chapter 1

Drama Series 22

Chapter 1 – apakah pengahiran selalu terasa seperti awalan?

Angin dingin menyusup masuk melalui celah jendela batu. Aroma logam dan darah samar tercium di udara lembap istana barat, tempat yang disebut oleh para bangsawan sebagai tempat terlupakan. “Atau lebih tepatnya, Istana Es, wilayah dengan cuaca ekstrem yang menjadikannya tempat paling mengerikan di bawah kekuasaan kekaisaran yang terletak di barat.” Di katakan tempat tersebut pernah jatuh ke suhu -60°C atau lebih di hujung tahun setelah Musim panen kekaisaran.

Di tengah ruangan gelap, seorang gadis berambut perak duduk berlutut di lantai dingin. Gaunnya lusuh, sobek di beberapa sisi. Tangannya gemetar saat mencoba menggenggam udara. “Kenapa…?” suara gadis itu lirih, nyaris tak terdengar. Tatapannya kosong menembus lantai batu yang dingin.

“Apakah… apakah masih ada hal yang belum kalian puas dariku?” suaranya bergetar. “K-kalau begitu… aku—”

Suara tamparan keras memotong ucapannya. Tubuh mungilnya terjatuh, pipinya membara merah. Langkah sepatu logam mendekat perlahan, menggema dingin di ruang yang hening.

“Aib keluarga Duke tidak pantas berbicara.”
Suara rendah dingin lelaki itu bergemar kuat Dan amat menusuk ketika ketengangan memenuhi ruangan itu. Gadis itu menunduk sebelum Air matanya menetes ke lantai, satu demi satu ketika dia merenungi lantai batu di bawahnya.

Langkah-langkah berat terdengar mendekat. Dua orang prajurit lelaki itu, menunduk hormat di hadapan mereka sebelum seorang lelaki muda dengan mantel tebal biru keperakan berjalan masuk ke dalam ruangan itu dari ambang pintu ruangan megah itu. Mata tajamnya menatap lurus ke arah gadis itu, tanpa sepatah kata. Cahaya bulan yang menembus jendela retak memantulkan wajahnya yang tampan minus emosi sedingin hatinya yang mungkin Kian membeku seperti cuaca istana itu.

“Yang Mulia, Pangeran Erland,” ucap lelaki yang berdiri di hadapan gadis itu dengan menunduk sedikit ke bawah.

"Pengeran Erland..." Kata gadis itu hampir seperti gumaman kepada dirinya sendiri.

“kau Masih belum mehapus nodanya, duke Tharion Ravencourt?” katanya dengan nada dingin tidak menunjukkan sebarang emosi.

"N-noda?" Kata lelaki di depan gadis itu dengan bingung. Tiba tiba pengeran Erland melihat ke arah gadis itu ketika Pangeran berhenti tepat di depannya. Tatapannya tak bergeming. "Lupakan saja... Aku sendiri yang akan mengurus noda kerajaan Hina ini..." Pengeran menarik pedangnya keluar Dari tempat pedang di pingulnya.

Gadis itu tersenyum lemah. Bukan karena pasrah. tapi karena akhirnya, semuanya berhenti terasa sakit.

“ah... bahkan pengeran juga... bodohnya aku berfikir yang dia datang untuk menolongku..."

malam itu dingin Dan di bawah cahaya bulan pucat yang menembus jendela retak, kelihatan pedang yang menusuk tepat ke jantung gadis itu saat sisi gelap istana seakan akan menutup mata ketika salji berjatuhan seiringan jatuhnya titisan darah gadis itu.

"G-gak adil..." Darah mengalir Dari mulutnya ketika dia mengeletar. "A-aku juga ingin hidup…" pelahan lahan kepala gadis itu terangkat sehingga memperlihatkan matanya yang berwarna merah ruby, sayu ketika dia berbicara dengan suara yang amat pelahan yang hampir tidak lebih Dari sekadar bisikan.

Pengeran hanya diam Dan metetapnya dengan tetapan dingin tampa bergerak.
"A-aku... Aku juga... ingin... Ingin bahagian, di sayangi..." Gadis itu muntah darah Dan gadis itu menetap tepat ke arah mata pengeran. "Kenapa?" Tiba tiba pengeran menarik pedangnya dan hayunkannya ke samping untuk mehilangkan noda darah darinya

"Kerna Kau anak Haram keluarga duke... tiada tempat untukmu di kekaisaran ini bagi orang Kotor dan menjijikkan sepertimu..." Kata pengeran ketika melihat gadis itu mula jatuh Dan terkapar di lantai batu istana itu. Mata gadis itu tidak pernah lepas Dari pengeran Dan pelahan lahan dia menoleh ke arah duke Tharion Ravencourt di hadapannya. “Kalau dunia ini memang tak ingin aku hidup… sebaikknya Dari awal aku tidak di lahirkan..."

Keadaan menjadi hening Dan matanya mulai tertutup. Keadaan pelahan lahan mula berubah menjadi gelap di sekelilingnya. "Ah... dada aku panas Dan badan aku mulai merasa dingin....apakah ini yang di namakan sebagai kematian?"

Keadaan menjadi senyap dalam waktu yang lama Dan kegelapan semakin pekat ketika waktu sekolah olah mehilang menunggalkannya di dalam jurang sunyi tampa pehujung. "Kepada dewa... jika Kau ada di sana... aku ingin memohon... seandainya aku hidup kembali, semoga di kehidupan berikutnya aku tak pernah mengenal siapa pun di kehidupanku sekarang…”

Suara itu perlahan menghilang, terseret bersama napas terakhir. jam, hari, atau mungkin minggu? tak ada yang tahu sudah berapa lama sejak Kali terakhir waktu berlalu dalam keheningan panjang ini berjalan.

Tik… tik…

setitik cahaya samar menembus celah papan kayu di atasnya, kelopak matanya bergetar. Pandangannya kabur. Dunia di sekelilingnya seperti berputar perlahan.

Udara pengap menusuk paru‑parunya. Aroma kayu lapuk bercampur debu memenuhi hidung. seorang gadis kecil kira kira delapan tahun, terbaring lemah di lantai dingin, atap kayu yang retak dan cahaya bulan yang menetes samar ke dalam ruang sempit itu.

Tik... Tik... Tik...

“kematian?” suaranya parau, hampir tak terdengar. Ia mencoba menggerakkan jarinya—gagal. Tubuhnya terasa berat, seperti dirantai ke lantai dingin yang lembap.

titik darah kering menodai bajunya yang terlihat lusu Dan koyak. Terlihat banyak Bekas luka di setiap sisi bentuk lekuk tubuhnya yang langsung Dan kurus. Tarikan napas berat terdegar ketika anak gadis itu cuma terbaring di sana tampa bergerak. Keheningan memenuhi ruangan itu.

"K-kehidupan... Setelah kematian...” bisiknya lirih, matanya berkaca‑kaca ketika dia bernafas berat.

"Ternyata aku di tempatkan di neraka setelah mati... Sungguh takdir yang tidak adil..." Menetap ke arah papan kayu itu ketika tidak bisa bergerak kerna babak belur.

Tik... Tik...

bunyi tetesan air menimpa lantai batu. Suaranya bergema, monoton, memecah keheningan yang menyesakkan.

Ia berusaha menoleh sedikit, menatap ke sisi ruangan. Samar‑samar terlihat tong‑tong kayu tua, karung‑karung berdebu, dan tikus kecil yang melintas cepat di sudut gelap. Tertawa kecil sebelum batuk kuat. "Bahkan setelah kematianpun... Kediaman duke tetap lah neraka, aku..."

Tubuhnya nyaris tidak bergerak ketika dia terlihat amat kacau, darah di lantai sebelum tiba tiba Air matanya menetes setitis. Angin malam merayap masuk melalui celah dinding kayu, meniupkan hawa lembap yang membawa aroma tanah dan darah kering. Dalam keadaan setengah sadar, gadis itu hanya bisa memandangi atap gelap di atasnya, di antara rasa sakit dan kebingungan yang menyesakkan dada.
"Ah... Tempat yang amat nostalgia... Aku bahkan gak menyangka bakalan mengenang tempat ini lagi..."

Matanya sayu Dan matanya pelahan lahan mulai tertutup. "Tempat di mana awal Dari semuanya bermula, gudang kediaman duke..." Keheningan. Waktu terus berlalu Dan di saat anak gadis itu hampir terlelap kembali, terdengar suara langkah pelan di luar pintu kayu itu.

Ckrek…

Suara kunci berputar perlahan. Pintu terbuka sedikit, dan seberkas cahaya tipis menembus ruang gelap. Seorang pelayan berdiri di ambang, matanya melebar melihat pemandangan itu. Gadis kecil itu terbaring lemah, darah mengering menodai bajunya, napas tersendat‑sendat.

“n-nona muda Lyra?!” Suara pelayan bergetar, penuh panik. Ia berlari masuk, menunduk, dan segera menekuk tubuh gadis itu ke dadanya. “A-apa! Apa yang terjadi?! Nona muda?!"

Gadis itu menatap samar, tubuhnya terlalu lemah untuk merespons. Setiap tarikan napasnya seperti tarikan terakhir. Pelayan itu menahan napas, matanya panik saat menatap luka‑luka di tubuh Lyra. “T‑tenang, nona! A-aku! Aku akan membawamu ke tempat aman segera!!”

Dengan hati‑hati, ia menggendong Lyra, merasakan tubuh kecil itu nyaris tak bertenaga. Setiap langkahnya bergema di ruang gudang yang sempit, suara papan kayu berdecit menambah ketegangan.

Di lorong, seorang pelayan lain yang baru lewat berhenti, ternganga, matanya melebar. “A‑apa? apa yang terjadi di sini?!”

Pelayan yang menggendong Lyra menggigit bibir, jantungnya berdegup kencang. “T-tolong! O-obat! Apa apa saja!! Tolong dapatkan bantuan segera!! Nona muda lyra akan mati jika terus begini!!

Angin malam merayap masuk melalui celah dinding, membawa aroma debu, kayu lapuk, dan darah kering. Lyra menutup matanya, tubuhnya lemas, namun untuk pertama kalinya entah kenapa tangan yang menolongnya itu terasa hangat Dan amat menenangkannya.

"hangat..." Suara di sekitarnya memudar, langkah kaki terdegar riuh Dan keadaan panik, namun bagi lyra suara itu sama sekali gak bisa mengampainya yang entah sedar atau cuma sedar dalam ketidak sedaran.
"Sangat hangat..."
detak jantungnya, suara kecil, bahkan gerakan halus yang kini satu satunya yang bisa mengapai derianya kini menjadi satu satunya teman ketika ketidak pastian memenuhi hatinya.

“itu hal yang selalu aku pikirin sepanjang malam hari itu..." Suara agin bertiup pelahan. "Tentang kehangatan Dan rasanya makanan memenuhi perut aku setelah seharian lebih terkurung di gudang barangan keluarga Ravencourt..."

Cahaya di matanya redup, seperti bara api yang hampir padam. ingatan samar menari nari, aroma roti hangat, suara lembut seorang gadis sekitaran 20 an Dan senyum manisnya. Semua itu berlegar di kepalanya. "Lyra?" Kata gadis itu dengan suara lembut yang amat menenangkan. "Apakah kamu mau roti hangat yang baru saja ibu pangang, bidadari kecilku?"

“Aku mau…” bisiknya lirih ketika terdegar seperti merayu. "Aku... Aku mau ibu..."
Langkah kaki tidak pernah putus sebelum suara bisik yang samar kedegaran namun bagi Lyra, semuanya hanya gema jauh yang tak berarti. Lyra terus tenggelam rasanya seperti jatuh ke dalam lautan tampa dasar Dan itu membuatkan dasarnya sesak tampa sedar.

Suaranya tenggelam, lalu senyap.

Dunia sekelilingnya gelap, namun anehnya dasarnya semakin sesak setiap Kali kenangan Manis Dan kelembutan hangat memehuhi jiwanya yang bercelaru kerna emosi yang bercampuk aduk.

Hembusan berat napas, bau darah, kediginan, semuanya hilang ketika lyra merasa menetap sosok gadis itu mehulurkan roti hangat empuk di tangannya kepada lyra. "Ibu... Aku ingin ibu..." Tangannya terangkat ketika lyra melangkah mendekat, langkahnya goyah.

"Nona Lyra! Nona Lyra!!"

"Ibu..." Tangan lyra Hanya beberapa Inc lagi Dari tangan gadis sekitaran 20 an itu.

"NONA LYRA!!" tiba tiba lyra mengerjap perlahan, pandagannya kabur ketika Dunia di sekelilingnya samar terlihat. Cahaya lembut menembus tirai tipis berwarna kelabu, bergoyang pelahan dihembus angin dari jendela besar berhias ukiran perak. Di atas langit-langit, lampu gantung kristal memantulkan cahaya hangat lilin, menari-nari di permukaan dinding batu yang dingin ketika tangan anak gadis kecil itu terangkat tinggi ke udara.

Tempat itu luas bahkan terlalu luas bagi tubuh kecil yang kini terbaring di tengahnya. Langit-langitnya yang tinggi, dihiasi relief keluarga Ravencourt yang terpahat di batu putih, simbol burung gagak dengan sayap terbentang. Perabot di sekelilingnya tampak megah tapi suram; lemari dari kayu gelap, karpet merah marun yang menutupi lantai marmer berukir, dan bau khas bunga layu yang diletakkan di vas perak di meja sisi ranjang.

Udara ruangan itu dingin, namun selembar selimut tebal bersulam benang emas membungkus tubuh Lyra. penglihatannya mulai jelas. Seorang pelayan muda berambut coklat gelap menatapnya dengan mata cemas, tangannya gemetar ketika menyentuh dahi Lyra.

“N-nona muda?!” katanya dengan suara serak. Napasnya berembun di udara, menandakan suhu ruangan yang masih rendah meski api di perapian membara di ujung ruangan. Lyra kelihatan bingung dan tanpa sedar menoleh ke sampingnya, hanya untuk berhenti tepat ke arah dua sosok di dalam ruangan itu, pemuda berambut merah tua dengan tatapan seakan akan terkejut dan sebelahnya, gadis muda berambut kuning muda lembut yang juga kelihatan sama terkejutnya melihat ke arahnya.

Duke Tharion Ravencourt berdiri di ambang pintu, rambut merah gelapnya berkilau oleh cahaya sore, matanya tajam bagai bara. Sekilas, sorotnya menurun sedikit—tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Di sisinya, perempuan berambut kuning pucat itu menatap tajam, memegang kipas di dada, jemarinya bergetar halus saat mereka hanya menatap ke arah Lyra tanpa sepatah kata pun. Keheningan tiba-tiba menekan ruangan itu; hanya suara api yang berderak pelan di kejauhan, seolah enggan memecah momen yang membeku.

"E-eh?" Pipi lyra telah basah dengan air mata Dan dia hanya melihat ke arah mereka semua dengan tangan terangkat ke udara jelas sekali seakan akan amat ketakutan.

makasih ._.✌️

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience