"Hey.. Hanna cepat kemari"
Langkah kaki Hanna sengaja di perlambatnya. Malas jika harus bertemu dengan pria 'yang dibencinya'. Hanna terus memukul kepalanya sambil megomel tidak karuan. Seperti seorang dukun yang sedang membacakan mantera.
"Ada apa?"
Jawab Hanna malas. Bahkan menatap wajah Kelvin saja sudah malas. Ditambah lagi segerombolan mahasiswa yang mengomel sambil mengatai Hanna. Mata tajam setiap mahasiswa sekarang tertuju pada Hanna. Serasa Hanna akan mati hari ini.
"Apa kau tidak bisa tersenyum"
"Tidak"
"Kau harus tersenyum. Aku tidak ingin melihat orang yang berada disampingku memasang wajah seperti itu"
"Memang ada dalam perjanjian kita bahwa aku harus mengikuti perintahmu"
Kelvin menyerahkan selembar kertas yang sudah terterah tanda tangannya. Dengan mata melotot Hanna melihat lembaran kertas itu. Emosinya kembali memuncak saat melihat kata demi kata yang tertera di kertas itu.
Sebuah perjanjian. Yang di buat secara sepihak. 'Menyebalkan' itulah yang terlintas dipikiran Hanna. Dengan wajah kesal dan emosi yang semakin memuncak Hanna menagmbil kertas itu lalu merobeknya di depan mata Kelvin. Senyum sinis tanpa pada wajah tampan Kelvin.
"Apa kau pikir aku boneka mu! "
Nada suara Hanna meninggi, yang membuat semua tatapan mahasiswa di sana tertuju pada Hanna dan Kelvin. Hanna tau jika bentakan ini akan membuat Hanna di kutuki oleh mereka tapi Hanna tidak peduli. Persetan dengan semuanya. Sekarang emosinya sedang meningkat. Dan Hanna ingin sekali memukul wajah tampan Kelvin dengan kepalan tangannya saat ini. Tapi Hanna tidak bisa melakukannya karena mungkin saja dia
akan terkena Sp ' surat perigatan'.
"Bukannya itu pilihan yang kau buat"
Ucapan Kelvin membuat darah Hanna mendidih. Entah apa yang saat ini sedang dipikirkan oleh Hanna. Rasanya dia ingin mencabit-cabit tubuh Kelvin bahkan membunuhnya saat ini. Tapi Hanna tidak bodoh. Mungkin jika dia melakukan itu. Maka akan timbul perjanjian bodoh lainnya.
"Kau yang membuatnya..!! "
Kelvin mengganguk tanda setuju dengan ucapan Hanna. Tapi Kelvin tidak mau kalah. Dia mendekat kearah Hanna membuat beberapa mahasiswa yang dari tadi berbisik mengenai Hanna. Mulai bertindak histeris. Sambil tersenyum sinis Kelvin berbisik dengan jarak yang benar - benar sangat dekat.
"Kau tau, saat ini mereka semua sedang manatap kita. Jika saja aku memelukmu saat ini maka entah apa yang akan dilakukan oleh mereka"
"Kau pikir aku akan takut dengan ancamanmu"
"Entahlah.... Aku bahkan sedang bertanya - tanya apakah ancaman ku ini kurang bagimu?"
Hanna berusaha menetralkan emosinya yang saat ini sedang sangat memuncak. Dengan senyum yang lebih sinis dari Kelvin. Hanna mendekatkan wajahnya ke wajah Kelvin membuat beberapa mahasiswa di sana tambah histeris. Hanna menatap lama pada kedua mata coklat milik Kelvin. Dan diakhiri dengan Kedipan mata Hanna yang membuat Kelvin sedikit tercengang kaget, Kelvin tidak menyadari bahwa Hanna akan melakukan hal ini.
Hanna kemudian mendekatkan mulutnya ke telinga Kelvin, lalu berbisik sehingga membuat beberapa mahasiswa ingin melangkah maju, untuk membunuh Hanna karena berani mendekati Kelvin.
"Aku tau maksudmu, memberikan pilihan itu padaku. Kau lebih licik dari yang kupikirkan. Jika itu mau mu maka aku akan melakukannya. Dan kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan"
Langkah kaki Hanna bergerak meninggalkan koridor kampus dengan cepat. Ucapan Hanna membuat Kelvin tercengang. Ditambah lagi kedipan mata Hanna yang membuat Kelvin sedikit hilang kesadaran.
"Baiklah.. Aku akan menunggu hal itu"
Sambil terus memandangi punggung Hanna yang telah hilang menjauh. Senyum sinis Kelvin kembali muncul. Dan membuat nahasiswa yang sejak tadi menatap mereka. Sedikit takut. Dengan langkah santai Kelvin pergi meninggalkan koridor kampus.
***
"Benarkah sekarang kau pacarnya kelvin"
Ocehan Siska tidak henti-hentinya. Banyak pertayaaan yang diajukan oleh Siska. tapi tidak ada satupun pertayaan yang di jawab oleh Hanna. Setelah semua pertanyaan Siska terlontarkan. Barulah Hanna menjawabnya.
"Begini. Jika kau bertanya apa aku berpacaran atau tidak dengan pria itu maka itu jawabannya tidak. Aku melakukan ini karrna ada alasannya. Aku akan membuatnya malu karena telah memilih ku. Dan akan ku buat dia mencabut perjanjian itu"
Melihat ekspresi serius dari wajah Hanna membuat Siska sedikit takut. Takut jika emosi Hanna akan meledak sewaktu-waktu. Tapi Siska binggung dengan jawaban dari Hanna.
"Aku pergi dulu"
Hanna pergi meninggalkan Siska sendirian. Yang masih sibuk mencernah setiap kata dari jawaban yang diberikan oleh Hanna. Suara jentikan jari membuat Siska tersadar. Ditatapnya pria yang saat ini ada di hadapnya. dengan wajah yang cemberut. Siska memukul pundak pria itu.
"Aoww.... Sakit"
"Siapa suruh mengagetkan orang. Bagaimana jika jantungku ini copot?. Apa kau ingin bertanggung jawab? "
"Kalau copot... Pasang lagi dong"
Kata pria itu sambil tertawa geli. Mendengar suara tawa yang mengejek, dengan cepat tangan Siska kembali memukul pria itu.
"Kau menyebalkan..... Hendra"
"Hentikan... Sakit..... Hentikan"
Tanpa mempedulikan teriakan dari Hendra. Siska dengan sekuat tenanga melampiskan kekesalannya tanpa henti. Membuat beberapa mata yang lewat tertuju pada mereka.
***
"Apa kau tidak ingin makan"
ucap Hanna sambil bersikap manis. Dengan tatapan datar Kelvin berusaha menyelidiki rencana yang dibuat oleh Hanna. Tapi entah kenapa Kelvin tidak bisa membuktikan kecurigaannya. Tanpa berpikir panjang lagi, Kelvin menyetujui ajakan Hanna.
"Ayo... Apa kau sudah lapar... Sayang"
Ucap Kelvin sambil menekankan kata 'Sayang' dan merangkulkan tangganya ke pundak Hanna. membuat beberapa mahasiswa di kelas menoleh, sontak membuat mereka langsung memandang sinis dan mengutuki Hanna. Entah sudah berapa banyak kutukan yang diterima oleh Hanna, Gara-gara Kelvin tapi Hanna tidak peduli karena dia akan pastikan Kelvin menerima balasannya.
Hendra yang sejak tadi memainkan Game yang ada di Hpnya. Menoleh saat melihat temannya pergi tanpa mengajak dirinya. Dengan mulut yang tidak dapat berkata-kata lagi Hendra kembali memainkan Hpnya. Tapi sebuah pikiran terlintas di otaknya. Dengan akting yang sedikit buruk. Hendra pergi mendatangi Siska untuk mendapatkan perhatian, tapi langkahnya terhenti saat dia melihat Siska yang tengah sibuk melihat - lihat baju yang ada di toko online.
Dengan cepat Hendra mengambil Hp Siska. Lalu mencari-cari sebuah gambar. Melihat Hpnya diambil secara paksa, membuat Siska tanpa iba sedikitpun terus memukul Hendra meskipun Siska telah mendegar rintihan dari Hendra.
"Hey... Kembalikan "
"Jika kau ingin mendapatkannya... Maka kau harus meminta maaf dulu padaku"
"Ogah"
"Kalau gak mau yah sudah... Maka aku tidak akan mengembalikannya"
Pertikaian terus terjadi antara Siska dan Hendra. Dan tidak sedikit mahasiswa yang cemburu melihat kedekatan Hendra dan Siska. Mengigat bahwa Kelvin dan Hendra merupakan mahasiswa tampan dengan kekayaan yang berlimpah ditambah mereka adalah pemain basket terbaik dai kampus mereka.
Dengan tangannya. Siska menarik rambut tebal nan hitam milik Hendra. Yang akhirnya membuat pekikan dan kebisingan di ruang kelas. Dengan sekali loncat Siska berhasil mendapatkan Hpnya kembali. Sebelum Hendra kembali merebut Hpnya. Siska berlari sekuat tenaga meninggalkan kelas.
Masih merasa sakit pada akar rambutnya. Dengan tangannya Hendra mengosok-gosok pelan kepalanya memastikan bahwa kepalanya baik-baik saja, meskipun kepalanya masih terasa sakit tapi Hendra tetap tersenyum.
"Susah baget... Dapetin cewek itu"
***
Mata coklat Kelvin saat ini sedang menatap nasi goreng yang ada di hadapannya. Sambil sesekali menatap Hanna yang sedang menikmati makannanya. Dengan tatapan curiga. Kelvin menyingkirkan nasi goreng itu kehadapan Hanna. Yang membuat Hanna menoleh menatapnya.
"Ada apa? "
kelvin menunjuk piring yang berisi nasi goreng itu. Dan memberikan isyarat supaya Hanna mencicipinya terlebih dahulu. Merasa tersinggung dengan Kelvin. Hanna mendengus kesal. Sambil menatap tajam kearah Kelvin.
"Apa kau pikir aku akan meracuni mu? "
"Mungkin saja"
Jawab Kelvin santai. Sambil mengapitkan kedua tangannya di dada. Dengan gerakan tangannya lagi. Kelvin memaksa Hanna untuk mencicipi nasi goreng yang telah disiapkan oleh Hanna. Sambil menarik nafas. Hanna menagambil satu sensok nasi goreng dan memasukan kedalam mulutnya, sambil menunjukkan ekspresi 'enak', Hanna menyuruh Kelvin untuk memakannya. memakannya..
"Kau lihat... Aku tidak mati... Jadi makan saja"
"Apa kau pikir aku bodoh... Racun tidak akan bereaksi setelah kau makan.. Aku akan menunggu 5 menit. Dan melihat reaksi apa yang di timbulkan."
Hanna kembali menghelakan nafas beratnya. Sambil meneguk minumannya yang telah dicampur dengan obat diare. Sambil tersenyum sinis, Hanna Membayangkan bagaimana reaksi Kelvin saat perutnya mules , Karena memakan nasi goreng yang telah dia siapkan olehnya.
Hanna yakin bahwa Kelvin akan memintanya untuk mencoba dulu makanan yang telah ia siapkan. Karena itu Hanna sudah merencanakan segalanya dengan baik. Dan Hanna rasa sejauh ini. Rencananya akan berhasil.
Setelah 5 bahkan 10 menit berlalu. Kelvin mengerjitkan alisnya. Sambil menatap Hanna yang asik menyatap makanannya. Dengan membuang pikiran buruk, bahwa Hanna meracuni makanannya. Tanpa pikir panjang lagi Kelvin memakan nasi goreng itu. Karena sebenarnya perutnya sudah lapar dari tadi. Dan cacing di perutnya tidak dapat berkompromi lagi. Dengan lahap Kelvin memakan nasi goreng itu.
***
Mata coklat bulat milik seorang mahasiswi, Sedang memandagi seorang pria yang tengah asik melukis sambil mendengar musik. Tangan pria itu begitu telaten menggambar detail demi detail dari objek yang saat ini dilihatnya. Tanpa berniat untuk pergi dari sana. Wanita itu. Terus menerus memandagi wajah tampan yang saat ini sedang dikaguminya.
Sesekali senyum tipis nengembang di wajahnya. Tanggan pria itu mulia mengelus tengkuknya. Lelah karena lehernya terus menunduk. Matanya sesekali menyipit. Untuk melihat objek yang ada di hadapannya. 'Sebuah pemandangan indah'.
"Seandainya yang lukis disana adalah diriku"
Pandangan wanita itu sekarang mengabur,sesekali wanita itu memejamkan matanya karena terasa kering akibat terus melihat ke arah sosok 'pria' yang dikaguminnya. Tapi entah kenapa Kening wnita itu mengerut.Merasa bigung dengan sesuatu hal yang saat ini terjadi. pandangan wanita itu diedarkan lebih luas keseluruh tempat untuk mencari 'sosok' pria tadi, tapi ternyata pria itu sudah pergi.
"Apa dia sudah pergi?"
Dengan wajah sedih dan kepala tertunduk. Wanita itu melangkahkan kakinya pergi. Namun langkah kakinya terhenti Saat kepalanya menabrak sosok di hadapannya. Spontan wanita itu langsung mengangkat kepalanya, untuk meminta maaf.
Kedua bolah mata wanita itu melebar. Pipinya memerah. Dan tubuhnya kaku. Sosok pria yang dari tadi dilihatnya. Saat ini berada di hadapannya. Dengan tatapan mata yang lembut. Pria itu terus menatap wanita di hadapannya.
"Apa yang kau lakukan? "
"A... Ak.. Aku"
Pria itu menunggu jawaban dari wanita yang saat ini berada di hadapannya. Sambil sesekali melirik sana sini. Wanita itu berusaha mencari berbagai alasan. Dengan wajah yang masih menerah.wanita itu terus mengaruk kepalany yang bahkan tidak terasa gatal sedikitpun.
"Apa kau kesini untuk melihatku?"
'Teg'
Jantung wanita itu seketika terhenti. Nafasnya menjadi tidak teratur. Sekarang pikirannya tidak dapat berkompromi. Kegelisahan tanpa pada wajah wanita itu.
"Tidak... Ray"
Ucapan wanita itu membuat Ray memandangnya heran. Heran karena wanita yang ada di hadapannya ini tau namanya. Tapi sebenarnya itu tidak perlu di jadikan alasan untuk seorang Raynaldo Sanjaya merasa heran. Karena dia tampan, kaya, keren dan pintar melukis. Meskipun sikapnya terlihat dingin di kampus. Teta saja, banyak wanita yang menyukainya.
"Kau.... Mengenal ku? "
Mulut wanita itu terkunci rapat. sambil megutuki kebodohannya, wanita itu terus menyalakan mulut bodoh miliknya.
"Aku tidak mengenalmu...Tapi bagaimana kau tau namaku... Hebat sekali... Apa aku sepopuler itu? "
Anggukan kecil terlihat dari gerak -gerik wanita itu. Dengan wajah yang masih menunduk. Wanita itu berusaha menyembunyikan wajah merahnya. Namun, langkah kaki Ray yang bergerak pergi membuat wanita itu mendogakan kepalanya. Raut wajah sedih menghiasi wajah wanita itu.
"Kuharap kau juga tau namaku... Ray"
Ucap wanita itu sebelum dia pergi. Sambil menatap
bayangan Ray yang tidak lagi terlihat olehnya. Wanita itu menghembuskan nafas berat. Lalu berjalan meninggalkan taman.
***
Cucuran keringat dingin mulai membasahi pelipis Kelvin. Sesekali matanya menyipit, karena rasa sakit yang tak tertahankan yang berada diperutnya. Tangannya perlahan menjadi dingin. Wajahnya pucat pasi. Tapi Kelvin tetap berusaha bertahan sampai pelajaran usai.
Di lain sisi Hanna yang tengah sibuk mengobrol dengan Siska di kelas saat pelajaran tengah berlansung. Tidak menyadari bahwa reaksi obat sakit perut yang di masukakan ke nasi goreng Kelvin telah berkerja.
"Kelvin... Apa kau baik-baik saja? "
Hendra menatap Kelvin dengan tatapan khawatir. Berusaha untuk mencari jawaban atas pertanyaannya barusan. Tapi hasilnya nihil. Kelvin tidak menjawab. Bahkan tidak mengubris pertayaan Hendra sedijit pun. Sekali lagi. Dengan pertanyaan yang sama Hendra kembali menanyakan pada Kelvin. Tapi kali ini Kelvin menjawab pertanyaannya, Namun jawaban yang diberikan Kelvin bukanlah di tunjukkan untuk Hendra melainkan untuk Hanna yang berani meracuni makanannya.
"Aku akan membalasmu... Lihat saja nanti"
Ucap Kelvin dengan suara lemah sambil menatap sinis kearah Hanna yang duduk tidak jauh dari tempatnya sekarang
"Si.. Siapa yang kau maksud?. Apa itu aku? "
Kelvin terus memegangi perutnya yang sakit, sambil
berusaha memfokuskan dirinya dengan pelajaran yang sedang di jelaskan oleh Dosen. Tapi hasilnya nihil, Kelvin tidak bisa fokus dalam pelajaran, malah membuat sakit perutnya tambah menjadi-jadi. Tanpa berfikir panjang lagi, Kelvin merebahkan kepalanya diatas meja berusaha untuk tertidur agar rasa sakitnya dapat berkurang.
Kini tatapan kedua orang itu bertemu. Dengan jempol yang menghadap ke bawah. Hanna menyeringai sinis. Melihat kondisi Kelvin saat ini yang dapat dibilang cukup parah akibat reaksi obat diare yang Hanna berikan. Hanna tidak peduli apakah dia akan terkena batunya atau tidak pada nantinya. Tapi yang jelas. Hanna sangat senang saat ini.
"Itu adalah Ganjaran bagimu,Yang berani menganggu ketenangan hidupku"
***
"Lepaskan aku...! "
Hanna berusaha melepaskan genggaman tangan Kelvin dari tangannya. Tapi hasilnya nihil. Genggaman itu semakin erat. Seiring dengan ocehan Hanna yang memintannya untuk melepaskan genggamannya.
"Apa kau tuli? "
Dengan keringat dingin yang masih mengalir di plipis Kelvin. Kelvin Berusaha untuk menatap Hanna sesinis mungkin. Sambil mengisyartkan. 'Jika ini adalah salahmu, maka kau harus bertanggung jawab'. Tapi Hanna tidak mengerti dengan isyarat itu.
"Apa... Apa... Akan ku conkel matamu.. Jika kau masih menatapku seperti itu!!"
Ucap Hanna sambil memutar 2 jari tangganya, ke arah mata Kelvin.
"Kau.... Nasi goreng itu... Kau yang memberi obatkan?"
"Licik! "
Seru Kelvin. Sambil berusaha Menyamakan posisi dirinya dengan Hanna. Tangannya perlahan memengang pundak Hanna sambil menunjukkan tatapan kesakitan. meskipun begitu, senyum sinis tetap terukir jelas di wajah tampannya.
"Kau... Harus bertanggung jawab"
"Apa urusannya dengan ku... Kau bukan pacar, sahabat ataupun keluargaku.. Jadi tidak ada keharusan dariku untuk mengurusmu saat ini"
"Kau yang membuatku seperti ini... Maka kau, harus menanggungnya"
Mata Hanna membulat , Saat kepala Kelvin terjatuh ke pundaknya, dengan ekspresi panik sekaligus takut, Hanna perlahan menyenderkan tubuh Kelvin ke lantai, saat dirinya menyadari bahwa saat ini Kelvin pingsan. Dengan mata yang terus bergerak kekiri dan kekanan, Hanna berusaha membangunkan Kelvin sambil sesekali menampar pelan wajah Kelvin.
"Hey.... Bangun... Apa kau sedang bercanda... Hey.... Bangun!! "
Teriakan Hanna memenuhi seisi ruangan kelas, yang saat ini sedang kosong karena semua orang sudah pulang ke rumah meraka masing-masing termasuk Siska dan Hendra. Merasa panik dengan keadaan Kelvin saat ini, Hanna tidak tau apa yang harus diperbuatnya.
Bahkan Hanna tidak tau, Jika efek dari obat diare yang diberikannya akan berakibat seperti ini, karena sebenarnya yang diinginkan oleh Hanna hanyalah melihat Kelvin terus bulak-balik ke toilet, tapi dia tidak tau bahwa Kelvin akan sebodoh ini menahan rasa sakit di perutnya yang menyebabkan dirinya pingsan seperti sekarang ini.
Pikiran bodoh mulai muncul di benak Hanna. Pikiran bahwa Kelvin akan meninggal dunia karena dirinya. Serta pikiran bahwa Hanna akan menjadi pembunuh dikampus.
Dengan tatapan kahwatir Hanna berusaha sekuat tenaga membangunkan Kelvin. Tapi hasilnya tetap saja nihil. Kelvin tidak sadarkan diri. Air mata Hanna mengalir seketika. Takut jika apa yang dipikirkannya. Akan benar benar terjadi.
"Hey... Kau tidak boleh mati... Kau.. Tidak boleh mati... Hey.. Sadarlah"
Hanna takut. Tapi suara lemah yang keluar dari mulut Kelvin seketika membuat air mata Hanna berhenti mengalir. Kedua matanya kini menatap lurus kearah Kelvin sambil terus memandangi sosok pria yang sangat menyebalkan baginya.
"Apa kau pikir aku tikus...? Yang akan mati begitu saja... Saat memakan racun yang kau berikan"
Hanna menatap tajam pada Kelvin. Suara dengusan kecil keluar dari bibir tipis Hanna. Karena tidak percaya dengan sikap yang tetap saja menyebalkan meskipun kondisinya saat ini dapat dibilang cukup parah.
"Apa kau membohongiku"
Kata Hanna sambil melepas tangannya yang sedari tadi memengangi tubuh Kelvin. Senyum tipis terukir di wajah Kelvin yang masih saja terlihat tampan meskipun wajahnya sekarang terlihat pucat.
"Obat... Beri aku obat"
Kata Kelvin dengan suara lemah, sambil mengulurkan tanggannya ke hadapan Hanna.
"Aku tidak punya"
"Berhentilah berbohong... Cepat berikan padaku"
"Sudah kukatakan... Aku tidak punya"
"Kau menyiapkan racun untuk ku... Tapi kau tidak
menyiapkan obat. Apa kau benar - benar ingin membunuh ku? "
bentak Kelvin dengan suara keras yang sedikit dipaksakan. Hanna mengganguk kecil untuk membenarkan ucapan Kelvin mengenai obat perada sakit diare, karena saat dikantin dia sudah meminumnya. Kali ini tubuh Kelvin benar - benar ambruk ke dalam pelukan Hanna.
Dengan suara yang takut, Hanna kembali berusaha membangunkan Kelvin dengan mengguncang tubuh Kelvin. Tapi hasilnya nihil, Kelvin tidak bangun. Walaupun sudah di bangunkan berkali - kali. Deru nafas Kelvin yang berat terdengar jelas di telinga Hanna. Menandakan bahwa Kelvin saat ini benar - benar sekarat.
Tanpa berpikir panjang lagi Hanna langsung mengambil Hp yang berada di saku celana Kelvin. Dengan jari ngemetaran Hanna berusaha mencari dan menghubungi Hendra untuk meminta bantuan.
***
Suasana rumah sakit serta aroma obat Sedikit membuat Hanna merasa tidak nyaman. Hanna terus teringat dengan kejadian saat dirinya mengalami kecelakaan. perlahan Hanna menutup matanya, berusaha membuang jauh-jauh pikiran itu darinya.
Langkah kaki seorang pria yang dengan tergesa-gesa memasuki kamar rawat membuat Hanna menoleh padanya.Dengan tatapan khawatir Pria itu mengahampiri Kelvin yang tengah terbaring lemas diatas kasur.
"Apa dia baik-baik saja"
"Siapa orang yang tega meracuninya"
Ucap Hendra. Sambil menangis seperti seorang anak yang akan kehilangan ibunya. Hendra tidak henti-hentinya memeluk Kelvin. Tidak tahan dengan suara Hendra yang menggangu teliganya, dengan berar hati Kelvin membuka matanya dan perlahan menyingkirkan kepala Hendra dari tubuhnya.
"Berisik sekali"
Ucapnya dengan nada suara pelan.
"Kau sudah sadar? "
"Jika aku tidak sadar... Jadi apa saat ini kau bicara dengan Hantu? "
"Maaf... Maaf... Aku sangat khawatir padamu.. Kau tau... Aku berlari dari lapangan basket sampai kesini"
Kata Hendra sambil menunjikan keringat yang mengalir di plipis serta lehernya. Memang harus diakui bahwa persahabatan Hendra dan Kelvin sangatlah baik, tidak ada yang dapat memisahkan persahabatan mereka, banyak orang mengatakan bahwa mereka itu bak perangko dan kertas. Meskpi kelihatanya mereka tidak dekat,Tapi mereka melebihi seorang saudara.
"sekarang temanmu sudah ada disini jadi aku mau pulang"
Belum sempat Hanna mengambil tasnya dan melangkahkan kakinya pergi dengan cepat Kelvin menahan pergelangan tangan Hanna.
"Bukankah aku sudah pernah mengatakan bahwa kau harus tetap disisiku sampai aku mengizinkamu untuk pulang"
"Ini sudah sore... Dan aku harus pulang"
"Perjanjian... Tetap perjanjian... Lagi pula kau yang membuatku dalam kondisi seperti ini"
Hanna bahkan tidak bisa berbica lagi saat mendengar ucapan terakhir dari Kelvin. Memang benar Ini adalah kesalahannya, dan Hanna memang harus bertanggung jawab. Sambil memukul pelan kepalanya Hanna merutuki kebodohan yang diperbuatnya. Untuk hari ini Hanna akan mengala, tapi bukan berarti dia kalah dari Kelvin.
Perlahan Kelvin berusaha untuk bangkit dari posisinya saat ini. Sambil berjalan perlahan melintasi Hanna dan Hendra yang saat ini bingung melihat Kelvin yang tiba-tiba beranjak dari kasurnya, perlahan Kelvin menoleh kebelakang sambil mengisyarakatkan agar Hanna mengikutinya.
"Ada apa? "
Ucap Hanna yang binggung setengah mati dengan sikap Kelvin.
"Ikut aku kelapangan basket"
"Apa? "
Seru Hendra dan Hanna berbarengan. Hendra tidak dapat mengerti jalan pikiran Kelvin. Padahal kondisinya sendang sakit, bahkan untuk berjalan pun sulit. Tapi tidak dengan pikiran Hanna. Hanna bukannya memikirkan kesehatan Kelvin saat ini. Tapi malah ke maksud dari ucapan Kelvin yang menyuruhnya ikut kelapangan.
"Kau sendang sakit... Bagaimana jika mama dan papa mu bertanya padaku. Apa yang harus ku jawab"
Ucap Hendra, yang berusaha membujuk Kelvin untuk istirahat.
"Aku tidak peduli ! "
"Aku tidak mau... Memangnya apa yang akan kita lakukan di lapangan?"
"Kau hanya perlu mengikutiku.. Dan jangan banyak mengomel. Telinga ku sakit karena mendengar suara mu"
Langkah kaki Kelvin sangat pelan. Sambil berusaha menahan sakit pada perutnya yang masih terasa nyeri. Kelvin meninggalkan kamar rawat. Diikuti oleh Hendra yang membantu memapa Kelvin. Sedangkan Hanna terus mengomel tidak jelas mengenai Kelvin.
***
"Apa!.... Aku tidak mau"
ucap Hanna dengan suara yang sangat keras.
"Harus berapa kali ku katakan.... Kau yang membuatku seperti ini... Jadi kau harus bertanggung jawab"
"Apa kau pikir aku laki-laki.... Aku ini wanita"
"Aku tidak peduli.... Kau lihat disana"
Kata Kelvin sambil menunjuk kearah papan absen yang berisi nama serta pringkat dari masing - masing nama itu. Tidak mengerti maksud Kelvin. Hanna menaikan kedua bahunya Mengisyaratkan bahwa dia tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Kelvin.
"Apa kau itu bodoh"
"Ah,benar... Kau bodoh.. Karena itu.. Kau tidak tau... Apakah tindakanmu itu. Akan membunuh seseorang atau tidak"
lanjut Kelvin dengan nada yang menyindir.Sedikit tersinggung oleh ucapan Kelvin barusan. Hanna memayunkan bibirnya.
"Tapi itu juga kesalahanmu... Jika merasa sakit.. Kenapa kau harus menahanya.. Dimana-mana orang yang sakit pasti akan selalu meminta izin untuk pulang"
Ucap Hanna sambil membela dirinya.
"Dan itu artinya... Aku akan bolos satu pelajaran... dan semua itu, karena kau... apa yang aku ucapkan itu salah?"
"Untukk itu.... Itu.. Resikomu"
Kelvin mendengus kesal setelah mendegar jawaban dari Hanna. Tidak mau ambil pusing, Kelvin menyuruh Hanna berlari mengelilingi lapangan basket yang dapat dibilang cukup besar, Untuk mengantikan dirinya melakukan pemanasan.
"Sudah ku bilang aku tidak mau"
"Aku tidak ingin Peringkatku turun karena kondisi ku saat ini yang disebabkan karena perbuatan mu "
"Lalu kenapa harus aku? "
kata Hanna sambil menunjuk dirinya, yang tidak percaya dengan apa yang dikatakan Kelvin.
"Aku sangat lelah menjelaskannya padamu... Aku tidak mau tau, Sekarang... Gantikan aku berlari di lapangan sana, sebanyak 5kali"
"Apa!... 5 kali... Kau gila"
"Iya aku gila... Jadi cepat lakukan sebelum aku
memintamu melakukan hal gila lainnya"
Dengan wajah masam dan berat hati ,Hanna terpaksa menuruti printa Kelvin.'Menyebalkan' dan 'menyesal' itulah yang terus muncul di benak Hanna saat dirinya terus berlari.Seharusnya Hanna saat ini sudah berada dirumahnya. Menonton sambil menikmati camilan yang di buat oleh Ny. Carolin.
Tapi kenyataannya,Hanna malah harus berlari mengitari lapangan basket yang cukup besar ini sendirian. 'Lelah' itu pikiran yang terlintas di benak Hanna saar dirinya akan memasuki putaran pertama. Sesekali Hanna menatap Kelvin yang tengah membaca sebuah buku Novel.
Setelah Hanna menyelesaikan 5 putaran. Kini Hanna menghampiri Kelvin dengan langkah gontai. Kakinya lemas, dan nafasnya tidak karuan lagi. Dengan telapak tangannya, perlahan Hanna menyeka keringatnya.
"Ini.. Minunlah"
kata Kelvin sambil mengulurkan sebotol air mineral ke hadapan Hanna. Dengan tatapan curiga Hanna terus memandangi air minum yang saat ini masih berada di genggaman Kelvin. Melihat Hanna yang tidak kunjung mengambil air mineral yang diberikannya. Suara decikan keluar dari mulut Kelvin.
"Apa kau pikir aku seperti dirimu? "
Tanpa berniat untuk menjawab pertanyaan Kelvin. Hanna mengabil air mineral itu, Lalu menenguk isinya sampai habis.Tawa kecil keluar dari mulut Kelvin, yang merasa lucu melihat ekspresi Hanna yang seperti anak kecil.
***
Share this novel