.
.
.
.
.
08.50 WIB
Tet!
Please try again.
Sial!
Sudah lewat dari dua puluh menit dari jam kerja. Aku sudah berdiri di dekat pintu kaca menghadap mesin absen fingerprint. Dan sepertinya mesin absen ini tidak bersahabat. Aku tempelkan lagi jariku.
Please try again.
Lagi?
Aku sudah melakukannya lebih dari lima kali padahal, kenapa masih gagal. Aku coba tempelkan kembali jariku.
Please try again.
Aku mengela nafas jengkel sambil menempelkan kembali jariku pada mesin menahan kesal untuk tidak mengumpat kata kasar dan membaca basmallah.
08.55 WIB
Klik.
Thank you.
Ah, akhirnya. Sesuatu yang baik itu memang harus di awali dengan bismillah. Bukan marah-marah, ingat itu Didi.
Saat aku melewati pintu kaca dan masuk ke dalam, ada mbak Mona yang sedang berjalan menuju ruangannya dari pantry. "Pagi mba Mona," sapaku padanya dengan tersenyum. Secara ... dia atasanku, manager Export dan Import di kantor ini.
"Pagi," ucapnya. "Jam berapa ini Di?" lanjutnya menyindir. Aku hanya nyengir mendengarnya dan berjalan menuju meja kerjaku.
Aku sedang menyalakan komputer saat Dina datang dan menepuk bahuku. "Kita makan siang dimana Di, nanti?"
"Ya elah, Din. Masih pagi udah nanya makan siang di mana. Gue aja belum sarapan."
"Lagian kebiasaan lo dateng jam segini."
Bodo! Percuma juga rajin-rajin kalau tidak mempengaruhi bonus tahunan dan tidak dihitung lembur.
Aku membuka aplikasi email kantor dan sudah menemukan banyak email yang masuk dalam beberapa menit. "Lo nggak balik ke tempat lo, Din? masih mau disini? Gue mau kerja."
"Lo ngusir gue?"
"Ya ngingetin sebelum mba Mona lewat trus lo di plototin." Dina mendengus sebelum beranjak menuju mejanya. Padahal mejanya berada di seberangku.
Aku bekerja di perusahaan yang bergerak di industri garment. Hasil garment yang perusahaan ini buat semua di ekspor ke berbagai negara. Dan aku di sini sebagai salah satu staf ekspornya. Ada belasan orang dari divisi ini, semua pekerjaan di bagi sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Tugasku sebenarnya tidak terlalu rumit, biasanya aku hanya menerima email dari dokumen yang di kirim staf shipping di factory kami dalam format mentah, lalu membuat PO kemudian dilanjutkan kembali dokumen itu ke forwarder dan buyer, begitulah alurnya. Simple keliatannya tapi ruwet kerjanya.
Aku sedang memilah-milah email yang masuk saat bunyi telpon dari kananku berbunyi.
"Didi," ucapku setelah mengangkatnya.
"Mba Didi, ini Radit."
"Iya mas Radit. Ada apa?" rupanya staf dari factory yang menelponku. Kebetulan aku sedang membuka email darinya.
"Saya sudah kirim emailnya ya, mba. Tolong konfirmasi penerimaannya." Aku melihat jam 11.00 pm waktu pengiriman email ini. Wah, orang ini pasti lembur panjang.
"Ini saya baru buka, Mas. Sebentar lagi saya kirim ya." Dan pembicaraanpun selesai, aku agak malas berbasa-basi kalau mood-ku sedang tidak baik.
Mengetik sambil melihat dokumen, tak terasa sudah waktu jam makan siang.
Telpon di kananku berbunyi kembali. "Mau makan dimana lo?" Oke, ini suaranya Dina.
"Gue bawa bekal dari rumah."
"Ck, gue makan sendiri gitu."
"Ya ... lo bisa beli diluar trus makan bareng gue di sini atau di pantry."
"Anterin napa," ucapnya merajuk. Please deh, padahal dia duduk di seberangku tapi Dina malah berbicara lewat telpon begini.
"Males ah, mending gue sholat dzuhur dulu sambil nunggu lo balik ke sini. Sana buruan turun." Dina mendengus kesal sambil menutup telponnya.
.
.
.
Jam makan siang itu biasanya aku iseng membuka fac hanya untuk melihat grup-grup pecinta anime atau drama jepang untuk melihat rekomendasi drama baru, atau aku berkunjung ke situs dan web yang biasa update mengenai ini.
Aku memang lebih tertarik dengan negara tempat naruto dan teman-temannya dibuat dari pada negeri gingseng. Mungkin dulu sempat tertarik dengan Super Junior atau Bigbang, tapi sekarang tidak lagi. Entahlah, sepertinya tertarik dengan suatu hal itu ada masanya.
Dina sedang duduk manis di sebelahku, makan nasi goreng yang di belinya dari salah satu restoran di lantai dasar gedung, kebetulan mas Irvan yang satu kubikel denganku tidak masuk. "Makan, Di. Main handphone mulu." Mataku berputar ke atas mendengar ocehannya. Padahal dia sendiri juga makan sambil videocall-an dengan suami dan anaknya.
Well, Dina memang sudah menikah, walau umurnya dua tahun dibawahku. Punya anak bernama Kayla yang berumur dua tahun dan imutnya minta ampun.
Tapi yang di sini masih single, dua tahun lagi bahkan menuju angka tiga puluh. Tapi kata Mamah Dedeh mah, nggak usah dipikirin, jodoh itu juga nanti akan datang dengan sendirinya. Ada juga yang bilang datang di waktu yang tepat dan orang yang tepat. Woles.
Tanganku masih mengusap layar perlahan, melihat timeline grup fac yang kubuka sampai menemukan status yang menuliskan kalau mereka sedang open member untuk grup line mereka.
Bibirku langsung tersenyum. Kalau aku ikut grup ini otomatis aku tidak perlu bersusah-susah mencari link drama baru dan subtitle lagi. Tanganku bergerak menuliskan id lineku, di246.
Oke, sekarang tinggal menunggu id lineku di invite dari grup ini.
.
.
.
Didi bergabung dengan obrolan
Sania:
Welcome Didi, salken ??
Sepertinya Sania ini admin grup yang menginvite-ku.
Sania:
Silahkan di isi statusnya di note grup ya, Di
Nia:
Salken didi :)
Widya:
Didi?
Cewe?
Keningku menghenyit heran saat melihat chat grup baru ini, sebenarnya sudah biasa namaku dianggap aneh, atau di kira cowok. Tapi yang membuatku aneh, juga karena ada orang yang bertanya dengan nama perempuan yang menampilkan display picture cowok berkacamata.
Didi:
Yup, cewe. Kenapa gt?
Salken semuanya ??
Rara:
Kak didi salken jg
Didi:
Hai rara.
Widya itu cowo?
Widya:
Kenapa?
Kenapa dia bilang? Enam huruf yang ia tulis entah kenapa membuatku kesal membacanya. Seolah jika dia ada di depanku, sekarang sedang memasang wajah datar tak suka lalu bilang, "Kenapa?"
Didi:
Gpp, nanya aja.
Sania:
Jgn galak2 napa mas widi ??
Udh berapa org nih yg out karena mas widi.
Widya:
?? orgnya aja yg baper ??
Oh, jadi si Widya ini dipanggil mas Widi sama Sania. Terus kayanya dia biasa nyeselin. Tanganku tergerak membuka note grup, ada kiriman yang berisi profile member dari grup yang perlu aku isi.
Setelah aku baca profile mereka. Aku bisa menyimpulkan kalau ada Nia, Widya dan Ian yang seumuran denganku. Ada Rara yang ternyata masih kuliah. Ada juga member lain, yang sedang tidak aktif, total sekitar 30 orang. Aneh ya, biasanya grup seperti ini tidak terlalu jujur mengenai real life mereka.
Frega Prayata:
Heyho~
Wih ada org baru
Didi cewe atau cowok ya?
Didi:
Yg ini cewe kok ??
Hey frega
Frega Prayata:
Panggil ega aja keles
Kaku banget di, kaya kanebo kering
Frega Prayata sent stiker.
Widya:
Oh, iya klo ada yg mau request subtitle film, tulis aja di note ya, gue nganggur sebulan ini.
Sania:
Jadi pindah apt mas?
Widya:
Iya, ga tahan gw. Cewek klo naksir gt bgt ya ngejar2nya. Ngeri
Nia:
Aku ga gt ??
Frega Prayata:
Curcol lo wid ??
Makanya kaburnya ga nanggung2 lg jauhnya
Widya:
Berisik lo, Ga
Kamu mah ga lah nia ??
Didi:
Memangnya widya mau pindah kemana?
Widya:
Kepo ??
Sok kenal bgt nanya2
Ish, begini banget nih cowok. Si Nia nanya, ga di jawab nyebelin kayak gini.
Sania:
Mas Widi, please deh ??
Didi:
Ahaha nanya doang kali wid, klo ga mau jawab ya udh
Langsung kututup aplikasi chat itu. Benar-benar ngancurin mood makan siangku, kalau aku masih meneruskan chat karena ada mahluk kaya Widya ini.
Aku baru mau menyuap sesendok bekal yang kubawa saat ada notification pop up line yang masuk.
Widya:
Sorry, klo ada kata2 saya yang bikin sakit hati kamu.
Saya cm ga mau, nambah satu lg cewek yang tergila2 sama saya.
Saya udh repot bgt, dan mutusin resign karena capek di kejar cewek yg agresif.
Subhannallah. Ini orang pedenya selangit. Satoh takeru aja nggak kaya gini-gini banget.
Maksudnya apa coba?
Share this novel