3 ~] 0%

Drama Series 319

.
. .

Saat aku memasuki wilayah cafe, aku menengok ke kanan dan kiri mencari sosok Sania. Tak lama ada panggilan telfon via Line.

Sania.

"Halo, assalamualaikum," jawabku langsung.

"Wa'alaikumsalam, udah di mana Di?"

"Udah nyampe nih, kamu duduk di mana?" Aku berhenti, dan berdiri di dekat meja yang menghadap kasir.

"Kamu pake baju apa?" Sania malah bertanya balik.

"Ah, bentar," ada jeda sebentar sebelum Sania berbicara lagi padaku. "Kamu yang pakai jilbab abu-abu ya?"

"Iya, pake kerudung abu-abu," koreksiku.

Menurutku khimar atau kerudung lebih tepat dibanding jilbab, karena keduanya berbeda arti.

Tunggu ... Kok Sania tahu?
Apa dia sudah melihat keberadaanku?

Aku menengok ke kanan dan ke kiri lagi, mencari sosok Sania tapi belum juga kutemukan.

"Iya, kamu di mana?" Dari jauh pandanganku menangkap cewek berambut pendek sebahu yang sedang berdiri dan melambai tangan ke arahku, aku langsung memutuskan sambungan telpon dan berjalan ke arahnya.

"Sorry ya, lama."

Sania langsung menyambutku dengan senyum dan memeluk sekilas.
"Belum lama kok, kita. Mas Widi juga baru datang."

Aku tersenyum, senang kalau ternyata Sania orang yang ramah sesuai perkiraanku.

"Oh, iya, Di. Ini Ega sama mas Widi." Pandanganku bergeser ke samping Sania, ada dua cowok yang duduk bersebelahan sedang menatapku.

"Ini, Ega yang ganteng, Di." Ada cowok berambut ikal yang sedang tersenyum ke arahku. Aku tidak bisa menahan senyum melihat tingkah Ega yang tak berubah seperti di grup, ramah.

"Hai, Ga." Aku memilih melambaikan tangan padanya sebelum Ega berinisiatif untuk mengajak bersalaman.

Pandanganku beralih ke sebelahnya. Ada cowok berkacamata dengan raut wajah datar sedang menatapku.

Tidak, bukan datar tapi angkuh menurutku. "Widya," ucapnya singkat dengan nada malas, setelah itu ia sibuk dengan smartphone-nya.

Apa aku pernah bertemu? Rasanya wajahnya tak asing bagiku. Entahlah.

Tidak ada pilihan tempat selain aku duduk di seberang Widya dan Sania yang duduk di sebelahku. "Yang lain nggak pada bisa datang?"

"Iya, Di. Yang jadi datang kita doang akhirnya."

"Hoo," aku mengangguk pelan.

"Kamu mau pesan apa, Di? Mumpung aku sekalian mau pesan juga."

"Caramel machiato kalau ada." Aku sempat melirik menu yang tertera di belakang dinding kasir tadi, kalau ada varian kopi dan teh.

"Ada kok."

Satu jam kami bersama dihabiskan dengan membahas film, drama dan artis idola kami. Sesekali Ega akan menimpali dengan candaan.

"Aku mau ke toilet," Sania yang tiba-tiba pamit untuk pergi.

"Gue juga." disusul Ega yang ikut berpamitan juga, menyisakan aku dan Widya berdua. Aku menghela nafas pelan, kenapa kami di tinggal berdua.

Aku menengok ke arah kanan, kebetulan posisi meja kami yang berada dekat dinding kaca yang membuatku dengan mudah melihat cuaca mendung sore ini. Sepertinya akan turun hujan.

Pandanganku beralih pada makanan yang berada di atas meja, hanya ada kentang goreng, matcha ice blend yang Sania pesan, cappucino
milik Ega dan Caramel machiato pesananku, berarti hanya Widya yang tidak memesan apapun.

Aku berdeham memulai pembicaraan. "Nggak pesan sesuatu?" aku memulai pertanyaan untuk Widya.

Sebenarnya tak nyaman ditinggal berdua dengan Widya, apalagi kami tidak begitu dekat. Tapi lima menit di habiskan dalam diam juga terasa aneh tanpa ada pembicaraan apapun.

"No, thanks," ucapnya singkat, masih sibuk memainkan smartphone-nya.

Inisiatif tanya balik kenapa sih? Biar ga awkward gini?

Aku mulai gemas sendiri dengan situasi seperti ini. Lagipula kenapa Sania dan Ega lama sekali perginya.

"Berapa lama di Indo?"

"Seminggu." Yang kudenger dari Sania, Widya memang sudah bekerja di Ausie selama beberapa bulan.

"Hooo," aku mengangguk sambil berpikir pertanyaan apa yang akan aku ajukan dengan tangan yang menyomot kentang goreng di meja.

Widya memang sosok menyebalkan di grup menurutku, tapi tak kusangka jika dia semenyebalkan ini.

"Tama," aku mendengar suara wanita yang memanggil nama seseorang tak jauh dariku. Rasanya nama yang di panggil tidak asing.

"Gladis?" kulihat Widya langsung menatap ke arah belakangku.

Ah, Widya Pratama, itu nama lengkap si pria menyebalkan ini. Aku baru ingat, pantas namanya tidak asing, karena aku pernah melihatnya di note grup.

Derap langkah seorang wanita saat memakai heels mulai terdengar mendekat. "Kamu sudah balik ke Indo?" Widya hanya jawab dengan anggukan kepala. "Kenapa nggak kasih kabar?"

"Eum ...," aku seperti melihat Widya yang bingung mencari alasan; seperti berpikir. Ekspresinya kenapa jadi berubah, tadi begitu angkuh dan percaya diri, tapi sekarang malah terlihat bingung.

Apa cewek ini temannya? Atau mantannya?

"Ada seseorang yang harus ditemui dulu, jadi aku lupa ngabarin kamu."

Aku?

Sebentar ... Berarti benar jika cewek ini adalah orang yang spesial, atau mungkin mantannya. Ah, tapi tidak penting juga denganku.

Aku kembali menyomot kentang goreng di meja, mending makan daripada mendengarkan orang yang lagi nostalgila kayaknya.

"Maksud kamu?" Kali ini wanita ini mendekat, tepat berdiri di sebelahku. "Kamu sudah ...," ucapannya yang menggantung seolah sedang bertanya.

"Dia," wajah Widya seolah menunjuk ke arahku. "Dia calon istri aku."

Uhuk.

Ini seriusan batuk, rasanya kentang goreng yang aku kunyah seperti tersumbat ke hidung dan juga menyangkut di tenggorokan secara bersamaan.

Widya silauan.

Kalau mau ngajak nge-drama kenapa tak bilang-bilang.

"Kamu kenapa sayang?" Widya menyodorkan segelas caramel machiato yang aku pesan tadi.

Sayang?

"Minum dulu, nih." Mimpi apa semalam liat aktor tampan pintar akting begini? Ingatkan aku untuk minta sign-nya nanti setelah selesai kopdar. Sign untuk minta cek karna diajak main drama dadakan begini.

Baru aku menyeruput sedikit, aku langsung berjengit, karena caramel machiato masih terlalu panas untuk diminum.

Niat menolong tidak sih Widya ini?

Widya menyambar minuman Sania untuk diberikan kepadaku. Setelah minum beberapa tengguk, batuknya segera reda. "Makanya kalau makan pelan-pelan, Yang."

Yang?

Mendengar empat huruf ini membuat tenggorokanku tambah gatal.

"Oh, gitu," suara wanita itu terdengar kecewa.

Saat itu aku tak sadar kalau wanita teman Widya sedang memperhatikanku sejak tadi dengan wajah tak ramah. Pandangannya seolah menilai saat aku meliriknya sebentar.

Cantik, dengan rambut coklat panjang ikalnya yang menjuntai melebihi bahu. Kulitnya putih mulus, yang terlihat jelas dari blouse tanpa lengan yang di pakainya.

"Kenapa aku nggak pernah dengar kabarnya dari tante Tami?"

"Perlu? Kamu cuma teman."

"Jadi kita cuma teman?"

"Perlu diperjelaskah?" Mata wanita itu tampak memerah berkaca-kaca, entah menahan marah atau terlampau sedih.

"Tama, aku dan Helbi akan bercerai. Aku pikir kamu mau menunggu aku sampai saat itu."

Ekspresi Widya tidak berubah. "Sekarang kita cuma berteman, Dis. Jangan pernah berharap lebih."

Wanita itu diam. "Aku nggak sebaik yang kamu kira, Gladis. Aku nggak sebaik malaikat yang mau memaafkan apa yang sudah kalian lakukan."

Well, dramanya masih berlanjut ternyata saudara-saudara. Kalau tahu begini lebih baik aku ikut pergi ke toilet tadi.

"Tapi, Tam. Aku masih cinta sama kamu."

"Sebaiknya kamu pergi sekarang, saya nggak mau kalau ...," Widya sekilas menatapku. "Didi, salah paham dengan hubungan kita."

Wanita itu sekilas menatapku dengan pandangan tajam sebelum pergi meninggalkan kami.

"You're welcome," ucapku datar sambil ngangkat cangkir yang berisi caramel machiato.

Setelah kepergian wanita tadi, Widya langsung diam, tidak merasa bersalah sama sekali dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.

Asem 'kan?
Inginku melempar gelas.

"Sebagai teman saya merasa tersanjung bisa membantu."

Well, kalau Widya pintar, seharusnya dia mengerti ucapan sarkasku yang menyindirnya karena tiba-tiba dia menyeretku dalam masalah pribadinya. Jelas, itu sangat mengganggu.

Tapi Widya diam, hanya melirikku sekilas dengan tatapan kesal lalu sibuk dengan smartphone-nya.

Diam saja ya? Oke, aku akan bicara lagi.

"Tenang aja, hidup saya nyaman kok, nggak punya masalah berat seperti kamu. Jadi kalau ditambah sedikit masalah dari kamu bukan hal besar." Aku menyinggungkan senyum, antara kesal dan mengejek. "Jadi santai aja."

Widya meletakan smartphone-nya dan pandangannya menatap ke arahku. Lama Widya diam sambil menatapku sampai aku merasa risih dan tak nyaman.

"Kenapa?"

Widya menggeleng pelan. "Harusnya kamu senang dong, ada seseorang yang setidaknya mau merendahkan dirinya untuk mengakui kamu sebagai calon istri."

Ha?

Ini orang nyata kan? Masih napak di bumi? Ada ya yang narsis seperti ini?

Kalian harus tahu, wajah Widya itu saat bicara tadi benar-benar datar, seperti sedang membicarakan cuaca hari ini yang tidak begitu menarik, benar-benar nyeselin.

"Kamu sehat?"

"Menurut kamu sehat nggak?"

"Enggak."

Lo sakit! geramku dalam hati.

Beberapa detik kemudian Widya tertawa pelan membuat kenyitan di keningku muncul.

Gila ya nih orang? Nggak ada yang lucu padahal.

Kali ini tawanya berganti senyuman tipis dibibirnya. "Jangan kegeeran ya, saya cuma pinjam nama kamu."

"Minjam gimana maksudnya?"

"Ya, gitu, cuma asal nyebut."

"Eh, itu bukan asal nyebut aja. Secara nggak langsung, kamu udah paksa saya untuk ikut masalah kalian."

Widya mengangkat bahu acuh, "jangan terlalu berlebihan lah mikirnya." Lalu tiba-tiba seringaiannya muncul, "atau kamu memang mengharapkan itu terjadi?"

Apa-apaan sih ini orang?

"Pasti rasanya senang ya, diakui sebagai calon istri dengan orang tampan seperti saya."

Bibir terbuka sedikit, bersiap mengatakan sesuatu, tapi Widya lebih dulu memotongnya. "Tapi maaf, kamu bukan tipe saya."

"Wow!" dalam hati aku beristigfar, mencoba untuk menahan kekesalan.

"Asumsi yang luar biasa ngasal." Rasa jengkel tidak bisa kusembunyikan lagi. "Siapa juga yang mau sama orang sakit jiwa?"

Dibanding dengan tersingung karena kata-kataku, raut wajah Widya malah terlihat senang, seperti telah mendapatkan sesuatu yang menarik.

"Kalau dipikir ... Siapa yang lebih sakit jiwa, seseorang yang menghina pria tampan dan bilang dia sakit jiwa?"

Ya robbi, ini orang dari planet mana sih? Balikin please ke tempat asalnya.

"Lagipula kalau saya mau, ucapan kamu tadi saya rekam, dan saya bisa perkarakan kamu dengan pasal tentang fitnah dan penghinaan."

Wah, nggak bener nih!

Kenapa dia playing victim begini? Yang sepantasnya kesal itu aku.

Alisnya naik sebelah seraya menatapku. "Kenapa diam aja? Menyesal ya? Kalau kamu mau minta maaf sekarang, saya maafin kok."

Aku mendengus kesal. "Nggak ngaca? Nggak sadar di sini siapa yang salah?"

"Loh, salah saya di mana?" ujarnya santai.

"Salah kamu?" Aku menatapnya tajam sementara Widya menunggu dalam diam, "saya nggak suka di sangkut pautin masalah kamu. Lagian saya cuma bilang sakit jiwa."

"Nah itu, kamu ngina saya lagi."

"Tolong di dengar ya pak Widya, saya nggak nyebut secara spesifik nama orang."

"Kamu itu ada di depan saya, otomatis kata itu ditujukan untuk saya dong."

"Sebentar ... Sebentar, seharusnya yang kesal dan merasa tersingung itu saya di sini."

"Loh, memang ada kata saya yang mengina kamu?"

"Ya memang ng---"

"Coba ya diteliti lagi kata-kata saya dari awal," Widya menyela ucapanku. "Memangnya ada kata-kata saya yang menghina." Bibirnya mengukir senyum tipis, tapi bagiku seolah sedang mengejek. "Makanya ya mba, kalau mau protes itu dipikir dulu, otak yang jalan, jangan emosi yang di dulukan."

Bibirku sudah merapat menahan gemas, sementara tanganku bergerak untuk mengambil gelas berisi minuman Sania yang masih terisi setengah dan berniat menyiramkan isinya pada cowok menyebalkan di depanku. Tapi terhenti saat Sania datang tiba-tiba dan berkata. "Kalian berdua kenapa sih?"

***

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience