.
.
.
Waktu sebentar lagi menunjukan pukul 12.00 siang. Cacing-cacing di perutku seolah berteriak meminta asupan.
Akan tetapi, tanganku berhenti mengetik bukan karena rasa lapar ini yang melanda, melainkan karena aroma parfum seseorang yang baru saja melintas dihidungku.
Aku menengok ke belakang, lalu menengok ke arah samping kanan dan kiri. Benar saja, ada pak Micky; Managing director sekaligus anak dari CEO di perusahaan ini yang baru saja lewat di belakangku. Pasti dia pelakunya, yang mencemari udaraku lewat parfumnya.
Duh, surga dunia banget ya ....
Wajahnya yang tampan, kulit putih, mata sipit, hidung mancung, dan tinggi. Aku bahkan sampai harus mendongak untuk melihat wajahnya yang blasteran Jepang - Indonesia. Mimpi banget ya untuk jadi istrinya.
Tapi aku juga tidak sudi punya mimpi seperti itu. Wake up, Di. Ini bukan cerita tentang CEO. Ini cuma kisah tentang wanita biasa, seorang Adrianti, tidak boleh halu tingkat tinggi begitu. Kayaknya ini efek kebanyakan nonton drama dan anime. Cukup Sato Takeru saja yang di jadikan idola, jangan ada tambahan pak Micky sebagai list berikutnya.
Tanganku bergerak mengambil handphone yang tergeletak di dekat mouse. Lalu membuka aplikasi line. Ada 999+ notification dari grup.
Tidak terasa juga, sudah tiga bulan aku bergabung dalam grup ini. Sedikit banyak aku mengenal sedikit sifat member di sini.
Ada tema harian yang di bahas di grup ini, walau ujung-ujungnya obrolan akan melenceng dari tema.
Senin: Umum
Selasa: Share Drama dan film
Rabu: Music
Kamis: Sharing artis favorite
Jumat: Ikemen
Sabtu: Curcol
Minggu: Bebas
Aneh awalnya kupikir, tapi mungkin sedikit membatasi agar pembicaraannya tidak terlalu menyimpang kemana-mana. Aku membuka percakapan grup ini, dan mulai menskrol dan membaca satu-persatu chat yang ada.
Sania:
Gimana kalau kita meet up, Kopdar yuk ??
Udh lama kenal masa ga ketemu2
Jadi mereka mau meet up? Dua hari aku tidak nimbrung di grup jadi tertinggal info kegiatan mereka.
Widya:
Kebetulan gw di jakarta ??
Nggak nanya!
Entah kenapa kalau lihat nama orang ini bawaannya kesal terus, mengingat tingkat kepercayaan diri orang ini yang selangit.
Fahrega P:
Ayuk lah ??
Fahrega P sent sticker
Nia:
Klo di jakarta mah, aku ga bs ikut ??
Boleh, y--- belum selesai aku mengetik.
"Woy!"
Sontak, aku melemparkan handphone yang kugenggam.
Astagfirullah!
Ini pasti kerjaannya Dina. "Apaan sih, Din?" Aku menatap kesal padanya sebelum memungut handphone yang tergeletak di dekat kursi yang aku duduki.
"Turun yuk!"
"Bentar." Aku membereskan dokumen yang tadi aku kerjakan, di urutkan, sebelum menaruhnya di sudut meja.
"Lo nggak bawa bekel kan?"
"Nggak kok, lo tunggu di lift aja."
.
.
.
Ting.
Pintu Lift terbuka, aku dan Dina masuk berdua ke dalam, lalu memilih berdiri bersandar pada sisi dinding di bagian kanan.
Di posisiku berdiri sekarang, aku bisa melihat seisi dari lift ini. Ada dua pria bule yang usianya tak muda lagi sedang asik mengobrol dengan aksen britishnya. Berdiri di bagian belakang, ada tiga ibu-ibu yang asik membicarakan bahan makanan pokok yang sedang diskon dari supermarket yang berada di lantai dasar gedung, mereka berdiri di bagian tengah.
Gedung kantorku bekerja ini terdiri dari puluhan lantai dari berbeda perusahaan di tiap lantainya. Sementara kantorku bekerja berada di lantai 35, dan menempati semua unit di lantai itu.
"Di, kira-kira kita ikut jadi seksi repot nggak pas pak Micky merried?"
"Nggak tau," jawabku asal. Aku tidak konsen dengan apa yang Dina tanyakan.
Dan terakhir, pandanganku menangkap pria berkemeja hitam yang berdiri menghadap pintu, pria itu berkacamata memasang wajah serius.
Manis, ucapku dalam hati.
Kulitnya kuning langsat, dan yang paling tidak aku duga adalah saat kepalanya menengok ke arahku.
Pandangan kami bertemu, tapi hanya sebentar sebelum pandangannya kembali menghadap pintu.
"Anyway ... Enaknya kita makan dimana, Di?"
Tidak terlalu tinggi badannya, tapi mungkin aku hanya setinggi telinganya. Pria itu sesekali melihat jam di lengan kirinya.
"Kayaknya makan nasi padang enak deh, yuk."
"Adrianti."
"Heh?"
Aku bahkan tak tahu apa saja yang Dina ocehkan sejak tadi. "Lo ngomong apa, Din?"
"Ish, nih anak," gerutunya kesal. "Dari tadi gue ngoceh lo nggak denger?"
Aku menggeleng pelan. Lift terbuka dan aku berjalan keluar bersama Dina.
.
.
.
"Di, menurut lo kira-kira kita ikut jadi seksi repot nggak pas pak Micky merried?" Aku mengalihkan pandanganku dari sepiring nasi padang dengan lauk rendang yang aku pesan, akhirnya aku dan Dina memilih datang ketempat ini. "Tadi gue nanya itu, Di. Tapi lo nya malah bengong."
"Ohh," jawabku pelan setelah selesai menelan makanan di mulut. "Eh, tapi gue malah baru dengar si Pak Micky mau married."
"Lo mana pernah sih update soal kaya gini."
Aku tertawa pelan. "Iyalah, nggak penting juga ngurusin urusan pribadi orang lain, Dina."
Aku membuka aplikasi line. Sudah banyak chat lagi, dan aku tak punya waktu untuk membacanya satu-satu, hanya membaca chat di barisan bawah yang dimulai dari Ega.
Frega P:
Udah jm segini
Pantes udh laper.
Selamat makan s(y)ang ??
Sania:
Ega pelisss deh ??
Hr ini kamu bnyk nyampah di grup
Frega:
Klo ga ada gw sepi loh, san
Nanti pada kangen, kan gw ngangenin.
Susah loh nahan kangen
Sania:
??
Didi:
Lg makan nih, makan yuk.
Sorry ya akhir-akhir ini jarang ikut nimbrung.
Widya:
Sok sibuk ??
Ya ampun, ini orang ada masalah apa sih sama gue?
Frega:
Makan pake apa Di?
Didi:
Nasi padang nih Ga, mau?
Frega:
Terpaut jarak, Di.
Andai jarak tak memisahkan kita ??
Aku menahan tawa melihat chat dari Ega. Ega ini, semua cewek di grup kayaknya di gombalin.
"Terus aja gue di kacangin, Di. Di depan mata nih gue wujudnya, masih aja di cuekin, tega lo, Di."
"Apaan sih, Din, lebay lo," aku nyegir menatap Dina yang cemberut.
Sekilas aku melihat chat dari Sania.
Sania:
Fix. Kita ketemu akhir minggu ini ya ??
.
.
.
.
***
Share this novel