Series
24
Kota Cinta selalu terlihat berbeda pada malam hari. Lampu-lampu neon menyala, menari di antara gedung-gedung tinggi. Jalanan tak pernah benar-benar sepi; suara kendaraan, tawa manusia, dan hiruk-pikuk kehidupan menciptakan simfoni yang membungkus seluruh kota.
Namun bagi Adel, malam itu terasa terlalu sunyi.
Ia duduk di kamar apartemennya yang sederhana, memandangi cangkir teh yang sudah mulai dingin. Rayyan kembali memasuki pikirannya—tatapan misteriusnya, nada suaranya, bagaimana ia pergi begitu tiba-tiba.
“Kenapa dia terlihat… takut?” gumam Adel.
Ia mencoba mengabaikan perasaan aneh itu dan membuka laptopnya. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Namun baru lima menit berlalu, suara ketukan di pintu membuatnya menoleh.
Tiga kali ketukan. Pelan tapi tegas.
Adel meraih ponselnya dengan gugup. Ia tidak menunggu siapa pun malam itu.
“Siapa?” serunya tanpa membuka pintu.
“Adel, ini aku.” Suara itu langsung membuat napasnya lega. Rayyan.
Adel membuka pintu, namun senyum yang tadinya muncul dengan cepat hilang saat ia melihat kondisi Rayyan. Wajahnya terlihat pucat, napasnya berat, dan ada goresan kecil di pelipisnya.
“Rayyan! Kamu kenapa?”
“Aku… boleh masuk dulu?” suaranya lemah.
Tanpa bertanya lebih lanjut, Adel menariknya masuk. Rayyan duduk di sofa, memegang keningnya seolah menahan rasa sakit.
“Apa yang terjadi?” tanya Adel sambil mengambil kotak P3K.
Rayyan menutup matanya. “Aku hanya… tersandung. Tidak parah.”
“Kamu pikir aku percaya?” Adel membasahi kapas dengan antiseptik. “Jangan bergerak.”
Rayyan membuka mata dan menatapnya. Tatapan itu tidak sama seperti biasanya. Ada ketakutan, kecemasan… dan rasa bersalah.
Saat Adel membersihkan lukanya, Rayyan berkata pelan, “Kamu seharusnya tidak dekat denganku.”
Gerakan tangan Adel terhenti. “Apa maksudmu?”
Rayyan menatap lantai. “Ada orang-orang yang… mencari sesuatu. Dan mereka pikir aku tahu di mana letaknya.”
“Kamu? Dicari orang?” Adel menelan ludah. “Siapa mereka?”
Rayyan menggeleng. “Aku tidak bisa menjelaskan sekarang.”
Adel duduk di sampingnya. “Rayyan, jika kamu dalam bahaya, kamu harus bilang. Aku bisa bantu.”
Rayyan menoleh lambat. “Itu yang aku coba hindari. Kamu tidak boleh terlibat.”
Hening lama mengisi ruangan.
Hingga tiba-tiba, lampu apartemen padam.
Gelap total.
Adel terkejut dan hampir menjatuhkan kotak P3K. “Apa yang—”
“Diam.” Rayyan langsung berdiri, meski kepalanya sedikit berputar. Ia menahan Adel dengan lembut namun tegas. “Jangan bergerak dari sini.”
Dari luar jendela, terdengar suara langkah kaki. Pelan, tapi jelas. Langkah seseorang yang mencoba tidak terdeteksi.
Adel menggenggam tangan Rayyan tanpa sadar.
Rayyan berbisik, “Mereka menemukan aku.”
Sementara itu, di atap gedung berseberangan, dua sosok berdiri sambil mengamati jendela apartemen Adel.
“Target ada di dalam,” kata salah satu dari mereka, berbicara melalui alat komunikasi.
Suara dari perangkat menjawab, “Jangan biarkan dia kabur. Dan pastikan gadis itu tetap hidup—untuk sekarang.”
Sosok kedua menoleh. “Kenapa gadis itu penting?”
Sosok pertama mengangkat bahu. “Kita hanya menjalankan perintah. Tapi… mereka terlihat akrab.”
Ia tersenyum tipis. “Itu akan memudahkan pekerjaan kita.”
Di apartemen, Rayyan menatap kegelapan. Ia tahu satu hal dengan pasti:
Malam itu adalah awal dari badai besar.
Dan Adel, meski tidak tahu apa-apa, sudah berada tepat di pusatnya.
Share this novel