Kalem Za, Kalem!

Drama Series 387

Seseorang di depan kelas memperhatikanku sedari tadi yang baru aku sadari. Kelasnya yang bersebelahan dengan kelasku membuatnya lebih mudah memperhatikanku dari pintunya. Dia tersenyum tipis segan setelah aku mendapatinya menguping pembicaraanku dengan Kak Darma. Diapun kemudian masuk ke kelasnya.

Karena aku terlanjur gak respek lagi dengan dia sejak malam minggu itu,  aku masa bodo dengannya.

Masuk ke kelas aku mendengar kegaduhan teman-temanku. Seperti biasa saat guru belum masuk kelas kami sebagai siswa merasa bebas.

"Abang Didin ganteng tak tuntuang,  tak tuntuang,  tapi masih ganteng juga, tak tuntuang tak tuntuang," Didin menyanyi cukup keras sambil memetik gitar yang iya bawa untuk mengiringi lagunya yang gak banget tapi lucu.

"Tapi masih jomblo juga, tak pantas,  tak pantas. Kalau ngaku ganteng tak mungkin tak mungkin, ditolak mbak Cilla," lagu balasan dari Rizky teman sebangku Didin.

Aku melihat ke arah Cilla yang kemudian menampol kepala Rizky setelah mendengar Rizky menyebut namanya dalam lagu balasan untuk Didin.

"Apaan sih lo, Ky. Jangan bawa-bawa nama gue," teriak Cilla yang kesal dengan Rizky.

"Eh bidadarinya babang Didin baru masuk kelas," sapa Didin kepadaku yang aku balas dengan tawa.

Cilla yang melihatku datang langsung sewot dengan tatapan sinis yang dia punya kemudian berkata, "Bidadari itu turunnya dari langit yang suci,  punya sayap, bidadari itu cantik luar dalam, jujur,  gak munafik,  apalagi nikung temen."

"Lo sirik, Cill?  Atau cemburu sama Argenta yang gue bilang dia bidadari?" ledek Didin.

Aku yang merasa disindir seperti itu hanya menganggap angin lewat kemudian aku duduk dibangku. Yang awalnya aku bisa tertawa karena Didin, kini aku hanya diam membuka buku catatan yang baru saja aku ambil dari tas.

Aku melihat bangku sebelahku yang setiap harinya kosong setelah ditinggal pemiliknya.

'Cilla,  masihkah kamu bersikap seperti itu?  Sampai kapan? Aku ingin bercanda,  bercerita, duduk sebangku lagi denganmu.' batinku sambil mengelus bangku itu beberapa kali.

Kyola ketua kelasku tiba-tiba masuk ke ruangan kelasku memberikan pengumuman.

"Temen-temen,  jadwal pelajaran hari ini kan Agama. Karena kelas X-1 dan X-2 merupakan kelas campuran dari dua agama, untuk itu kelas kita digabung dengan kelas X-2. Yang merasa islam tetap dikelas ini,  yang merasa protestan dan katholik di gabung ke kelas X-2 sebelum Pak Gusti masuk buat ngajar kelas agama islam."

Beberapa temanku ada yang bersorak riang karena kelas digabung. Ada juga yang menggerutu gak setuju karena belum kenal anak kelas sebelah. Sedangkan aku senang saja kelas di gabung,  otomatis aku bisa satu kelas dengan Kanza untuk 2 jam kedepan.

Berbondong-bondong temanku yang beragama nasrani berpindah kelas ke kelas sebelah dan sebaliknya.

Kepalaku mencari seseorang yang aku tunggu di setiap orang yang hilir masuk di kelasku. 'Mana Kanza, mana Kanza'.

Bukan Kanza yang aku lihat,  melainkan Kalvin yang tiba-tiba menyerobot masuk disela-sala siswa-siswi yang hilir masuk ke kelasku.

Dari arah pojok kanan,  Cilla berteriak dengan kencang memanggil Kalvin. "Vin, di sini kosong nih"

Cilla menunjuk dua bangku di depannya mengajak Kalvin untuk duduk di sana. Boro-boro Kalvin mengiyakan,  bahkan menoleh ke arah Cilla saja enggak.

Tapi persetan dengan Cilla ataupun Kalvin, aku tidak peduli. Aku mencari Kanza bukan Kalvin apalagi harus melihat adegan caper-caper Cilla kepada Kalvin.

Kanza yang masuk paling akhir setelah teman-temannya melihat sekeliling kelas sebelum melihatku yang melambaikan tangan bermaksud menandainya.

Kanza melihat ke araku kemudian dia menghampiriku senang.

"Kursi khusus buat gue nih?" tanya Kanza.

"Iya dong, gue persembahin khusus buat lo," terangku.

"Hahaha... gue jadi terperosot," ucapnya melawak. "Sebenarnya sih gue diajak duduk sama temen gue yang itu. Tapi udah penuh, dan gue gak suka duduk paling depan sendiri, " ucap Kanza lagi sambil menunjuk temanmya dari X-2 yang sedang duduk di bangku paling depan.

"Gue tau,  pasti gak bisa nyuri-nyuri kesempatan tidurkan?" tanyaku menebak yang sudah tau karakter Kanza sebelumnya.

"BINGGO, sist."

"Dasar ratu kebo," ledekku.

"Ar, Pak Gusti kan agak bolot, matanya rabun dan santai yak orangnya karena kemakan usia,  jadi gue mau tidur bentar aja sepuluh menit pas Pak Gusti lagi ceramah atau jelasin pelajaran. Jadi entar bangunin gue kalau dia mulai keliling,  gue mau ngumpetin kepala gue di belakang tubuh temem lo ini," ucapnya santai tanpa dosa melirik teman yang duduk di bangku depanku.

"Gila lo, Za!  Gak takut ketahuan? Lagian lo tau dari siapa kalau pak Gusti seperti itu?" tanyaku pada Kanza.

"Dari Kakak gue. Anak XII-A5. Please-please-please,  gue ngantuk banget. Gue habis begadang," terangnya sambil memohon.

"Yaudah,  tapi gue gak nanggung akibatnya kalau sampai ketahuan ya?" ucapku.

Pelajaranpun dimulai,  setelah lima menit berlalu Pak Gusti membacakan hadist-hadist yang di sambungkan dengan pelajarannya. Kanza langsung terlelap dengan kepala disangga oleh tangannya di atas meja. Aku pikir ucapannya yang tadi hanyalah guyonan semata,  ternyata ini serius. Bahkan dia cepat sekali pulasnya. Pak Gusti tetap bertahan di kursinya sambil menjelaskannya secara seksama.

Beberapa siswa di kelasku juga menguap gak terkontrol seperti kuda nil tanpa ditutup oleh tangan mulut mereka mengangnga. Sedangkan aku tetap fokus mendengarkan pelajaran Pak Gusti.

Benar saja ucapan Kanza,  dua jam berlalu Pak Gusti tidak beranjak dari kursinya. Dia juga tidak sadar dengan siswa-siwinya yang terlelap akibat pelajaran yang beliau berikan. Bukan seperti mengajar lebih tepatnya,  beliau lebih seperti mendongeng.

Kanza saja masih tertidur pulas. Aku tidak berani membangunkannya seperti permintaannya yang hanya dua puluh menit. Karena aku pikir cukup aman untuk dia melanjutkan tidurnya. Jadi hingga bel pelajaran selesai Kanza masih tidur pulas.

Setelah Pak Gusti pergi dari ruangan kelasku, aku bergegas membangunkan Kanza.

"Za, Kanza. Za," beberapa kali aku menepuk bahunya pelan.

Kanza terkejut dengan suaraku, sesekali matanya dikucek perlahan. "Iya,  Ar?" ucapnya sambil membenarkan posisi dan setengah sadar.

"Pelajarannya udah selesai, temen-temen lo udah balik noh," ucapku lagi sambil menggoncang tubuh Kanza yang enggan untuk bangkit.

"Pelajarannya udah selesai?" tanyanya memastikan.

"Udah,  tuh temen-temen lo udah pada keluar," ucapku sambil menunjuk teman-teman Kanza yang berlalu-lalang. Dengan sempoyongan Kanza bangkit dari bangku,  kemudian meninggalkan kelasku. Aku tersenyum melihat tingkah Kanza yang baru aku tau jika dia bersaudara dengan Kak Okso foward tim basket yang ganteng itu.

Pantas Kanza yang memiliki raut wajah cantik meskipun sedikit tomboy, ternyata kakaknyapun juga Ganteng. Satu pabrik yang sama pastinya mereka cantik dan ganteng.

Aku memasukkan buku pelajaran agama yang baru saja selesai ke dalam tas. Saat aku ingin memasukkan buku ini,  aku teringat akan jaket Kalvin yang tadi pagi aku siapkan di dalam tas untuk aku kembalikan ke pemiliknya. Seketika itu juga aku berdecak malas.

"Gue balikin sekarang apa nanti ya?" tanyaku lirih pada diri sendiri.

"Yasudahlah nanti aja pulang sekolah," akupun mengambil keputusan.

Aku mengikuti pelajaran selanjutnya,  hingga bel istirahat berbunyi dengan kerasnya, aku membawa kotak bekalku keluar dari kelas menuju kantin. Kanza bersandar di pintu kelasnya memanggil untuk mengajakku ke kantin bersama.

"Gimana masih ngantuk?" tanyaku.

"Ember, tapi gak begitu ngantuk kayak tadi. Yuk ke kantin gue udah laper banget," rengeknya menarik tanganku.

Kanza mengajakku duduk di bangku kantin depan penjual bakmi yang biasanya di tempati oleh Kak Silvia dan Kak Bagas.

"Jangan duduk di sini!" aku mengeja ukiran kasar di atas meja bangku yang akan aku duduki bersama Kanza.

"Udah santai aja, biasanya gue duduk disini sama Kak Okso," ucap Kanza santai mengabaikan peringatan yang sudah tertulis besar di bangku itu.

"Bang,  bakmienya satu gak pakek acar sama es teh," teriak Kanza.

Selagi aku menunggu pesanan Kanza,  aku membuka bekal makananku yang berisi kentang goreng, nugget yang terpisah dengan buah naga dan kiwi.

"Pasti Mama lo perhatian udah bangun pagi nyiapin ini," ucap Kanza sambil mencomot kentang gorengku.

"Banget. Kalau gue nolak bawa bekal selalu di omelin yang katanya gak hargain dia lah, yang gak bersyukur lah dan masih banyak lagi," terangku sambil menyuapi Kanza nugget milikku.

"Bener kata Mama lo. Lo itu udah punya Mama yang perhatian beda sama gue yang gak punya Mama," ucapnya yang diakhiri dengan suara yang muram.

"Maaf ya Za,  emang Mama lo kemana?" tanyaku ingin tau.

"Mama gue meninggal pas ngelahirin gue. Mama gue ya Papa gue," ucapnya kuat menghadapi kenyataan.

"Gue turut berduka, Za. Tapi lo juga harus bersukur punya kakak. Sedangkan gue?  Gak punya saudara,  di rumah. Sepi cuman ada Mama,  Papa sibuk kerja. Gue kadang kesepian," ucapku menguatkan Kanza dan diri sendiri.

"Tenang, anggap aja kita saudaraan. Kita saling melengkapi aja,  boleh kok lo anggep kakak gue kakak lo," ucap Kanza.

"Ah, iya kalau kakak lo mau
anggep gue adeknya. Dia kenal gue aja kagak. Apalagi gu....," ucapku balik yang kemudian ditepis oleh seseorang.

"Gue kenal lo kok!" ucap seseorang yang tiba-tiba ikut gabung duduk di bangku yang aku dan Kanza duduki.

"Argenta kan?" di lanjutkan dengan uluran tangan laki-laki yang sedang aku dan kanza bicarakan. Kanza yang melihat itu dia tertawa melihat aku mematung memandangi uluran tangan Kak Okso.

"Hahaha... Dia syok permirsa," ledek Kanza.

Aku menjabat uluran tangan kak Okso, "Iya Kak, saya Argenta."

"Gak perlu lo kenalan satu-satu sama semua siswa di sekolah ini, lo udah di kenal," ucap Kak Okso yang kemudian menarik tangannya melepaskan jabatan tangan kami.

Aku masih gak percaya yang di depanku ini Kak Okso. Kalau dilihat dari dekat kenapa kegantengannya nambah ya. Ya Allah Argenta khilaf.

"Nih anak kesambet ya tiba-tiba diem aja," aku masih bisa mendengar ucapan Kanza yang berkata seperti itu. Ini serius pemirsa aku terpesona baik dari fisik,  sikap maupun kepribadiannya meskipun baru kenal. Jadi mana yang lebih ganteng antara Bagas, Okso atau Kalvin?  Semuanya ganteng cuman yang di depanku ini kok lebih istimewah pakek koyah.

"Hahhaha.... Ar, lo gakpapa?" tanya Kak Okso yang menyadarkan rasa kagumku kepadanya.

"Ehh.. Iya kenapa?" tanyaku polos.

"Gak sehat nih anak keknya," ledek Kanza yang membuatku malu.

"Kabar burung di sekolah ini tentang lo itu udah kesebar kemana-mana," ucap Kak Okso.

"Kabar burung tentang saya?" tanyaku lagi dengan sikap sopan kepada kakak kelas dengan menyebut diriku sendiri dengang saya.

"Udah-udah Kak, gue aja yang jelasin ke dia," Kanza menawarkan diri.

"Jadi gini lo,  gue pun awalnya gak tau kalau lo lagi di gosipin sama satu sekolah kalau lo lagi ngejar-ngejar Kalvin," terang Kanza yang berhasil membuatku shok.

"Apa? Gu-gue.....?" ucapku spontan memotong penjelasan Kanza.

"Tunggu dengerin dulu. Gosip yang ada di sekolah ini kalau lo ngejar-ngejar Kalvin itu bersumber dari anak chears," Kanza melanjutkan ceritanya.

"Udahlah ngapain dek, bahas gosip murahan anak chears. Gak penting," ucap Kak Okso yang kemudian merebut Bakmie pesanan Kanza yg baru saja diantarkan abang Bakmie.

"Ahh Kakak, asal sikat aja terus!" seru Kanza spontan sambil memukul bahu Kakaknya. Sedangkan Kak Okso menggunakan tangannya sebagai temeng menghindari pukulan Kanza.

Aku yang melihat tingkah laku mereka hanya tertawa, iri. Masih dengan memikirkan ucapan Kanza mengenai gosip tentangku, aku memutar otak menebak siapa gerangan si penyebar gosip murahan ini.

Grombolan Kakak senior datang menepati kantin, di situ juga terdapat Cilla bersama mereka tertawa lepas. Kak Silvia yang melihat bangku favoritnya ditempati oleh kami bertiga hanya memberikan tatapan sinis sambil berkata,

"Gak bisa baca tulisan di bangku itu!" ucapnya sambil melotot ke arahku. Kenapa hanya aku yang diperlakukan seperti itu.

Kanza yang melihat itu langsung nyolot, "Kenapa? Gue yang ngajak dia ke sini!" ucapnya ngotot.

"Lo sopan ya sama kakak tingkat!" teriak Kak Silvia sambil menunjuk wajah Kanza. Karena teriakan Kak Silvia membuat seisi kantin menatap kami sebagai tontonan.

Kakak Okso yang melihat adiknya diperlakukan seperti itu menyuruh kita berdua untuk pergi dari kantin. "Udah dek, yuk kita cabut."

"Gue gak terima Kak temen gue di gituin. Dan lo! Lo siapa bisa ngatur-ngatur adik kelas? Sekolah ini punya lo?  Atau karena lo ngerasa cantik di sekolah ini lo belagu macam gila hormat?" tanpa mendengarkan ucapan Kak Okso,  Kanza terus saja emosi.

"Hey, jaga mulut lo. Lo pikir gue takut sama anak baru kemarin masuk sini?  Jangan mentang-mentang lo adik Okso lo bisa gak sopan sama senior!" selangkah lebih maju Kak Silvia menabrakan tubuhnya ke tubuh Kanza menantang.

"Dan lo pikir gue takut sama lo?" Kanza makin naik emosinya. Tangan Kanza menepis tangan Kak Silvia yang sedari tadi menunjuk wajah Kanza.

Aku yang melihat kedua orang ini beradu mulut, hanya bisa menarik tangan Kanza berniat mengajaknya pergi sambil berkata, "Udah malu dilihat semua orang, Za."

Kak Okso membantuku untuk mengajak Kanza pergi, dia merogoh sakunya mengeluarkan uang sepuluh ribu yang di letakkan di atas meja untuk membayar bakmi yang sudah dia makan. Kak Okso menyeret tubuh Kanza diikutiku dari belakang.

"Lepasin gue, Kak!" teriak Kanza menolak.

"Ikut gue dulu baru gue lepas," ucap Kak Okso. Kak Okso mengajak kami ke kelas Kanza yang masih sepi ditinggal penghuninya beristirahat.

Kak Okso kemudian mendudukan Kanza pada bangku entah milik siapa. Dengan menelungkupkan kedua tangannya ke wajah Kanza dia berucap menenangkan.

"Hai, jangan mulai lagi,  Za."

"Gue bahkan belum mulai apapun Kak, dia yang cari gara-gara," ucap Kanza masih dengan emosi yang sama.

"Za, orang seperti Silvia itu gak bisa dilawan dengan emosi. Dia itu anak salah satu donatur terbesar di sini. Kalau lo mau lawan dia itu dengan prestasi aja, dan lo juga, Ar."

Kak Okso kemudian menoleh ke araku dan kembali menatap Kanza yang terselimuti rasa emosi.

"Kak, terus kenapa kalau dia anak dari donatur terbesar di sini? Gak bisa dia bersikap sok berkuasa seperti tadi! Apa perlu kita beli sekolah ini biar bisa menutup mulut dia, Hah!" Emosi Kanza kembali memuncak.

"Gak perlu. Lo tunjukkin prestasi lo aja dia akan mengakui kalian berdua dengan seiring waktu berjalan. Selama ekskul chears di ketuai oleh Silvia, chearspun gak pernah dapat kejuaraan apapun," ucap Okso yang membuat Kanza tersenyum licik.

"Jadi, tutup mulut mereka dengan prestasi kalian. Jangan dengan otot apalagi bacot! Oke?" lanjut Kak Okso sambil mengangkat kedua tangannya meminta tos kepada kami berdua.

Kamipun menepuk telapak tangan Kak Okso bersamaan menyebabkan bunyi 'Plakkk" yang seirama.

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience