Pukul enam tepat aku sudah sampai di sekolah. Sebuah catatan rekor karena selama di SMA aku tidak pernah datang sepagi ini. Selain karena jarak rumah dengan sekolah yang cukup jauh. Datang lima menit sebelum bel itu menyelamatkanku dari satu hal: bebas dari rusuhnya anak-anak yang ingin menyontek tugasku.
Pasti kalian bingung kenapa aku datang sepagi ini. Jawabannya karena aku mau menyusup ke ruang loker anak laki-laki. Eit.. jangan salah sangka dulu. Aku melakukan ini ada tujuannya.
Sambil melihat keadaan sekitar, aku berjalan sembari mencari-cari nama seseorang. Cukup sulit ketika mencari namanya. Sudah sepuluh loker terlewati namun tak kunjung aku temukan namanya.
"Dia nomor absen berapa ya?" aku sambil mengingat-ingat nomor absennya.
"Kalo nggak salah sih nomor dua belas." aku berusaha menebak-nebak sambil mencari loker nomor dua belas.
Deretan loker kelas dua belas ada di paling kanan. Otomatis, aku bergeser lumayan jauh untuk sampai ke sana. Mataku membulat lebar ketika tulisan 12 IPA 4 terpampang nyata di depan mataku.
"Nah kan bener. Athar itu nomor absen dua belas."
Tanpa menunggu waktu lama lagi, aku segera membuka lokernya. Hari ini, aku mendapat keberuntungan dari dewi fortuna. Karena aku bisa meminjam kunci dari Mang Daus, penjaga sekolah kami. Dia cuma bertanya untuk apa aku masuk ke dalam ruang loker cowok. Dengan santai aku beralasan kalau buku paket Athar tertinggal di rumahku. Pria tua itu langsung percaya dan memberiku kunci lokernya.
Satu kotak kado kecil aku taruh di dalam sana. Berharap kalau Athar menyukainya. Tidak lupa kuselipkan sebuah kartu ucapan selamat ulang tahun untuknya dan doa-doaku disana.
"Semoga, Athar suka jam tangannya."
Setelah menaruh kado itu ke dalam loker, aku buru-buru ke luar dari ruangan itu. Takut kalau ketauan menyusup masuk ke dalam. Kalau ketauan kan berabe urusannya.
Aku melangkah menuju pos satpam. Tempat biasanya Mang Daus mengopi dan bergosip bersama kedua rekannya yang bertugas sebagai satpam. Sesampainya disana, aku langsung menaruh kuncinya di sisi jendela pos satpam.
"Makasih ya, Mang! Mamang baik deh. Aku doain semoga Mamang banyak rezekinya." ucapku pada Mang Daus yang dihadiahi tawa olehnya.
"Amin, Neng."
"Banyak juga istrinya.."
"Heh! Kalo itu mah jangan atuh." sela Mang Daus.
"Emang kenapa, Mang? Kan enak banyak istrinya. Nggak bakal bosen di rumah."
Mang Daus hanya tertawa tapi tidak membalas perkataanku. Senang kalau bisa menggoda pria tua itu. Dia sangat baik dan ramah pada siapapun.
"Duluan ya, Mang." pamitku.
"Mang Daus doang nih yang disapa. Kita-kita nggak?" Pak Udin langsung menyambar.
"Dih mau banget disapa."
"Dasar ehem-ehemnya Mang Daus."
"Yee.." aku tertawa. "Duluan ya, Pak Udin, Pak Yanto."
"Iya.. ati-ati nabrak semut."
"Apasi!"
Aku melangkah pergi dari sana. Di jalan, aku senyum-senyum sendiri. Tidak nyangka juga usahaku ini akan berhasil. Oh iya, asal kalian tau saja, ini bukan pertama kalinya aku memberikan barang secara diam-diam pada Athar. Kalau kuingat-ingat lagi, kira-kira ini yang ke-8 kalinya.
Tidak lama, aku sampai di kelas. Di tempat dudukku, sudah ada Nesya dan Alysa. Mereka seperti sedang menungguku.
"Eaaaa yang udah ngasih kado spesial katanya mah.." Alysa mencoba menggodaku.
"Spesial paket berapa tuh?" Nesya ikut-ikutan menggodaku hingga pipiku merona.
"Jangan berisik dong! Nanti yang lain pada tau." aku mengisyaratkan mereka agar tidak bicara dengan lantang.
"Kadonya apasih? Jadi penasaran, Dir." tanya Alysa.
"Yang pasti spesial laaahh.." Nesya dan Alysa tertawa.
"Pasti harganya mahal ya."
"Enggak juga. Mana mau gue ngasih yang harganya jutaan ke Athar. Gue juga masih punya akal keles. Mending buat beli binder, Midliner, stabilo, brush, apalagi ya,.."
"Yaa.. alat-alat ambis lo itu. Kalo gue jadi lo ya, gue bakal beliin baju, sepatu, tas, sama make up."
Aku terkekeh pelan. "Masih SMA udah pake make up."
"Emang ga boleh ya? Ada peraturannya ga boleh make make up?" tanya Alysa.
"Ada lah. Tapi kita jarang ngadain razia. Liat aja entar, lo pasti ketangkep."
"Sial. Gue jadi inceran."
Aku menaruh buku-buku dari dalam tas ke atas meja. Tinggal tersisa lima belas menit lagi menuju bel masuk.
"Lo keren ya, Dir." ucapan Nesya itu membuatku sontak menoleh ke arahnya.
"Keren apanya?"
"Iya, keren aja gitu. Bisa suka sama cowok sampe dua tahun." sambung Nesya.
"Gue masih bingung apa yang lo suka dari Athar?" Alysa bertanya.
Aku tersenyum. Mungkin aneh bagi mereka menyukai cowok selama dua tahun. Aku memang begitu. Susah untuk suka dengan cowok. Sekalinya suka bisa sampai bertahun-tahun.
"Gue suka sama dia karna dia beda sama cowok-cowok disini. Ya, kalian tau kan cowok-cowok disini kaya gimana. Tampilannya urakan, bandel, suka ngelawan guru. Dia doang yang beda." ucapanku itu membuat Alysa dan Nesya tertawa.
"Bukan karena dia ganteng kan?"
"Dih apaan sih? Gue nggak pernah mandang fisik kalo suka sama orang."
"Nggak percaya gue."
"Terserah kalo gitu."
"Tapi, kenapa lo nggak pedekate langsung aja gitu? Atau.. jangan ngasih dia kado sembunyi-sembunyi kaya gini." saran Nesya.
Aku menggeleng. "Nggak ah. Yang ada nanti dia ngejauh."
"Kenapa?" tanya Alysa dan Nesya bersamaan.
"Athar kan nganggep gue temen doang. Kalo dia tau gue suka sama dia dan dianya nggak suka gimana? Gue nggak mau jadi jauh dari dia. Ya mending gue kaya gini aja. Jadi pengagum rahasianya."
Nesya menganggukkan kepala. "Gue suka gaya lo."
•••
Istirahat menjadi waktu yang paling tepat untuk mengisi perut. Ya.. menurut kebanyakan orang pasti begitu. Tapi buatku, istirahat jadi waktu senggang untuk belajar persiapan UN. Setengah jam yang harus dimanfaatkan dengan baik.
Daripada mengantri panjang lebar demi mendapatkan satu bungkus nasi goreng atau rela berdesak-desakan sampai menghirup aroma rokok. Mending mengadem ria di perpustakaan. Selain tenang, aku juga suka satu hal dari perpustakaan.
Aku suka aroma buku-buku yang ada di perpustakaan. Seperti ada aroma yang khas dari ribuan lembar kertas yang ada disana.
Aneh memang. Tapi ya beginilah aku.
Saat ini, aku sedang berjalan menuju perpustakaan. Letaknya ada di ujung lorong kelas dua belas. Tidak terlalu jauh juga dari kelasku. Hanya terpisah tiga kelas saja.
"Adira!"
Panggilan dari seseorang itu membuatku berhenti melangkah. Aku langsung menoleh ke arah belakang dan melihat Athar yang tengah berlari ke arahku.
Mau apa dia sampai lari ngos-ngosan seperti itu.
"Kenapa, Thar?" tanyaku pada cowok itu.
Cowok itu membungkuk seraya mengatur napasnya. Aku mengernyit bingung.
"Disuruh ke ruang kesiswaan." ucapnya.
"Mau ngapain?"
"Kayanya masalah kemarin. Ayo! Bareng gue kesananya."
Cowok itu langsung menarik tanganku tanpa menunggu jawaban dariku dulu. Athar sedikit berlari sambil menggenggam tanganku.
Tidak tau lagi kata apa yang bisa diungkapkan. Senang bisa berpegangan tangan dengannya meskipun secara tidak sengaja.
Athar. Aku ingin berteriak rasanya.
Orang-orang yang ada di lorong saat itu melihatku dan Athar. Untung tidak ada yang berbisik-bisik. Mungkin karena mereka tau kalau kami partner kerja.
Alysa dan Nesya juga melihat kami. Mereka kebingungan dan langsung memberhentikan langkahku dan Athar.
"Ada apa, Dir?" tanya Alysa.
"Gue sama Athar mau ke ruang kesiswaan dulu ya. Biasa, tugas negara." jawabku dengan santai.
"Duluan kalo gitu." pamit Athar.
"Eh- kita ikut dong."
Akhirnya, kami berempat ke ruang Pak Sofyan. Masih dengan perasaan deg-degan karena Athar masih memegang tanganku. Bahkan, aku takut dia tidak nyaman karena tanganku keringetan.
Di perjalanan aku sangat berharap waktu berjalan dengan lambat. Aku tidak mau hal ini berlalu dengan cepat.
Tapi sepertinya Tuhan tidak merestuiku dengan Athar. Belum ada lima menit kami sudah sampai di tempat tujuan. Genggaman tangan Athar terlepas. Aku kecewa.
"Permisi, Pak." Athar mengetuk pintu.
"Masuk!"
Aku, Nesya, Alysa, dan Athar duduk di kursi yang berhadapan dengan para terdakwa. Dari yang kulihat, Nata dan Melvin tidak nyaman. Seakan banyak yang ingin dia katakan pada Pak Sofyan. Wajahnya terlihat begitu emosi.
"Ini surat kalian!" Pak Sofyan membanting kedua surat itu ke atas meja.
"Pak, bukan kita yang salah!"
"UDAH CUKUP! BAPAK NGGAK MAU DENGER ALESAN KALIAN LAGI. JELAS-JELAS KALIAN YANG MENCURI."
"TAPI KAMI DISURUH, PAK!"
"NATAAA!" teriakku karena dia bersikap tidak sopan. "Jangan pake urat kalo ngomong sama guru!"
"Bacot. Diem aja kalo nggak tau apa-apa."
Aku memilih untuk diam. Bukan karena aku kalah. Namun aku tidak mau berurusan dengan anak berandal semacem dia. Cukup dipandang sinis saja.
"Saya udah jelasin kemarin, kalau kami disuruh."
"Siapa yang nyuruh kamu?"
Seketika pertanyaan itu terlontar, Nata langsung bungkam. Ditanya berulang-ulang kali pun Nata dan Melvin tidak menjawab siapa yang menyuruh mereka mencuri.
Aku bingung disitu. Untuk apa mereka menyembunyikan faktanya kalau itu akan membantu mereka lepas dari hukuman berat.
"Siapa yang nyuruh kamu, Nata? Dia anak SMA kita?" Pak Sofyan mengulang pertanyaannya.
Nata masih bungkam. Rasa kesal memenuhi dadaku. Ingin kuteriaki di depan wajahnya saking kesalnya karena dia tidak menjawab pertanyaan seorang wakil kepala sekolah. Diberi hukuman tidak mau, diberi keringanan pun enggan.
"Woi jawab dong! Nyita waktu tau nggak lo!" Athar juga sepertinya emosi menghadapi pasukan anak nakal seperti mereka.
"Bacot."
"Sopan dikit napa. Dikira ini pasar." Alysa tak mau kalah melayangkan sindiran kepada Nata.
Anak-anak OSIS seperti kami memang sangat membenci anak berandal seperti Nata dan Melvin. Menambah kerjaan kami saja di sekolah.
"Nah kan, disuruh ngaku ketuanya nggak mau. Giliran di DO marah-marah. Kamu maunya apa, hah?" tanya Pak Sofyan.
Skak mat. Aku tertawa dalam hati ketika mereka disentak seperti itu oleh Pak Sofyan.
"Nata, ngomong!" titahku agar mereka cepat memberi tahu.
"Iya, mereka anak sini." hanya itu jawaban yang keluar dari mulutnya.
"Nama, kelas, sebutin!" titah Athar dengan tegas.
"Lupa namanya."
"Brengsek! Cepet sebutin namanya atau hukuman lo makin berat." ucapku.
"Hukuman apa? Paling juga cuma dikeluarin dari sekolah. Bukan hukuman mati kan."
Darahku semakin naik ke ubun-ubun. Spesies macam apa cowok yang ada di hadapanku ini. Rasanya ingin menyabet lehernya dengan golok tajam.
Huft.. sabar Adira.
"Emang kalo lo kasih tau namanya kenapa? Ada masalah? Atau lo takut dibantai sama ketua geng lo?" kini, Athar berusaha mengambil alih sesi pertanyaan yang seharusnya ditanyakan oleh Pak Sofyan.
Nata diam. Begitu juga Melvin.
"Lo denger gue! Disini bukan lagi masalah solidaritas. Lo berdua dikeluarin. Ketua lo harus ngalamin hal yang sama. Lo ngebela siapapun disini nggak akan nguntungin."
Sepertinya ucapan ketua OSIS kami mendapatkan respon dari Nata. Cowok itu sempat menaikkan sebelah alisnya. Nampaknya dia sedang berpikir keras.
Namun belum ada tanda-tanda mereka akan membuka mulutnya soal siapa ketua geng mereka. Sampai akhirnya, ada yang mengetuk pintu dari luar. Pak Sofyan mempersilakan masuk.
Aku sempat melirik ke belakang. Sementara Alysa sudah menjerit pelan padaku dan Nesya. Aku tidak mengerti dan hanya diam saja sambil memperhatikan gerak-geriknya.
"Saya ketua gengnya."
Satu kalimat itu saja sudah membuat jantungku hampir copot. Aku pikir dia sudah gila. Menyerahkan diri begitu saja disaat orang lain berusaha menghindari kesalahan mereka.
Aku mengapresiasi keberaniannya mengakui kesalahan di depan Pak Sofyan. Tapi tunggu. Aku belum pernah melihatnya di sekolah ini.
"BENAR DIA, NATA?" Pak Sofyan bertanya pada Nata yang dibalas anggukan kepala.
Pak Sofyan berjalan mendekati cowok berpostur tinggi itu. Dari wajahnya tidak ada ekspresi ketakutan atau semacamnya. Dia terlihat sangat tenang untuk ukuran seorang pembuat masalah di sekolah.
Dan..
PLAK!
Aku menutup mulutku saat tangan besar Pak Sofyan menyentuh pipi mulusnya itu. Dia tidak bergerak. Sekarang cowok itu baru terlihat gemetaran. Bibirnya pucat pasi.
"PENCURI! NGGAK PANTES KAKIMU MENAPAKI SEKOLAH INI."
Share this novel