BAB 73
Christian Pov
Katakanlah aku picik atau pun jahat, licik dan sebagainya, tapi inilah yang terjadi. Setelah pernikahan yang singkat, dan semuanya terjadi begitu cepat, kutatap cincin yang melingkar di jariku.
Aku memang tak mencintainya, bahkan aku merasa aku ini terlalu memaksakan diri untuknya. Dan aku merasa seperti pedofil yang menikahi seorang gadis berusia 18 tahun yang baru lulus sekolah.
Dunia ini memang begitu kejam, di usiaku yang ke 30 tahun di sinilah aku berada. Terjebak di antara realitas dan perasaan. Masih terngiang jelas ucapan Aline, sahabatku itu.
“Jangan permainkan pernikahan, Tian, semuanya sudah ada jalan takdirnya masing-masing. Kalau kau sudah berikrar, dan mengucapkan ijab kobul. Itu artinya kau sudah berjanji akan menanggung semua dosa istrimu, kau harus bisa membimbingnya. Dan itu artinya pernikahanmu ini harus dipertahankan, apapun itu konsekuensinya.”
“Tapi aku tak mencintai Putri, dan dia juga tak mencintaiku.Aku sebenarnya ingin menyerahkan kepada Evan besok kalau semua warisan keluargaku sudah sah menjadi milikku.”
“Yan, aku sebenarnya juga sedih melihat adikku satu-satunya itu harus mengalami ini semua. Aku tahu dia sangat mencintai Putri. Tapi kenyataannya kalau semuanya, begini.Kau, sahabatku, Tian, dan Evan adikku. Biarlah takdir yang akan menjawabnya, Tian. Tapi berjanjilah kepadaku jangan pernah mempermainkan ikatan suci pernikahan.”
Aku semakin kagum dengan Aline. Hatinya benar-benar secantik wajahnya. Aku tak merasa rugi mencintainya selama ini. Yup, aku mencintainya sejak dulu pertama melihatnya— saat dikenalkan Nadia sebagai sahabatnya. Dan aku benar-benar menjaganya, bahkan katakanlah aku lebih pengecut dari pengacara yang selama ini dicintainya itu. Karena selama ini aku tak pernah mengutarakannya kepada Aline. Karena aku tahu, Aline tak pernah bisa membalas perasaanku. Tapi aku pernah merasa menjadi pria bodoh di dunia saat mendengar dia menikah. Dan dia setuju menikah dengan berondong yang selalu mengganggunya itu. Aku tak menyangka kalau Aline bisa begitu saja menerima Vian. Padahal dulu aku selalu jadi tameng untuknya kalau Vian itu menjemputnya di hotel.
Sering aku membawa Aline bersembunyi dari kejaran Vian. Lucu kalau mengingat waktu itu. Dia yang matimatian tak mau dengan Vian, tapi kemarin saat melihatnya bersedih menceritakan kasus yang menimpa suaminya itu, aku tahu Aline sangat mencintainya. Dan aku pun rela menolongnya, dan rela merogoh kocekku sebesar hampir 1 milyar rupiah untuk membuat keluarga Soni bertekuk lutut. Aku tak menyesal melakukan itu, karena Alinelah wanita yang selama ini membuat hatiku menghangat, dan Alinelah wanita yang bisa membuatku percaya lagi dengan yang namanya cinta. Karena dulu aku pernah sakit hati karena wanita juga. Dan Alinelah yang membuatku kini mantap membawa Putri ke London. Melihat pernikahan Aline kusadari satu hal. Ternyata cinta bisa tumbuh kapan pun itu. Aku bertekad akan tetap menjaga pernikahan ini meski aku tahu Putri tak mencintaiku—aku pun juga tak mencintainya.
“Ka .... kaaakk.” Suara gugup Putri menyadarkanku dari lamunan. Kualihkan mata menatap Putri yang kini sudah nampak segar dengan rambut basahnya.
“Ya, ada apa, Put?”
“Ehmm ... Putri ... tidur di mana?” Kulihat dia menatap sekeliling kamar. Yup, baru saja kami sampai di rumahku di London ini. Tepatnya mansion milik keluargaku yang telah diserahkan kepadaku. Aku ini hanya anak tunggal, dan kedua orang tuaku itu memiliki kekayaan yang begitu banyak. Itu kenapa aku harus menikah sebelum menerima warisan dari orang tuaku.
Kulihat wajah Putri pucat pasi, dan terlihat sembab. Aku tahu dia memang terus menangis selama perjalanan ke sini. Maaf, Putri aku melakukan ini kepadamu.
Kulangkahkan kaki menuju tempatnya berdiri.
“Putri bisa pilih mau kamar yang mana, di sini masih banyak kamar kosong, cuma kalau boleh Kakak minta Putri tidur di kamar ini, ya? Takut kalau mama sama papa mengunjungi kita.”
Kutatap Putri kini tampak ketakutan mendengarku mengatakan itu. Tapi segera kuusap rambutnya itu.
“Tenang, Kakak tak akan tidur satu ranjang dengan Putri, nanti Kakak bisa tidur di sofa apa kasur lipat.” Sekali lagi Putri hanya mengangguk.
“Nanti pelayan akan memberesi semuanya, sekarang Putri siapkan saja berkas-berkas yang akan dibawa ke Oxford.Besok Kakak antar, kemarin sudah mendaftar secara online, kan?” Lagi-lagi ia hanya mengangguk.
Aku memang akan membiayai semua biaya kuliahnya. Aku tak bisa menghancurkan cita-citanya. Aku sudah memisahkan dia dengan Evan dan aku harus menjaganya saat ini. Bukankah dia istriku? Meski entah hubungan apa yang akan terjadi nantinya. Tapi aku akan tulus menjaganya.
PUTRI POV
Ciput tak menyangka kak Tian begitu kaya. Aku masih termangu duduk di dalam kamar. Kamar yang begitu luasnya. Bisa lebih luas 10 kali dari kamarku sendiri di yogya.
Ciput masih tak habis pikir sudah menjadi istrinya dan kini berada di negara yang asing hanya dengan dirinya.
Tepatnya negara aslinya, tempat kelahirannya. Tapi entah kenapa Ciput merasa mantap saat kemarin dia membujuk untuk pindah ke sini, karena tanggung jawabnya sebagai pemimpin perusahaan milik keluarganya.
Ciput masih meratapi nasib, saat papa dengan jahatnya menjual Ciput kepadanya. Padahal Ciput sudah bermimpi akan menikah dengan kak Evan. Cinta pertama Ciput dan mungkin cinta terakhir untuk Ciput. Tapi kenyataan menjawab lain. Ciput bahkan tadinya sempat ingin bunuh diri kalau papa masih ngotot akan menjual Ciput. Tapi kalau Ciput mati, papa pasti akan masuk penjara karena utangnya yang begitu besar dengan perusahaan kak Tian. Dan lagipula bagaimana nasib dua adik Ciput kalau Ciput menolak pernikahan bisnis ini.
Sehari sebelum Ciput menikah kak Tian memberikan ponselnya dan menghubungi kak Evan. Dan masih terngiang jelas ucapan kak Evan.
“Kakak bersumpah put, sampai kapanpun aku akan tetap menunggumu.”
Dan ucapan kak Evan itu yang membuatku terus menangis. Ciput mencintainya sangat mencintainya, kenyataan memang begitu kejam untukku dan juga untuknya. Bahkan sebelum berangkat ke London mbak Aline yang selama ini sudah Ciput anggap mbak kandungku sendiri, menemuiku dan memberi kekuatan untuk Ciput. Membujukku agar Ciput jangan menyerah, harus tetap berjuang untuk mewujudkan cita-cita Ciput yang lain. Dan semua itu menguatkan Ciput. Biarlah mau jadi apa kehidupan Ciput di sini. Satu hal yang pasti kak Tian orang baik, Ciput tahu itu.
“Put, makan, yuk!” Suara kak Tian membuat Ciput menatapnya yang sudah berdiri di depan kasur dan meletakkan nampan di depan Ciput yang berisi makanan itu.
“Ciput tak lapar.”
Ciput beringsut dan tiba-tiba kak Tian menarik lengan ciput.
“Put, makanlah, jangan seperti ini. Aku tak bisa membiarkan kau begini. Aku tahu kau masih merasa sedih dengan semuanya ini, tapi kumohon makanlah, kita jalani semua ini dengan mudah, Put. Aku berjanji akan menjagamu di sini.”
Ciput tertegun mendengar ucapannya. Baru kali ini kak Tian memohon kepada Ciput. Kemarin saat papa menikahkan kami, kak Tian hanya terdiam, bahkan saat kak Tian memboyong Ciput ke sini tak ada kata yang keluar dari mulutnya itu.
Kutatap wajahnya yang tampak kuyu itu, rambut pirangnya menambah wajah pucat kak Tian semakin pucat. Sebenarnya pria di depanku ini sangat tampan. Postur tubuhnya yang tinggi tegap rahangnya yang kuat. Iris matanya yang biru itu memang menunjukkan dia asli keturunan orang Inggris. Tapi kulitnya putih bersih, bahkan di usianya yang ke 30 ini dia masih terlihat begitu muda.
“Put, jangan begini, anggap saja Ciput meneruskan pendidikan di sini, nanti entah kapan kalau kita tak berhasil dengan ini semua Kakak akan melepas Ciput ... Itu pun kalau Ciput sudah lulus dari pendidikan. Tapi Kakak mohon untuk melalui ini semua Kakak ingin Ciput bekerjasama. Anggap Kakak teman, atau kakak buat ciput. Kakak tak akan melebihi batas-batas yang tidak diinginkan Ciput. Kakak akan memberi kebebasan untuk Ciput.”
Kutatap sekali lagi wajahnya yang tampak tulus itu. Benarkah dia ini suamiku? Pria yang hampir separuh dari umurku ini. Tapi aku memang harus menjalani ini semua. Tak bisa terus berdiam diri dan menyiksa diri. Karena hidup terus berjalan. Seperti air yang mengalir tak tahu akan bermuara di mana. Meski hati ini masih terikat erat dengan kak Evan.
NADIA POV
Suara hentakan musik yang keras masuk menelisik ke gendang telingaku. Malam ini timku mulai menjalankan aksinya lagi. Maraknya pengedar narkoba membuat tim di divisiku menjadi disibukkan oleh operasi ke setiap clubclub malam yang ada di kota ini. Dan malam ini bagian club outdoor yang menjadi sasarannya. Kulangkahkan kaki menuju bagian dalam café ini. Suara hentakan keras musik membuatku menutup telingaku dengan kapas. Meski sudah terbiasa tapi aku masih tak bisa menerima kebisingan seperti ini. Anggotaku sudah memeriksa semua pengunjung di sini, biasa kalau ada operasi seperti ini semua pasti heboh dengan sendirinya. Dan saat aku mengedarkan pandanganku di sanalah aku menemukan sosoknya. Kulangkahkan kaki menuju tempatnya duduk, yang sepertinya dia sudah mulai kehilangan kesadarannya.
“Evaaaaannn!” Kucekal tangannya, sedangkan beberapa temannya yang kini telah diperiksa anggotaku mulai menatapku dan Evan curiga.
“Owhhh ... Bu Komandan.” Suara Evan terdengar lirih, dan pandangannya tak fokus. Dia berdiri dengan sempoyongan.
Dasar bocah ini, kemarin saat pertama kali mendapatinya begini aku sudah mewanti-wanti dia tak melakukan hal seperti ini lagi. Bahkan aku keceplosan saat mengatakan kepada Aline. dan hari ini aku kembali menemukan Evan yang kembali lagi seperti ini.
Kuseret tangannya untuk mengikutiku melangkah, dia hanya menurut saja. Aku tahu dia itu tak bisa minum, tapi entahlah dia seperti ini pasti karena ada sangkut pautnya dengan Putri. Aline sempat mengatakan kalau Evan masih terlalu patah hati. Bocah, bocah, aku juga patah hati dengan Rio, tapi terlalu picik kalau harus menyiksa sendiri seperti ini.
Aku berhenti sebentar dan berbisik kepada Doni, salah satu anggotaku untuk mengambil alih tugasku. Lagipula, aku harus membawa Evan pulang kalau seperti ini.
“Hueeeeeexxxxxx!” Belum sampai di mobil Evan sudah membungkuk dan kembali muntah. Benar kan, ini bocah tak terlalu kuat untuk minum.
“Sudah tahu seperti ini, kenapa masih terus begini, Van, kasihan mbakmu kalau begini!” Kutepuk-tepuk punggungnya agar dia merasa lebih enak. Evan berdiri sempoyongan dan langsung kutarik masuk ke dalam mobilku. Seperti kemarin dia hanya menurut dan duduk di kursi penumpang dengan patuh.
Kulajukan mobil segera menuju rumahku, aku tak bisa membawanya pulang. Aline pasti shock mendapati adiknya begini. Dia sedang hamil muda dan kondisinya yang masih lemah, aku tak mau Aline terlalu memikirkan adiknya yang mulai bandel.
“Minum!” Kusodorkan air mineral ke arah Evan yang tengah memejamkan matanya itu. Dia meraihnya dan segera meminumnya masih dengan mata terpejam.
Saat kuhentikan mobil tepat di depan rumahku, Evan sudah tertidur. Kupanggil mang Ujang saat aku membuka pintu mobil untuk memapah Evan masuk ke dalam rumah. Papa masih belum pulang, dia masih di Semarang, ada tugas di sana.
“Non, ini den Evan mabuk lagi, ya?” Mang Ujang memapah Evan masuk ke dalam kamar tamu lagi.
Mang Ujang sudah kenal dengan Evan karena bocah ini dari dulu sudah seperti keluarga denganku. Seperti Aline dan juga bunda yang sudah akrab denganku sejak kecil.
“Biasa Mang, mulai bandel dia.” Mang Ujang membaringkan Evan di atas kasur, melepas sepatunya dan mulai membersihkan wajah Evan dengan waslap basah.
“Ya sudah, ditinggal Mang, biar dia tidur.” Mang Ujang mengangguk patuh.
Setelah Mang Ujang keluar dari kamar, kuambil aspirin dan mengambil air putih lalu mendekati Evan.
Kugoyangkan bahunya untuk membangunkannya.
“Van, bangun, minum obat, biar besok tak pusing dan kau bisa pulang.“
Evan menggeliat dan mengerjapkan matanya, tapi tatapan matanya tiba-tiba menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.
Dan secepat kilat, tanpa kuduga Evan langsung bangun dan menarikku dengan keras membuatku menjatuhkan gelas yang berisi air putih ke atas kasur membasahi seprai berwarna biru laut ini. Obat yang kupegang juga menggelinding jatuh begitu saja.
Napasku tercekat, saat dalam hitungan seperkian detik bibirnya yang terasa dingin menempel di bibirku. Aliran darahku mengalir dengan cepat. Ada desir aneh yang menyelisik masuk. Degup jantungku berkejaran, dan tanpa kuduga saat aku mencoba memberontak suara teriakan papa membuatku segera mendorong tubuh Evan yang masih memelukku dan menciumku itu.
“Apa yang kalian lakukan???””
Share this novel