Teh Dewi semakin menjadi-jadi, dia selalu berusaha pergi dari rumah setiap kali ada kesempatan. Dan bila ibu atau tetangganya mencoba menghalangi, maka dia akan bertingkah seperti orang kesetanan. Dia tak segan berteriak sambil melemparkan batu-batu besar pada orang yang mencoba menghalangi jalannya.
Namun warga selalu berhasil menggagalkan rencana kaburnya itu. Ketika sudah sadar Teh Dewi selalu ditanya ada masalah apa sebenarnya. Tapi dia tak pernah menjawab, seperti sedang memendam suatu rahasia yang amat penting dalam hidupnya.
Demi kemanan warga dan ketenangan ibunya, akhirnya Teh Dewi dipasung di dalam kamarnya. Kaki dan tangannya diikat tali tambang plastik. Kalau sedang kumat, karena dia sering berteriak-teriak, kadang mulutnya disumpal dengan kain.
“Apa tidak kasian memperlakukan Dewi seperti itu?”, tanya beberapa tetangga yang datang untuk menjenguk.
“Mau bagaimana lagi bu...”, jawab ibu Teh Dewi yang kemudian disusul oleh suara tangisan.
Orang-orang kampung Tegal Sari kini menganggap bahwa Teh Dewi sudah menjadi gila. Sudah beberapa kali didatangkan orang pintar maupun ustad untuk menyembuhkan Teh Dewi namun tidak ada yang berhasil satu pun. Bapak saya pernah mengusulkan agar Teh Dewi dibawa ke rumah sakit saja, namun apa dikata biayanya mungkin lebih mahal daripada jasa paranormal.
Di kampung pelosok seperti kami fasilitas tenaga medis itu terbatas. Puskesmas saja yang harusnya jadi pusat kesehatan masyarakat, hanya beroperasi sebulan sekali, itu pun dipakai untuk imunisasi anak kecil saja. Kalau ada orang yang sakit, biasanya diobati dengan cara-cara tradisional saja atau dibawa ke dukun. Tapi kalau sudah sangat parah atau bisa dibilang sekarat barulah dibawa ke rumah sakit yang letaknya berada di kabupaten.
Apalagi ini seseorang yang terkena penyakit tidak jelas, biasanya orang kampung langsung mendiktenya bahwa dia sudah gila. Pernah kata Ustad Ridwan yang orang kota itu, karena belakangan sering datang ke rumah Pak Lurah dan rumah saya untuk bertemua bapak, sebaiknya Teh Dewi dibawa ke psikiater aja. Waktu itu bapak malah bingung, apa psikiater itu semacam dukun sakti yang berasal dari kota atau apa?
***
Malam itu ketika saya datang ke pasar malam, tidak terlalu banyak orang yang datang ke sana. Orang-orang yang datang biasanya cuma dari kampung luar saja. Kata salah satu penjaga wahana, bisanya jam 9 malam pasar sudah dalam keadaan sepi, paling tinggal hanya satu atau dua orang saja yang beseliweran.
Muka-muka putus asa terlihat jelas dari para pedagang yang duduk terdiam, karena tidak ada pelanggan. Sedangkan bos yang membawahi para karyawan wahana katanya lebih sering terdengar uring-uringan.
“Ya kalau begini terus, bisa rugi bos saya. Kalau bos saya rugi, ujung-ujungnya saya dipecat juga”, ucap penjaga wahana itu kepada bapak saya.
“Biasanya paling jelek pasar malam mulai sepi kalau sudah tiga minggu berjalan, ini baru beberapa hari kok sudah jarang orang-orang yang datang. Ini gara-gara isu hantu itu pak!”, lanjut penjaga wahana itu.
“Memangnya kamu liat sendiri hantu itu?”
“Seumur hidup saya, saya tidak pernah melihat yang namanya hantu, dan saya juga tidak percaya dengan hantu pak. Tapi temen saya yang jaga wahana bianglala di sana, dia melihatnya. Dan parahnya lagi dia cerita ke semua orang, makanya isu itu cepat menyebar”, si penjaga wahana menjawab pertanyaan bapak saya.
“Memang kenapa rombongan pasar malam bisa sampai ke kampung terpencil seperti ini?”
“Saya tak tahu pak, bos saya yang memutuskan kita mau buka lapak dimana. Kita sebagai karyawan hanya manut saja, yang penting dibayar”
“Jadi kamu tidak tahu kejadian yang menimpa kampung ini?”
“Kejadian apa pak?”
Bapak saya lalu mengajak saya pulang, tanpa menjawab pertanyaan si penjaga wahana. Dari raut wajahnya masih tersirat rasa penasaran.
***
Masih ingat Bu Lastri, si tukang kredit yang sering dihantui Teh Ratmi?
Papan bertuliskan “RUMAH INI DIJUAL” yang terpasang di depan rumahnya belum menghasilkan apa-apa sampai sekarang. Akibatnya dia tak bisa pindah rumah cepat-cepat, memang dia sempat pergi ke rumah orang tuanya, tapi seminggu berlalu dia kembali pulang. Uang tagihan yang mengendap jadi alasannya. Dia tidak bisa begitu saja meninggalkan bisnis yang sudah dirintisnya selama ini.
Katanya, beberapa hari yang lalu saat Bu Lastri baru pulang dari kampung sebelah untuk mengantarkan barang pesanan konsumennya, dia pulang malam. Sekitar jam 8 malam, ia diantar tukang ojek. Karena jalan menuju ke rumahnya harus melewati beberapa petak sawah dan jalanan kecil yang diapit kebun-kebun warga, maka si tukang ojek tak bisa mengantarnya sampai ke depan rumah.
Keadaan kampung sudah sepi waktu itu, tak ada seorang pun yang terlihat, kecuali bunyi riuh samar-samar alunan musik dangdut yang berasal dari pasar malam. Sejak terakhir kali dihantui sosok arwah perempuan di kamarnya, Bu Lastri belum terkena teror selanjutnya. Tapi tetap saja rasa trauma itu masih ada.
Setelah membayar si tukang ojek, Bu Lastri berjalan melewati pematang sawah. Suara kodok terdengar saling bersautan dengan suara jangkrik. Langit sangat gelap gulita, suara gemuruh petir beberapa kali terdengar, tetes-tetes air hujan mulai keluar.
Ketika berjalan, Bu Lastri selalu menengok ke arah belakang, alasannya jelas karena dia sedang merasa ketakutan. Dan layaknya orang ketakutan dia selalu bertindak waspada, mengecek ke belakang untuk memastikan bahwa tidak ada orang ataupun hantu yang sedang berusaha mengikutinya.
Namun ketika dia menengok ke belakang entah untuk yang keberapa kalinya, dia melihat cahaya di atas langit. Cahaya yang awalnya hanya berupa titik, makin lama makin terlihat jelas berjalan ke arahnya.
Setelah dekat, Bu Lastri baru bisa melihatnya dengan jelas. Cahaya tersebut adalah bola api yang berekor, terbang di atas langit dan melewati kepalanya. Bu Lastri sempat heran, awalnya dia mengira bahwa itu sebuah meteor yang jatuh dari atas langit.
Bola Api itu terbang menuju perkampungan. Dan terlihat jatuh ke bawah. Tapi tidak ada ledakan yang terjadi, bola api itu seperti lenyap, entah terjatuh ke tanah atau menimpa rumah warga.
Seketika itu juga Bu Lastri langsung ketakutan, dia mulai mempercepat langkahnya. Dia ingin segera sampai rumah, dia khawatir dengan anaknya yang sedari tadi sore dititipkan ke tetangganya.
Begitulah cerita yang diucapkan kepada ibu oleh Bu Lastri saat selesai acara pengajian. Aku mendengarnya ketika ibu berbincang dengan bapak.
Cerita bola api berekor itu tampaknya semakin meluas, apalagi ada orang yang membenarkan peristiwa yang dilihat Bu Lastri.
Mas Burhan, yang malam itu kebagian tugas untuk berjaga di depan rumah Teh Dewi bersama pemuda lainnya melihat peristiwa bola api itu juga.
“Bentuknya seperti buah kelapa yang dibakar, tapi ini ada ekornya. Dia melayang-layang di atas atap rumah!”, tegas Mas Burhan ketika bapak bertanya.
“Tapi itu tidak mungkin meteor, soalnya benda itu melayang”, ucap pemuda lain meyakinkan.
Mas Burhan mencoba mengikuti bola api berekor itu, hingga akhirnya benda aneh itu melayang-layang di atas rumah Kang Ratmo. Setelah diam begitu lama, bola api itu seperti masuk ke dalam rumah menembus atap.
“Saya kira bakal terjadi ledakan, tapi tampaknya rumah Kang Ratmo baik-baik saja. Saya sempat mau mengetuk rumah Kang Ratmo untuk memastikan bahwa dia baik-baik saja, tapi ga jadi”, lanjut Mas Burhan.
Pak Lurah dan bapak sempat bingung menanggapi isu bola api berekor ini. Mana mungin Bu Lastri dan Mas Burhan ini berbohong, karena cerita yang mereka sampaikan berdua hampir memiliki kesamaan dalam mendeskripsikan ciri-ciri fisik benda aneh tersebut.
***
Belum reda cerita teror hantu Teh Ratmi, yang kemudian disusul penampakan benda misterius yang sempat terlihat di kampung Tegal Sari, peristiwa aneh lain kembali terjadi. Kampung ini seperti dikutuk, peristiwa mengerikan datang silih berganti.
Saya yang waktu itu ikut sholat subuh berjamaah bersama bapak, sempat kaget melihat kedatangan seorang petugas pasar malam dengan nafas yang masih tersengal-sengal karena berlari untuk menemui warga, datang ke mushola.
Semua warga mencoba menyuruhnya untuk duduk dan mengatur nafasnya terlebih dahulu.
“Itu… Itu.. Tuh... Bapak… Ada... Orang… Orang mati… Iyah, mati…!!!”, ucap petugas pasar malam.
Semua bapak-bapak yang hadir di mushola tampak kebingungan.
“Ada orang mati gantung diri di pasar malam…!!!”, lanjut petugas pasar malam dengan setengah berteriak.
Sontak semua orang yang ada di mushola kaget.
“Cepetan kasih tahu Pak Lurah!”, perintah bapak kepada temannya.
Langit masih terlihat gelap, namun suara kokok ayam sudah terdengar. Suasana pagi hari yang biasanya menyejukan dan menentramkan berubah menjadi mengerikan. Bapak-bapak langsung belingsatan, buru-buru mengikuti si petugas pasar malam menuju tempat kejadian.
“Kita liat yuk ke sana!”, ajak teman saya.
“Hus, jangan! Lagian kan kita harus berangkat sekolah, nanti siang aja kita lihat”
“Lah kalau siang mayatnya sudah dikuburkan dong. Mana bisa kita liat?”
“Memang kamu tahu rasanya melihat mayat tergantung itu bagaimana?”, tanya saya.
Dia langsung terdiam, mungkin sedang membayangkan. Tiba-tiba tubuhnya bergetar merinding.
Dan kami berdua langsung pulang dengan rasa penasaran, siapa mayat yang tergantung itu?
Share this novel