Series
24
Kegelapan merayap seperti kabut pekat yang menyesakkan dada. Adel menggenggam tangan Rayyan lebih erat, dan untuk sesaat Rayyan lupa bernapas. Tangan itu dingin, menunjukan ketakutan Adel, namun genggamannya begitu kuat seolah menolak melepaskan apa pun yang bisa memberinya rasa aman.
Rayyan menarik napas perlahan. “Dengar aku baik-baik,” bisiknya. “Apa pun yang terjadi, tetap di belakangku.”
“Apa yang sebenarnya terjadi, Rayyan?” suara Adel bergetar.
Rayyan hendak menjawab, tetapi suara berdecit dari pintu depan membuat keduanya membeku. Bukan suara khas pintu dibuka pakai kunci, melainkan suara logam tipis yang mencoba mencongkel pengait.
Rayyan merutuk dalam hati. Mereka lebih cepat dari dugaanku.
Ia meraih tangan Adel, menariknya perlahan menuju dapur. “Kita harus keluar dari sini tanpa terlihat.”
“Tapi pintu—”
“Kita tak pakai pintu.”
Rayyan membuka jendela dapur. Angin malam menerpa wajah mereka. Jarak ke balkon gedung tetangga hanya sekitar satu meter, tetapi itu cukup membuat Adel menelan ludah.
“Kita lompat?” bisik Adel.
“Kalau kamu mau tetap hidup, iya.”
Adel memandang Rayyan. Tatapan itu bukan tatapan main-main. Bukan tatapan manis yang ia lihat di kafe. Ini tatapan seseorang yang sudah terlalu lama berhadapan dengan bahaya.
Dari ruang tamu terdengar klik pelan.
Pintu berhasil dibuka.
Rayyan tak menunggu sedetik pun. “Adel, lompat sekarang.”
Adel memejamkan mata, meraih pinggiran balkon gedung seberang, dan melompat. Tubuhnya mendarat sedikit terguling, tapi aman. Rayyan menyusul dalam sekali lompatan sigap.
“Kita turun lewat tangga luar,” katanya.
Belum sempat mereka bergerak, suara langkah berat terdengar di dalam apartemen Adel.
Dan kemudian, suara seorang pria yang dalam dan penuh ironi berkata:
“Dia tidak sendirian. Rayyan bersama dia.”
Adel membeku. Rayyan mencengkeram lengannya. Mereka tahu namanya.
Mereka menuruni tangga darurat secepat mungkin. Nafas Adel mulai ngos-ngosan. “Rayyan… siapa mereka?”
Rayyan tidak menjawab. “Kita harus sampai ke jalan utama dulu.”
Ketika mereka mencapai lantai dua, pintu darurat terbuka dengan keras. Dua orang pria berpakaian gelap muncul, membawa sesuatu yang mirip tongkat listrik.
Adel tersentak. “Mereka mengejar!”
Rayyan menariknya lagi. Tangannya dingin tapi kuat. “Jangan lihat ke belakang!”
Namun Adel melirik juga—dan ia berharap tidak pernah melakukannya.
Salah satu pria itu memegang foto dirinya. Foto terbaru. Foto yang diambil diam-diam dari jarak dekat.
Adel hampir tersandung. “Mereka… memata-matai aku?”
Rayyan meraih wajah Adel, memaksanya fokus. “Adel, dengarkan aku. Semua akan kujelaskan—tapi bukan sekarang.”
Dari lantai atas terdengar suara derap sepatu lain. Mereka terjebak di tengah.
Rayyan mengumpat. “Ikuti aku!”
Ia membuka pintu lantai dua dan mereka masuk ke lorong apartemen lantai itu. Rayyan menuntun Adel menuju pintu belakang yang jarang dipakai penghuni.
Suasana lorong gelap dan berdebu, cahaya hanya berasal dari lampu emergency redup.
Adel menarik napas cepat. “Rayyan… siapa sebenarnya kamu?”
Rayyan berhenti.
Ia menatap Adel—tatapan yang membawa ribuan cerita yang belum pernah diceritakan.
“Aku bukan orang yang kamu pikir.”
Adel menahan nafas.
“Aku bukan konsultan data.”
Suara langkah dari belakang semakin dekat.
Rayyan mengambil keputusan cepat. Ia menekan tombol pintu darurat menuju area servis gedung. “Kita pergi dulu. Penjelasan nanti.”
Mereka keluar ke halaman belakang gedung, berlari menembus malam.
Namun sebelum mereka benar-benar jauh, sebuah mobil hitam melaju dari tikungan, berhenti mendadak, dan tiga pria keluar dari dalamnya.
Salah satu pria itu menatap Adel dan Rayyan, kemudian tersenyum.
“Sudah lama ya, Rayyan.”
Rayyan menegang.
Adel memandang pria itu. Ada sesuatu pada wajahnya—seperti seseorang yang pernah ia lihat.
“Aku Ardan,” kata pria itu. “Kamu mungkin tidak ingat aku, Adel. Tapi aku ingat kamu.”
Adel merasa darahnya membeku.
“Dan aku tahu apa yang kau simpan tanpa kau sadari.”
Rayyan memalingkan tubuh, melindungi Adel. “Jangan dekat-dekat dia, Ardan.”
Ardan tertawa pelan. “Kau masih sama seperti dulu—selalu mencoba menyelamatkan seseorang yang bahkan tidak tahu apa yang sedang terjadi.”
Adel menggenggam tangan Rayyan, berusaha memahami semuanya. “Apa maksudnya?”
Ardan menatap Adel. “Kau… tidak ingat masa kecilmu, bukan?”
Adel terdiam.
Bagaimana pria asing ini tahu? Bagaimana dia tahu rahasia terbesar yang bahkan tidak pernah Adel ceritakan pada siapa pun?
Ardan melangkah lebih dekat.
“Karena jawabannya ada padamu, Adel.”
Rayyan menarik Adel mundur.
Ardan tersenyum tipis.
“Dan itu sebabnya kau harus ikut dengan kami.”
Share this novel