Rate

PART SATU

Romance Series 1842

Abiyasa Jonathan Wiratmaja, baru saja mendarat di Bandara Soekarno-Hatta. Setelah menempuh pendidikan di negara kincir angin itu. Perjalanan dari Belanda ke Indonesia memakan waktu empat belas jam lamanya. Sudah lama ia tak menginjakkan kaki di kota kelahirannya, semenjak lulus SMP Abiyasa melanjutkan pendidikannya di Belanda di negara sang nenek yang memang asli berkewarganegaraan Belanda, ibu dari sang ayah.

Abiyasa dijemput oleh supir pribadi keluarganya Ayah dan Ibunya tak bisa menjemputnya dikarenakan ada urusan penting yang tak bisa ditinggalkan. Supir Abiyasa menyambutnya dengan ramah dia juga menyampaikan pesan, bahwa majikannya ( Ayah dan Ibu Abiyasa ) tak bisa datang menjemput. Abiyasa hanya tersenyum dan mengangguk mengerti.

Perjalanan menuju dari Bandara ke kediamannya memakan waktu satu jam-an membuat Abiyasa kelelahan dan ingin segera beristirahat. Rumah tampak sepi saat Abiyasa datang. Mungkin Ayah dan Ibunya belum pulang hanya ada beberapa pelayan yang sedang mengerjakan tugasnya. Ada salah satu dari mereka yang menawarkan makan dan minum namun Abiyasa menolaknya karena ia ingin segera beristirahat saja.

Pukul tujuh malam Abiyasa baru terbangun dari lelahnya perjalanan. Dia bergegas membersihkan diri dan turun ke bawah untuk menemui kedua orang tuanya yang sudah lama tak bertemu. Setelah acara ritual mandinya selesai Abiyasa turun mengenakan kaos oblong dan juga celana training panjang, walau wajahnya masih terlihat lelah tetapi kadar ketampanannya tak berubah.

"Ya ampun sayang, kamu udah bangun?" ucap sang Mama bernama Hani yang tengah berada di dapur membantu Bi Asri. Sang asisten rumah tangga dikediamannya menyiapkan makan malam.

Hani bergegas mencuci tangannya lalu melap dengan kain yang sudah tersedia di wastafel. Hani menghampiri putra semata wayangnya yang amat ia rindukan. Hani langsung memeluk hangat Abiyasa erat, ia bahkan menciumi pipi putranya karena saking rindunya. Meskipun Hani sering mengunjungi Abiyasa waktu masih di Belanda tetapi Hani tetap saja tak bisa jauh dari anaknya. Hani rela melepas Abiyasa menempuh pendidikan di Belanda karena untuk kebaikan Abiyasa sendiri.

Bi Asri yang melihat ibu dan anak itu saling melepas rasa rindu memandangi dengan mata berkaca-kaca. Bi Asri dia juga cukup terkejut melihat Abiyasa sekarang yang sudah beranjak menjadi pria dewasa. Bi Asri memang asisten rumah tangga dari Abiyasa masih kecil kini anak itu mirip sekali dengan Marc sang ayah.

"Udah Ma." jawab Abiyasa terdengar parau. Kemudian mereka sama-sama melepaskan pelukannya.

"Maaf ya sayang, tadi Mama gak bisa jemput kamu. Padahal Mama pengen banget. Tadi ada urusan penting sama Papa gak bisa ditinggalin." ujar sang Mama menjelaskan.

"Iya Ma. Gak papa." jawab Abiyasa tersenyum tipis.

"Apa kabar Den?" tanya Bi Asri kedua matanya tak sengaja bertemu dengan Abiyasa.

"Baik Bi. Bibi sendiri bagaimana?"

"Baik juga Den."

Abiyasa hanya membalas dengan anggukan dan tersenyum. Hani yang menyimak pembicaraan itu mengelus lengan Abiyasa pelan. Bahkan Hani tak sadar jika air matanya jatuh membasahi pipinya.

"Mama kok nangis sih?" tanya Abiyasa menyeka air mata ibunya menggunakan ibu jarinya.

"Karena Mama terlalu seneng." ucap Hani sambil menyeka air matanya sendiri.

"Udah dong jangan nangis lagi. Nanti cantiknya ilang. Kan Yasa udah disini sekarang, sama Mama lagi." tutur Abiyasa lembut, Yasa adalah panggilan kecil untuk dirinya.

Hani sempat mengulum senyum dengan candaan anaknya itu lalu iapun mengangguk-menganggukkan kepalanya.

"Papa mana Ma?" tanya Abiyasa mencari sosok sang ayah.

Dia juga sangat merindukan ayahnya. Sosok yang selalu menjaga dan mendukungnya walaupun sifatnya agak keras. Tapi Abiyasa sangat menyayangi kedua orangtuanya. Jika sang ayah sifatnya keras dan tegas lain halnya dengan ibunya yang bersikap lembut. Abiyasa seolah-olah tak haus akan kasih sayang kedua orang tuanya. Atau mungkin karena Abiyasa anak satu-satunya. Abiyasa tak tahu itu. Tapi dia selalu bersyukur atas kehadiran keluarganya.

"Papa ada di ruang kerja. Tadinya mau bangunin kamu sekalian buat makan malam, tapi Mama larang takutnya kamu masih cape."ujar sang Mama. "Kamu tunggu disini ya, Mama mau panggil Papa sekalian buat makan malam juga." sambung Hani berlalu pergi ke arah ruang kerja suaminya.

Abiyasa mengangguk dia menunggu dimeja makan.

Makan malam hari ini terasa lengkap, dengan kehadiran Abiyasa dulu-dulu sebelumnya mereka makan berdua saja. Kini lengkap sudah. Abiyasa memberi kesan hangat di keluarga Wiratmaja lagi. Malam ini, satu keluarga itu saling bercengkrama melepas rasa rindu. Canda dan tawa mereka rasakan bersama.

****

Elvira Vanaya tengah berkumpul dengan keluarganya di ruangan televisi yang menayangkan berita, sang ibu sedang sibuk bergelut dengan ponselnya. Sedangkan ayahnya menyaksikan acara berita. Elvira sendiri duduk di lantai yang di alasi oleh karpet tebal nan nyaman sembari tangannya dengan lincah menggoreskan pensilnya diatas kertas putih. Elvira adalah seorang perancang busana dan juga memiliki butik yang bernama Diamond . Butik itu berisikan berbagai macam gaun pengantin rancangannya.

Bisnis yang Elvira bangun dibantu oleh sang sahabat Rara, sekaligus menjabat sebagai asisten pribadinya. Walaupun masih terbilang awam bisnis yang ia tekuni namun mampu bersaing dengan butik-butik ternama yang ada di Indonesia. Elvira juga ikut serta dalam berbagai ajang Fashion Show . Sudah cukup lelah dengan goresan yang ia buat. Elvira menutup buku sketsanya, dan merapihkan alat tulis itu ke dalam tempatnya lagi.

"Kamu mau kemana El?" tanya sang Mama, Tari melihat anaknya beranjak membawa sketsanya hendak pergi. Sang Ayah hanya melirik kearah anak gadisnya itu.

"Elvira mau tidur Ma, ngantuk." jawabnya berhubung ini sudah pukul sembilan malam. Elvira dan Rara ada janji bertemu dengan Client jam tujuh pagi. Dia tidak mau terlambat apalagi tidak konsisten dengan pekerjaannya menyebabkan client kecewa.

"Oh ya udah, kalo gitu, selamat malam." ucap Tari.

"Selamat Malam Ma, Pa."ucap Elvira

"Malam." jawab mereka bersamaan.

Saat Elvira hendak melangkah, sang Mama menghentikan langkahnya.

"Tunggu El, kamu udah tahu belum anaknya Tante Hani mau pulang loh dari Belanda." ucap Tari memberi tahu. Elvira mengerutkan keningnya. Hans sang ayah ikut nimbrung pembicaraan mereka kala istrinya menyebut anak dari salah satu sahabatnya akan pulang setelah menempuh pendidikan di Belanda.

"Abiyasa mau pulang Ma?" tanya Hans memastikan pendengarannya.

"Iya Pa. Ini Mama dikasih tahu Hani lewat pesan." sahut Tari.

"Elvira gak tahu Ma. Ini Elvira baru tahu dari Mama. Udah ah Elvira mau tidur. Malam Pa, Ma." ucap Elvira berpamitan, seperti tak menarik akan perbincangan itu.

Abiyasa pria itu, dulu sering sekali membuat dia kesal sampai-sampai dia menangis, karena boneka kesayangan Elvira dibotakin oleh Abiyasa. Belum lagi keusilan dan juga keisengan Abiyasa membuat Elvira sebal jika bertemu dengan mahluk bernama Abiyasa. Jika mengingat itu Elvira hanya tersenyum. Entah pria itu sekarang seperti apa. Apakah masih sama dengan segala kejahilannya ataukah sudah berubah, pikir Elvira.

"Tuh anak kenapa sih Ma?" tanya Hans melihat tingkah anaknya.

"Gak tahu Pa, mungkin cape dia."

"Apa jangan-jangan anak itu lagi patah hati ya Ma, kok sikapnya agak aneh." tutur Hans.

Tari memukul pelan bahu suaminya.

"Papa ini ada-ada aja. Setahu Mama Elvira itu gak lagi menjalin hubungan sama siapapun. Dia itu lagi fokus buat ngejar kariernya." jelas Tari memberi tahu.

Hans mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.

Hanya seorang penulis Amatir yang ingin menghilangkan kebosanan.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience