Bab 67

Romance Completed 25593

BAB 67

“Mbak, udahan sana itu adonannya Radit bisa kok, Mbak, jangan kecapekan Mbak,” celetukan Radit membuatku tersenyum dan meletakkan spatula yang baru saja kubuat untuk mengaduk adonan red velvet ke atas meja.

“Apaan sih, Dit? Biasa aja kali, orang biasanya juga tiap hari buat adonan 20 loyang, tuh, kenapa sekarang kau ribut terus?”

Radit kini melangkah mendekatiku, dan menarik adonan yang baru saja kubuat.

“Dapat ultimatum dari bos besar, tak boleh membuat mbak Aline kecapekan, lagipula nih ya Radit disuruh mencari koki lagi yang bisa buat semua kue gitu. Bos tak mau mbak Aline kecapekan, apalagi sekarang lagi hamil.

Radit juga kasihan, Mbak.”

Celetukan Radit membuatku kini menatapnya kesal.

“Maksudnya apa, tuh? Mau cari koki lagi?” Kutatap Radit dengan galak membuat dia seketika terkejut, lalu menyeringai lucu. Dan seperti kebiasaannya jika ketakutan, langsung memainkan rambunya yang hitam ikal itu.

“Ehm, anu ... itu ... ehmm, anu ... duhh, bukan Radit, Mbak. Itu permintaan bos, biar mbak Aline ga kecapekan gitu, loh.”

Apa-apaan ini? Bukannya aku tak setuju jika posisiku sebagai pembuat resep di menu utama ini digantikan oleh orang lain. Vian memang pernah mengutarakan itu kepadaku, tapi aku tolak mentah-mentah.

“Mas Radit, temennya yang namanya Rani sudah datang mas.” Tiba-tiba kepala Dimas muncul di ambang pintu pantry. Membuat Radit langsung menoleh kepada Dimas.

“Oke, suruh masuk aja ke sini, ya,” celetuknya.

“Siapa Rani? Cewekmu, huh?”

Radit tersenyum dan menggeleng.

“Itu Mbak, anu ...”

“Radit, maaf telat, ya, mobilku mogok tadi.”

Suara seorang cewek menginterupsi jawaban Radit.

Seorang cewek manis, berkulit putih sudah berdiri di pintu pantry.

“Rani, sini masuk, aku kenalin sama Nyonya Bos.” Radit sudah melangkah mendekati Rani dan menariknya lalu melangkah ke arahku.

“Mbak ini, loh, Rani yang akan menjadi koki di sini menggantikan mbak Aline”

Loh tuh, kan kenapa jadi menggantikanku???

“Pagi Mbak, saya Kirani. Panggil saja Rani, mohon bantuannya, ya,” ucap cewek itu dengan manisnya dan mengulurkan tangannya kepadaku. Kuhela napas dan akhirnya menj abat tangannya.

“Maaf ya, mbak Aline, tak memberitahu mbak Aline dulu, semalam bos sudah menyetujuinya. Jadi mulai hari ini Rani mulai kerja boleh kan, Mbak? Dia lulusan Australia, Mbak, pintar kalau disuruh buat cake apapun. Kebetulan dia kembali ke Indonesia dan menghubungiku lagi cari kerja buat pengalaman gitu, ya udah aku tawarin di sini aja.” Ucapan Radit yang panjang lebar tak bisa kudengarkan lagi. Yng pasti saat ini aku sedang kesal dengan Vian. Enak saja menerima orang tanpa berunding diri denganku.

Kulepas afronku lalu menatap Rani, aku juga tak bisa kan kesal dengan orang yang tak tahu apa-apa. Jadi kupaksakan senyumku.

“Ok, Rani, welcome ya, ehmm, di sini menu utamanya red velvet dan ombre cake, kalau kau bisa?”

“Wah kalau hanya itu gampang, Mbak” jawabnya dengan riang. Huft, kuhela napasku, kenapa aku tak rela, *****

“Ini om Evan, om Evan, nah itu pakde Ryan.”

Evan tengah menciumi Kavi dan kini asyik ngobrol dengan bocah itu. Aku pun menatapnya geli saat Kavi hanya ber ao ao ao mengikuti ucapan Evan. Di depannya, Ryan juga tengah asyik menggoda Kavi, Sisca masih sibuk belajar memasak siang ini, setelah menerorku untuk mengajarinya masak dan sekarang dia sedang berkutat di dapur, tak mau aku bantu. Ya sudahlah kita lihat saja nanti hasil masakannya itu.

Aku masih berkutat dengan jemuran baju milik Evan dan Rasya yang memang dari kemarin juga belum mereka sentuh meski sudah aku ajari cara melipat yag benar, tapi yang ada sekarang juga kembali cuma dilipat seadanya, duh anak-anak itu.

“Mamiiiiiii, ini resep cake-nya yang baru enak, loh.” Tiba-tiba kulihat Rasya sudah muncul di depanku dengan membawa satu cup cake.

“Menu apaan?” Aku bingung menatap Rasya.

Rasya melahap cake itu dengan enaknya.

“Lha ini, barusan mampir ke café dulu sama kak Radit disuruh nyicipin ini, ini buatan Mami, toh?”

Wah perasaanku tak enak, nih. Langsung kutinggalkan Rasya yang masih menikmati cake-nya itu dan kulangkahkan kaki keluar dari rumah langsung menuju café.

Saat aku memasuki café tiba-tiba kulihat Vian sedang tertawa senang di sudut ruangan dengan Rani. Dan ketika kulihat daftar menu utama yang sedang ditulis Dimas membuatku terkejut.

“Loh, Mas, kenapa red velvet-nya dihapus?”

Dimas menoleh ke arahku lalu mengangkat bahunya.

“Itu Mbak, disuruh sama koki baru, katanya menu utamanya sekarang diganti tiramisu caramel, gitu,” ucapnya yang membuat emosiku seketika naik.

Kulangkahkan kaki tergesa ke arah Vian yang nampaknya juga masih menyantap cake itu dengan lahap dan Rani yang masih duduk di depannya itu.

“Yan, apa-apaan sih ini?” Segera kuucapkan kalimat itu membuat Vian tersedak dan segera meminum air putih di depannya.

“Eh sayang, sini cake ciptaan Rani enak loh sayang” Vian menarik tanganku dan akan menyuruhku duduk di pangkuannya tapi seketika kukibaskan tanganku.

“Itu kenapa red velvet-ku dihapus?” Kutunjuk papan menu dan Vian seketika tersenyum ke arahku. Kulihat Rani tampak mengulum senyumnya tapi begitu aku menoleh ke arahnya dia segera menunduk. Ada yang aneh dengan cewek ini kurasa.

“Eh Sayang, ganti menu dulu kan tak apa, ya? Lagipula Sayang ga boleh kecapekan, makanya aku cariin koki baru. Rani ini pintar lho, Sayang. Dia sekolah di Australia bahkan mau menjadi chef tapi masih mau bekerja di sini, siapa tahu dengan resep-resepnya yang baru café ini makin laris iya toh, Sayang?”

Kuhentakkan kaki kesal ke arah Vian dan segera berlalu dari hadapan Vian dan Rani. Biarlah aku dibilang seperti anak kecil tapi aku sakit hati Vian menggeserku dengan si Rani itu. Tak tahukah dia kalau aku sangat menyukai kegiatanku membuat cake? Hanya ini yang bisa kugunakan untuk mengenang bunda, aku bahagia saat membuat cake karena bisa teringat oleh bunda saat mengajariku.

*****

Tubuhku terasa berat, dan saat kubuka mataku sebuah lengan dengan erat melingkar di pinggangku. Seharian kemarin akhirnya aku menghindari Vian. Dia juga mencoba memberiku waktu mengetahui aku marah. Tapi Vian memang sangat disibukkan dengan pendidikannya itu. Tadi setelah pulang sebentar, Vian berangkat lagi ke kampus, dan baru pulang menjelang malam, itu pun aku tak sempat bicara kepadanya karena Sisca sudah menodongku untuk mengajarinya masak lagi, kebiasaannya tiap sore.

Setelah bermain-main dengan Kavi, tadi Vian sempat berpamit kepadaku pergi sebentar dengan Evan dan Ryan mencari apalah entah, urusan cowok.

Dan aku bisa dipastikan sudah mengantuk kalau sudah menunjukkan pukul 8 malam. Karena kehamilanku ini membuatku cepat merasa ngantuk. Setelah menidurkan Kavi, akhirnya aku tertidur pulas.

“Fey, sudah bangun? Sholat subuh berjamaah, yuk.” Suara serak di sampingku membuatku menyingkirkan tangannya yang masih berada di atas pinggangku.

Aku tak menjawabnya tapi segera melangkah turun dari kasur, melangkah ke arah box bayi dan memeriksa Kavi yang masih tertidur pulas. Tiba-tiba sebuah rengkuhan hangat membuat tubuhku kini menegang.

“Fey, kenapa sih? Marah denganku?”

Vian menyandarkan dagunya di bahuku. Kuhela napas. Dia ini selalu tak peka, bukankah dia tahu kalau aku marah?

Kulepas pelukannya dan mendorong tubuhnya.

”Aku mau wudhu,” jawabku singkat membuat Vian hanya mnghela napasnya dan mengangguk.

Sholat subuh kami lakukan berjamaah, tapi setelah itu aku segera melipat mukena dengan cepat saat selesai dan Vian masih berdzikir.

Kuberesi kasur dan kulipat selimut yang masih berserakan itu, dan ketika kulihat Vian sudah selesai dan melipat sajadahnya dia menatapku dan duduk di tepi kasur.

“Maaf Fey, kalau kau tersinggung karena aku menerima Rani dan membuat Fey tak bisa membuat cake lagi. Tapi ini kan demi kebaikan Fey, aku tak mau kau sakit karena kelelahan, Fey.”

“Aku hargai niat baikmu itu, Yan, tapi kenapa kau tak berunding dulu denganku? Kau tahu kan kalau membuat cake itu hobiku, dan kau tahu hanya dengan membuat cake aku merasa bisa membahagiakan bunda meneruskan citacitanya, mengenang bunda.” Suaraku tiba-tiba terasa serak karena hatiku yang kembali terasa sakit dan ingin menangis ini. Tangis yang aku tahan sejak kemarin.

Vian dengan cepat menarik tubuhku dan membuatku berada di pangkuannya. Dipegangnya wajahku dan tanpa diduga Vian sudah mengecupi mataku yang sudah basah oleh air mata.

“Maaf, maaf, please, maaf, Fey. Aku salah, kalau Fey tak mau digantikan Rani aku bisa menghentikannya, tapi Fey janji tak boleh kecapekan, ya?’ bisiknya lembut.

Kutatap wajahnya yang menatapku khawatir, ada gurat kesedihan di sana dan ketakutan kalau aku marah seperti ini.

“Kau janji?”

Kulihat dia kembali mengangguk lalu merengkuhku ke dalam pelukannya.

“Maaf, ya, tak mau membuat Fey menangis lagi,” bisiknya dan mendekapku erat.

*****

Akhirnya aku kembali berbaikan dengan berondong manisku ini, selalu saja sikapnya itu mampu membuatku luluh.

Tiba-tiba Vian berlari ke dalam kamar mandi saat aku menyiapkan sarapan dengan Sisca.

“Line, itu kamar mandi tamu siapa yang nempatin kok dari tadi gak dibuka-buka?” Ryan menyeruak masuk ke dalam dapur.

“Tadi sih ada Rasya di sana, tapi itu tadi 2 jam yang lalu, masa mandi, ya, belum selesai ini hampir pukul 8 pagi, loh.” Kuiris tahu yang akan digoreng Sisca.

“Kebelet kali si Rasyanya,” celetuk Sisca membuatku terkekeh geli.

“Fey, punya obat diare?” Tiba-tiba Vian sudah masuk

ke dalam dapur dan meringis memegang perutnya.

“Loh, kenapa? Bee, sakit?” Kulangkahkan kaki ke arahnya dan kini mengusap peluh di keningnya.

“Entahlah semalam makan apa, ya? Kok aku diare nih, mas semalem kita kan cuma makan nasgor, ya?” celetuknya ke arah Ryan yang kini tengah meminum kopinya itu.

“Nasgor juga tak pedas kok, Dek, milikmu itu, mana bisa buat sakit perut?” Jawaban Ryan tak dihiraukan Vian karena tiba-tiba dia kembali berlari ke arah kamar mandi. Belum pulih keterjutanku saat tiba-tiba kulihat Rasya keluar dari kamar mandi tamu dengan memegang perutnya juga.

“Mamiii, minta obat diare perut Rasya sakit!” Wajah Rasya sudah pucat pasi.

Belum juga kujawab pertanyaan Rasya tiba-tiba Radit sudah tergopoh-gopoh berlari ke arah kami.

“Mbak gawat ... di café banyak orang yang marah-marah, itu gimana ... katanya mereka semua sakit perut, dan bahkan ada yang masuk ke rumah sakit.”

*****

Kacau, satu kata itu yang bisa menggambarkan kejadian saat ini. Vian dan Rasya akhirnya dilarikan ke rumah sakit karena kondisinya makin parah. Di café sudah dipenuhi oleh orang-orang yang meminta ganti rugi karena mereka keracunan. Aku terhenyak, keracunan? Sudah pasti itu ulah Rani, karena pagi ini juga Rani seakan menghilang ditelan bumi. Ryan dan Radit yang sedang meng-handle masalah café, Evan menemaniku ke rumah sakit, sedangkan Kavi untuk saat ini di rumah dengan Sisca.

“Dugaan sementara pasien mengalami keracunan makanan yang disebabkan oleh bakteri E. Colli, karena ditemukan ada racun yang di dalam darah, dan meracuni ginjal, ini disebut haemolytic ureamic syndrome(HUS)”

Kucoba mencerna ucapan dokter Gunawan, dokter yang menangani Vian dan Rasya setelah memeriksa dan mengetahui gejala-gejala diarenya.

“Jadi bahayakah, dok?”

Dokter Gunawan tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Tak berbahaya, hanya saja masih perlu perawatan selama kurang lebih satu atau dua minggu karena kondisi pasien yang kurang cairan dan juga perlu pemulihan karena kondisinya sangat lemah, mungkin suami

Anda dan adik Anda makan-makanan tertentu kemarin?” Dan akhirnya aku mengangguk.

“Kemarin ada koki baru di café saya, dok ... Dia menciptakan menu baru dan pagi ini Vian dan Rasya yang terkena diare, itu pun sekarang banyak juga pengunjung café yang makan tiramissu kemarin juga terkena diare.”

Dokter Gunawan mengernyitkan keningnya,

“Bisa sampel makanannya dibawa ke sini untuk diperiksa? Iini sudah pasti keracunan makanan.”

*****

Kuusap kening yang mulai berdenyut. Di depanku Vian sedang terlelap dengan infus membebat tangannya. Di sebelah kananku juga Rasya yang terbaring lemah. Setelah mendengar penjelasan dokter Gunawan tadi aku meminta Evan untuk segera pulang dan menyiapkan sampel makanan kemarin yang dibuat untuk membuat tiramissu atau kalau ada tiramissunya sendiri.

Tadi juga Ryan sempat menghubungiku kalau aku tak usah risau memikirkan café, karena dia sudah mengganti kerugian materi kepada pengunjung yang terkena diare, bahkan membiayai orang-orang yang sampai masuk ke dalam rumah sakit. Aku terhenyak, ujian apalagi ini? Selama ini aku dan Vian tak pernah jahat kepada seseorang, dan kenapa ini semua terjadi. Dan siapa Rani sebenarnya? Radit pun tadi juga sempat menyangkal kalau ini perbuatan Rani karena Rani itu teman baiknya. Tapi siapa yang tahu hati seseorang?

“Fey?” Suara Vian yang lemah membuatku mengalihkan pandangan ke arahnya. wajahnya pucat.

“Iya, Bee, kau perlu apa?”

“Minum, tenggorokanku kering,” jawabnya dengan lirih. Segera kuambil air putih yang ada di atas nakas di samping ranjangnya. Lalu kuangsurkan ke arahnya dengan pipet untuk mudah diminumnya.

“Masih pusing?”

Vian hanya mengangguk dan kini memejamkan matanya kembali, lalu kemudian memijat pelipisnya dan menatapku. Meraih jemariku dan mengecupinya.

“Maaf.” Dia memejamkan matanya kembali.

“Sudah, tidurlah lagi, kata dokter kau masih harus istirahat, ya,” bisikku ke arahnya. Tapi dia menggelengkan kepalanya.

“Café bagaimana?”

Kuhela napas dan mengusap rambutnya dengan sayang.

“Sudah ditangani Ryan, semuanya. Bee, tenang saja.”

Vian menghela napasnya, ”Ada berapa orang yang masuk rumah sakit?”

“Ehm 10 orang, dan yang lainnya hanya diare ringan, sekitar 30 orang yang terkena diare, 15 orang yang hanya mual dan muntah jadi totalnya 55 orang, Bee.” Vian kembali menghela napasnya.

“Maaf, Fey, ini karmaku, ya, karena tak meminta pendapat Fey dulu untuk menerima Rani?”

“Huusstt sudahlah, lagipula ini sudah terjadi, ehmm, Bee ko bisa menerima Rani?”

Dan kulihat Vian mengernyit, ”Itu dapat rekomendasi dari Radit, katanya temennya lagi cari pekerjaan gitu, tapi dari awal juga aku bingung, harusnya Rani itu bisa kerja di hotel bintang 5 atau bisa buka restoran sendiri mengingat kemampuannya itu, dan juga dia termasuk dari golongan orang berada tapi kok dia mau kerja di café kita?”

Kutepuk pipinya yang masih terlihat pucat itu. ”Makanya jangan percaya dengan penampilan, Bee. Rani memang cantik dan pintar, tapi ternyata ... hmmm, tapi apakah benar itu dari tiramissu?”

Vian menghela tubuhnya untuk bersandar di bantal dan kini posisinya setengah duduk.

“Sepertinya iya, karena semalam tiramissu yang ada juga sesuai jumlah orang yang menderita sekarang ini karena lainnya masih banyak yang menikmati red velvet dan ombre, lagipula Rani memang membuat hanya sekitar 60 pcs 55 dijual dan 5 lagi sisanya, aku makan 1, Rasya 1 berarti masih sisa 3 itu bisa dijadikan sampel.”

“Rani itu memang sengaja atau tak sengaja? Bisa juga karena tangannya kotor, atau susu yang digunakan atau telurnya dan bahan terigu lainnya?” Kucoba memberi dugaan lainnya.

“Entahlah Fey, kita tunggu pemeriksaan selanjutnya ehmm, itu Rasya bagaimana?” Vian kini menoleh ke arah Rasya yang masih terlelap.

“Dia lebih parah darimu, badannya demam, dan beberapa kali muntah. Sekarang baru saja tidur setelah tadi kuberikan obat.”

“Kondisinya lemah, ya? Dia kelelahan sehingga imunnya melemah.” Vian kini menarikku untuk berbaring di sebelahnya.

“Fey juga butuh istirahat, ya, kasihan dekbaynya.”

Kubaringkan tubuh di sebelah Vian dan dia mengusap perutku.

“Sudah makan belum?”

Dan kugelengkan kepalaku. “Tak lapar”

“Eh... tak boleh begitu, Fey juga harus makan.” Dia kini menoleh ke arahku dan akan mencoba bangun dari tidurnya tapi kemudian kucegah.

“Iya, iya ... sudah kok tadi sudah makan bubur terus minum susu, tuh juga ada apel,” kutunjuk ke arah nakas.

Vian merengkuh tubuhku kembali ke dekapannya.

“Jangan begini, Bee, malu nanti kalau ada perawat masuk.”

“Biarlah, sama istri sendiri ini” jawabnya membuatku tersenyum.

“Dasar sakit juga masih saja, ya.”

“Miiiiii!” Tiba-tiba suara Rasya membuatku dan Vian

mengalihkan pandanganku ke arah ranjang samping. “Rasya mau muntah,” ucap Rasya membuatku segera turun dari ranjang dan melangkah ke arah Rasya.

Kusiapkan tempat, ”Masih mau muntah, ya? Tapi kan tadi juga ga keluar apa-apa, Sya?”

Rasya menutup mulutnya lagi dan seketika memuntahkan isi perutnya lagi meski hanya berupa cairan. Kutepuk-tepuk punggungnya.

“Sudah!” Dia mendorong tempat muntahannya dan segera kubawa ke kamar mandi yang ada di dalam kamar perawatan ini. Segera kubersihkan dan kembali ke ranjang Rasya.

“Diminumin dulu, Sya.” Kuangsurkan gelas yang

berisi oralit dan dia patuh meminumnya.

“Sya, masih pusing dan mual, ya?” Vian menatap Rasya, khawatir.

“Heem, mungkin Rasya kemarin makan kebanyakan, ya?” ucap Rasya lemah. Kuusap minyak kayu putih ke pelipisnya dan kugosok ke bagian perutnya untuk mengurangi rasa mual.

“Udah, sekarang buat bobok lagi.” Rasya mengangguk dan kembali memejamkan matanya.

Kuselimuti kembali tubuhnya dan melangkah kembali ke ranjang Vian.

Seketika dering ponselku berbunyi. Vian hanya menatapku penasaran saatku ambil ponsel dan menjawabnya.

“Iya, Van ada apa?” Segera kujawab panggilan Evan di ujung sana.

“Mbak, ini Rani nangis-nangis kalau bukan dia yang meracuni dengan tiramissunya, dan memang benar tiramissu itu terkontaminasi bakteri e.colli tapi ini Rani bersumpah kalau dia benar-benar bukan pelakunya ... ditambah lagi ini ada beberapa polisi di sini, Mbak. Ada salah satu pengunjung yang ternyata suaminya itu polisi dan ini ada polisi yang sedang menginterogasi semuanya. Mbak Aline bisa pulang sebentar, Mbak? Mereka butuh keterangan pemilik café katanya.”

Tubuhku serasa lemas mendengar semua penuturan Evan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience