BAB 2

Drama Completed 216

Saat fajar menyibakkan sedikit demi sedikit cahayanya, ku terbangun dan melihat ayah sudah tak di dalam musala. Ku teringat dengan ibu yang ada dalam ruang UGD. Lalu aku berlari secepat mungkin melewati kamar-kamar yang terisi penuh dengan pasien-pasien yang tengah berjuang melawan arus kesakitan yang mereka derita. Namun tiba-tiba aku berhenti pada sebuah ruangan yang berisi seorang perempuan separuh baya duduk sedang melihat ke arah gorden jendela. Entah ia melihat ada seseorang atau hanya sekedar mengkhayal. Diam-diam aku terus memperhatikannya hingga sampai pada dadanya yang terpasang selang untuk memompa jantungnya.

“Ya Allah betapa menderitanya perempuan itu tak ada yang menemani.” bisik hatiku sambil terus memandang perempuan separuh baya itu.

Ia melihatku dan tertawa aku berada di ambang pintu sendirian. Perempuan itu sangat cantik jelita walau ia lemah dan tak dapat berbuat apa-apa dengan dayanya yang terkuras habis hingga membuat tubuhnya habis dimakan oleh penyakitnya. Ia kemudian mengulurkan tangannya tanpa bersuara, pertanda ia menyuruhku untuk segera memeluknya. Aku pun mengikuti isyarat yang diberikan. Saat tubuhku mendekat di sampinya, ia memelukku dengan penuh kehangatan dan serasa mengalir kasih sayang yang sama seperti yang ku rasakan pada ibu.

Dia terus memelukku dengan penuh kesejukan hingga tak kuasa menahan bulir air matanya. Ia mulai menumpahkan tangis pilunya dalam dekapan pelukannya barsamaku. Aku tak mengerti mengapa dengan perempuan ini mampu merasakan kehangatan kasih sayang yang begitu persis dengan ibuku. Perempuan yang tak ku kenal namanya ini mulai meneteskan air matanya dalam pelukanku. Entah mengapa aku tak tahu. Teringat akan ibuku, ku lepaskan pelukannya yang begitu hangat dan sedikit menenangkan jiwanya.

“Tante, maaf. Aku harus menemui Ibu yang saat ini sedang operasi.” Ujarku meminta pamit pada wanita yang ku panggil tante itu. Ia meneteskan air mata lagi, aku tahu dia tak ingin berpisah denganku namun aku juga harus mencari ayah dan melihat kondisi ibu. “Aku akan kembali lagi, tenang saja.” kataku untuk menenangkan hatinya yang mungkin kini tengah pilu dan sendu meratapi kondisinya saat ini.

Setelah berkeliling mencari ayah dan kamar tempat ibu dirawat, aku masih tak kunjung menemukan ayah dan ibu. “oh Tuhan, di mana Ibu, ke mana ayah?” lirihku dalam hamparan rumput hijau rumah sakit. Tak ku sadari ayah yang aku cari berada di depanku. Ayah seperti merunduk seakan menangis dalam dekapan tangannya. Aku memutar jalan pikiran otakku, “oh tidak, ini tidak mungkin, Ibu masih hidup.” bayangan ibu terus menjalar dalam benakku. Memutar angan-angan yang akan terjadi setelah aku menanyakannya pada ayah.

“Ayah kenapa? Rina mencari ayah ke mana-mana.” Sapaku dengan memeluk ayah, ayah ternyata menangis, dugaanku benar. Namun akankah dugaanku ini benar lagi? Otakku terus berputar mengingat ibu. “Ayaaaah, Ayah kenapa? Jawab Yah, di mana Ibu, aku mencarinya ke seluruh ruangan rumah sakit namun tak ada, Ayah.. jangan diam saja! Ibu masih hidup kan yah?!” ucapanku agak terlalu keras pada ayah.

Aku ingin ibu tetap hidup. Perlahan-lahan ayah memelukku, mendekapku dengan linangan air mata penuh kesejukan. Membelai rambutku dengan tangannya yang kasar. Tangan ayah kasar kerana bekerja keras banting tulang menghidupiku dengan berbekal kerja di sawah nan luas di bawah terik matahari. “Ayah, Ibu masih hidup kan?” tanyaku dengan isak tangis masih ku rasakan.
“Ibumu sudah tenang Nak,” ujar ayah dengan lemas dan begitu tenang. Namun, aku masih tak tahu akan kebenaran ucapan ayah.
“Ibu di ruangan mana, Yah? Ayo kita ke sana jika ibu sudah tenang.”

Ayah membawaku berjalan lagi mengitari seantero isi rumah sakit, aku berharap ibu masih hidup. Namun keyakinanku kini pudar oleh ayah yang membawaku ke ruangan dekat musala. Di samping musala itu ada ruang mayat. Yah, aku hafal betul ruang itu kerana dekat dengan pintu ke luar. Aku masih terus berpikir dan bayang-bayang ibu semakin dekat.
“Ibuuuuu, Ibu masih hidupkan, kata Ayah Ibu sudah tenang, Ibu bangun,” teriakanku menggelegar.

Terasa hati yang begitu disayat pisau, menggores hati kecilku ini, akankah ibu meninggalkanku yang kecil ini. Bidadarimu yang siap terus menari di pagi harimu, “oh Ibu, aku tak sanggup!” lirih hati kecilku berkaca-kaca akan semua ini yang begitu cepat berlalu. Terus ku putar kenangan bersama ibu dalam dekapanku yang tak di respon oleh ibu.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience