BAB 23
Kurasakan tepukan di pipi, dan ketika aku membuka mata, aku sudah berada di atas kasur di dalam kamar Vian. Eh, apakah dia menggendongku sampai ke sini?
“Sholat maghrib dulu, Mbak, terus makan aku sudah siapkan, kalau mencariku aku ada di ruangan belajar,” ucapnya singkat dan segera berlalu dari hadapanku membuatku makin bingung dengan sikapnya.
Akhirnya aku sholat dan melanjutkan dengan berdzikir sampai waktu isya’ tiba. Setelah itu kulangkahkan kaki menuju meja makan dan di sana terdapat nasi goreng dengan telur mata sapi di atasnya. Tapi aku tak lapar. Kulirik pintu ruangan belajar Vian yang masih tertutup rapat, aku mau masuk ke dalam tapi aku takut mengganggu.
Kulangkahkan kaki lagi menuju ruang tengah dan duduk di sofa, iseng aku ambil ponselku dan ingin menelepon Nadia atau Tian, atau Bunda, tapi aku tak punya pulsa.
Tiba-tiba suara Justin timberleke mengagetkanku dan nama Tian yang tertera di ponsel.
CHRISTIAN Calling ...
Langsung saja kutekan tombol warna hijau “Assalammualaikum,” sapaku.
“Waalaikumsalam, Ai ... aiihhhh aku kangen mendengar suaramu.” Suara renyah khas Tian terdengar di ujung sana,
“Me, too, Boss,” ucapku membuat Tian terkekeh.
“Aihhh gaya ya, hidup di Inggris lupa dengan bahasa jawa, Nduk? Pripun kabare {bagaimana kabarnya}?”
Aku tergelak mendengar ucapannya, dasar dia itu bisa saja menggodaku.
“Boss, maaf ya aku tak sempat berpamitan,” ucapku akhirnya.
Kudengar helaan napasnya di ujung sana lalu terdiam.
‘”Tian, kau tak tidur kan, ya?” panggilku karena Tian tak kunjung bersuara.
“Ai, kau bahagia?” tanyanya tiba-tiba membuatku tertegun.
Tapi kemudian aku mengurungkan niatku untuk menceritakan yang sebenarnya di sini, takut kalau Tian bercerita kepada Nadia dan Nadia langsung menceritakan kepada bunda. Aku tak mau Bunda mendengar permasalahanku di sini.
“Iya bahagialah, sama suami dan juga bisa jalan-jalan keluar negeri,“ candaku.
“Syukur deh, tadinya aku sempat ragu saat kakak iparmu itu meminta izin kau keluar dari hotel dengan alasan ingin menetap di Glasgow dengan suamimu. Aku pikir kau pasti dipaksa bahkan aku sempat ingin menyusulmu ke Glasgow kalau memang kau dipaksa dengan berondongmu itu ataupun keluarganya, Ai,” ucapnya tulus.
Aku tersenyum, Tian memang sahabat baikku dia bisa mengerti perasaanku yang sebenarnya.
“Jangan khawatir, pak Bos, aku bahagia,” ucapku membuat Tian terkekeh.
“Dasar ya, tapi aku jadi kebingungan mencari penggantimu, resepsionis tercantik yang melindungiku dari terkaman wanita-wanita di sini. Asal kau tahu sejak kau tak di sini, karyawan-karyawan centil itu semua mencoba menggodaku aiihhh,” ucap Tian membuatku terkekeh.
“Ambillah satu, Bos, biar ada yang merawat. Ingat
sudah tua, ingat tu burung juga butuh sarangnya.”
“Aliiineeee, hayooooo mulai mesum, ya,” seru Tian di ujung sana membuat tawaku makin berderai.
“Tapi serius, Bos, carilah istri ya, jangan menjomblo terus yang ada cewek-cewek yang haus akan belaianmu itu makin menggodamu.”
Kudengar helaan napasnya di sana.
“Yang menjadi incaranku sudah menjadi milik orang, jadi biarlah menjomblo seumur hidup.” ucapnya membuatku terdiam.
Entah kenapa dia seperti menyindirku. Bukan karena apa tapi aku tahu pasti perasaan Tian kepadaku. Dulu dia pernah bilang kalau dia menginginkan aku menjadi istrinya meski tak pernah kutanggapi.
“Eh Line, sudah dulu ya, aku lagi mengurusi hotel nih ... biasa bos besar akan Sidak,” ucapnya kemudian.
“Okay Bos, salam buat Nadia, ya, dan kalau bisa minta tolong sesekali jenguk bunda dan Evan, ya,“ ucapku.
“Iya pasti, kemarin aku ke rumah bunda dan membantu mengantarkan pesanan kuenya, lumayan dapat bonus tiramissu kesukaanku, hehehehe ya sudah aku pamit, ya. Kapan-kapan aku telepon lagi, see you, Ai, missing you badly,” ucapnya lalu sebelum aku sempat menjawab dia sudah mengakhiri teleponnya.
“Dari siapa, Mbak?” Suara Vian membuatku terlonjak dan menoleh. Vian sudah duduk di sebelahku. Rambutnya acak-acakan dan tak rapi seperti biasanya.
“Christian,” jawabku datar.
“Kenapa tak dimakan nasi gorengnya?” tanyanya sambil melangkah ke arah meja makan dan mengambil nasi goreng masakannya.
Aku tersenyum, dia masih perhatian meski marah begitu.
“Inginnya disuapin.” Tiba-tiba aku ingin merajuk kepadanya, aku tahu dari tadi dia suntuk dengan semuanya.
Vian mengernyit tapi kemudian melangkah dan duduk di sebelahku meski tak ada senyum yang biasa dia berikan kepadaku.
“Aaaa ...” Vian menyuapkan satu sendok nasi di depan mulutku.
Akhirnya kubuka mulut, dan mencoba mengunyahnya. Ehm rasanya enak.
“Enak, Yan,” ucapku sambil mengacungkan kedua
Vian hanya menggelengkan kepalanya saja dan menyuapkan kembali nasi gorengnya. Tapi kurebut segera piring di tangannya.
“Aku makan sendiri saja, ya.” Lalu aku tarik sendok dan piring dari Vian. Dia hanya menatapku datar tak memberi reaksi.
“Ahhh ... Masakan orang marah ternyata enak juga, ya?” godaku lagi sambil memasukkan banyak-banyak nasi ke dalam mulutku.
“Siapa yang marah?” ucap Vian masih datar.
“Terus siapa tadi yang mendiamkanku, bahkan rela meninggalkan istrinya sendiri di rumah sakit padahal aku masih ingin bersamamu.”
Vian kulihat menghela napasnya,
“Maafkan aku.” Kali ini suaranya melembut dan menggenggam jemariku.
“Yan, aku tahu kau juga bingung dengan semuanya, aku tahu kau juga sayang dengan masmu itu, tapi kumohon, hatiku bukan mainan, saat ini aku benar-benar sudah menyerahkan hatiku untukmu, Yan, jangan coba lagi mengganggunya,” ucapanku membuat Vian menatap dan tiba-tiba menarik tubuhku lalu dengan cepat menangkup wajahku.
Bibirnya menempel di bibirku, lembut terasa, bibirnya menyesap ujung bibirku lalu melumatnya dengan penuh perasaan. Aku hanya bisa terdiam kaku tak bisa menanggapinya.
“I Love You, Sayang,” bisiknya dengan napas terengah setelah ciuman kami terlepas.
Dadaku terasa menghangat dan bergetar, ada desir halus di lubuk hatiku.
*****
Semalam kami akhirnya tertidur dengan saling memeluk, dan saat ini setelah sholat subuh aku ingin bergelung lagi di atas kasur saat Vian menerima telepon dari mama dan mengabarkan kalau Ryan harus dibawa ke Indonesia untuk mengembalikan memorinya lagi, tapi dengan satu syarat aku harus ikut ke Indonesia untuk proses penyembuhan.
Setelah menjelaskan itu semua Vian terdiam dan tak berkata apa-apa lagi.
Kurengkuh tubuhnya yang tampak rapuh itu dan memeluknya erat.
‘Yan, aku tak mau pergi meninggalkanmu.“
Share this novel