Bab 51

Romance Completed 25593

BAB 51

“Fey... tuh Rasya ngambek ga mau makan dan keluar kamar.” Vian mendekat ke arahku yang kini tengah sibuk membuat adonan cake. Sore ini Café mendapat orderan beberapa red velvet untuk acara ulang tahun.

Vian menggulung lengan kemejanya sampai ke atas siku, rambutnya acak-acakan dan menandakan dia lelah. Tapi setiap dia pulang kerja begini, aku menyukai harum khas tubuhnya, campuran antara harum parfum sisa tadi pagi yang membaur dengan keringatnya membuat segar indera penciumanku. Hmm aneh memang.

Peluh di dahiku diusapnya dengan lengannya begitu saja. Berkutat di depan oven sedari tadi memang membuatku bercucuran keringat.

“Dia masih marah, Bee, kemarin dipaksa cium tante Anita, padahal juga cuma kecup sekilas di pipi, tapi katanya dia sudah tak perjaka lagi, bibirnya sudah tak perawan lagi gitu, Bee,” ucapku polos membuat Vian tergelak.

“Dasar fans beratmu itu, Fey, trus ga masuk ke kampus dia?”

Aku menggelengkan kepala sembari sibuk memasukkan adonan ke dalam loyang.

“Nah ini, mbok ya sudah to suruh Radit saja yang nerusin, ingat loh Fey ga boleh kecapean, lagipula, sore ini jadwal kamu periksa kandungan,” ucapnya sambil menyingkirkan helai-helai rambut yang berjatuhan di sisi wajahku.

“Nanggung Bee, café juga rame ini nanti diambil jam 3, Radit sibuk buat menu café, ya udah lagipula mau selesai ini, kok, Bee mandi dulu sana terus sholat duhur nanti aku susul deh, ada Evan sama Ryan kok di rumah,“ ucapku membuat dia segera mengangguk karena kulihat dia juga kelelahan. Subuh tadi sudah berangkat, selain untuk mengurus beasiswa spesialisnya lagi katanya, dia juga mengajar beberapa kelas menggantikan dosen tetap yang tak bisa mengajar hari ini.

“Besok aku buka lowongan buat koki baru, ya, buat bantuin kamu gitu, ga tega ngeliat kamu kecapean kamu malamnya pasti ga nyenyak tidurnya loh, Fey, selalu gelisah,” ucapnya begitu perhatian denganku.

“Masa sih? Perasaan aku nyenyak terus, bangun aja harus kamu bangunin kan, ya, tadi pagi?”

Dia menarikku dan mengusap-usap punggungku.

“Itu karena aku peluk semalaman jadi, ya, kamu kayak kucing yang dielus kepalanya terus pulas tidurnya.” Kucubit perutnya membuat dia mengaduh.

“Enak aja nyamain aku sama kucing,” sungutku kesal membuat dia tergelak.

Lalu mengecup pipiku dengan gemas.

“Eh eh, adegan 17 plus-plus dilarang dilakukan di sini.” Suara Radit membuat kami menoleh ke arahnya.

“Ah, sirik aja lu, Dit, tak potong gajimu, loh.”

Radit hanya menjulurkan lidahnya sambil membawa kopi hasil racikannya.

“Hust hust, Bos minggir, ini areaku, siapa pun tak boleh mengganggu harus steril,” ucapnya membuat Vian beranjak dari sisiku dan melangkah mendekati Radit.

“Jadi kesepakatan batal, nih? Katanya suruh comblangin ke Sisil?”

Radit langsung merah padam, dan menutup mulut Vian.

“Aih, Bos jangan membuka rahasia di sini, malu atuh sama mbak Aline ahhh, Bos ini,” ucapnya membuat Vian terkekeh lalu menoleh ke arahku.

“Fey, cepet selesain ya, kutunggu di ranjang,” teriaknya lalu berjalan keluar.

Tuh kan kali ini aku yang memerah karena ucapannya yang ngawur itu. Terang saja hal itu membuat Radit menyeringai ke arahku dan juga beberapa karyawan yang mendengarnya langsung tersenyum-senyum geli. Dasar suami berondong mesum.

*****

Saat menapakkan kaki ke dalam rumah aku melihat pemandangan yang nyaris tak pernah ada. Dua bersaudara itu sedang bermain catur di depan ruang tivi. Vian dan Ryan sudah akrab kembali. Rencana Ryan memang akan pulang ke Yogya besok bersama Evan. Sementara Evan sedang sibuk memberesi pakaiannya yang dimasukkan asal ke dalam koper. Itu anak selalu tak rapi. kuhampiri dirinya yang masih sibuk dan merebut beberapa baju yang masih dia lipat itu.

“Gini lho, Van, melipat baju saja tak becus dari dulu kok selalu Mbak terus, ingat besok kalau bener jadi sama Putri kamu yang kewalahan. Istri kan masih kecil ABG mana mau ngurusin kayak gini,” omelku, tapi Evan malah menyeringai lucu dan mendekapku erat.

“Ahhh, mbak Aline memang yang terbaiklah,“ rajuknya manja kebiasaannya selalu begini jika aku mengomelinya.

“Van, makanya cari istri itu yang kayak Fey, jangan anak kecil lu pacarin yang ada minta uang jajan terus,“ ejek Vian dari seberang membuat Evan memberengut.

“Dih situ kali yang suka ama tante-tante, gue mah ga doyan,“ ucapnya yang langsung kutabok lengannya.

“Jadi ngatain mbakmu tante-tante, nih?”

Evan langsung mencium pipiku. “Maap Mbak, maap ..., bukan maksud hati bilang begitu, abisnya Vian ngeselin ngejekin Evan terus, katanya pedofil gitu suka ama Putri,” ucap Evan merajuk.

“Tanya masku nih, emang lu pedofil. Ingat ga, Mas? dulu pas Putri dikenalin ke rumah, dia masih kuncir dua dan baru lulus smp,” ucap Vian yang langsung diangguki Ryan.

“Iya loh, Van, tak kira dia itu adikmu, eh ternyata pacar,”celetuk Ryan membuat Evan kembali memberengut lucu.

“Tak apalah, kan enak dapat istri muda jadi buat kita awet muda. Nah lu, Yan, jadi cepet tua kan, ya,” ucapnya membuatku meletakkan baju-bajunya asal. Kesal.

“Nih dilipat sendiri! Enak aja ngatain Mbak tua,” ucapku sambil menyodorkan beberapa pakaian pada Evan yang membuat dia langsung kelimpungan.

“Eh, mbakku sayang kok jadi ngambek,” ucapnya yang diiringi gelak tawa dari Vian dan Ryan.

Rasya baru keluar dari dalam kamar dengan tampang tak keruan. Nih, satu lagi berondong cilik yang masih ngambek.

“Sya, makan ... Mbak udah bikinin kentang tumbuk ada di dalam kulkas,” ucapku dan menghampirinya lalu mengacak rambutnya yang kini telah berganti warna lagi menjadi blonde karena merah membuat dia dikejar tantetante. Ada-ada saja kan berondong ini.

“Ahhh, cuma Mami yang peduli ama Rasya. Tuh dua orang kakak eh tiga kakak di sana adanya cuma ngejek Rasya terus,” ucapnya dan menggelendot manja di lenganku.

Vian beranjak dari duduknya dan menghampiri kami, tapi kuberi isyarat mata agar Vian kali ini tak menyuruh Rasya pergi dari sisiku.

Aku mengerti kalau Rasya manja denganku begini karena dia butuh sosok mama yang selama ini tak ditemuinya sejak dia lahir ke dunia.

Vian mengangguk mengerti melihat isyaratku.

“Mau, makan tapi disuapin Mami,“ rajuknya kali ini, membuatku tersenyum dan mengangguk.

*****

Sore ini akhirnya aku dan Vian jadi pergi ke dokter untuk memeriksakan kandunganku. Meski agak terlambat sampai tempat praktek karena tadi Rasya merengek-rengek minta ikut. Tapi berhasil ditolak oleh Vian. Itu anak kalau lagi ngambek persis anak usia 5 tahun.

“Jadi antre kan, Fey?” Vian kini mengambil brosur

ibu hamil yang ada di meja tempat mengantre.

Malam ini memang penuh sekali yang memeriksakan kandungannya.

“Tak apalah, Bee, sabar demi dekbay,” ujarku sembari mengusap perut. Vian juga mengusap perutku dengan lembut.

“Vian?“ Suara seorang wanita mengalihkan pandanganku dari perut. Dan di depan kami, wanita yang kukenal bernama Vani itu tampak anggun dan cantik tersenyum ramah ke arah kami.

“Van, ngapain di sini?” tanya Vian bingung.

“Ini tempat praktek papaku, Yan,” ucapnya yang membuatku ber-owh ria dengan Vian.

“Teteh periksa di sini juga?” tanyanya ramah ke arahku, tapi entah kenapa aku tetap tak nyaman dengannya.

Aku hanya mengangguk. Melihatku, Vian merangkul bahuku. Tampaknya ia tahu aku sedikit merasa tak nyaman.

“Owh, ya udah, met antre, ya? Aku pamit dulu, owh ya, Yan besok jangan lupa ya jadwal kita ke rumah profesor Hadi, aku jemput kau di kampus, ya?” ucapnya lalu segera melangkah pergi.

Meski biasa saja tapi kenapa aku merasa ada sesuatu dari wanita itu. Entahlah aku yang terlalu paranoid atau memang begitu.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience