Bab 59

Romance Completed 25593

BAB 59

1 bulan sudah waktu berlalu setelah acara ajang pencarian bakat pembantu dan baby sitter yang gagal itu. Kehidupanku kembali disibukkan oleh pekerjaan rumah, mencuci popok-popok, baju, memasakan makanan spesial untuk Vian, karena dia tak mau makan kalau bukan hasil racikanku. Aneh kan, ya?

Selain itu, kesibukanku di café juga makin padat. Pesanan red velvet yang menjadi menu utama café ini makin bejibun. Dan itu membuatku untuk selalu mengkonsumsi obat vertigoku di saat gejala itu mulai muncul ketika aku kelelahan. Vian selalu saja mengomeliku dengan galak kalau sudah begitu.

Dia memang tak suka kalau aku mencuci pakaian sendiri, pernah dia sembunyi-sembunyi mengumpulkan semua baju kotor dan dibawanya ke laundry, tapi saat aku tahu, dan baju itu telah kembali dengan rapi. Tahu apa yang kuperbuat?

Aku mengulanginya mencuci sendiri, bukan pakai mesin cuci tapi memakai tangan. Aku memang tak bisa bila baju-bajuku dicuci orang lain. Melihat itu akhirnya Vian menyerah, dan jalan tengahnya dia akhirnya mengundurkan diri menjadi dosen tak tetap dan fokus ke pendidikannya saja agar dia lebih banyak menghabiskan waktu di rumah untuk menjagaku dan Kavi.

Seperti saat ini, aku masih sibuk menggoreng lele di dapur untuk makan siang. Kavi sudah diajak jalanjalan Rasya dengan kereta dorongnya. Tuh kan, Kavi itu jadi seperti anak Rasya. Vian jarang menggendongnya.

Alasannya Kavi masih terlalu kecil dan dia takut. Alasan tak masuk akal, kan?

“Miiiiii, Kavi pup.” Tiba-tiba Rasya sudah mendekat dengan Kavi berada di dalam kereta dorong dan kulihat Rasya menutup hidungnya.

“Duuhhh, nanggung ini, Sya, minta Vian sana,” ucapku membuat Rasya langsung berlari ke ruang tengah di mana Vian sedang asyik di depan laptopnya.

“Anak mommy pup, ya?” Kucium pipi Kavi lalu dia menepuk-nepuk wajahku. Semakin ke sini wajahnya mirip banget denganku.

“Fey, ada apa?” Vian sudah melangkah mendekat ke arahku dan Kavi. Tapi tiba-tiba dia menutup hidungnya.

“Bau apaan sih?” ucapnya dengan celingukan, dan kutunjuk Kavi yang berada di dalam kereta dorong. Vian masih penasaran dan menunduk lalu mencium Kavi dan wajahnya seketika menjadi biru. Hahahahhaa, ekspresinya lucu.

“Aduh, Bee, itu Kavi pup, kok malah dicium-cium, sana cebokin, ya. Aku nanggung nih lagi goreng lele,” tunjukku ke arah kompor. Dan vian seketika mundur, traumanya terhadap lele yang digoreng, dulu waktu kecil dia terkena cipratan minyak untuk menggoreng lele dan entah darimana itu lele juga ikut loncat dari penggorengan mengenai kaki Vian dan melepuhlah kakinya.

“Lele apa Kavi?” ucapku membuat dia kini menatap Kavi.

“Tapi, Fey kan tahu aku belum pernah kayak gitu, mandiin sih iya tapi cebokin?” Dia menatap bingung, tapi terdengar letupan dari minyak untuk menggoreng lele dan seketika dia beranjak mengambil kereta dorong.

“Ok ok, mending sama Kavi daripada sama lele, ogaaaaahhhh,” ucapnya sambil melangkah dengan cepat.

*****

Vian pov

Duh, ini gimana, ya? Kubaringkan Kavi di atas perlak yang sudah terhampar di atas kasur. Kakinya menendangnendang dan tangannya mencoba meraih wajahku. Mulutnya sudah membentuk huruf o.

“Fey, ini gimana, ya?” teriakku saat sudah melepas popoknya yang penuh dengan pup Kavi itu dan baunya, sedaaaaaappp pemirsah.

“Kau ambil air hangat, dan basuh menggunakan kapas sampai bersih!” Fey berteriak dari arah dapur.

Aku pun berlari ke arah kamar mandi dan segera membersihkan popok Kavi, dan secepat kilat mengambil air hangat dari kran, dan membawanya dengan ember kecil kembali ke kamar.

Dan itu Kavi sudah mulai, belajar tengkurap, duuuhhh padahal belum aku basuh menggunakan air. Belepotanlah itu semua, ini pasti Fey marah nanti.

“O ... o ... o... yaaaaaa.” Mulut Kavi mulai mengerucut lagi saat melihat kedatanganku.

“Oi ... Sayang ... udah bica tengkurap, ya? Yuk, balik lagi, yuk, dibersihkan dulu, ya.” Aku mulai membalikkan tubuh Kavi lagi, tapi tiba-tiba dia menangis karena protes kegiatannya bertengkurap ria diganggu.

“Eh cup cup cup ... anak daddy ga boleh nakal dong, diganti dulu, ya, ini dibersihkan dulu.” Tapi aku kesulitan untuk membersihkannya karena Kavi sudah mulai memiringkan tubuhnya lagi, dan kini tinggal kepalanya saja yang belum berbalik.

Ini gimana, ya, padahal belum juga sempat aku basuh. Tanya Fey lagi pasti nanti dia marah, tapi nanti aku balik lagi, Kavi pasti nangis lagi deh.

“Sayang, eh ni ... cring ... cring ... cring ... ” Kuputar mainan yang digantungkan di atas kasur untuk menarik perhatiannya.

“Eheek ... eheeekkkk ... ehek ...” Ehhhh kenapa dia malah nangis lagi saat kubalikkan tubuhnya lagi?

“Sayang, liat daddy ... sini ... nih ... ada gajah, burung ... nih temen-temen Kavi.” Kucoba menarik perhatiannya dengan mainan yang ada di atasnya itu.

Awalnya Kavi tak peduli dan bermain-main dengan jemarinya yang mengepal lalu dimasukkan ke dalam mulutnya itu. Tapi kemudian saat benda-benda berwarnawarni itu berputar dengan terus menerus akhirnya dia tertarik dan berhenti untuk mengulum tangannya ataupun memiringkan badannya.

“O ... ao ... ao ... ao,” ucapnya lucu membuatku terkekeh geli.

Kucubit pipinya yang gembil itu, buah hatiku tersayang, bayi super junior yang hebat. Wajahnya memang benar-benar replika dari Fey. Persis istriku tersayang itu.

Kakinya yang lincah menendang-nendang di udara, membuatku kesulitan untuk membersihkan semuanya.

Perlahan kupegang kedua kakinya.

”Eheeekkk .... eheeekkk.” Yaaaaa tuh, nangis lagi, kan. Terus ini membersihkannya bagaimana coba?

Kuambil kapas, lalu kubasahi dengan air hangat dan kutempel-tempel di pantatnya itu. Tapi kesulitan lagi karena kaki Kavi yang begitu lincahnya bergerak. Sekarang malah mulai lagi mencoba untuk memiringkan badannya itu. Tuh kan, ini anak memang super duper aktif, deh.

“Kavi ... Sayang, eh sini liat daddy ... nih liat, nih.” Kucoba untuk menarik perhatiannya tapi dia tak menghiraukan ocehanku dan akhirnya dia kembali berhasil untuk tengkurap dan mengulum jemarinya lagi.

Duuuhhh, susah ya ternyata mau cebokin aja. Jadi mengerti kalau Fey kadang tak bisa memegang apa-apa kalau, sudah merawat Kavi seharian.

Tubuhku sudah berkeringat karena menahan Kavi. Kini bocah kecilku ini malah mulai menarik-narik seprai yang bergambar beruang ini dan mengulumnya lagi.

Terpaksa, akhirnya aku bersihkan tubuhnya dengan posisi dia tengkurap begitu. Biarlah, yang penting bersih.

*****

Perjuanganku mengganti baju Kavi akhirnya selesai sudah, dia kini sudah wangi dan bau khas minyak telon. Kini dia sedang tengkurap di atas dadaku dan mengulum kancing kaosku. Lucu dan menggemaskan.

“Kavi tampan, anak siapa, ya?” Kuciumi pipinya dengan gemas, dan tiba-tiba Kavi menelungkupkan kepalanya di dadaku. Beberapa saat aku tertegun, karena dia tiba-tiba terdiam, tapi saat kubalikkan tubuhnya ternyata dia tertidur pulas. Lucu dan menggemaskan.

*****

Kurasakan tepukan di pipi membuatku mengerjapkan mata.

“Bee, bangun.” Suara Fey membuatku membuka mata dan terkejut saat tak kudapati Kavi berada di atas dadaku. Seingatku tadi Kavi tidur tengkurap di atas dadaku ini.

“Kavi ... Kavi mana?” Aku mencoba beranjak dan kini menatap sekeliling.

“Tuh, udah aku pindah ke box bayi, kasian boboknya nanti tak nyaman,” jawab Fey lalu berjalan ke arah meja riasnya.

Aku menghela napas lega melihat Kavi memang sudah tertidur pulas di dalam box bayinya. Tapi saat menatap istriku, kukerutkan keningku karena dia sudah tampak cantik dan segar.

“Lho, Fey mau ke mana?”

Fey tersenyum lalu melangkah ke arahku, rambutnya yang panjang indah itu tergerai indah dan kini tampak tertata rapi. Tubuhnya juga sudah kembali seperti semula, meski pipinya kini nampak chubby membuatku gemas ingin menciuminya.

“Ehmm diajak arisan sama ibu-ibu kompleks, Bee, kan ga enak ya kalau nolak, kita di sini kan orang baru.”

“Loh, kapan arisannya?”

Dia menatap jam di dinding, lalu tiba-tiba mengecup pipiku cepat dan meraih tasnya lalu bergegas ke arah pintu.

“Duuhhh, aku terlambat deh, Bee, jeng Desy pasti udah nunggu di café. Aku berangkat dulu, ya. Tolong nanti kalau Kavi bangun diminumin ASI yang udah aku simpan di kulkas,” ucapnya lalu segera akan melangkah keluar dari kamar tapi dengan cepat kuraih tangannya dan membuatnya langsung menempel di tubuhku.

“Eh mau ngapain?” tanyanya bingung, saat kudekatkan wajahku.

Cup!

Satu kecupan berhasil mendarat di bibirnya yang menggoda dengan warna lipstik nya yang merah itu.

“Iiihhh ... ini lipstikku luntur.” Dia mencubit perutku.

Membuat aku mengaduh.

“Biarin ... nanti ada yang pengen kecup-kecup lagi, biar ga ada berondong lagi yang nyantol, Fey.”

Dia mengibaskan rambutnya yang beraroma strawberry itu.

“Berondong apaan sih, Bee, adanya jagung tuh di pengkolan jalan,” ucapnya asal lalu segera mengecup pipiku lagi.

“Udah ah, aku ga lama, kok. Paling juga cuma 2 jam, dadah Sayang.” Dia melambaikan tangannya ke arahku lalu melangkah keluar dari kamar.

Kuhela napasku, masih sulit melepasnya pergi sendiri, entah kenapa aku makin posesif sekarang ini.

“Ehekk ... eheeekkkk ... ” Aku terkejut saat mendengar suara tangis Kavi. Aku pun segera berlari ke arah box bayi dan kini Kavi sudah bangun.

*****

Kugendong Kavi memasuki café. Sore ini café memang terlihat sangat ramai, banyak pelanggan yang sudah mengenalku sebagai pemilik café ini.

“Duuuhhh, ini anaknya, ya, Bang,” ucap Rara yang langsung mencubit pipi Kavi dengan gemas. Dan my boy langsung bergerak tak nyaman.

“Iya Tante, aku Kavi,” ucapku lalu memperkenalkan Kavi ke arah Rara dan juga teman-temannya yang sedang berkumpul.

“Ini beneran yang punya café ini, ya?” celetuk salah satu teman Rara.

“Iya, ini bang Vian, kebetulan aku juga mahasiswinya, selain dosen juga calon dokter juga dia, tapi sayang sekarang bang Vian sudah tak menjadi dosen lagi. Banyak yang kehilangan loh, Bang,” celetukan Rara membuatku tersenyum dan membuat teman-temannya ber-owh ria.

“Eheeekkk ... eheeekkkkk.”

Nah loh, jagoan kecilku sudah tak nyaman ini.

“Ya sudah selamat menikmati, ya. Saya ke dalam dulu,” ucapku yang diangguki mereka semua.

“Cup cup ... Kavi mau mimik susu lagi?” Kutatap wajahnya yang kini tampak antusias saat melihat Rasya turun dari panggung. Sore ini memang jatah Rasya mengisi live music-nya.

“Ciluuuuukkk baaaaaa!” Rasya langsung melangkah ke arahku dan menggoda Kavi. Kavi terkekeh geli dan berteriak-teriak dengan ocehannya ketika melihat Rasya. Kavi tertarik dengan rambut Rasya yang berwarna biru itu.

“Aoooo .... aoooooo...,” ocehnya lagi dan membuat Rasya menciumi pipi Kavi dengan gemas.

“Loh, mami ke mana toh, Kak?” ucap Rasya celingukan.

“Lagi arisan sama ibuk-ibuk komplek, Sya”

“Uuuuhhhh, kak Asya atiiiiit nih ...atiiiiittt....”

“Ao ... ooo ooooo ca ca ca ca ....” Kavi makin menarik rambut Rasya dengan gemas.

“Nih Kak, Kavi nih, duuuuuhh bisa botak ini,“ sungut Rasya, sambil mengusap-usap rambutnya itu.

“Ca ... ca ... ca ... ca ...” kini Kavi sudah beralih lagi ke arah Radit yang baru saja lewat dan tampak menggoda Kavi.

“Bakpao ... bakpao. Isi kacang,” goda Radit sambil menciumi pipi Kavi dengan gemas. Bocah itu malah senang dan memainkan celemek yang dipakai Radit.

“Tumben, nih, Bos besar mau gendongin Kavi biasanya juga Rasya tuh yang gendong,” celetuk Radit membuatku menjitak kepalanya.

“Memangnya aneh gitu? Orang Kavi juga anakku.”

Tawa Radit seketika tergelak, ”Ya ya ya, selamat menikmati aja ya, Bos, dan jangan lupa tuh diakuin anaknya, loh, liat noh para pengunjung aja udah ngiler liat Bos pengen cipok cipok gitu eh malah bosnya, udah gendong Kavi.”

Tuh kan celetukan yang absurd meluncur dari mulut Radit, dan kukepalkan tanganku ke arahnya membuat dia seketika lari tunggang langgang dan menjulurkan lidahnya.

“Dasar perjaka tua.”

*****

“Ehm bau asam ehm bau cucu .... anak siapa coba ini? Anak daddy Vian, ya.” Kuciumi pipi Kavi, dia menghentakhentakkan kakinya melihat Rasya yang kini telah kembali ke atas panggung dan menyanyikan sebuah lagu.

Aku sendiri memilih duduk di sudut ruangan, di atas sofa warna merah di dalam café ini. Kavi berada di dalam pangkuanku.Kusesap cappucino buatan Radit yang memang enak ini.

“Vian, bisa bicara sebentar?” Tiba-tiba suara yang tak asing kini menyeruak di telinga dan membuatku menengadahkan wajahku dari Kavi yang masih asyik memainkan mainan karetnya.

“Mbak Sisca???”

Aku benar-benar terkejut melihat siapa yang kini berdiri di depanku ...

Kakak iparku, yang notabene masih istri sah dari Ryan Atmawijaya masku itu.

“Duuuhhh, ini pasti putramu dan Aline, ya,“ ucapnya tiba-tiba saat melihat Kavi yang berada di gendonganku.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience