Bab 34

Romance Completed 25593

BAB 34

VIAN POV

Aku terdiam membeku. Pagi ini sebuah kabar

membuatku menatap istriku yang masih meringkuk di atas kasur dan bergelung dengan nyaman. Semalam Mbak Mawar muntah-muntah lagi, dan tak mau makan apapun. Dan pagi tadi setelah sholat subuh, istriku tersayang ini meminta untuk tidur lagi. Aku jadi tak tega meninggalkannya untuk ke kampus. Untung saja hari ini aku cuma mengajar satu kelas. Itu pun nanti siang pukul 1.

Kalau begini aku benar-benar tak bisa memberi kabar dari mama. Yup, mama baru saja menelepon kalau papa masuk rumah sakit karena serangan jantungnya. Papa yang selama ini aku pikir sehat fisiknya, sebagai dokter senior dengan jam terbang yang sangat tinggi dan juga pemilik tunggal rumah sakit miliknya tentu saja membuat papa bekerja keras. Aku yang diharapkan papa menjadi penerusnya, malah berhenti sampai di sini. Masku yang sejak dulu yang juga tak berminat di bidang kedokteran sekarang pun tak bisa diharapkan karena kondisinya masih amnesia. Membicarakan masku, tadi mama terisak di telepon. Selepas aku dan istriku pergi ke Solo ini masku mengamuk, mencari mbak Mawar. Dan sampai saat ini dia mengurung diri di kamar. Miris mendengarnya.

Kuhela napas, pusing mulai mendera kepalaku.

Mbak Mawar menggeliat dan mengerjapkan matanya.Indah, bola matanya selalu indah buatku.

“Yan,” ucapnya mulai manja, hanya dia yang bisa membuatku tersenyum di sela kegundahan hatiku.

“Masih pusing apa mual?”

Istriku itu hanya menggeleng, lalu beranjak duduk.

“Kau ke kampus jam berapa? Aku diantar ke café saja, ya, sampai kau pulang, setidaknya di sana ada Radit apa Fani, lah,” ucapnya membuatku tersenyum.

Aku hanya mengangguk tak menjawab dan mengusap rambutnya lembut. Berat rasanya ingin menyampaikan berita ini. Aku khawatir dengan keadaan papa, tapi istriku juga masih lemah. Kehamilan muda ini membuat hormonnya naik turun. Terlebih kalau aku pulang, pasti bertemu dengan masku lagi. Aku tak mau membuat gundah istriku lagi yang sudah mulai bahagia ini.

“Yan,” mbak Mawar memanggilku membuatku tersadar, dia menatapku curiga.

“Ada apa? kenapa murung?”

Aku hanya menggelengkan kepalaku dan mencoba tersenyum.

“Mau makan apa?”

Mbak Mawar tampak bimbang, dia mengerutkan keningnya lalu mengusap perutnya.

“Kentang goreng, boleh, ga?” tanyanya manja lagi, kuanggukkan kepala membuatnya langsung bertepuk tangan.

Ah, aku tak tega merusak kesenangannya.

*****

“Sya ..., iiihhhhh udah deh jangan gombal terus sana, gih, cari cewek.” Kudengar istriku itu menggerutu membuatku tersenyum.

Beberapa hari ini tinggal di sini dengan Rasya membuat sikap bocah itu makin berani dengan istriku. Tapi dia masih tahu batas-batasnya. Biarlah, ABG labil seperti Rasya itu, selama ini dia bisa menjaga istriku dengan baik. Kemarin saat mbak Mawar minta sate dan bakso berturutturut dia dengan cepat membelikannya. Dan juga kadang istriku itu tertawa terbahak-bahak dengan tingkah Rasya.

Tadi setelah membeli kentang beku di minimarket terdekat, sekarang aku sudah selesai menggorengnya dan siap untuk disantap. Istriku memang tak kuizinkan berada di dapur meski memaksa.

Kulangkahkan kaki ke arah ruang tengah tempat mbak Mawar sedang menonton acara televisi dengan Rasya.

“Siniin remotenya, Sya,” ucapnya saat merebut remote dari tangan Rasya tapi bocah itu malah menggoda mbak Mawar dengan memainkan tangannya menghindari tangkapan istriku itu.

“Ish, kalau cemberut gitu tambah cantik mbaknya.” Tuh kan dia mulai gombal lagi pasti istriku akan mengamuk sebentar lagi.

Dasar Rasya jahil banget dia.

“Sya ..., jangan goda mbakmu terus kenapa, sih?” Aku ikut menegurnya, lama-lama bocah ini kelewatan.

Rasya menjulurkan lidahnya dan tergelak.

“Habisnya istri kak Vian yang cantik ini menggemaskan.” Tuh kan bocah sableng dasar. Mbak Mawar beringsut ke arahku dan mulai mengambil kentang goreng yang kusajikan. Suara dering ponsel membuatku segera beranjak dari sisinya dan mengambil ponsel yang kuletakkan di atas nakas.

Mama calling...

Langsung kusambar ponsel dan segera menempelkan ponsel di telinga.

“Ma, ada apa?” Hatiku mulai terasa tak enak.

“Dek, cepet pulang, ya, papa anfal lagi pagi ini.“ Kudengar isakan mama di ujung sana, badanku terasa lemas mendengarnya.

“Iya, Ma, Vian pulang sekarang,” ucapku dan saat itulah tepukan di bahu mengagetkanku dan ketika kutoleh istriku sudah berdiri di belakang meminta penjelasan.

*****

“Hust, Sayang sudah, jangan menangis terus, berdoa saja, ya,” bisikku lembut.

Saat ini aku sedang mengendarai mobil milik om Dewa. Tadi setelah berpamitan dengan om Dewa melalui telepon, dan Rasya pun ikut dengan kami karena Rasya juga ingin menjenguk keadaan papa.

Mbak Mawar terus menangis di bahuku, dia terus menggelendot manja di lenganku ini dan terus menangis. Dia merasa bersalah, karena dia pikir aku menjauh dari keluarga gara-gara dia.

“Hey Sayang, sudah ... makan dulu apa diminum susunya, dari tadi kan belum makan?” bisikku lagi ke arahnya yang kini tampak menggelengkan kepalanya lagi.

Mobil sudah memasuki jalan Solo yang berarti sebentar lagi sampai di rumah sakit setelah 1 jam perjalanan kami tempuh. Rasya tampak bersandar di jok belakang dengan headphone melingkar di kepalanya. Dan ketika akhirnya mobilku sampai di depan halaman rumah sakit milik keluargaku ini. Mbak Mawar, aku dan Rasya bergegas masuk. Beberapa dokter dan perawat yang mengenalku langsung menyapa.

Saat akhirnya tiba di ruang ICU tempat papa dirawat, mama langsung menghambur ke pelukanku.

“Dek.”

Kudekap tubuh mama yang sangat kusayangi ini, kurasakan mbak Mawar melepaskan genggaman tangannya, dan menjauh padahal aku tak ingin jauh darinya, bukankah dia masih sakit?

“Ma, Papa bagaimana?”

Mama mengusap air matanya. “Masih lemah, Dek. Dek, jangan pergi lagi, ya, tinggal di sini setelah ini,” ucap mama yang kuangguki.

Ketika kuedarkan pandanganku di pojok terduduk masku dengan menunduk dan mbak Sisca di sampingnya.

“Aline,” suara mama membuatku menoleh ke arah mama dan istriku.

Mereka berpelukan dan istriku tampak menangis terisak.

“Ma, maafin Aline, ya.”

Mama menepuk-nepuk istriku dengan lembut.

“Hey ... Aline tak salah, kenapa pucat sekali, Aline sakit?” Mama mengusap wajah istriku itu dan dalam hitungan detik tiba-tiba tubuh istriku limbung. Saat aku ingin berlari menangkapnya, dari jauh masku berlari dan dengan cepat sudah menangkap tubuh istriku itu.

Rasya juga melakukan hal yang sama tapi sama denganku kalah cepat.

Selang infus membebat tangannya, kukecupi tiap ruas jemarinya. Dokter mengatakan istriku terlalu stress sehingga membuat tubuhnya drop.

Kupijat pelipisku, merasa bersalah karena membuat istriku begini, di sisi lain papa juga masih belum terhindar dari masa kritisnya.

“Kau membuat kacau semuanya, Dek.” Suara yang sangat kukenal kini menyeruak di telingaku membuatku menoleh dan di ambang pintu, masku Ryan tampak menatapku tajam.

“Apa maksudmu?”

Dia melangkah ke arahku dan menatap istriku masih dengan tatapan yang membuatku cemburu.

“Kau pergi, papa jadi memikirkanmu, dan kau membuat Aline jadi tertekan.”

Hey tak salah, bukankah dia yang memulai semua ini.

“Jangan buat masalah, Mas, ini rumah sakit dan istriku masih belum siuman.”

“Asal kau tahu papa sakit karena papa kecewa kau tak mengambil beasiswamu di Glasgow. Asal kau tahu itu, Dek, dan satu lagi, aku tak akan menyerah untuk mendapatkan Aline!”

Ucapannya sukses membuat tubuhku lemas. Aku sudah lelah harus menghadapi keadaan seperti ini. Aku hanya ingin bahagia dengan istriku tak lebih tapi kenapa semua menjadi seperti ini.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience