Sungguh dahsyat kecelakaan yang hanya disebabkan sepuntung rokok kurus itu! Sebuah kijang hijau melaju begitu kencang tak lurus dan terhempas menumbangkan tiang listrik, menyinggung pohon kelapa, lalu terjun bebas ke sungai. Batu-batu hitam kelam menyambut jatuhnya kijang. Suara dahsyat serta semburan asap yang begitu pekat menyusul secepat kilat. Cairan kental merah segar mulai menyusup melalui tiap-tiap celah kereta . Cairan kental mewarnai serpihan-serpihan kecil kaca, membaur dengan air sungai yang tak mengalir deras. Semua orang di dalamnya tak bergerak lagi kecuali seseorang. Kemunculannya dari dalam kereta mengundang riuh rendah para insan yang berjejer di atas jembatan. Dengan muka kotornya, ia keluar merayap dari kereta meninggalkan kelima lelaki yang mengerang pilu di dalam sana. Sahudah disambut ledakan hebat kijang di belakngnya. Allah Mahakuasa!
Sahudah , dalam kondisi setengah pengsan , kini menyadari erti dari sebuah bulan suci. Dalam keadaan separa pengsan ,dia sedar bahawa bagaimana pun, dia tak pantas mengotori bulan Ramadan yang mulia ini dengan berjalan berduaan tiap malam dengan Astan , lelaki yang bukan muhrimnya. Dalam kondisi separa sedar ini dia baru menyedari akan hakikat itu. Allahuakhbar!
Dalam kondisi setengah sadar, Sahudah berbisik, “Aku benci budayaku – Merariq!”
Masih segar di ingatannya meskipun sehingga kini dia masih belum dapat membuka mata.
“Selamat senang-senang, Sahudah !” teriakan kuat itu jelas kedengaran di sebalik samar dari dalam kereta yang melaju pelan di tikungan dekat perbatasan desanya. Itu suara Astan ! Bajingan tengik yang membuat tingkat kebencian Sahudah akan budayanya makin menjadi-jadi. Sambil menautkan kedua alis legamnya, ia pun tega berkata, “Aku benci jadi orang Sasak!”
Kutatap penuh hiba pada gadis yang terlentang lesu di atas hamparan batu kali di bawah sana. Wajah putih gebunya yang kotor berkolam air mata dan darah kelam memantulkan sinar tajam mentari sepenggalah. Keletihan ketakutan, kesedihan bercampur baur mencengkam kalbunya.
“Sudahlah! Yang menimpamu itu penculikan, Sahudah ! Bukan budaya kita, bukan Merariq!” tegasku, sambil kusorot Astan yang terpekur lesu di hadapanku dengan mimik yang amat layu.
Kuhempaskan nafas panjang lalu kembali menatap Sahudah yang masih tergolek di atas batu kali. “Mereka semua salah, sahabatku sayang. Jangan benci budaya kita! Merariq, budaya kita melamar tanpa paksaan, tanpa kekerasan, dan selalu bermantel cahaya rembulan. Bukan bermantel sinar mentari yang terik,” bisikku pada Sahudah , menyakikannya kembali agar ia tetap menjunjung tinggi Adat Sasak.
Catatan:
*1) orang gubuk = orang kampung
*2) midang: kunjungan laki-laki Sasak pada malam hari ke rumah gadis yang disukainya
3*) inaq = ibu
Share this novel