Mentari petang mula melabuhkan tirainya, menyebarkan rona lembayung dan jingga di langit. Cahaya senja menembusi dinding kaca penthouse mewah milik Zane, memantulkan kehangatannya pada permukaan marmar yang dingin.
Kediaman yang terletak di puncak gedung pencakar langit itu mempamerkan kemewahan yang tenang; perabot-perabot rekaan kontemporari tersusun dengan teliti di atas permaidani bulu lembut, dan karya seni abstrak menghiasi dinding-dinding yang luas. Suasana petang itu damai, jauh dari hiruk pikuk kota di bawah sana.
Di dapur yang dilengkapi peralatan serba canggih, Dihya dengan tekun menyiapkan hidangan makan malam. Aroma harum bawang putih yang ditumis dengan minyak zaitun bercampur dengan bau segar daun basil yang baru dicincang, menciptakan kombinasi wangi yang menggugah selera.
Di atas meja dapur granit yang luas, beraneka bahan masakan tersusun rapi. Beberapa ekor ikan siakap segar yang telah difilet bersih terbaring di atas alas ais, menunggu untuk diperap dengan rempah. Sebakul kecil cendawan butang dihiris nipis, siap untuk ditumis bersama bayam hijau yang segar. Beberapa biji tomato ceri yang ranum telah dibelah dua, warnanya merah menyala menambah keceriaan di dapur itu.
Sedang Dihya asyik memotong lemon untuk perapan ikan, tiba-tiba gelombang rasa mual menyerbu perutnya. Perasaan tidak enak yang menusuk membuatnya terhuyung ke arah sinki dan memuntahkan cairan pahit. Dadanya terasa sebu, namun setelah beberapa saat, rasa tidak nyaman itu beransur surut.
Dihya menarik nafas dalam-dalam dan kembali meneruskan pekerjaannya. Meskipun telah lama kehilangan deria rasa akibat amnesia yang menghantuinya, naluri dan pengalamannya dalam memasak tidak pernah mengecewakannya. Dia mampu menghasilkan hidangan yang sempurna tanpa perlu mencicipinya.
Tepat pukul enam petang, hidangan ikan siakap bakar dengan perapan herba, tumis bayam cendawan, dan salad tomato ceri telah siap terhidang di atas meja makan. Dihya mengelap tangannya yang sedikit basah dan melangkah ke bilik tidur. Dia ingin membersihkan diri sebelum menyambut kepulangan Zane.
Di dalam bilik mandi yang luas dan mewah, Dihya menikmati guyuran air hangat dari pancuran. Setelah selesai, dia mengenakan gaun tidur sutera berwarna zamrud yang lembut dan longgar. Kainnya yang halus terasa nyaman di kulitnya. Rambutnya yang hitam legam disisir perlahan dan dibiarkan terurai di bahunya.
Selesai bersiap, Dihya turun kembali ke ruang makan dan menata meja dengan hati-hati. Pinggan porselin putih tersusun rapi di atas alas meja linen berwarna krim, dilengkapi dengan alat makan perak yang berkilauan. Dua batang lilin aromaterapi dengan aroma lavender dinyalakan, menciptakan suasana romantis yang tenang.
Yakin segalanya telah tersusun seperti yang diinginkan, Dihya duduk di salah satu kerusi, menanti kepulangan suaminya.
Waktu terus berlalu. Jam dinding berdetik perlahan, menandakan malam semakin larut. Jarum jam sudah melewati angka sebelas, namun Zane masih belum pulang. Kebingungan mulai menyelimuti hati Dihya.
Biasanya, Zane akan selalu berusaha untuk makan malam bersamanya. Kalau Zane lewat, suaminya pasti akan menghubungi dia lebih awal untuk memaklumkannya. Berasa tidak senang dengan perasaan gusar yang berlegar. Dia meraih telefon bimbitnya yang tergeletak di atas meja dan mencuba untuk menghubungi Zane.
Panggilan pertama tidak diangkat. Dia mencuba lagi, namun hasilnya tetap sama. Beberapa pesan teks juga telah dia kirimkan, namun tidak ada satu pun balasan.
Rasa cemas mulai merayapi benaknya. Ke mana Zane pergi? Hingga tengah malam menjelang, Dihya masih setia menunggu di meja makan, lilin-lilin aromaterapi sudah hampir habis terbakar, dan hatinya dipenuhi tanda tanya yang semakin menghimpit.
Lupakah Zane pada janji lelaki itu untuk makan malam bersamanya?
JAM di dinding ruang tamu penthouse sudah menunjukkan pukul satu dini hari ketika pintu utama akhirnya terbuka. Zane melangkah masuk, aura dingin menyelubungi tubuhnya yang lelah. Meskipun wajahnya tampak tenang, ada ketegangan yang tak terlihat jelas terpancar dari setiap gerak-gerinya.
Kepulangan itu menyentak Dihya yang sedari tadi menunggu di sofa ruang tamu, dia bangkit berdiri saat memandang suaminya. Matanya meneliti Zane dengan rasa ingin tahu yang bercampur cemas tatkala melihat langkah berat itu. Hati dia memberitahu seakan ada yang tidak baik telah berlaku.
“Zane,” sapa Dihya lembut, berusaha memecah keheningan yang terasa berat. “Kenapa awak lambat? Saya tunggu dari tadi.”
Zane menghentikan langkahnya di tengah ruang tamu. Dia tidak menjawab, hanya menatap Dihya dengan ekspresi yang sulit untuk dibaca.
“Saya telefon dan hantar mesej banyak kali. Kenapa awak tak jawab?” tanya Dihya lagi, nada suaranya sedikit meninggi karena khawatir.
Zane masih diam, pandangannya tidak beranjak dari wajah Dihya. Keheningan di antara mereka terasa semakin pekat, diisi hanya dengan bunyi samar jam dinding yang berdetik.
Dihya memberanikan diri mendekati Zane. Langkahnya perlahan, hatinya berdebar-debar tanpa alasan yang jelas. “Awak okay? Ada apa-apa berlaku?”ke mana Zane pergi sampai lewat malam begini baru balik? Jangan cakap dekat dia yang Zane buat perangai lama semula?
Zane tetap membisu. Dia hanya berdiri tegak, sorot matanya dingin dan menusuk, seolah-olah sedang meneliti setiap inci wajah Dihya.
Tidak ada senyuman, tidak ada sapaan mesra seperti biasanya. Hanya tatapan kosong yang membuat Dihya merasa tidak nyaman. Dia tidak mengerti perubahan sikap suaminya yang tiba-tiba ini. Ada sesuatu yang berbeza, sesuatu yang meresah di hatinya. Namun, dia tidak tahu apa itu.
Kebisuan Zane terasa semakin menegang, menciptakan ruang yang dingin di antara mereka. Dihya dapat merasakan aura dingin yang terpancar dari tubuh suaminya, membuatnya meremang.
Dihya yakin ada sesuatu yang tidak kena telah berlaku , sesuatu yang sangat mengganggu Zaneketika itu. Namun, dia masih belum dapat mengagak apa yang sedang terjadi.
Tatapan mata Zane yang kosong dan tanpa emosi itu membuatnya merasa asing dengan lelaki yang selama ini begitu penyayang padanya. Jantung Dihya berdebar semakin kencang, dipenuhi dengan rasa takut dan kebingungan yang tak terkata.
Kerisauan Dihya semakin memuncak melihat sikap Zane yang tidak seperti biasa. Dia memberanikan diri untuk menyentuh suaminya, berharap sentuhan itu dapat memecah kebisuannya. Dengan gerakan perlahan dan hati-hati, Dihya menghulurkan tangannya dan menyentuh lengan kiri Zane.
Sentuhan lembut itu bagaikan tidak terasa oleh Zane. Lengan lelaki itu kaku di bawah jemari Dihya, tidak memberikan respons apa pun. Zane masih tegak berdiri, matanya terus tertancap pada wajah Dihya tanpa sedikit pun perubahan ekspresi.
“Zane?” panggil Dihya lagi, suaranya bergetar halus. Jari-jemarinya masih melekat lembut di lengan suaminya, berharap ada sedikit gerakan atau respons darinya. “Awak okay tak? Kenapa diam aje ni?”
Zane mengalihkan pandangannya sejenak, menatap tangan Dihya yang menyentuh lengannya, lalu kembali menatap wajah isterinya. Ekspresinya tetap dingi, tanpa senyum, tanpa kerutan dahi tanda marah atau sedih.
“Zane, jawablah saya. Ke mana awak pergi sampai lewat malam macam ni? Tahu tak saya risau,” desak Dihya, nada suaranya kini lebih tegas meskipun hatinya dipenuhi rasa cemas.
“Kerja,” jawab Zane singkat. Suaranya dingin dan tanpa intonasi, jauh berbeza dari kelembutan yang biasa Dihya dengar.
Dihya mengerutkan keningnya. “Kerja? Sampai pukul satu pagi? Awak tak pernah balik selewat ni.”
“Ada hal yang saya perlu uruskan.” balas Zane datar, tanpa memberikan perincian lebih lanjut.
“Kenapa awak tak jawab panggilan saya? Atau balas mesej saya?” tanya Dihya lagi, cuba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Telefon saya silent mode. Tak perasan. ” jawab Zane singkat, matanya kembali menatap kosong ke arah Dihya.
“Silent? Tapi saya yakin saya dengar nada dering beberapa kali,” sanggah Dihya, merasa ada yang disembunyikan.
“Mungkin awak salah dengar,” balas Zane, masih dengan nada yang sama.
Dihya menarik nafas perlahan, mencuba menahan emosinya yang mulai bergejolak. Sikap dingin dan jawapan singkat Zane membuatnya merasa seperti sedang bercakap dengan orang asing. “Ada sesuatu yang berlaku ke, Zane? Awak nampak lain malam ni.”
Zane diam sejenak, seolah-olah sedang menimbang kata-katanya. Namun, akhirnya dia hanya menggelengkan kepalanya perlahan. “Tak ada apa-apa.Saya naik bilik dulu.”pamitnya berpusing ke arah tangga untuk ke tingkat atas.
“Tak ada apa-apa?” ulang Dihya dengan nada tidak percaya. Dia menghadang depan Zane. Menghentikan langkah suaminya serta merta.“Kalau tak ada apa-apa, kenapa awak bersikap macam ni? Kenapa awak tak macam biasa?”
Zane hanya memandangnya tanpa menjawab. Kebisuan dan tatapan kosongnya terasa lebih menyakitkan daripada kata-kata kasar. Dihya merasa ada tembok tinggi yang tiba-tiba berdiri di antara mereka, tembok yang tidak pernah ada sebelumnya. Dia tidak mengerti apa yang telah mengubah suaminya dalam beberapa jam terakhir ini.
Share this novel