BAB 36
RYAN POV
Sakit, sepi, sunyi, yang kurasakan. Entahlah apa yang terjadi dengan diriku. Kenapa aku berada di sini, kenapa badanku terasa lemah tak berdaya. Dan saat kubuka mataku kulihat mama di sana langsung menghambur memelukku.
Mama kenapa menangis, bukankah kemarin aku baru saja menunjukkan kepada mama kalau aku lulus sekolah? Ahhhh kepalaku terasa sakit.
“Ryan, Sayang.” Tiba-tiba kulihat Sisca, yah Fransisca menubrukku dan memelukku erat. Eh, kenapa dia? Bukankah aku baru saja, mengakhiri hubungan kami? Oke, aku memang berpacaran dengannya tapi itu karena terpaksa, karena Rosaline mengacuhkanku saat aku menyatakan cinta lewat Rizal yang membantu menunjukkan tulisanku kepada Aline, gadis pujaanku selama ini. Tapi aku tak bisa berpura-pura mencintai Sisca.
“Lepas, Sisca kenapa kau di sini?” tunjukku ke arahnya.
Sisca menatapku bingung, begitu pun dengan mama dan papa.
“Mas, dia Sisca itu istrimu, kau ingat, kan?” tanya mama ke arahku.
Kulihat kembali wajah Sisca, tapi ahhhh kenapa kepalaku terasa sakit, sangat sakit, semuanya berputar dan tiba-tiba semuanya terasa gelap.
*****
“Jadi Anda mengalami amnesia temporer, memori Anda selama 10 tahun terakhir terhapus,” ucap dokter kepadaku.
Aku tadi sempat pingsan, dan saat tersadar dokter sudah memeriksaku, dan mama menceritakan semua kronologis kenapa aku berada di sini.
Benarkah? Aku sudah menjadi pengacara, sudah menikah dengan Sisca? Tapi kenapa semuanya begitu asing denganku.
Sisca tadi berteriak histeris saat aku tak mengakuinya menjadi istri dan dia berlari keluar. Papa mencoba menenangkannya.
Suara pintu dibuka membuatku menatap ke depan, sementara dokter masih memeriksaku.
“Mas.” Kulihat adik kesayanganku, adikku satu-satunya yang selalu kujaga dan kulindungi kini berada di depanku.
Owh dia sudah sama tingginya denganku sekarang. Bahkan wajahnya makin menampakkan kalau dia memang keturunan keluarga Atmawijaya yang tampan. Semua menurun dari papa yang notabene masih memiliki keturunan darah Jerman, Papa yang masih juga terlihat tampan di saat usianya sudah tak muda lagi. Aku dan Vian memang perpaduan sempurna antara mama yang sangat cantik dan juga papa.
Vian mendekat.
“Dek, kenapa kau di sini? Bukankah kau harus sekolah?” Kutanyakan itu karena bingung melihatnya.
Mama mendekatinya dan membisikkan sesuatu, membuat wajahnya seketika berubah cemas dan menatapku lagi. Kualihkan pandangan ke arah sampingnya, dan jantungku terasa berhenti berdetak.
Gadis itu, gadis yang menjadi impianku selama ini, cinta sejatiku, cinta pertamaku. Sejak pertama kali melihatnya, hatiku sudah menjadi miliknya benar-benar menjadi miliknya.
Paras cantiknya, sikapnya yang lembut, bahkan malu-malu saat seluruh teman sekelas menggodanya dan berteriak-teriak kalau aku mencintainya. Dia hanya menunduk dan tersipu. Manis.
Aku memang tak berani menyatakan cintaku kepadanya.Katakanlah aku bodoh, katakanlah aku pengecut, tapi kalian tahu? Efek yang diberikan gadis ini, saat aku berada di dekatnya, aku benar-benar tak bisa berkutik. Tubuhku membeku, lidahku kelu, bahkan menatapnya saja aku malu. Bagaimana bisa seorang Ryan jadi tegang bila berada di depan gadis yang dicintainya.
Kukerjapkan mata, dan menatapnya lagi, eh tapi kenapa dia berada di pelukan Vian?
“Rosaline Prameswari?” sapaku ke arahnya dan dia terkejut dan menatapku ketakutan, ada apa dengannya?
Lalu kutanyakan kepada Vian kenapa dia bisa bersamanya, apakah Vian sudah menemukannya dan membawanya untukku? Adikku memang bisa diandalkan.
*****
Sejak itu, hatiku terasa menghangat. Aline selalu menjagaku, bahkan saat akhirnya dokter mengizinkanku pulang ke Indonesia, Aline dengan setia menemaniku. Tak kupedulikan Sisca yang mengiba-iba di depanku tapi memang aku tak mencintainya sejak dulu. Mungkin aku menikahinya karena terpaksa atau entahlah.
Dua minggu sudah aku berada di Indonesia dengan Aline yang selalu rajin mengantarku terapi dan mengantarku berkeliling untuk mengembalikan memoriku yang hilang ini. Kalau begini aku tak ingat pun tak apa, asal berada di samping gadis yang sangat kucintai.
Aku berjalan riang saat memasuki rumah. Gadisku sedang sakit dua hari ini, makanya aku menjenguknya tadi, dan aku melamarnya. Yup, aku tak mau menjadi pria bodoh lagi melepaskan kessmpatanku untuk memiliki Aline. Kulamar dirinya, tapi kenapa sorot matanya menandakan kesedihan? Dia seperti tak bahagia dan tertekan.
Kepalaku tiba-tiba terasa pusing, kulangkahkan kaki menuju kamarku yang berada di lantai dua, tepat di sebelah kamar Vian. Adikku itu juga kenapa menghilang, aku tahu dia di Glasgow melanjutkan beasiswanya di sana. Aku bangga dengannya, karena dia memang cerdas. Dan membuat papa senang karena ada yang meneruskan profesinya sebagai dokter, karena aku tak bisa menuruti keinginan Papa.
Kubuka pintu kamar dan melangkah menuju balkon kamar, aku butuh udara segar.
Saat kulangkahkan kaki di balkon, tiba-tiba suara gemerisik menggangguku dan ketika kutolehkan kepala ke kanan, tepatnya ke arah balkon samping kamarku, di sana di depanku pemandangan yang terlihat membuat hatiku hancur berkeping-keping.
Vian, adikku, berciuman dengan wanita yang selama ini kucintai, Rosaline Prameswari.
Tubuhku seketika mati rasa. Melihat mereka berciuman dengan sangat intens. Bahkan bisa kulihat kerinduan terpancar di sana. Mataku terasa memanas. Hatiku terasa sakit. Adikku yang selama ini selalu menjadi tempat curhatku tentang Aline, mengkhianatiku?
Untuk sesaat aku hanya terpaku melihat adegan di depanku. Tapi saat melihat mereka memagut bibir mereka dengan sangat mesra, membuat darahku mendidih dan menggelegak.
“Apa yang kalian lakukan?” teriakku ke arah mereka dan benar Vian dan Aline nampak terkejut melihatku.
Vian langsung mendekap erat tubuh gadisku itu semakin membuat emosiku naik. Kepalaku mulai berdenyut dan terasa sakit lagi, tapi aku tak peduli. Kulangkahkan kakiku dengan cepat menuju kamar Vian, dan saat sampai di sana, aku tak tahu lagi karena semuanya menjadi blur buatku. Penjelasan Vian, tatapan Aline kepadaku, yang kuingat Aline jatuh pingsan dan aku menghantam adikku itu tepat sebelum aku jatuh tak sadarkan diri.
*****
Saat kubuka mata, mama menangis, papa juga. Dokter memeriksa keadaanku dan mengatakan aku tak sadarkan diri selama dua hari.
Sisca langsung menghambur memelukku, dan semuanya seperti ada yang berjalan di dalam otakku. Memori itu, memori itu telah kembali, walau saat ini hanya berupa potongan-potongan kejadian yang seperti film melintas di otakku. Tapi aku ingat semuanya, ingat kenapa aku menikah dengan Sisca, ingat profesiku dan ingat kalau Aline telah menjadi istri Vian.
Tapi egoku sebagai lelaki membuatku ingin mengubah yang telah terjadi kepadaku. Katakanlah aku jahat, katakanlah aku kejam.
Tapi aku hanya ingin mendapatkan kebahagiaanku. Aku ingin bahagia, Aline harus menjadi milikku seutuhnya. Dan kurancanglah semua ini, aku ingin melupakan Ryan Atmawijaya yang telah berbuat kesalahan dengan tak mengejar cinta sejatinya dulu bahkan pasrah menikah dengan gadis yang tak pernah kucintai.
Aku ingin menjadi Ryan yang baru. Ryan yang mencintai Rosaline Prameswari, dan di sinilah aku berada, mengatakan kepada semuanya kalau aku masih tak ingat memoriku.
Mama dan papa mengerti membawaku kembali pulang, tapi semuanya seketika membuatku marah saat mendengar adikku telah membawa pergi Aline dari sisiku.
Ini tak akan kubiarkan, Aku harus mendapatkan Aline, menjadi milikku apapun itu halangannya.
*****
Dan kulihat dia lagi, gadis yang kucintai. Terlihat pucat dan lemah. Pagi tadi Papa jatuh tak sadarkan diri mendapat serangan jantung. Aku tahu papa kelelahan dan dia juga menahan beban, sempat terkejut melihat adikku itu keluar meninggalkan beasiswanya di Glasgow. Impian papa melihat anaknya menyandang gelar dokter spesialis musnah sudah. Adikku memilih berada di sisi Alineku. Aku tahu papa sangat menyayangi Vian karena adik satu-satunya itu memang dari dulu membanggakannya.
Masuk sekolah kedokteran dengan beasiswa, bahkan sudah merintis bisnis cafénya dengan temanteman, membuat papa semakin bangga dengan adikku itu. Sebenarnya aku juga ikut bangga, bagaimanapun juga dia adik yang kusayangi.
Tapi kini saat kulihat Aline sangat rapuh, membuat emosiku kembali meluap. Kenapa adikku itu membiarkan Alineku menjadi sakit, tak bisakah dia menjaganya? Tak boleh ada yang menyakiti Aline, melihatnya jatuh pingsan tiba-tiba membuat hatiku teriris perih. Tak ada yang boleh membuat Aline sakit termasuk adikku sendiri yang notabene adalah suaminya. Aku akan merebutnya, akan menjaganya dan tak akan kubiarkan Aline merasa kesakitan. Tekadku sudah bulat, merebutnya kembali dari tangan adikku, karena hanya aku yang bisa membuatnya bahagia.
Share this novel