T

Romance Series 49415

Sesuai permintaan Love tadi siang, Harvest bergegas merapikan dirinya untuk menemani Love kembali ke rumahnya. Setelah selesai memakai kaos hitam dipadu dengan sweater abu-abunya, ia pun melangkah keluar kamar. Saat ia membuka pintu, dilihatnya Love tengah berdiri dengan tangan yang hendak mengetuk pintu. Mereka berdua terkejut bersamaan.

"Love?!" seru Harvest. 

Love tersenyum kikuk. 

"Sudah berapa lama kau berdiri di depan pintu kamarku?" tanya Harvest. 

"Tidak-tidak!" elak Love. "Justru aku baru mau mengetuk pintu kamarmu," alibinya. Padahal kenyataannya, Love sudah berdiri di depan pintu selama sepuluh menit dengan keraguan antara mau membangunkan Harvest atau tetap membiarkannya istirahat. 

"Oh," sahut Harvest. "Jadi, bisa kita pergi sekarang?" tanyanya.

Love tersenyum kembali, lalu mengangguk pelan. "Emm, ayo!" ajaknya.

Harvest mempersilahkan Love berjalan duluan, selagi ia hendak mengunci pintu kamarnya.

Dalam perjalanan menuju ke rumah Love, keduanya masih ditemani dengan keheningan. Hanya terdengar suara hewan malam yang berkumandang dan langkah sepatu mereka berdua di aspal jalanan. 

"Kalau boleh tahu, apa yang tertinggal?" tanya Harvest berinisiatif membuka suara duluan untuk mengusir keheningan di antara mereka berdua.

Love yang sedang berjalan di sebelah Harvest pun menoleh ke sampingnya. "Ponselku," jawabnya.

"Oh." Harvest manggut-manggut sembari mencari pertanyaan lain lagi agar keheningan tidak kembali tercipta. "Oh ya, Love, kau pernah bilang padaku kan bahwa kau tinggal di San Francisko?" 

"Iya. Kenapa?" 

"Kau sudah lama tinggal di sana?" lanjut Harvest bertanya lagi. Kali ini pertanyaan yang ia lontarkan dimaksudkan untuk mencari tahu lebih detail tentang jati diri Love.

"Sejak usiaku 11 Tahun," jawab Love. 

Harvest pun terhentak. Teman kecilnya itu juga pindah saat ia berusia 11 Tahun. Apa ini hanya kebetulan atau ternyata benar kalau Love adalah...,

"Kau sendiri bagaimana?" lanjut Love yang bergantian bertanya ke Harvest. 

Suara Love membuat Harvest langsung tersadar dan menoleh cepat ke arah Love. 

Sambung Love, "Apa kau memang tinggal di sini atau--,"

"Tidak," potong Harvest cepat. "Aku sebenarnya tinggal dan kerja di Washington. Aku pulang ke Ohio ini dalam rangka memperingati hari kematian adikku, sekaligus mengunjungi orang tuaku dan membicarakan perihal Every," sambungnya.

"Ah, i see. Ngomong-ngomong, Harv, boleh tahu kenapa adikmu meninggal?" tanya Love lagi.

"Empat tahun yang lalu adikku mengalami kecelakaan," jawab Harvest sambil menatap lurus ke depan. "Padahal usianya masih sangat muda, tapi Tuhan malah mengambilnya lebih dulu."

"Maaf, Harv," ujar Love dengan perasaan menyesal. "Gara-gara pertanyaanku, kau jadi sedih karena harus mengingat kematian adikmu itu." 

Harvest mengulas senyumnya sesaat, lalu menoleh ke Love. "It's okay, Love. Memang sih kejadian itu sudah sangat lama, tapi entah kenapa sampai sekarang aku masih bertanya-tanya pada Tuhan, kenapa harus adikku? Kenapa harus dia yang pergi duluan meninggalkan kami?"

"Hey, hey..," selak Love sambil melangkah lebih maju dari Harvest, lalu berhenti dan memutar tubuhnya untuk berhadapan dengan Harvest. Ia meraih tangannya sambil menatapnya lembut. "Kematian adalah takdir mutlak Tuhan. Kita tidak boleh menyalakan Tuhan atas kematian seseorang karena setiap makhluk hidup pasti akan mati secara permanen. Baik itu karena penyebab alami seperti penyakit atau karena penyebab tidak alami seperti kecelakaan. Kita semua ini kan adalah ciptaan-Nya, jadi Dia-lah juga yang berhak mengambil hidup kita kalau memang sudah waktu-Nya," urainya. 

"Aku tahu, tapi apa salah adikku sehingga Tuhan mengambilnya terlebih dahulu sebelum adikku bahagia," sahut Harvest.

"Adikmu sudah bahagia, Harv. Karena Tuhan begitu menyayanginya, makanya Dia menjemputnya. Sama seperti orang tuaku yang dipanggil Tuhan lebih dulu sebelum aku berhasil membahagiakannya." Kini mimik wajah Love berubah sendu. 

Melihat perubahan raut wajah Love, Harvest inisiatif langsung memeluknya. "Maaf dan terima kasih, Love." 

Pelukan Harvest yang tiba-tiba membuat Love terkesiap. Namun, Love tidak mendorong Harvest ataupun menolak pelukannya. Justru pelukan yang diberikan Harvest padanya terasa begitu hangat dan nyaman. Love pun kini membalas memeluk Harvest. 

"Hem..." Harvest menyadari sesuatu. "Ngomong-ngomong lagi, Love, apa cuma kebetulan saja kalau orang tuamu dan adikku meninggal sama-sama dikejadian empat tahun yang lalu?"

Love menguraikan pelukannya dan menatap Harvest sambil mengeryitkan keningnya. "Kau benar. Aku malah tidak menyadarinya." Menyadari habis membalas pelukan Harvest, Love cepat-cepat merubah posisinya sedikit bergeser menjauh, kemudian berpura-pura merapikan rambut dan pakaiannya.

Sedangkan Harvest sendiri hanya bisa berdehem sambil celingak-celinguk untuk mengusir rasa kikuk yang dialaminya.

(Suara dentuman musik)

Love dan Harvest samar-samar mendengar musik dan nyanyian. Keduanya kembali saling bertatapan satu sama lain. 

"Kau dengar itu?" tanya Harvest.

"Iya," jawab Love.

Harvest dan Love sama-sama menolehkan wajahnya ke kanan dan ke kiri untuk melihat sekelilingnya. "Ada apa ya?" tanya keduanya secara bersamaan. Mereka berdua kembali bertatapan satu sama lain, kemudian tertawa bareng. "Ha-ha-ha.."

"Kita akan cari tahu setelah kau ambil ponselmu," lanjut Harvest sambil tertawa geli.

"Baiklah." 

Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan. Rasa canggung di antara mereka juga sudah hilang, berganti dengan tawa candaan. Sepuluh menit pun berlalu dan akhirnya mereka berdua tiba di rumah yang dituju. 

"Tunggu sebentar ya, Harv, aku ambil ponselku dulu," ijin Love. 

"Mau kutemani juga sampai ke kamarmu?" tawar Harvest bermaksud menggoda Love. 

"Ish!" Love mendesis sebal. "Tidak perlu, Harv. Aku juga cuma sebentar doang." Love menolaknya dengan halus.

"Baiklah-baiklah. Aku hanya bercanda saja." Harvest tertawa kecil. "Kalau begitu aku akan tunggu di sini, " sambungnya.

"Iya." Love pun langsung membuka kunci pintu rumahnya dan lekas menuju ke kamarnya untuk mengambil ponselnya. 

Sampai di dalam kamarnya, Love menyalakan lampu kamarnya, lalu berjalan ke arah laci mejanya. Ia membuka laci nakasnya dan mengambil ponselnya yang masih dalam keadaan mati. Setelah dapat, ia kembali mematikan lampu kamarnya dan mengunci pintu kamarnya. Ia melesat turun karena tidak mau sampai membuat Harvest lama menunggunya. 

"Sudah," ujar Love sambil menunjukkan ponselnya ke Harvest.

Harvest pun tersenyum. "Kalau begitu, ayo kita jalan!" ajaknya.

"Oke." 

Setelah mengunci rapat pintunya, Love dan Harvest kembali berjalan. Bukan untuk kembali ke rumah Harvest, melainkan mencari tahu perihal musik yang mereka berdua dengar bersamaan tadi.

****

Butuh beberapa menit Harvest dan Love akhirnya mengetahui asal musik itu berada. Itupun karena Harvest memutuskan untuk bertanya pada salah seorang penduduk yang sedang berpapasan dengannya. Ternyata musik yang mereka berdua dengar itu berasal dari tempat makan outdoor yang terdapat live music-nya. 

Harvest dan Love berjalan mencari tempat duduk kosong. Setelah dapat, mereka berdua pun duduk di sana. Terlihat juga ada panggung kecil yang saat ini sedang diramaikan oleh penyanyi band bayaran. 

"Mumpung kita sudah di sini, mari kita makan malam bersama, gimana?" usul Harvest. 

"Boleh saja," jawab Love. 

"Kau mau makan apa?" tanya Harvest kembali.

"Hem.., Steik saja. Minumnya terserah kau saja. Asal jangan beralkohol," jawab Love.

"Baiklah. Kau tunggu di sini saja, biar aku yang pesankan."

Love mengangguk pelan. "Oke."

Harvest pun beranjak dari kursinya untuk memesankan makanan dan minuman. 

Sementara Harvest pergi untuk mengorder makanan, Love mengedarkan pandangannya ke sekitarnya. Ia sangat menyukai tempat seperti ini. Mungkin karena ia jarang pergi ke tempat makan seperti ini. Sehari-harinya kebanyakkan ia habiskan di rumah saja dengan bermain bersama Jason, anak dari majikannya itu.

Tak lama kemudian, Harvest balik dan duduk kembali.

"Aku sungguh tak tahu kalau di sini ada tempat makan seperti ini, Harv. Apa kau tahu tempat ini sebelumnya?" tanya Love.

"Aku juga tak tahu. Aku jarang keluar rumah jika aku berkunjung ke rumah orang tuaku," jawab Harvest.

"Oh. Ku pikir hanya di kota-kota besar saja yang ada seperti ini," ujar Love.

"Memang banyak perubahan di sini. Tidak seperti dulu yang hiburannya cuma melihat pemandangan perkebunan beraneka ragam, lahan peternakan yang luas dan juga danau," balas Harvest.

"Iya, kau benar. Danau kecil yang satu-satunya terindah di Ohio," sahut Love sambil bertopang dagu menatap Harvest. Pikirannya melayang ke masa kecilnya saat menyebut 'danau'.

Melihat sorot mata Love yang berbinar dan perubahan mimik wajah Love yang menyemburkan kebahagiaan, Harvest pun menjadi penasaran. "Sepertinya danau yang ku sebutkan barusan membuatmu senang?" tanyanya.

"Ya. Karena di danau itu terdapat kenangan manis buatku," jawab Love.

"Oh ya?" Harvest terperangah. Oke, satu pertanyaan lagi yang harus dipastikannya mengenai jati diri si teman kecilnya ini. Jika kali ini jawaban Love menyerupai lagi, sudah pasti benar bahwa Love adalah si sosok teman kecil Harvest yang sempat disukainya. "Kenangan apa, Love?"

"Haruskah aku memberitahumu?" 

"Tentu saja." Harvest mencoba memaksanya. "Aku bakal mati penasaran jika kau tidak mau memberitahukannya padaku. 

Love mendecih sebal. "Kau terlalu berlebihan!" Love menghela nafas kasar. "Baiklah, aku akan menceritakannya padamu."

Harvest menatap lekat Love sambil memasang telinganya lebar-lebar. 

"Dulu aku hampir tenggelam di danau itu saat aku latihan berenang sendiri, tapi aku ditolong oleh seorang anak lelaki pemberani," cerita Love.

Harvest menarik kedua sisi mulutnya membentuk senyuman lebar. Rasa bahagia kini menyelimutinya pelan-pelan. Jawaban Love barusan sudah membuktikan semuanya kalau ia adalah si anak perempuan tersebut. 

"Sejak saat itu kami jadi berteman," lanjut Love yang belum selesai bercerita. "Tapi pertemanan kami yang baru terjalin lima hari itu harus berakhir karena aku dipindahkan paksa oleh orang tuaku ke San Francisko untuk bersekolah." Dan kini raut wajah Love terlihat sedih. 

Jangan sedih, Love. Aku di sini. Aku adalah teman kecilmu, batin Harvest. Ia belum berani mengungkapkannya karena belum tepat waktunya.

Saat Harvest ingin mengutarakan sesuatu, tiba-tiba lagu jazz yang dipersembahkan oleh penyanyi band tersebut berubah haluan menjadi lagu romantis. Ditambah sang vokalis menyuruh beberapa pasangan yang sudah datang untuk maju ke area depan panggung buat berdansa. 

Love yang melihatnya tak sengaja, kini mengubah arah pandangannya kembali ke Harvest. "Ayo kita ikutan berdansa, Harv!" ajaknya, kemudian bangkit berdiri. "Sepertinya seru."

Harvest terkejut dan menoleh sejenak untuk melihat ke area panggung yang terletak di belakang dirinya duduk. Ada beberapa pasangan sudah terlihat mulai berdansa sejak iringan lagu awal mulai didendangkan. Sang vocalis band mengajak rekannya yang wanita untuk berduet. Lagu yang akan dinyanyikan pun berjudul A Whole New World - sangat cocok di suasana romantis.

Dentuman musik dari organ keyboard mulai terdengar.

"Ayo!" Tanpa menunggu respon Harvest, Love pun menarik paksa tangan Harvest dan menuntunnya ke area depan panggung. 

Harvest yang tak bisa menolak, akhirnya terpaksa menerima ajakan dansa Love. Sesungguhnya sih ia merasa senang, cuma ia tak mau mengakuinya langsung.

Setelah jari-jari tangannya ia kaitkan dengan jari tangan Harvest, lalu tangan sebelah tangannya ia taruh di bahu Harvest, Love sudah siap untuk memulai dansa. "Sejujurnya aku tak pandai berdansa, Harv," ujarnya yang saat ini sudah sangat merasa gugup. Entah dari mana keberanian itu datang sampai-sampai malah ia duluan yang mengajak dansa Harvest yang notabennya adalah seorang lelaki. Halo.., wajahku mau ditaruh ke mana coba?

"Kau kira aku pandai?" sahut Harvest sambil menaruh tangan kanannya di belakang punggung belakang Love. Ia pun tengah mempersiapkan diri untuk melakukan dansa yang merupakan pertama kali baginya. 

I can show you the world. Suara penyanyi mulai terdengar.

Harvest dan Love mulai berdansa, mencoba mengikuti irama lagu. Mereka juga saling memandang satu sama lain. Tatapan yang dalam dan penuh arti. Lalu, terlihat kaki mereka bergerak secara pelan-pelan karena takut saling menginjak. Gerakan tubuh mereka pun tak seirama.  Mungkin karena mereka berdua benar-benar amatir dalam hal berdansa.  

Shining, shimmering, splendid. Tell me, princess, now when did you last let your heart decide? I can open your eye. Take you wonder by wonder. Over, sideways and under on a magic carpet ride. A whole new world...

Selagi vokalis bernyanyi, Harvest dan Love mulai menikmati lagu tersebut dalam langkah dansanya. 

A new fantastic point of view
No one to tell us, "No"
Or where to go
Or say we're only dreaming..

Dari langkah dansa yang kaku berubah perlahan menjadi serirama. Gerakan tubuh yang meleset dari lagunya sudah saling senada mengikuti musik yang dimainkan. 

A whole new world
A dazzling place I never knew
But when I'm way up here
It's crystal clear
That now I'm in a whole new world with you

(Now I'm in a whole new world with you)

Kini Love mulai memutar tubuhnya disaat tangan kanan Harvest terangkat ke atas dan memegang tangan kanannya. Setelah itu, mereka kembali berhadapan dengan posisi semula dan saling pandang lagi.

Unbelievable sights
Indescribable feeling
Soaring, tumbling, freewheeling
Through an endless diamond sky

A whole new world (don't you dare close your eyes)

"Ternyata kita berdua mahir dalam berdansa," ujar Harvest. 

Love terkekeh geli. "Aku pun tak menyangkanya," sahutnya.

A hundred thousand things to see (hold your breath, it gets better)
I'm like a shooting star, I've come so far
I can't go back to where I used to be
A whole new world
With new horizons to pursue
I'll chase them anywhere
There's time to spare

Let me share this whole new world with you

Harvest dan Love sudah tidak memikirkan apa mereka bisa berdansa atau tidak karena saat ini mereka berdua berada dalam dunia yang dibuatnya sendiri. Dunia yang seakan milik mereka berdua. Tidak ada suara yang terlontar, hanya tatapanlah yang berbicara dari hati ke hati. Lirik lagunya pun seakan mendukung untuk mewakili kata hati yang tak terungkap itu. Perasaan mereka sudah tak bisa terelakkan lagi. 

"Aku mencintaimu, Love," ungkap Harvest akhirnya. 

Gerakan kaki Love terhenti. Sorot matanya kini tengah menatap intens mata Harvest yang juga sedang menatapnya lekat.

Harvest dan Love memang mulai menyadari perasaan asing yang terus membuncah keluar itu. Mereka juga bisa menebak perasaan tersebut tanpa harus dipastikan lagi. Apa yang tengah dirasakan mereka berdua saat ini menekan mereka untuk saling jujur. Hanya saja, Love tidak berani untuk mengakuinya karena statusnya dengan Owen. Tapi berbeda hal dengan Harvest yang langsung mengungkapkan perasaannya pada Love secara gentlement.

Love langsung melepaskan tangannya dan mundur selangkah menjauh dari Harvest. "Lebih baik kita pulang sekarang!" ajaknya.

Melihat perubahan pada Love dari segi mimik, tingkah laku dan perkataannya, Harvest mengetahui satu hal bahwa secara tidak langsung ia telah ditolak. Hanya saja apa alasannya, Harvest tidak tahu. Apa ia harus mencari tahu juga?

Sedih memang. Tapi Harvest tidak akan menyerah dan mundur begitu saja sampai ia mengetahui alasan pasti Love menolaknya. Karena yang ia rasakan dari Love justru kebalikkannya. Love juga menyukai dirinya. Ia yakin itu, tapi seperti ada sesuatu yang menghalangi Love untuk tak berani mengakuinya.

Akhirnya Harvest dan Love melewatkan makan malam bersama. Makanan yang sudah dipesankan Harvest sebelumnya pun tidak jadi dimakan. Karena Love sudah meminta pulang, mau tak mau Harvest mengiyakannya. Selesai membayar, Harvest pun membawa Love untuk pulang ke rumahnya. 

Dalam perjalanan pulang pun tak ada yang berani mengeluarkan suara. Harvest memilih untuk diam seribu kata, sedangkan Love sendiri terus mengumpati dirinya yang begitu bodoh telah berani jatuh cinta pada pria lain selain Owen. 

Tiba di rumah, Love dan Harvest langsung memasuki kamar masing-masing tanpa kata. Suara pintu ditutup mengakhiri pertemuan mereka berdua. 

Di belakang pintu yang sudah ditutupnya, Love pun menghela nafas panjang. Tangannya menyentuh sisi tengah dadanya, mencoba mendeteksi degupan jantungnya yang sedang berdenyut cepat. "Ada apa denganku? Aku tidak boleh memiliki perasaan cinta pada Harvest. Seharusnya aku setia pada Owen," gumamnya sambil mengepal satu tangannya. 

Teringat akan ponselnya, buru-buru Love mengambilnya dalam saku celana jeans-nya. Ia melihat ke arah layar ponselnya. Antara mau menyalakannya atau tetap membiarkannya mati untuk sementara, menjadi keraguan Love sekarang. Tetapi Love sangat membutuhkan Owen saat ini. Ia begitu ingin mendengarkan suaranya karena ia sangat merindukannya. Apa yang harus kulakukan sekarang, Owen? Sebenarnya kau itu ke mana?

....

To be continued

Share this novel

norsila
2021-10-30 08:54:58 

lamo naa tggu

norsila
2021-10-24 10:11:20 

ontah saya pon kkeliruan ..napo tk di smbungnya..lamo naa nunggu

Linda Ina
2021-07-05 14:21:06 

ceritanya ko pendek sekali


NovelPlus Premium

The best ads free experience