A

Romance Series 49415

San Francisco, California, Amerika Serikat. 

Seorang wanita muda berusia 35 Tahun menerima sebuah surat dari tangan seorang pengasuh anaknya. "Apa ini, Love?" tanyanya.

"Mohon maaf sebelumnya, Mrs. Salvatore, jika saya mendadak memberitahukan perihal pengunduran saya ini. Namun saya sudah berpikir matang-matang kalau saya akan berhenti dari pekerjaan ini."

"Maksudnya?" Wanita muda yang kini menjadi seorang Ibu itu menatap bingung si gadis bernama Love.

"Sejujurnya selama sebulan belakangan ini, saya tidak fokus mengasuh Jason. Daripada nanti ada apa-apa dengannya, lebih baik saya mengundurkan diri," jawab Love.

"Tapi kenapa, Love? Kulihat selama ini kau baik-baik saja mengurus bayiku," sahut Nyonya Salvatore. "Apa kami ada buat salah padamu?" tanyanya lagi. Ia sungguh sangat menyayangkan Love berhenti bekerja. Padahal bisa dikatakan bahwa Love sudah bekerja sebagai pengasuh anak di keluarganya selama hampir 6 tahun. 

"Tidak, Nyonya. Saya hanya merasa kalau diri saya butuh hiburan. Lebih tepatnya ingin menenangkan pikiran saya."

"Apa karena masalah Owen yang sampai sekarang tak ada kabarnya, Love?" selidik Gemma Salvatore~ nama lengkap dari sang majikan yang tengah berbicara pada Love.

Love terhenyak dengan pertanyaan Gemma. Kini ia menatap majikannya itu dengan sorot mata sendu.

Dan benar saja dugaan Gemma. Karena sekarang tampak raut wajah Love yang berubah menjadi muram. "Sepertinya dugaanku benar," gumam Gemma. "Hem, bagaimana kalau begini saja. Aku akan mengijinkanmu untuk liburan selama seminggu. Terserah kau mau liburan ke mana saja, tapi--," tekannya, "Kau harus kembali ke sini karena aku masih sangat sangat membutuhkanmu. Aku tidak bisa mempercayakan Jason di tangan orang lain. Jason pun pasti begitu. Bagaimana?" tawarnya.

"Tapi, Nyonya--," Love ingin menolaknya, namun perkataannya tersela oleh Gemma lagi.

"Tidak ada kata tapi. Dua minggu paling lama kau liburan. Tidak ada penawaran lagi."

Sambil menatap majikannya yang tegas itu, Love hanya bisa mendesah panjang. "Baiklah. Tapi saya tidak janji akan kembali secepatnya, Nyonya."

"No problem." Gemma memicingkan matanya ke Love. "Apakah kau sudah memutuskan akan ke mana untuk liburanmu ini?" tanyanya.

Love mengangguk pelan. "Sepertinya saya akan pulang ke kampung halaman saya yang berada di Milford," jawabnya.

"Ah! Bukankah itu adalah rumah orang tuamu dan tempat tinggalmu dulu sewaktu masa kecil? Dan juga tempat pertemuan pertamamu dengan Owen? Benar begitu, kan?" 

Love kembali mengangguk. Majikannya memang sudah mengetahui hubungannya dengan Owen, bahkan merestuinya. "Tapi saya kembali ke sana karena merindukan orang tua saya. Saya berencana akan berkunjung ke makam mereka." Love mencoba memungkiri dan mengalihkan perkataan Gemma yang sudah menjurus ke Owen itu.

"Oh, begitu."

Sebenarnya ada rencana lain kenapa Love memilih liburan ke sana, mengunjungi rumah lamanya itu. Bukan hanya ia merindukan orangtuanya, tapi juga dengan kenangannya bersama Owen saat kecil. Dan hal terpenting ia ke sana adalah untuk menyelidiki sesuatu. Tapi ia tidak bisa mengatakan semuanya itu pada Gemma walau majikannya itu sudah tahu semua tentang dirinya.

"Ya sudah, Love, jadi ini--," jeda Gemma sembari menunjukkan surat pengunduran diri Love, kemudian merobeknya asal. "Anggap saja saya tidak pernah menerimanya," sambungnya. Gemma tersenyum pada Love yang sudah ia anggap sebagai keluarga sendiri. "Jika kau butuh apapun, jangan sungkan memintanya dariku. Paham, Love?"

"Baik, Nyonya. Terima kasih banyak," sahut Love, kemudian ia ijin pergi ke kamarnya untuk bersiap diri. Ia pun tak sabar untuk kembali ke kampung halamannya dulu. 

Sampai di dalam kamarnya, Love berjalan ke lemari pakaiannya untuk membereskan pakaian yang akan dibawanya nanti. Saat sedang memasukkan barang-barang yang diperlukannya ke dalam koper, tak sengaja selembar foto Owen ~yang berstatus sebagai kekasihnya itu~  terjatuh di lantai. Love yang melihatnya segera memungutnya. 

Owen adalah lelaki yang telah menjalin hubungan jarak jauh dengan Love selama enam tahun. Sebabnya karena Owen sedang berkuliah di kota Orlando, Amerika Serikat. Bukan hanya karena Owen dan Love berbeda kota, namun jarak yang harus ditempuhnya itu sangatlah jauh. Dari kota Orlando ke San Francisco saja bisa memakan waktu 41 jam. Itulah kenapa Owen hanya bisa mengunjungi Love pada saat akhir pekan atau sedang libur kuliah. 

Love mengerti hal itu. Ia mencoba menghargai hubungannya itu dengan cara ia akan setia menunggu Owen sampai selesai kuliah, lalu menikah dengannya. Ya itulah juga janji yang diucapkan Owen pada Love 4 tahun yang lalu. Namun, janji hanya sebuah janji. Seminggu setelah mengucapkan janji pada Love bahwa ia akan menikahinya setelah lulus kuliah, Owen pun menghilang. Tidak ada lagi kabar, telpon ataupun email apapun darinya. Ia pergi seperti angin, tanpa ijin dan tanpa jejak. 

Namun satu hal yang pasti, Love akan selalu setia menunggunya. Ia masih terus berusaha berpikiran positif sampai sekarang kalau Owen mungkin mau fokus dulu sama kuliahnya. Love berharap suatu hari nanti, Owen akan datang ke hadapannya dengan membawa cincin lamaran dan memenuhi janjinya untuk menikahinya.

Foto yang dipungut Love, kini malah membuat perasaan gundah Love makin membuncah. Raut wajahnya kembali tampak terlihat murung dan hatinya mulai diselimuti kesedihan yang amat dalam saat melihat foto Owen yang sedang tersenyum manis. 

Kalau saja Love mengetahui alamat lengkap Owen di Orlando, ia pasti akan menyusulnya ke sana. Baru sekarang Love merasakan menyesal. Mungkin karena selama menjalin hubungan dengan Owen, ia tak pernah diijinkan oleh Owen untuk mengunjunginya. Alasannya karena jauh dan berbahaya. Jadinya Love tak pernah sekalipun mengunjungi tempat tinggal Owen di Orlando.

Dan bodohnya lagi, Love tidak bertanya apapun tentang jati diri Owen. Yang ia tahu hanya satu, yakni Owen adalah cinta pertamanya saat masih kecil dulu. Sekarang Love jadi merasa kesal pada dirinya sendiri.

Namun, Love tidak putus asa. Ia memang tidak mendapatkan kabar apa-apa dari Owen selama 4 tahun ini, tapi ia akan mencari tahu di kampung halamannya. Siapa tahu ia akan menemukan petunjuk tentang kabar Owen di sana.

****

Keesokkan harinya, selesai Love berpamitan pada Gemma dan suaminya, ia pun segera pergi menggunakan mobil milik Gemma beserta supir pribadinya yang bernama Jacky. Ia tidak bisa naik pesawat karena ia takut berada di ketinggian.

Awalnya Love sudah menolaknya dan mengatakan bahwa ia bisa pergi sendiri, namun majikannya itu terus memaksanya agar Love bisa diantar dengan selamat. Mau tak mau Love menerimanya dengan memberikan syarat balik pada Gemma---pulangnya ia tak mau sampai dijemput---dan Gemma pun menyetujuinya.

Dan perjalanan Love ke Milford pun dimulai dari ia masuk ke dalam mobil.

38 jam kemudian....

Mobil yang ditumpangi Love akhirnya tiba di kawasan kota Milford, Ohio. Ia baru keluar dari dalam mobil setelah mobil selesai terparkir di depan pekarangan rumahnya.

"Kau pulang saja, Jack. Soalnya aku akan stay lama di sini," ujar Love pada si supir pribadi Gemma melalui kaca mobil.

"Kau yakin tak mau aku temani? Kau tidak takut sendirian?" Jacky memperhatikan rumah yang dikunjungi Love serta daerah sekitarnya yang tadi ia lewati. Memang tidak terlalu ramai seperti di San Francisco. Rumah penduduk lainnya saja kalau dilihat-lihat berjarak sekitar 3 meter dari rumah Love. Dan bisa dibilang rumah Love ini adalah rumah terpojok dari kawasan Milford. Ditambah lagi sekeliling rumah Love adalah kebun kosong yang hanya ditumbuhi pohon dan tanaman hijau.

"Tidak perlu, Jack. Kau tidak perlu khawatir padaku karena aku bisa menjaga diriku." Love meyakinkan Jacky yang memang sangat sayang padanya sebagai anaknya sendiri. Lagipula ia tak ingin Jacky menemaninya, lalu meninggalkan anak istrinya di rumah selama beberapa minggu. Ia tidak akan setega itu.

"Baiklah. Kalau begitu aku pergi dulu, Love," pamit Jacky. "Jika ada apa-apa, kau bisa langsung menghubungiku," pesannya.

"Oke. Hati-hati dan jangan mengebut, lalu terima kasih karena telah mengantarkanku hingga selamat sampai tujuan."

"No problem, Love. Kalau begitu aku jalan sekarang."

"Oke. Bye!"

"Bye!"

Kepergian Jacky, Love mulai melangkahkan kakinya berjalan ke arah rumahnya yang sudah berada tepat di hadapannya sambil menyeret koper miliknya.

Ia mengeluarkan kunci rumahnya dari dalam tasnya. Begitu sampai di depan pintu rumahnya, ia memasukkan kuncinya, membuka pintunya dengan medorongnya ke dalam. Tampak pemandangan rumahnya yang tak pernah berubah sejak kematian orang tuanya 4 Tahun yang lalu. Love memang sengaja tak merubah apapun untuk mengenang orang tuanya.

Sebelum Love masuk, terlebih dahulu ia menghidupkan saklar listrik rumahnya agar bisa menyalakan lampu. Sesudah itu, ia baru berjalan ke dalam rumahnya.

Setelah berada di dalam rumahnya, Love berjalan sambil mengangkat kain-kain putih yang menutupi perabotan rumahnya. Ia melihat nakas yang di atasnya berjejer pigura foto orang tuanya dan dirinya saat masih bayi sampai ia lulus kuliah di usianya 21 Tahun. Sekarang ia menyesal tidak pernah lagi mengirimkan foto terakhir dirinya yang sekarang ke orang tuanya. Dan penyesalan terbesarnya adalah ia juga jarang pulang untuk menjenguk orang tuanya.

Langkah kaki Love terhenti saat pandangan matanya menangkap satu pigura foto yang digantung di dinding rumahnya. Karena Love terakhir menginjakkan rumah itu empat tahun yang lalu, akibatnya debu mengotori pigura foto tersebut dan menyamarkan gambar fotonya. Meskipun enam bulan sekali ia menyuruh seseorang untuk merapikan pekarangan rumahnya, tapi ia tak pernah sekalipun memperbolehkan orang tesebut masuk ke dalam rumahnya.

Tangan Love pun sontak terangkat untuk meraba kaca pigura tersebut sekaligus membersihkan debu yang menutupi itu foto. Ia mengusapnya dan meniup-niup debu tersebut sampai terlihat jelas gambar di fotonya. Love tersenyum senang saat melihat foto dirinya itu yang sedang berdiri bersama dengan seorang anak lelaki di depan rumahnya. Ia sangat ingat dengan foto ini. Foto yang diambil sebelum ia pindah ke San Francisco untuk sekolah.

Karena foto inilah, kerinduan Love pada kekasihnya itu akhirnya mencuat kembali. Ya, anak lelaki dalam foto ini adalah Owen kecil. Namun setelah Love perhatikan baik-baik foto tersebut, ada yang janggal dengan 'sosok Owen kecil ini'.

"Kenapa aku merasa di foto ini, Owen kecil tampak lebih dewasa usianya dari aku?" gumam Love bertanya-tanya. "Aku dan Owen usianya kan sama, hem... " Love tampak berpikir keras. Namun pertanyaannya itu akhirnya menggantung karena ia sendiri tak bisa menemukan jawabannya. Atau apa mungkin ini hanya perasaannya saja karena sudah lama ia tidak melihat foto ini serta tak bertemu Owen besar? Entahlah. Love mengedikkan bahunya.

Ia memilih meninggalkan pijakannya dan melanjutkan berjalan menuju ke kamarnya yang berada di lantai atas. Karena perjalanan yang ditempuhnya sangat jauh dan memakan waktu sampai 2 hari, membuatnya sangat kelelahan. Ia pun memutuskan untuk beristirahat, dan esok hari barulah ia akan membereskan rumahnya ini.

*****

Esok harinya, terik sinar matahari yang silau serta suara berisik dari luar area rumahnya telah mengusik tidur Love. Love membalikkan tubuhnya menjadi tengkurap dan mengambil bantal satunya untuk menutupi kepalanya agar tak mendengar suara berisik tersebut. Namun, karena suara-suara bising itu tak kunjung berhenti juga, akhirnya Love terpaksa bangun dari posisi tidurnya menjadi duduk. Perlahan ia membuka paksa kedua kelopak matanya yang terasa berat itu.

"Ssshh.. Siapa sih pagi-pagi begini pada berisik?" gerutunya kesal. Kayaknya dulu ia tak pernah mendengar suara bisik seperti ini. Love merangkak turun dari ranjang dan turun ke lantai bawah untuk mengecek situasi di depan rumahnya.

Setelah Love membuka pintu rumahnya, ternyata yang dilihat olehnya adalah parade Flower dan Buah. "Wow..!" Love terkesima dengan pertunjukan yang dibawakan oleh para penduduk setempat. Ia baru mengetahui ada acara beginian di daerah rumahnya. Saat ia tinggal dulu, tidak pernah sekalipun ada parade besar begini. Ternyata banyak yang berubah setelah ia meninggalkan rumah ini.

"Kau orang baru ya di sini?" celetuk seorang wanita paruh baya yang tak sengaja melihat ke arah Love berdiri di depan pintu. Karena yang ia tahu juga, selama ini rumah yang dipijaknya kosong dan tak berpenghuni.

Love menoleh ke wanita gemuk yang sedang menjinjing satu kantong belanjaan. "Saya baru tiba di rumah ini kemarin sore. Rumah ini peninggalan orang tua saya yang sudah meninggal empat tahun lalu. Dan tujuan saya ke sini hanya untuk berkunjung sekaligus membersihkan rumah ini," jawabnya.

"Oh." Wanita berkulit hitam itu menjulurkan tangan kanannya ke Love. "Namaku Gaby Willem. Kau bisa memanggilku dengan Auntie Gab," sebutnya memperkenalkan diri sembari tersenyum ramah.

Love membalasnya dengan menjulurkan tangannya juga. "Nama saya Lovea Smith. Panggil saja dengan Love, Auntie Gab." Ia pun juga tersenyum ke Gaby.

"Nama yang cantik seperti orangnya," puji Gaby sembari memperhatikan paras Love yang terbilang sangat cantik. Rambut panjang blonde-nya yang terurai begelombang menambah kecantikannya. Lalu warna matanya yang kehijauan itu sangat indah untuk dipandang. Sepertinya aku harus kasih tahu Nyonya Brenda agar bisa dikenalkan ke putranya.

"Terima kasih atas pujiannya, Auntie. Oh ya, Auntie Gab, apa acara itu sering dilakukan di sini?" tanya Love sembari menoleh ke arah parade.

Gaby mengikuti arah pandangan yang dilihat Love. "Ah, parade itu? Ya setiap enam bulan sekali, para penduduk setempat akan melakukan parade tersebut untuk mempromosikan hasil panen buah yang akan mereka jual lagi dan juga sekaligus merayakan hari bunga yang sudah pada bermekaran."

"Hari bunga?" Love termangu karena baru pertama kali mendengarnya.

"Iya. Kau bisa lihat sendiri kan, bunga-bunga yang dipertunjukkan sengaja dibentuk menjadi suatu benda atau hewan besar. Begitulah cara mereka merayakan parade itu."

"Oh." Love kini mengerti. "Saya jadi ingin ikut parade itu. Sepertinya sangat seru. Karena waktu saya kecil dulu dan masih tinggal di sini, tidak ada parade seperti itu."

"Kau bisa ikut, tapi nanti setelah enam bulan kemudian."

"Hem.." Love tampak lesu mendengarnya. "Semoga saya bisa ke sini lagi setelah enam bulan," ujarnya. 

"Memang seharusnya kau tinggal di mana, Love?" tanya Gaby.

"Saya tinggal di San Francisco," jawab Love.

"Oh ya? Jauh juga. Kau bekerja di sana?"

"Ya. Saya bekerja sebagai pengasuh anak."

Gaby terhentak. "Oh ya? Bagaimana bisa gadis cantik sepertimu bekerja sebagai seorang pengasuh anak?" Gaby tersadar bahwa ucapannya dapat menyinggung Love dan ia buru-buru mengoreksi perkataannya menjadi lebih halus. "Maksud Auntie, kau tidak terlihat seperti seorang pengasuh anak," ujarnya.

Love terkekeh. "Saya sangat menyukai anak kecil."

"Ah, jadi begitu. Kalau boleh tahu, berapa usiamu sekarang, Love?"

"26 Tahun."

"Hem.. Oh ya, Love, kebetulan sekali di rumah majikan Auntie sedang mencari pengasuh bayi. Apa kau berminat?" tawarnya.

"Hem..," Love berpikir sesaat. "Entahlah, Auntie. Soalnya saya sendiri tidak tahu sampai kapan stay di sini," tolaknya secara halus. "Jadi, Auntie bekerja sebagai pengurus rumah?" dalihnya.

"Iya." Gaby tersadar sesuatu. "Gawat,  Auntie harus cepat balik, Love. Belanjaan ini mau dibawa majikan Auntie ke pemakaman."

"Pemakaman?" Love mengernyit.

"Ya. Hari ini adalah hari peringatan kematian putra kedua majikan Auntie."

"Jadi begitu."

"Kalau begitu Auntie permisi dulu ya,  Love," pamit Gaby.

"Iya, Auntie. Hati-hati."

Gaby pun beranjak pergi. Setelah kepergiannya, Love kembali masuk ke dalam rumahnya. Ia bersiap diri untuk pergi mengunjungi makam orangtuanya sebelum ia membersihkan rumahnya.

*****
To be continued

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience