6. Another Soul

Horror & Thriller Completed 8081

Aku melihatnya jelas pada saat itu, tubuh kecilnya yang terkulai lemas tidak berdaya. Kejadian ini menjadi sebuah rekaman di pikiran ku yang tidak akan pernah rusak. Alur kehidupan ku seakan sudah lepas dari jalurnya, dimana seorang pun tidak akan bisa menyambung kan jalur yang terputus itu. Sepanjang perjalanan pulang, aku tidak mengerti bagaimana caranya aku akan tetap mengatur rangkaian alur cerita kehidupan ku jika aku tetap memilih untuk bertahan. Pertanyaan itu selalu muncul dari benakku, seakan menghantui keseharianku.

Bunyi pintu terbuka. "Kenapa kau masih disini?, bukannya aku sudah menyuruhmu untuk pergi!" tegasku.

"Aku harus tetap berada disini, ibumu sudah memberikan perintah itu".

"Kalau begitu, bagaimana jika perintah itu sekarang sudah menjadi perintah ku. Karena ini rumahku, ini kehidupan ku, dan kau tidak berhak mengaturku" bentakku.

"Ibumu menginginkan ku tetap disini" ucap paksa wanita tua itu.

Bunyi pintu terbuka melebar. "Tidak ada seseorang pun menginginkanmu disini. Sekarang enyahlah dari rumahku!".

Wanita tua itu mulai mendekati ku, jantung ku berdetak kencang. Ku melangkah mundur saat dia semakin mendekat kearahku.

"Jangan mendekat, apa yang akan kau lakukan?" tanyaku ketakutan.

Bunyi pintu tertutup."Aku tidak akan pergi kemana-mana. Seseorang dirumah ini membutuhkan ku disini untuk selalu menjagamu dari hal-hal negatif yang ikut masuk kerumahmu semenjak kematian anakmu Luis" ancam wanita tua itu dan menatap tajam mataku.

"Hal gila apa yang sedang kau bicarakan?" tanyaku ketakutan.

"Kau akan mengerti, selama aku disini kau akan aman. Aku percaya nantinya kau akan menarik perkataanmu dan menginginkan keberadaanku disini".

Menegun ludah."Hal negatif apa yang kau maksud?".

"Cukup! Ibumu pamit diluan tanpa memberitahumu. Dia tidak tahu kapan kau akan pulang, ternyata kau pulang sampai larut malam begini".

Wanita tua itu beranjak pergi meninggalkan ku. Dia menuju ke dapur dengan bekas cakaran di lengan kanannya yang terlihat jelas ketika dia membelakangiku.

"Hal negatif apa yang dia maksud?" pikirku bertanya tanya dalam benakku.

Aku berusaha mengacuhkan perkataanya tadi. Tapi, perkataan itu selalu terngiang di pikiranku. Aku pun beranjak ke kamarku untuk membuat tubuhku kembali nyaman dengan berendam sejenak. Kulepas pakaianku lalu kulangkahkan kakiku masuk ke dalam kamar mandi. Kuputar keran air kearah kiri untuk memenuhi bath up, setelah bath up sudah terisi sebagian ku baringkan tubuh ku. Mukaku mengadah keatas, berusaha membuat pikiranku merasa nyaman. Bunyi air yang jatuh dari mulut keran yang tidak tertutup rapat menemani keheninganku untuk berendam. Kututup mataku untuk beberapa menit, dan berusaha merasa nyaman.

Setelah beberapa menit ku berendam, kubuka mataku perlahan. Sesaat aku membuka mataku, aku tidak bisa melihat sekeliling ku. Semua terlihat gelap tidak ada cahaya sedikitpun yang terlihat. Aku keluar dari bath up dan berjalan langkah demi langkah sambil meraba meraih pintu.

"Emma, tolong beri aku cahaya. Aku sedang berada di kamar mandi, tiba-tiba saja semua terlihat gelap" teriakku keras.

Tidak ada sahutan balik dari wanita tua itu. "Dimana wanita tua itu?, oh ayolah kenapa lampunya padam saat seperti ini". Aku mencium aroma busuk yang sangat menyengat saat itu juga.

"Bau busuk apa ini?, kenapa tiba-tiba ada bau busuk disini". Aku terus meraba-raba meraih pintu, aku melangkahkan kakiku perlahan hingga akhirnya tangan ku meraih gagang pintu.

Aku memutar gagang pintu dengan kekuatan penuh. Tapi pintunya tidak bisa terbuka, padahal aku tidak mengunci pintu kamar mandi saat aku menutupnya.

"Ayolah, ada apa dengan pintu ini" ucapku sambil berusaha memutar gagang pintu. Aku terus mencoba membukanya, dan sesekali memberikan dobrakan ke pintu. Bau busuk itu semakin menyengat sekali di hidung, seakan bau busuk itu di tepat disampingku.

"Ayolah, pintu sialan".

Seseorang tiba-tiba sedang memegang tanganku yang sedang memegang gagang pintu itu juga. Aku terdiam dan tertegun, jantungku berdegup kencang, dan kakiku seakan kaku. Dengan memberanikan diri, ku arahkan pandanganku tepat disamping kananku dimana bau busuk itu berasal. Aku tidak bisa melihat apa-apa, semua kelihatan gelap. Kucoba meraba wajahnya dengan tangan kiriku, perlahan tanganku yang gemetar berusaha menyentuh wajah nya. Jantungku berdegup semakin kencang tak karuan, tanganku berhasil meraih wajahnya yang terasa dingin sekali.

Saat ku meraba wajahnya, lampu menyala tiba-tiba sehingga membuat mataku menutup tak kuasa menahan cahaya dari lampu. Kubuka mataku kembali dan melihat apa yang berada di depanku. Namun, aku tidak melihat apa-apa di depanku, dan tangan tadi yang memegang tanganku menghilang. Kulihat sekelilingku dan aku tidak mendapati seseorang pun disini bersamaku. Lekas ku membuka pintu kamar mandi, dan jantungku berhenti berdetak sejenak akan apa yang kulihat didepanku setelah ku membuka pintu.

Mulutku menganga dan mataku tepat menatap matanya yang merah."Emma tolongg" teriakku.

Dia mendorongku keras dengan tangannya, aku terlempar jauh menghantam dinding dan ku terjatuh kedalam bath up. Dia berlari ke arahku, dan menggapai kedua pundakku dengan kedua tangannya dan memaksa tubuhku tenggelam kedalam air. Aku berusaha berteriak namun dia menahanku didalam air dengan kedua tangannya. Gelembung gelembung air naik ke permukaan sesaat aku berteriak minta tolong didalam air. Seluruh tubuhku menggeliat berusaha lepas, sebelum aku kehabisan nafas.

"Steven, heyy bangun?" ucap keras Emma berusaha menyadarkanku yang berteriak dalam keadaan mata tertutup.

Aku bisa mendengar suara Emma, tapi dia terus berusaha ingin membunuhku hingga aku kehabisan nafas. "Steven, bangun sekarang juga. Jika kau melihatnya, tutup matamu jangan lakukan kontak mata dengannya" teriak Emma.

Mendengar perkataan Emma tadi, ku memejamkan mataku. Berusaha tidak melakukan kontak mata dengannya. Tubuhku terangkat keatas, dan ku membuka mataku dan berusaha bernafas kembali normal."Syukurlah kau mengikuti perkataan ku" ucap Emma sambil memelukku.

Suara nafas tersengal-sengal."Apa itu Emma?, siapa yang berusaha membunuhku tadi" tanyaku ketakutan. Emma terdiam sejenak dan menatapku tajam."Itu mahkluk yang sedang bersama kita dirumah ini" tegasnya.

"Kenapa dia menginginkanku?" tanyaku lagi. Emma tersenyum padaku dan menyentuh pipi kananku. "Dia menginginkan anakmu Luis, dan juga menginginkan mu".

"Tapi anakku Luis sudah meninggal" jawabku. Emma berdiri dan mengambil handuk lalu memberikannya padaku."Tidak Steven, anakmu turut bersama kita juga dirumah ini" balasnya tersenyum.

Emma berjalan keluar kamar mandi dan meninggalkanku."Lekas pakai pakaianmu Steve, makanan sudah siap." Aku semakin bingung dan bertanya-tanya akan ucapannya tadi.
Melihat Emma sudah meninggalkan ku, aku langsung keluar dari bath up dan segera memakai pakaianku.

"Steven, makanan sudah siap. Mari kita makan malam bersama" teriak Emma dari dapur.

Saat aku memakai baju tepat didepan cermin, ku mendapati bekas cakaran di kedua pundak ku. Bekasnya terlihat begitu jelas, yang meyakinkan ku bahwa apa yang terjadi tadi itu nyata. Dibenak ku aku mengakui bahwasanya perkataan Emma benar, dan aku membutuhkan keberadaannya dirumah ini bersamaku.

Bunyi pintu diketuk."Steven, kau baik-baik saja didalam" tanya Emma dari balik pintu. Mendengar Emma sudah memanggilku, ku segera memakai bajuku. "Iya, aku baik-baik saja. Aku akan segera selesai dan keluar" sahutku. "Oh syukurlah, kau membuatku khawatir".

Selepas ku berpakaian, aku berfikir lebih baik tidak akan memberitahu tentang bekas di pundak ku ini padanya. Aku keluar dari kamar dan melangkah menuju dapur.

"Aku sudah lama menunggumu disini, kau tidak akan mau memakan makanan ini jika sudah dingin. Rasanya tidak akan enak lagi, percayalah" ucap Emma berusaha mencairkan suasana. Aku tersenyum dan mengangguk sambil mengambil piring."Aku percaya akan hal itu, ibuku juga tidak akan mau memakan masakannya sendiri jika sudah dingin" balasku.

Emma tertawa mendengar perkataanku tadi."Sebenarnya terdengar sedikit aneh, tapi itu memang benar bahwa aku juga tidak akan mau memakan makanan yang sudah dingin." Aku kembali melontarkan senyuman kecil akan ucapannya.

Selama kami makan bersama, aku memandangi terus tangannya Emma yang juga ada bekas cakaran."Apa Emma sudah pernah bertemu mahluk itu sebelum aku?" tanyaku seorang diri dalam hati.

Aku terus memandangi tangannya, hingga Emma menyadarinya."Ada apa Steve?, kenapa kau melihat tanganku dengan pandangan seperti itu" tanya Emma. Karena ketahuan aku merasa gugup, lalu menundukkan kepalaku mengarah ke bawah meja."Boleh aku bertanya sesuatu padamu?". Mendengar perkataanku, Emma menghentikan makannya dan melepaskan sendok dan garpu dari genggamannya."Tentu saja boleh."

Aku menatap wajah Emma, dan berfikir untuk kedua kalinya akan apa yang akan aku tanyakan kepadanya."Maaf, bagaimana bisa kau dapatkan bekas cakaran yang ada di tanganmu itu?." Emma membalikkan tangannya dan memperlihatkan bekas cakaran itu padaku."Bekas cakaran ini kudapat tepat dua tiga tahun yang lalu" jelas Emma.

Aku mengerutkan dahiku, ketika Emma berkata seperti itu. Aku semakin bertanya-tanya atas apa yang terjadi padanya tiga tahun yang lalu. Tapi rasa penasaranku lebih besar daripada rasa takutku untuk bertanya."Apa yang terjadi denganmu tiga tahun yang lalu" tanyaku terbata-bata. Emma tertunduk diam, dan mengusap air matanya yang mengalir."Emma, kau baik-baik saja?. Jika kau tidak ingin menjawabnya tidak apa-apa" ucapku.

"Ini bukan waktu yang tepat untuk memberitahu mu tentang ini" ucap Emma menatapku. Aku mengangguk dimana rasa penasaran itu masih jelas terlihat di wajahku."Dia masih bersama kita disini, aku tidak ingin dia mendengarkannya" ucap Emma seketika tanpa adanya pertanyaan yang kulontarkan lagi. Mendengar perkataan Emma tadi, jelas membuatku terkejut. Aku menatap setiap sisi dapur, jantungku berdetak cepat, mataku melirik ke semua kursi di meja makan.

Aku menundukkan kepala dan kembali menyantap makanan malamku, berharap bisa melupakan perkataan Emma tadi."Kau tidak perlu khawatir, aku akan menjagamu" ucap Emma menyentuh tanganku."Kau membuatku ketakutan Emma" balasku. Emma tersenyum dan mengarahkan pandangannya ke samping kirinya tepat dimana dia duduk."Dia sedang berdiri tepat disampingku Steve, aku berusaha untuk tidak melihat matanya. Aku tahu dia daritadi sedang menatapku, dia tidak senang keberadaanku disini."

Aku melihat kearah dimana Emma berkata tadi. Aku tidak melihat siapapun disana, bahkan tanda-tanda akan adanya makhluk itu disampingnya tidak terlihat sama sekali. Aku berdiri hingga kursi ku terdorong kebelakang. Emma memperhatikanku dengan wajah yang kebingungan dimana itu jelas terlihat saat dia mengerutkan dahinya.

Aku menggelengkan kepalaku."Aku tidak tahan lagi Emma, aku tidak ingin mahluk itu ada di rumahku." Emma menarik nafas panjang."Perkataanmu membuatnya marah sekarang Steve, dia sedang menatap kearah mu sekarang" ucap Emma pelan. Aku menaruh kedua tanganku di kepala, semua ini semakin tidak masuk akal bagiku. Keberadaan mahluk itu sekarang sangat mengusik kehidupanku sekarang.

"Persetan dengan mahluk sialan itu, aku ingin dia pergi dari rumah ini" teriakku.

"Steveeen, berhenti kau membuat dia marah".

"Keluar sekarang dari rumahku mahluk sialan" ucapku menghiraukan perkataan Emma.

Semuanya bergetar hebat secara tiba-tiba, piring-piring kaca berjatuhan dari lemari. Gelas yang berisi air didalamnya terlihat begitu jelas berguncang. Emma berlari ke arahku dan menggapai tanganku, lalu menarikku keluar rumah. Saat Emma berlari menggapai tanganku, meja makan yang begitu berat terangkat keatas dan menghantam langit-langit rumah hingga terbelah dua. Namun, Emma dengan cekatan langsung menarikku cepat keluar dari rumah, untuk menghindari hal yang tidak terduga dari semua yang terjadi.

Kami berlari menuju kearah pintu mengerahkan seluruh tenaga kami melawan rasa takut yang bergelut. Emma menarik tanganku begitu erat dengan tangannya yang gemetar, namun sebelum Emma menggapai gagang pintu, dia terjatuh dan terseret ke belakang seakan kakinya ditarik kebelakang dimana tanganku masih dalam genggamannya.

"Emmaaa, aku memegang tanganmu" ucapku sambil menggenggam erat tangannya menahan tubuh Emma yang terdorong."Kumohon Steven, jangan lepaskan genggaman mu, aku tidak mau mati" teriak Emma dimana wajahnya dipenuhi ketakutan.

Tatapanku mengarah kearah kaki Emma yang sedang ditarik dari belakang, mata merahnya terlihat sangat jelas sekarang, tubuhnya terlihat begitu kurus, kulitnya terlihat gosong seperti terkena bakar, mulutnya terlihat begitu lebar seperti terkoyak hingga ke pipinya dimana lidahnya yang panjang menjulur keluar.

"Em, aku melihatnya begitu jelas sekarang" ucapku tetap menatap matanya.

"Jangan pernah menatap matanya Steve" pinta Emma.

"Aaaaaaaaaaa" teriak Emma kesakitan.

Mendengar teriakan Emma yang begitu keras memutuskan tatapanku."Dia menggenggam erat kakiku, seakan dia mau meremukkan tulang kakiku Steve. Tarik aku Steve, kumohon".

Aku menarik Emma mengerahkan seluruh tenagaku, aku menutup erat mataku saat aku menarik Emma. Mahluk itu memegang tanganku sehingga membuatku membuka mata dan menatap matanya. Jantungku seakan berhenti berdetak, mulutku ternganga dan seluruh tubuhku gemetar. Mahluk itu ingin aku menatap matanya, karena itu salah satu cara dia bisa masuk ke pikiranku untuk bisa mengendalikan penuh tubuhku dan membawa jiwaku pergi setelah dia membuat aku membunuh diriku sendiri.

"Steveeen, tidaaak" teriak Emma sambil menutup mataku dengan tangannya.

"Dia milikku" teriak mahluk itu mendorong Emma keras.

Tubuh Emma terhentak keras ke dinding, Emma pingsan tak sadarkan diri saat itu juga.

"Emma" teriakku.

Mahluk itu mendekatiku, hingga wajahnya hanya beberapa inci saja dari wajahku. Lidahnya menjilat-jilat di wajahku, aku menutup mataku berusaha untuk tidak menatap matanya. Dia mendorongku keras ke dinding, namun tubuhku tidak terjatuh kelantai. Tubuhku menempel di dinding, dia mendekatiku dan mencekik leherku.

"Hey mahluk sialan, jauhi dia" teriak Emma sambil mengarahkan salib kearah mahluk itu yang menatapnya.

"Aaaaaaaaaaa". mahluk itu teriak histeris dan melepaskan cekikan nya saat Emma mengarahkan salib kearahnya. Aku terjatuh kelantai dimana mahluk itu berlari masuk ke basemen menjauhi kami. Emma membantuku berdiri dan berjalan keluar rumah.

Nafas tersengal-sengal."Apa yang sedang terjadi Emma?, mahluk itu mengacaukan rumahku. Dia ingin menghancurkan seisi rumahku, kita harus menghentikan ini semua" tegasku. Emma menarik nafas dalam-dalam, dan meraih pundakku."Aku juga ingin menghentikannya, tapi aku butuh waktu."

"Ini semua terdengar konyol dan gila, aku akan menghubungi polisi" ucapku sambil merogoh ponsel di saku celana.

Bunyi nada telepon tersambung."Itu semua tidak ada gunanya, polisi tidak akan bisa menghentikan mahluk itu" balas Emma.

"Halo, anda menghubungi kepolisian. Apa kondisi darurat anda?" ucap polisi dari dalam ponsel yang tersambung. Aku menatap wajah Emma, dan Emma hanya membalas dengan menggelengkan kepala yang memberi tanda bahwa polisi tidak akan bisa menghentikan mahluk ini."Halo, apa kondisi darurat anda?" ucap polisi kembali dari dalam ponsel yang masih tersambung.

Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan lagi, aku memutuskan sambungan telepon ke polisi. Aku memejamkan mataku sejenak dan menarik nafas panjang. Emma merangkulku dan mengajakku masuk kembali kedalam rumah. Aku berjalan ke dalam rumah seakan sedang berjalan di atas lembah yang dalam. Kakiku begitu berat untuk melangkah, rasa takut menghantuiku sekarang. Aku pikir, aku tidak akan lagi bisa merasa nyaman untuk satu hari saja didalam rumah.

Pintu terbuka lebar."Apa?, bagaimana bisa?" pikirku kebingungan. Emma membisikkan sesuatu di telingaku, dia tidak ingin mahluk itu mendengar perkataannya."Satu hal yang harus kau tahu Steve, semua ini hanya ilusi mata yang diakibatkan ketakutan kita sendiri. Seperti yang terjadi padamu di kamar mandi tadi, semua terlihat nyata bagimu tapi bagiku semua terlihat baik-baik saja" bisik Emma.

"Berarti semua itu, karena ketakutan dari dalam diriku sendiri" ucapku dalam hati. Emma membuka telapak tangannya kearah ku, dia melirikku agar aku meletakkan tanganku diatasnya. Aku pun meletakkan tanganku diatas telapak tangannya Emma."Aku berjanji padamu, kita akan menyelesaikan semua ini" ucap Emma tersenyum.

Aku tidak membalas ucapan Emma, aku hanya mengangguk. Emma mengantarkan ku masuk kedalam kamar, wajahnya terlihat begitu lelah. Dia terlihat begitu tegar, seakan tidak ada rasa takut yang tercetak jelas di wajahnya. Padahal didalam dirinya, mungkin dia terlihat takut hanya saja dia menutupi ketakutan itu dariku.

"Kau bisa istirahat sekarang, kau harus terlihat baik dihadapan ibumu besok. Aku tidak ingin ibumu memecat ku sebelum waktunya tiba" ucap Emma yang berdiri di depan pintu kamar sambil menutup pintu.

"Emma?" panggilku.

"Iya?".

"Kenapa kau mau membantuku menghadapi mahluk itu?" tanyaku.

"Aku sudah terlalu tua untuk memulai ini semua. Kau akan mengerti, aku akan memberitahu semua pada nantinya".

"Terimakasih Emma, kau boleh tidur di kamar satunya. Kau juga butuh istirahat sekarang ini".

Emma tersenyum padaku."Baik, kau tahu dimana harus mencari aku jika membutuhkan ku" jelasnya. Aku menganggukkan kepalaku."Kau sekarang terlihat seperti ibuku, aku bukan anak kecil lagi" balasku.

Pintu separuh hampir tertutup."Emma, boleh aku bertanya sesuatu padamu lagi?". Emma membuka kembali pintu kamar."Apa yang ingin kau tanyakan lagi". Aku terdiam sejenak dan tidak yakin untuk menanyakan hal ini padanya.

"Bagaimana jika mahluk itu menyerang kita lagi?" tanyaku penasaran.

Emma mendekatiku dan mengambil sesuatu dari laci. Dia mengeluarkan sebuah kalung salib, dan memberikannya padaku.

"Ini bisa menjagamu untuk sekarang, kau bisa mengalungkannya di lehermu. Sudahlah, dapatkan waktu tidurmu yang cukup".

"Baiklah, aku akan berusaha tidur sekarang" ucapku pelan sambil memakai kalung itu dileherku.

"Itu terdengar bagus, selamat malam Steve dan tetap terjaga" ucap Emma.

Rasa takut dan gelisah ini tidak bisa dipungkiri. Aku mencoba untuk bisa tidur, tapi kekhawatiran akan mahluk itu selalu menghantuiku. Aku mencoba memejamkan mataku begitu erat, berusaha untuk mencoba tidur. Namun sesuatu masih berkecambuk di pikiranku akan perkataan Emma tadi. Dia berkata bahwa anakku Luis turut serta bersama kami di rumah ini, tapi kenapa mahluk itu yang hadir.

"Dimana kehadiran anakku Luis di rumah ini jika memang perkataan Emma benar" pikirku termenung.

~~

Hallo...  Halloo Hai pembaca Dad Who Is He??? ??. Wahhhhh, sudah lama sekali tidak publish ini cerita. Bukan karena malas atau gimana, jadi ceritanya sedang dalam penerbitan kedalam novel.. Uhuyyyy..

Maafin mimin yee hehe, mimin selama ini sedang membuat cerita terbaru yang akan segera publish.. bisa ditunggu ya.. stay tune terus yee.

Note : Thank you so much buat kalian yang senang membaca novel "Dad Who Is He ??" ini dan sudah menambahkan cerita ini ke reading list kalian di .

#salamhangat

support Mimin selalu?? tumpahkan di kolom komentar ya. *Comment Down Bellow*??.  So, jika banyak yang suka ceritanya, mimin janji akan teruskan kelanjutan ceritanya??.

Dukungan kalian sangat berarti buat Mimin^^/

Stay tune guyss
Love y All ??

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience