Hilangnya Harapan

Romance Series 272

"Danita, tunggu. Aku mau ngomong sama kamu."

Nafas Aksa terengah-engah, mencoba mengejar laju Danita yang berjalan di koridor kampus menuju tempat parkiran.

Danita sama sekali tidak menoleh kearah sumber suara. Tidak menghiraukan perkataan Aksa, dan lebih memilih untuk melanjutkan berjalan menuju parkiran kampus.

"Danita, dengar aku dulu. Aku mau ngomong sama kamu. Aku mau kita balikan lagi, aku bisa jelasin semuanya. Ini cuma kesalahpahaman aja."

Aksa menarik tangan Danita, mencoba menghentikan laju Danita agar Danita mau berbicara dengannya.

"Ish...Lepas tangan aku."

Danita berontak mencoba melepaskan genggaman tangan Aksa.

"Dengar aku dulu, Danita."

"Aku nggak bisa, Sa. Aku benar-benar nggak bisa melanjutkan hubungan kita. Aku nggak mau fokus belajarku terganggu karena masalah hubungan aku dengan kamu," ucap Danita menolak.

"Aku bakal memperbaiki semuanya, Danita. Aku janji," Aksa memohon.

"Berapa banyak janji yang kamu kasih ke aku yang nggak pernah kamu tepati? Kamu sendiri mungkin lupa."

Danita tetap melanjutkan jalannya. Pandangan Danita tetap lurus ke depan, tanpa menoleh sedikitpun kepada Aksa yang berusaha menyamai ritme berjalan Danita yang sedikit tergesa.

"Tapi kamu harus dengar penjelasan aku dulu, Danita."

Aksa menatap nanar kepada Danita. Ada kesedihan dibalik tatapan matanya itu.

"Intinya, aku udah nggak bisa sama kamu, Aksa. Sehebat apapun kita membicarakan tentang perasaan, antara aku dengan kamu nggak akan pernah menjadi sesuatu, apalagi bersatu lagi."

Danita memakai helm miliknya, menyalakan kendaraannya lalu pergi begitu saja meninggalkan Aksa.

Sementara Aksa masih berdiri mematung tanpa sepatah kata yang terucap dari mulutnya. Tubuhnya lemas terkulai mendengar perkataan wanita yang dia cintai itu. hanya kesedihan yang menyelimuti aksa saat ini.

Entah apa yang ada dibenak wanita itu, sehingga dia tega memutus tali pengharapan seorang lelaki, yang menggantungkan sepenuhnya kebahagiaan kepada wanita itu.

"Udahlah, Sa, percuma."

Arvin menepuk pundak sahabatnya itu.

Arvin yang tidak tahu dari mana datangnya itu tiba-tiba sudah berada di samping Aksa.

"Sesuatu yang dipaksakan itu bukan Cinta namanya, tetapi ego. Masih banyak cewek diluar sana, kok," lanjut Arvin.

"Iya, Vin. Tapi aku sayangnya cuma sama dia."

"Iya aku paham. Tapi jangan sampai kamu salah mengartikan kata sayang. Kamu sayang sama dia, begitu juga dia sebaliknya. Bisa jadi kamu sayang sama dia karena ketulusan, sedangkan dia sayang sama kamu karena kasihan."

Arvin mencoba memberi nasihat kepada sahabatnya itu.

"Dia sayang sama aku bukan karena kasihan. Dia benar-benar tulus sama aku," ucap Aksa dengan penuh keyakinan.

"Buktinya dia pergi begitu aja tinggalin kamu barusan. Nggak mau dengar penjelasan dari kamu dulu."

"Dia cuma butuh waktu untuk menenangkan diri aja, kok. Aku tahu," ucap Aksa.

"Kalau memang dia ingin menenangkan diri, itu artinya dia terganggu sama keberadaan kamu. Dia berusaha menghindar dari kamu, apa kamu nggak menyadari itu?"

"..."

Aksa terbungkam seribu bahasa, tidak bisa menjawab pertanyaan sahabatnya itu.

Ada benarnya juga apa yang dikatakan Arvin. Batin Aksa berkata.

"Coba kamu buka mata! Ada 131,88 juta cewek dimuka bumi ini, dan kamu masih terpuruk dengan 1 cewek yang belum tentu tulus sayang sama kamu? Masih banyak cewek diluar sana, Aksa." ucap Arvin.

Aksa masih terdiam mematung dihadapan Arvin. Terbungkam seribu bahasa.

"Ya udah. Daripada kamu terus berlarut dalam kesedihan, mending besok malam kita ke kedai kopi tempat biasa kamu nongkrong, bagaimana?" Ajak Arvin.

"Kamu nggak jalan sama Nayara besok malam?" Aksa melemparkan pertanyaan.

"Libur dulu pacarannya."

Arvin tertawa kecil.

"Rencananya Nayara ngajak aku untuk menghadiri acara malam puisi, tapi aku tolak. Aku mengira, pasti acaranya akan membosankan," lanjut Arvin.

"Ya udah kalau begitu. Kebetulan aku juga nggak ada acara besok malam. Daripada baca novel di rumah bikin suntuk, mending cari suasana yang lain."

Aksa mulai menunjukkan senyum tipisnya, menyetujui ajakan sahabatnya itu.

"Nah begitu dong. Urusan cinta itu belakangan, yang penting kita pikirkan bagaimana caranya bahagiakan diri sendiri dengan aktifitas yang kita suka."

Aksa mengiyakan perkataan sahabatnya.

"Kura-kura bertelur di bibir pantai, telurnya dimakan sama burung pelikan."

Arvin melancarkan pantunnya. Sedangkan Aksa terdiam memandangi wajah Arvin yang sedari tadi berbicara terus.

"Perihal cinta harus kita bawa santai, nanti kalau dia menyesal juga ngajak balikan," lanjut Arvin.

"Soto babat, sop tulang, sate bekicot."

Aksa membalas pantun sahabatnya.

"Cakep..." Balas Arvin.

"Ayo cepat, pulang, bacot."

Jawab Aksa ketus dengan ekspresi wajah datar.

Aksa dan Arvin melaju menaiki sepeda motor berboncengan, membelah jalanan utama kampus meninggalkan parkiran.

***

Sehebat apapun kita membicarakan tentang perasaan.
Antara aku dan kamu nggak akan pernah menjadi sesuatu.

—Danita

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience