Menjadi Teman Baik

Family Series 4281

Sore itu, selesai membereskan meja makan, aku memutuskan untuk membersihkan diri. Aku baru ingat jika tubuhku belum menyentuh air sejak pagi tadi. Setelah berpesan pada Kenzi untuk tidak bermain di pinggir kolam sendirian, aku masuk ke kamar mandi di lantai atas.

Sambil bersenandung, aku menggosok seluruh permukaan tubuhku yang penat oleh keringat. Rasanya sangat menyenangkan. Air hangat yang mengalir membuat tubuhku rileks dan nyaman. Namun, saat aku hendak mengeringkan tubuh, aku ingat jika aku sama sekali tak membawa handuk.

"Ajigile! Gue nggak bawa handuk, nih. Gimana?"

Aku membuka pintu kamar mandi pelan-pelan, mencoba meraih bajuku di lemari yang berada di samping kamar mandi. Sayangnya, pintu lemari macet hingga membuatku sulit menarik pakaianku di tumpukannya.

"Duh elah, pake macet segala." Aku masih berusaha menarik pakaianku dengan kuat ketika tiba-tiba Kenzi nyelonong masuk ke kamar.

"Hei! Keluar sana!" bentakku seraya cepat menutup pintu kamar mandi.

Kenzi tampaknya terkejut. Dia langsung lari terbirit keluar kamar. "Maaf, Kak. Dedek nggak sengaja. Dedek nggak liat kok. Suer."

"Ya udah. Kalo gitu bantuin gue," teriakku.

"Apa?"

"Bantuin gue, cepetan! Lo masuk kamar dulu sini." Aku menyembulkan kepala dari balik pintu kamar mandi.

Kenzi masuk sambil melangkah takut-takut. "Dedek harus bantu apa?"

"Cariin gue handuk. Lo tau, kan tempatnya di mana? Tadi pagi lo udah mandi, kan?"

"Ehmm. Handuknya cuma satu dan udah dedek pake, Kak."

"What?" Aku mendesah frustrasi. "Ya udah, kalo gitu cari kain apapun yang lebar buat ngeringin badan gue. Cepetan! Gue udah kedinginan ini."

"Oke, Kak. Tunggu, ya." Kenzi berlari keluar.

Tak lama kemudian, bocah gembul itu kembali sambil membawa selimut pink tebal yang kutahu sebelumnya terhampar di ruang tamu.

"Bersih nggak, nih?" tanyaku.

"Bersih, kok. Tadi sudah dedek kibas-kibas di bawah."

Aku mengambil selimut itu dan segera mengelap tubuhku yang basah. Kenzi masih menunggu di luar, duduk di tepi ranjang kalau-kalau aku masih membutuhkannya.

"Ken, lo masih di situ?"

"Iya, Kak."

"Bagus. Sekarang, tolong ambil daleman gue di dalam koper pink di ujung tempat tidur.

"Daleman?"

"Iya, daleman. Masa lo nggak tahu, sih?"

"Kakak, kan udah pake handuk. Kenapa nggak ganti di luar aja?"

Lah? Bener juga! Kenapa aku nggak ganti di luar aja?

"Ya udah. Kalo gitu lo keluar sekarang, gue mau ganti."

Kenzi mengangguk, lalu keluar dan menutup pintu.

Setelah wajah bocah itu tak terlihat lagi, aku merutuki kebodohanku. Bagaimana bisa aku meminta Kenzi untuk mengambil dalemanku? Oh, Andin! Sepertinya otak lo mulai konslet karena pernikahan ini.

Aku keluar dari kamar mandi dan secepat kilat mengenakan pakaian. Selimut pink tebal yang basah teronggok di bawah tempat tidur. Bodo amatlah. Besok pagi saja aku menjemurnya.

Aku tengah menyisir rambut saat Kenzi mengetuk pintu.

"Kak, dedek boleh masuk?"

"Boleh."

Kenzi masuk, mata polosnya menatap rambut pirangku yang basah.

"Kenapa liat-liat?" tanyaku.

"Di sekolah kakak emangnya boleh ngewarnain rambut?" tanyanya.

"Bolehlah. Kalo nggak boleh, gue hancurin tuh sekolahan," ucapku sekenanya.

"Kak Andin nggak boleh gitu."

"Ya gue bercanda, kali. Lagi pula, rambut gue nggak sepenuhnya dicat. Aslinya, rambut gue emang pirang. Cuma dulu pas SMP, gue pernah ngitemin rambut dan jadinya malah rusak."

Kenzi menatapku lama. Dia kini sudah duduk di sampingku.

Aku menghela napas. Sepertinya penjelasanku barusan menimbulkan pertanyaan baru bagi bocah kepo di sebelahku.

"Lo mau tanya apa lagi?"

Kenzi mengerjap. Mata polosnya terlihat begitu penasaran. "Kenapa kakak ngitemin rambut?"

"Karena gue ingin menghilangkan gambaran mama di diri gue."

Aku menunduk, lalu tanpa sadar aku menceritakan masa lalu yang sangat ingin kulupakan.

"Waktu itu, gue baru seusia lo saat mama dan papa meninggal karena kecelakaan. Dari sekian banyak penumpang tewas, hanya jenazah mama dan papa yang tak pernah ditemukan hingga sekarang. Gue juga nggak ngerti kenapa hanya mereka yang menghilang. Mungkin karena itu juga, gue percaya mereka berdua sebenarnya masih hidup."

"Sampe SMP, gue selalu berharap ada kabar baik tentang mama dan papa. Gue mempertahankan rambut pirang gue agar suatu saat, jika mama dan papa kembali, mereka bisa ngenalin gue dengan mudah. Namun, hingga tahun kelima sejak kepergian mereka, mereka benar-benar tak kembali. Kakek sudah mengerahkan banyak orang untuk menyelidiki keberadaan mereka, bahkan hingga mengobrak abrik TKP di mana pesawat itu jatuh, tapi mereka tetap tak pernah ditemukan."

Tanpa aku sadari, Kenzi sudah menggenggam tanganku dengan erat.

"Sejak saat itu, gue putus asa. Gue menyalahkan Tuhan yang sudah merenggut kebahagiaan terbesar gue. Gue lari dari rumah, gue ngamen di jalanan, gue ngerokok, gue minum dengan anak-anak Punk. Gue ngelakuin apapun yang gue suka. Gue memotong pendek rambut gue dan mengecatnya jadi hitam. Semua gue lakuin karena gue protes kepada Tuhan, mengapa hanya gue yang kehilangan saat itu? Mengapa hanya gue, satu-satunya siswi di sekolah yang tak mempunyai orang tua? Mengapa hanya gue?"

Aku terisak. Cairan bening mulai mengalir di pipi. Perlahan, tangan Kenzi terangkat dan menyeka air mataku.

"Kak, jangan nangis, ya. Dedek tahu kakak orang yang kuat, makanya Tuhan kasih kakak cobaan karena kakak mampu melewatinya."

Mata Kenzi menatapku teduh. Dalam perasaan yang tak menentu, aku tahu jika bocah sebelas tahun di sebelahku ini nyatanya lebih dewasa dalam segala hal dibandingkan aku. Meski terlihat manja dan cengeng, sebenarnya Kenzi seratus kali lebih dewasa dari diriku.

"Thanks, ya dah dengerin cerita gue." Aku menghapus air mataku lalu tersenyum.

Kenzi memamerkan giginya yang putih. "Sama-sama, Kak."

Aku merasa, sekarang aku memiliki seseorang yang bisa mengerti diriku seutuhnya. Agaknya benar kata dukun Atong tempo hari, bahwa bocah gembul bermata bulat di sampingku ini dapat menjadikanku pribadi yang lebih baik.

Setelah perasaanku lebih baik, aku mengajak Kenzi untuk membongkar koper kami. Aku mulai mengeluarkan pakaianku dan menyusunnya di lemari. Dibandingkan milik Kenzi, isi koperku lebih sedikit karena seminggu yang lalu kakek sudah membawanya kemari. Mengingat betapa hebatnya persiapan kakek atas pernikahanku, aku jadi sangat penasaran berapa banyak uang yang sudah dihamburkannya.

"Kak, apa kita jadi tidur di kamar bawah?" tanya Kenzi setelah selesai mengeluarkan seluruh pakaiannya dari koper.

"Jadi. Tapi mulai besok aja, ya. Tempat tidurnya belum dipindahkan dan lemari yang ini juga belum dibawa turun. Besok kita minta tolong mang Adi aja. Malam ini kita tidur di sini, oke?"

Kenzi mengangguk tanda setuju.

Tak terasa, waktu bergulir dengan cepat. Rona kemerahan di ujung senja telah terlihat. Sebentar lagi malam akan datang, dan hidupku tanpa kakek akan kembali dimulai.

Setidaknya, Kenzi bisa jadi teman yang baik untukku. Mulai dari sekarang hingga seterusnya.

To Be Continued

Fast update. Moga suka. Oh, ya, cuma mau ngasih tahu, kall mendengus itu untuk hewan seperti kuda, dan mendengkus itu untuk manusia. jadi, jangan salah lagi, ya. See you next part. Ciao

Share this novel

Guest User
 


NovelPlus Premium

The best ads free experience