Bab 56

Romance Completed 25593

BAB 56

Hidup itu memang selalu ada keseimbangannya, dan semua tak ada yang sempurna. Seperti perjalanan kehidupanku, meski sempat rapuh saat bunda meninggalkanku dan Evan. Tapi balasannya aku dan Evan mendapatkan kasih sayang yang begitu berlipat ganda.

Mama dan papa akhirnya mengangkat Evan sebagai anak mereka. Awalnya aku dan Evan menolak, tapi mama memaksa dan mengatakan Evan masih harus butuh kasih sayang kedua orang tua yang lengkap. Vian pun sangat setuju dengan Mama. Papa juga sangat senang, Evan disuruh tinggal di rumah keluarga Atmawijaya, menemani mama dan papa. Sedangkan Ryan sendiri terbang ke Amerika untuk melanjutkan pendidikannya. Entahlah setelah ditinggal Fransisca ke Paris hubungan mereka memang tak ada yang tahu. Padahal status perkawinan mereka masih sama.

Aku mengikuti Vian kembali ke Bandung, meski berat meninggalkan rumah, tapi aku tak boleh egois. Vian baru saja meniti kariernya di Bandung dan baru saja mengambil spesialisnya. Dia mengambil spesialis Ortodonsia yang mengharuskannya untuk menempuh pendidikan selama kurang lebih 10 semester. Dan juga mengelola café di Bandung yang memang semakin hari semakin berkembang.

Rumah bunda di Yogya kutitipkan kepada bude yang merupakan kakak kandung bunda satu-satunya. Di sana bude dan pakde menempatinya hanya berdua karena kedua anaknya sudah berumah tangga sendiri.

Tapi Vian memaksa Rasya untuk mulai mengelola café, karena setelah lulus nanti mungkin kami akan kembali ke Yogya.Papa menginginkan Vian mengurus rumah sakitnya. Maka dari itu selain menempuh pendidikan spesialis, Vian juga berencana mengambil program magister manajemen rumah sakit (MMR). Entahlah aku pusing membayangkan otaknya harus terus diperas buat belajar.

Rasya sendiri antusias belajar mengurus café karena sesuai dengan pendidikannya yaitu manajemen bisnis.

*****

“Fey, kamu mau ke mana?” Vian mengamatiku dari atas sampai bawah. Bingung melihat penampilanku saat ini.

“Aku mau lihat pertandingan softball, Bee, Rasya kan yang jadi pelatihnya.”

Vian langsung mendekat dan mengusap perutku yang benar-benar sudah membuncit ini. Yup, usia kandunganku sudah menginjak 9 bulan, bahkan menurut dokter detik-detik menjelang kelahiran. Tapi semakin ke sini kecintaanku akan softball makin menjadi-jadi. Pernah aku merengek-rengek pada Rasya untuk membawanya melihat pertandingan anak didiknya.

“Eh, Fey tak boleh ke mana-mana, ini sudah mendekati hari kelahiran, kenapa tak di rumah saja?” Vian melepaskan jaket yang dipakainya. Dia baru pulang dari kampus.

“Mamiiiiii ...yuuuukkk!“ Rasya sudah berdiri di sampingku dengan semangatnya.

“Tak boleh, kau jangan macam-macam, ya, Sya, kemarin saja sehabis kau bawa Fey pulangnya dia mengalami kontraksi, tak boleh! Fey harus di rumah.“ Tuh kan, sifatnya yang over protective mulai lagi deh.

“Tuh Miiiii, kan Rasya udah bilang buat pergi dari tadi, nah keburu kak Vian pulang, kan?” bisik Rasya di telingaku.

“Eh itu apaan bisik-bisik, udah sana pergi sendiri!” Vian menatap galak ke arah Rasya.

“Bee, demi dekbay ya ya ya?“ Aku mengedip-kedipkan mata ke arah Vian mencoba merayunya.


“Jangan merayu, dan itu matanya kenapa? Kelilipan?” ucap Vian membuat Rasya seketika terkekeh geli.

“Diiihh Bee galak deh, pokoknya liat pertandingan sekarang, kan nanti Rasya menjanjikan juga mau menjadikanku pitcher tamu.”

Mata Vian seketika membelalak mendengar ucapanku.

“Eh eh apa itu menonton saja tak boleh kok mau jadi pitcher ini tak malu ama perut apa Fey? Sudah Sya, sana hust hust lu pergi ... sana!” usirnya ke arah Rasya yang langsung berlari sebelum terkena terkaman Vian.

“Mamiiiiii, nanti aku videoin aja yaaaa,” teriak Rasya, sebelum masuk ke dalam mobilnya.

Kutatap Vian dengan kesal, lalu membuka topi yang sedari tadi melindungiku. Tapi dia menyeringai geli ke arahku, karena berhasil mencegahku menonton pertandingan.

“Lebih baik kupijitin deh itu kakinya biar relax ya ya, Fey,” ucapnya merajuk. Mendengar itu aku langsung antusias, lah gimana lagi pijatannya itu benar-benar enak.

*****

“Cieee calon dokter gigi kok mijitin ibu hamil,” celetuk Radit yang tengah meletakkan pancake strawberry pesananku di atas meja. Kami memang sekarang sedang berada di dalam café, duduk di sofa yang ada di depan pantry dengan kakiku menopang di atas paha Vian. Da memijatku dengan telaten, manis kan, ya.

“Aku ini suami serba bisa, Dit. Yang penting bisa memuaskan istri,” celetuknya membuatku langsung mencubit perutnya.

“Mulut tuh mulut dijaga,” ucapku ke arah Vian membuatnya tergelak dan kini melirik ke arah Radit.

“Bos ini bikin iri aja, lah sayanya juga mau mijit- mijit tapi tak ada yang dipijit terus gimana coba?” Radit ikut duduk di depan kami.

“Lah kamunya yang tak maju-maju. Udah berapa cewek tuh yang aku ajuin?”

Radit menjulurkan lidahnya ke arah Vian.

“Maunya yang kayak mbak Aline gitu, pinter buat kue.” Ucapan Radit terang aja membuat Vian langsung melemparkan tisu ke arah Radit.

“Mau tuh aku potong gajinya?”

Dan Radit pun tertawa puas setelah berhasil menggoda bosnya ini.

“Udah, Bee, cuma Radit ini, ehm Bee, coba deh rasain kok dari semalem dekbaynya anteng. ya, biasanya juga udah bergerak-gerak kan, ya?”

Kutarik tangan Vian untuk menyentuh perutku. Tak biasanya memang, kalau sudah diusap atau dinyanyikan lagu sama Vian dekbaynya langsung bereaksi.

“Ehm anteng ya dari semalam, sehari ini juga belum, ya, Fey?”

Kugelengkan kepalaku, lalu teringat omongan dokter Ratna kalau bayi akan lahir seharian bisa dia tak bergerak karena sudah berada di posisi jalannya.

“Bee ... jangan-jangan dia akan lahir sekarang?” Seketika Vian langsung menatapku panik.

“Lah Radiiiittt, Dimaaasss,“ teriaknya panik membuatku bingung.

Dua orang yang dipanggil langsung tergopoh-gopoh.

“Apa Boss????” teriak mereka berdua.

“Siapkan mobil, ya, Dit, temani aku bawa Fey ke rumah sakit,” ucapnya membuatku terkekeh geli.

“Hey, Bee, aku cuma bilang mungkin mau lahir, tapi bukan sekarang.”

Vian menoleh ke arahku, ”Kan tak apa-apa, Fey” ucapnya.

“Aku belum merasakan apapun, Bee, cuma dekbaynya udah anteng begini, bisa saja baru nanti malam, atau besok lahirnya.”

Vian mengusap perutku lagi. Dimas dan Radit masih berdiri bingung di depanku dan Vian.

“Jadi gimana ni, Bos?” Radit mengacungkan spatula yang dipegangnya itu.

“Tak jadi, kembali sana!” perintah Vian membuat Dimas dan Radit menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Bos, relax-lah jangan panik gitu, ya, mbak Alinenya aja masih tenang-tenang, kok,” teriak Radit yang langsung kembali ke arah pantry diikuti Dimas.

“Dasar, belum merasakan mau menjadi ayah, sih!” Vian kini kembali mengusap-usap perutku, tapi tiba-tiba memegang perutnya.

“Eh, Bee, ada apa?” Kulihat wajahnya meringis menahan sakit dan memegang perutnya.

“Awwhhhh, Fey, ini kenapa, ya? Awhhh, Fey ... kenapa sakit begini perutku?” rintihnya.

Kutatap bingung Vian yang masih memegangi perutnya itu.

“Mulas atau gimana, Bee?”

Dia menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Ini seperti diremas-remas,” erangnya lagi.

Haaahhh!!! Suamiku kesakitan atau dia yang mengalami kontraksi???

*****

Benar, kan? Itu kontraksi, sesaat setelah Vian kesakitan dan mengaduh karena perutnya yang katanya seperti diremas-remas itu, aku pun merasakan basah di bagian rok yang kupakai, dan sepertinya ketubanku mulai pecah.

Panik, satu kata itu yang menderaku. Setelah merasakan ketuban pecah, meski belum tahu pasti, aku pun memberitahu Vian meski dia juga mengaduh.

Lucu bukan, aku tak merasakan sakit atau apapun, bahkan aku masih bisa berjalan saat kami menuju mobil, malah Vian yang dipapah oleh Dimas dan Andi, salah satu karyawan café. Sedangkan Radit yang kini sudah berada di balik kemudi, masih menatapku dan Vian tak percaya. “Mbak, beneran ga ngerasain apa-apa?” tanyanya saat aku sudah duduk di samping Vian yang kali ini terus memegangi perutnya itu.

“Enggak.”

Radit menggeleng-gelengkan kepalanya lalu melirik Vian.

“Bos, beneran kesakitan?” tanyanya masih tak percaya dan seketika mendapat lemparan bantal jok dari Vian.

“Berisik lu, buruan ke rumah sakit, mau ni anak lahir di sini?” Vian berucap galak.

“Iyeeeeee deh, Bos, siaaappp.”

Akhirnya Radit segera melajukan mobilnya menembus keramaian kota Bandung ini menuju rumah sakit.

*****

“Udah bukaan 7, Line” dokter Ratna, dokter yang selama ini memeriksaku berjalan ke sisi ranjangku setelah memeriksa kandunganku. Ia memberitahu beberapa perawat untuk menyiapkan semuanya.

Vian di sampingku masih menggenggam jemari erat dan meringis kesakitan. Aku pun merasa iba menatapnya, sedangkan aku sendiri masih merasa biasa-biasa saja.

“Bee, kamu tiduran aja!” Kuusap keningnya yang berkeringat dingin itu.

Dia menggelengkan kepalanya, ”Aku ingin menemanimu, Fey, melihat buah hati kita terlahir,” bisiknya lirih.

“Aline beneran tak merasakan kontraksi?” Kini dokter Ratna menatapku yang masih tampak segar ini padahal tinggal 3 bukaan lagi.

“Vian dok, yang kesakitan,” ucapku dan menunjuk suamiku itu yang tersenyum masam sambil memegang perutnya.

Dokter Ratna tersenyum, “Ehm kasus langka ini, tapi memang ada sih yang seperti ini kadang suami yang kontraksi, biar para lelaki tahu ya, Line, kalau melahirkan itu enaaakkk rasanya,” ucap dokter Ratna membuat Vian megangguk-angguk sambil meringis.

“Wajahnya jangan kayak gitu dong, nanti ga tampan lagi,” ucap dokter Ratna, membuat Vian tersenyum meski terpaksa.

Dokter Ratna memang sangat akrab denganku dan Vian. Orangnya supel dan mudah bergaul dengan pasiennya, membuat kami jadi seperti teman daripada dengan dokter.

Dokter Ratna kembali memeriksa detak jantungku, dan kini memeriksa posisi janin.

“Aline, mantap kan melahirkan normal? Lagipula kondisi Aline memungkinkan kok untuk melahirkan normal.”

Aku mengangguk diikuti Vian yang juga mengiyakan, mencoba menguatkan hati. Meski ada sedikit takut menyelinap, tapi ini kan kodrat wanita harus dijalani.

*****

“Fey, udah tak sakit lagi,” bisik Vian ke arahku.

Dokter Ratna sudah sibuk menyiapkan peralatan untuk kelahiran. Pembukaanku lumayan cepat, setiap 30 menit makin bertambah, dan kini sudah bukaan penuh.

“Awwhhhh ..., Beeeeeee!” Aku menjerit saat tiba-tiba ada rasa sakit menyelinap di perutku.

Dokter Ratna menghampiriku, ”Tarik napas, jangan mengejan dulu, Line, semuanya siap kan?” Dokter Ratna memanggil perawatnya.

Rasa sakit terus mendera, kurasakan Vian menggenggam erat jemariku dan membacakan doa di telingaku.

“Awwwhhhh, dok ... saaakiiittttt!” teriakku lagi, entah apa ini tapi tak bisa kuungkapkan. Kupukul-pukul tangan Vian, entahlah aku juga tak sadar, tapi aku bisa mengerti saat Vian menggenggam jemariku erat.

“Fey, berdoa Fey,” bisiknya.

Dokter Ratna membuka kakiku, posisiku sudah siap untuk melahirkan. Salah satu suster juga berada di sampingku.

“Sekarang, Line, harus mengejan menggunakan napas, ya, jangan hanya suara ok, ayo, Aline!”

Aku pun mengejan dengan sekuat tenaga, tapi rasanya napasku tak kuat. Kucakar tangan Vian untuk mencari kekuatan tapi akhirnya aku tak bisa meneruskan lagi.

“Tak apa-apa tarik napas dulu, istirahat nanti kalau sudah terasa lagi, baru mengejan lagi, ya,” ucap dokter Ratna memberi instruksi.

“Fey!” Sempat kulihat wajah Vian pucat pasi. Dia mengecup keningku, ”kalau tak kuat operasi saja, ya?”

Aku pun menggeleng dan tiba-tiba rasa itu kembali terasa. Aku kembali mengejan, kali ini lebih kuat, dokter Ratna membantuku, Vian menggenggam jemariku lebih kuat.

“Awwwhhhhhhhh ....” Napasku tak kuat lagi, dokter Ratna seperti mengecek posisi janin lagi.

Aku sudah lemas, tapi rasanya seperti ini. Benarkah aku tak kuat untuk melahirkan normal?

“Line, jangan diangkat, ya, pinggulnya? Nanti takut ada robekan jadi ditahan, ya, kakinya.”

Ucapan dokter Ratna hanya bisa kucerna sedikit, karena tiba-tiba aku sudah mengejan lagi kali ini aku lebih kuat dan sekuat tenaga.

“Ayuk, Line, terus Line, terus. Kepalanya sudah terlihat, yaaa ..., begitu terus!” Ucapan dokter Ratna membuatku mengejan lebih kuat meski napas sudah tak kuat lagi. Dan ketika kudengar tangis bayi, yang sangat nyaring menyeruak di telingaku, aku pun bisa, bernapas lega.

“Selamat! Bayinya cowok, ganteng kayak papanya.” Ucapan dokter Ratna, dan kecupan panjang di keningku membuatku merasa lega. Dokter Ratna membawa bayi kami dan langsung meletakkan di atas dadaku. Inisiasi Dini, agar bayi bisa langsung menemukan puting susu ibunya untuk meminum asi. Bayi yang begitu mungil ini, sekarang sedang mencari-carinya. Haru menyeruak, hatiku terasa menghangat. Beberapa saat kemudian kudengar lantunan adzan dari Vian. Akhirnya bayi kami sempurna lahir di dunia ini.

*****

“Fey, hey ... jangan tidur, ya.” Bisikan Vian di telinga membuatku tersadar kembali dari rasa kantuk yang mendera. Tubuhku terasa sangat ringan dan tipis, lemas terasa dan rasa kantuk yang sangat kini menghinggapiku.

Bayi kami sudah dimandikan dan sekarang berada di ruangan bayi. Aku sendiri sudah bersih dan sudah berganti baju, Vian mengusap-usap keningku.

“Minum susu, ya, buat kekuatan?” ucapnya lagi lalu mengambil segelas susu hangat yang sudah disiapkan.

Aku menerimanya dan menyesapnya sedikit.

“Aku ngantuk, Bee, boleh, ya tidur?”

Vian menggelengkan kepalanya, ”Tak boleh. Kata dokter Ratna Fey tak boleh tidur, makan dan minum dulu, ya?”

Kutatap wajahnya yang tampak pucat itu tapi kini ada binar bahagia dia wajahnya. Tapi ketika kutatap lengannya, ada gurat-gurat seperti terkena cakaran di sana.

“Eh ini kenapa?”

Vian melihat lengannya dan tersenyum. “Hasil karya istriku tercinta.”

Aku pun membelalak terkejut mendengarnya.

“Maaf ya, aku tak bermaksud melukaimu.” Vian tersenyum lalu mengecup bibirku sekilas, ”Ini tak berarti dibanding perjuanganmu bertaruh nyawa. Terima kasih ya, sudah menyelamatkan buah hati kita dan juga tetap bertahan sampai sekarang. Tadi aku sudah kalut saat melihatmu tak kuat, tapi alhamdulilah, Fey bisa, ya, padahal bayi kita termasuk besar 3,5 kg, Fey.”

Aku mengangguk dan menangis haru, ”Aku juga tak menyangka, Bee, bisa melahirkan dengan normal.”

Vian mengusap wajahku dan kini mengecup bibirku lagi kali ini lebih dalam dan lama.

“Eeehhhhhhh tak boleh mesuuumm, yaaaaa,” teriakan Rasya dari arah pintu membuat ciuman kami terputus.

“Duuuhhh ganggu lu.” Vian menatap Rasya, dan diikuti Radit yang sudah melangkah ke arah kami.

“Ahhhhh, Mamiiiiiii, dedeknya cowok, yaaaa, wuaahhh Rasya kecewa padahal Rasya pengennya cewek, kan biar jadi calon Rasya gitu,” celetukan Rasya membuat Vian langsung menjitak anak itu.

“Enak aja! Maksudnya apa itu?”

“Hehehehe ... kak Vian buat lagi aja, gih, kali ini

Rasya pesen yang cewek ya ya ya?!”

“Enak aja lu, lu pikir rainbowcake apa, bisa lu pesenpesen.” Celetukan Vian sukses membuat aku, Rasya dan Radit tergelak.

Rasya melangkah ke arahku dan mengecup pipiku, ”Mi selamat yaaa, Mami hebat,” ucapnya tulus yang langsung kuangguki.

“Heeehhh minggir, masih aja cari kesempatan.” Vian mendorong tubuh Rasya membuat bocah itu memberengut.

“Namanya siapa, ya?” Ucapan Radit yang kali ini membuatku dan Vian saling bertatapan. Duh, benar juga kenapa aku dan Vian lupa mencarikan nama, ya?

*****

Hidup itu memang adil, seperti baru kemarin saat bunda meninggal, dan kesedihan itu masih sangat terasa. Tapi seperti awal dulu di mana hidupku menunggu sia-sia, menanti cinta semu yang tak pernah hadir, munculah Vian, sebagai pengobatnya.

Saat ini penawar kesedihanku akhirnya terlahir sudah. malaikat kecilku, buah cinta kami berdua.

“DEVANO KAVIAL ATMAWIJAYA”

Akhirnya setelah bingung ngubek-ubek internet, cari di mbah google, beli buku nama-nama bayi, tanya ke sana kemari, sampai beli buku primbon segala—nah loh kagak nyambung kan jadinya— itu dua berondong, eh bukan bukan, 3 berondong yang sibuk nyariin nama buat jagoan kecilku ini, mini bodyanguard-ku ini. Vian, suamiku tercinta, Rasya, si berondong unyu- unyu dan juga Evan, adikku yang setelah mendengar aku melahirkan langsung terbang ke sini, dengan mama dan papa yang telah menjadi orang tua angkatnya. Akhirnya tercetuslah nama itu, yang aku sendiri juga tak tahu artinya apa, cuma kata suamiku itu juga tak jauh-jauh dari namaku dan juga namanya digabung- gabungin gitu. Aneh kan? Absurd juga, tapi bagus. Horeeeee, buah hati mommy akhirnya mempunyai nama juga.

Kutatap bahagia, sekarang sudah 36 hari sejak si kecil menghirup udara di dunia ini. Dan sekarang sedang diadakan acara selamatan, kalau kata orang jawa selapanan buat si kecil. Tadi sudah digelar pengajian dan pemotongan pertama rambut dedek Kavi, kini Kavi nampaknya sudah tertidur pulas dalam gendongan mama. Aku pun dari pagi tadi belum sempat menggendong Kavi selain untuk menyusui, setelah itu bayi mungil milikku itu sudah berpindah-pindah tangan. Semua keluarga memang akhirnya berkumpul di sini.

Om Dewa dan tante Rani, serta si kecil, Nayla pun juga ikut ke sini. Nayla sangat lucu dan sedari datang tadi mengekori Kavi ke mana pun bahkan balita itu menciumi pipi Kavi dengan gemas. Like brother like sister ... replika Rasya adiknya ini.

“Halo Mommy.“ Suara khas yang selama ini menghilang dari kehidupanku hadir kembali.

Kutolehkan tubuhku dan kutemukan Ryan yang telah berdiri dengan tampannya. Yup, pria ini makin terlihat tampan dan dewasa setelah kepergiannya untuk menuntut ilmu kembali ke Amerika. Wajahnya sudah lebih berisi dan bersih, tak seperti saat kepergiannya dulu yang begitu “Pakde Ryan, apa kabar?”

Dia terkekeh dengan panggilanku yang membahasakannya untuk Kavi.

Ryan mengambil duduk di sebelahku, di mana aku memang sedang duduk di sofa panjang di taman belakang rumah om Dewa ini. Acara baru saja selesai dan semuanya memang sedang mengadakan pesta barbekyu sendiri, ide berondong-berondong yang dipimpin oleh Rasya yang sekarang berambut biru itu. Duh, rambut kok kayak burung gitu.

“Aku sudah pantas ya, dipanggil pakde?” Dia menoleh ke arahku dan tersenyum tulus.

“Udah tua Yan, inget umur harusnya udah gendong baby juga, jangan kalah sama adikmu dong.”

Tiba-tiba tepukan lembut mendarat di rambutku.

“Dih ini adik ipar sudah bisa mengejek, ya?” celetuknya lalu terkekeh lagi. Tapi kemudian kulihat dia menghela napasnya. Tatapan matanya beralih ke arah depan di mana semuanya sedang berkumpul.

“Ada apa? Bukankah Sisca masih istrimu yang sah, Yan? Ayolah kejarlah dia lagi, jangan seperti ini, kau lari ke Amerika, Sisca ke Paris, berdamailah dengan hatimu, Yan.” Ucapanku membuat tubuh Ryan menegang, lalu menatapku dengan tatapan yang tak bisa kuartikan.

“Aku ke Amerika bukan untuk menghindari Sisca. Asal kau tahu Sisca sudah melayangkan gugatan cerainya, kemarin saat aku akan pulang. Entahlah, mungkin kami akan segera bercerai,” ucapnya membuatku terhenyak. Semudah itukah Sisca melepaskan Ryan, setelah perjuangannya selama ini?

“Yan, kenapa? Ada apa dengan Sisca? Dia menyerah?” tanyaku tak percaya.

Ryan tersenyum tipis ke arahku,

“Bukan dia yang menyerah, tapi aku menyerah, aku yang menyerah dengan semuanya, dia memintaku untuk melupakanmu dan mencintainya, tapi aku tak bisa, Line, tak bisa.“

Jantungku berdegup kencang mendengar ucapannya. Masihkah???

Tapi kemudian dia terkekeh dan mengacak rambutku.

“Apa? Terkejut dengan pernyataanku? Tenanglah, aku tak akan mengganggumu lagi, aku bahagia melihatmu bahagia begini, tulus, Line. Aku juga senang kau bisa membahagiakan Vian, bahkan Evan juga membuat bahagia mama dan papa, benar aku bahagia memiliki keluarga seperti ini. Hanya saja, aku perlu waktu, Line. Makanya aku memutuskan untuk menyingkir dari sini, ke Amerika. Siapa tahu di sana aku bisa mendapatkan bule yang lebih cantik darimu. Yang bisa membuat hatiku ini bergetar lagi seperti saat denganmu.”

Ucapannya benar-benar membuatku trenyuh, tapi

kemudian aku mencibir dan menjitak kepalanya. “Ya, udah sana cari bule yang seksi, ya.”

Dia tersenyum sembari mengacak rambutku lagi.

“Semoga ada bule yang mirip denganmu ya, Line.”

Tuh kan, kenapa lagi-lagi balik ke aku. Suara tangisan Kavi membuatku menoleh,

“Mbak Aline, ni Kavi nangis karena terus diciumin ama Nayla sama Rasya juga.” Aku tersenyum mendengarnya. Aku beranjak dan meminta Kavi lalu menenangkannya. wajah Kavi sudah memerah kalau menangis karena kulitnya yang putih itu persis dengan Vian.

“Mamiiiii, maapin Rasya sama Nayla, ya,” Rasya sudah menghampiriku dengan menggendong Nayla yang tampak menangis.

“Eh, Kak Nay, kenapa menangis?” Kucium pipinya yang chubby itu.

“Nay takut Liat Kavi nangis karena dia merasa bersalah,” jelas Rasya sambil menciumi pipi Nayla.

Kuhapus air matanya, ”Kak Nay ga salah, kok, tapi dek Kavinya harus bobok dulu, ya? Kak Nay juga, ya.” Kucium lagi pipinya, membuat dia mengangguk lucu.

*****

“Fey.” Kurasakan pelukan hangat di punggungku

sesaat setelah aku baru saja menidurkan Kavi di box bayi.

“Sudah selesai?”

Kuusap lembut pipinya yang kini menempel di pipiku. Dagunya sudah menempel di bahuku. Lelakiku ini lelah, karena seharian ini mempersiapkan semuanya sendiri. Belum lagi café juga mulai ramai. Tak ayal Vian juga harus ikut turun tangan, belum lagi kesibukannya kuliah. Bahkan dia masih bisa merawat Kavi dengan sepenuh hati, karena aku pun masih dalam proses pemulihan pasca melahirkan.

Vian hanya mengangguk tapi makin memelukku erat.

“Sudah sholat isya?”

Dia hanya kembali mengangguk.

“Ya udah tidur, yuk.” Vian menggelengkan kepalanya membuatku mengernyit.

“Kangen,“ rajuknya manja dan berbisik lembut di telingaku mengirimkan gelenyar panas di sekujur tubuhku.

“Eh, aku kan masih dalam masa nifas.”

Terdengar kekehan dari mulutnya itu, lalu membalikkan badanku dan mengecup gemas pipiku.

“Dih siapa yang pengen? Hayo orang aku cuma bilang kangen? Fey ngaku, pengen kan?”

Nah loh kenapa jadi aku kini yang kena? Kutepuk keningku sendiri dan mendorong tubuhnya.

“Sudah ah, yuk, bobok, nanti Kavi pasti bangun minta susu.”

Tiba-tiba kakiku terangkat dan tubuhku sudah berada dalam gendongannya.

“Mau ngapain coba?” tanyaku bingung saat Vian melangkah ke arah kasur dan membaringkanku lalu mendekapku erat.

“Bee.”

“Husstt diamlah, aku hanya ingin memelukmu, Fey.

Aku kangen, mumpung Kavi lagi bobok, ya.” Kubalikkan tubuhku dan mencubit hidungnya.

“Manjaaaaaaa, siapa yang dekbay sekarang?”

Vian langsung terkekeh dan mengecup puncak kepalaku.

“Aku kan juga masih dekbay.“

“Ingat, ingat, dah jadi daddy sekarang.” Kutepuk lembut rambutnya yang berwarna pirang asli itu.

“Mommy and daddy dunks ya, sekarang.” Dekapannya makin erat dan kurasakan dia mengecup pucuk kepalaku berkali-kali.

“Fey, i love you.” Bisikannya membuat hatiku menghangat.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience