buat apa aku marah kalau kau tak salah,” jawabku datar.

Mungkin memang benar aku yang harus mengalah saat ini. Aku juga tak berhak membatasi pergaulan dan aktivitasnya.

Vian menghela napasnya lalu memijat pelipisnya. Suara adzan maghrib membuatku beranjak dari kasur.

“Aku mau sholat,“ ucapku yang dibalas hanya dengan anggukan.

Akhirnya kami sholat berjamaah. Setelah sholat aku mencoba meredamkan gejolak hati dengan berdzikir. Vian pun melakukan hal yang sama.

Semuanya tetap diam sampai kami selesai sholat isya. Tubuhku sudah lelah dan rasa kantuk sudah menggelayuti mata. Sementara Vian masih tampak kaku di depanku. Tampaknya ada sesuatu yang ingin disampaikannya tapi merasa tak enak denganku. Aku pun hanya terdiam dan tak mengajaknya berbicara dan mulai merebahkan diri di atas kasur.

Entah berapa lama aku tertidur, ketika kudengar igauan dari mulut Vian. Kutolehkan wajahku ke arah Vian yang berbaring di sebelahku. Dia tampak menggigil. Kuusap keningnya dan panas yang mendera membuatku terkejut.

“Fey, maafkan aku ....” igaunya saat kuambil handuk dan kubasahi dengan air hangat dan mengompres keningnya.

“Husst, Yan, hust bangun,” kutepuk pipinya mencoba membangunkannya. Vian mengerjapkan mata dan membukanya perlahan, lalu seperti terkejut ketika melihatku kini berada di dekatnya. Dengan cepat dia bangun dari tidurnya dan mendekapku erat.

“Fey, maafkan aku, Fey... maaf ...,” ucapnya lirih.

Tubuhnya terasa panas, dia benar-benar demam saat ini.

“Hust sudah, aku buatkan susu ya biar lebih hangat,” bisikku menenangkan. Vian menggeleng lemah.

“Fey, maaf aku tadi pergi dengan Vani maaf, aku salah, Fey, aku salah,” ucapnya.

Kuhela napas dan mencoba menenangkannya. Terdiam tak menjawab tapi ketika kulihat tubuhnya makin menggigil, aku tahu Vian menahan sakitnya karenaku.

*****

“Fey ...” Suara serak Vian mengagetkan dan membuatku mengangkat wajah yang kutelungkupkan di atas kasur sedangkan tubuhku masih meringkuk di atas kursi tepat di samping ranjang.Semalaman memang aku menjaga Vian dan terus mengompresnya karena panas tubuhnya tak juga reda.

“Periksa ke dokter, yuk.“ Kuusap keningnya yang masih demam itu.

Dia kembali menggelengkan kepalanya.

“Fey, kenapa semalam tak tidur di sebelahku, kasihan dekbaynya dan juga Fey,” ucapnya penuh kekhawatiran.

“Aku tak bisa tidur kau terus mengigau dan masih demam.”

Vian mengusap rambutku dengan sayang, ”Aku tak apa-apa, Fey, kemarin aku kehujanan karena berlari menembus hujan,“ ucapnya membuatku terkejut.

“Kenapa menembus hujan? Bukankah kau diantar Vani?”

Dia menggelengkan kepalanya, “Aku takut Fey marah, jadi pulangnya aku cepat-cepat dan naik angkutan umum, Vani sudah baik mau mengantarku ke rumah profesor, tapi aku teringat Fey, aku salah tadi pergi begitu saja.”

Kutatap wajahnya yang pucat itu, dan kuhela napasku. Aku mungkin yang terlalu menganggap semua ini berlebihan. Bukankah suamiku ini begitu mencintaiku kenapa aku masih meragukannya? Maaf, Yan, maaf. Kugenggam jemarinya mencoba menenangkannya.

“Maaf ya ... aku tak apa-apa maaf sudah sempat marah denganmu.”

Aku tak tahu apa aku salah dalam bersikap selama ini, aku tak tahu. Tapi kali ini mungkin aku harus lebih introspeksi terhadap diriku sendiri. Tadi aku benar-benar tak menyangka bisa meninggalkan begitu saja istriku yang tampak kecewa denganku dan mengikuti Vani pergi.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience